— serial trinfinity (2/3)
Ibuk kadang mengingatkan saya saat masih balita dulu pernah bilang begini
dan begitu. Antara lain adalah keinginan saya untuk nyantri sambil
sekolah di TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) saat aliyah.
Pernyataannya saat itu seperti ini, tidak dibalik, dan sudah menyebut
tingkatan. Mungkin karena Bapak cerita tentang rekam jejak selama sekolah, saya
jadi kepingin menikam jejaknya.
Sempat hampir rusak runutan pernyataan saat balita pada 2005 ketika timbul
hasrat mblenjat—meloncat—dengan ingin nyantri saat MTs. Lalu
terjadi keraguan hingga sempat ada grenengan—perkara yang dipendam dalam
batin—untuk sekolah di MTs desa saya saja. Akhirnya runutan pernyataan saat
balita benar-benar mewujud. Memula sekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah
dilanjutkan di MTs Miftahul Falah, saya akhirnya nyantri di MUS-YQ
sembari sekolah di MA TBS.
Pernyataan ini memang arogan dan bisa jadi tak kekinian dan kedisinian.
Hanya saja Pak Muhammad Arifin Fanani, pengasuh MUS-YQ, adalah satu-satunya
alasan saya di MA TBS. Andai MUS-YQ menerima santri yang sekolah di luar TBS,
lain cerita bisa jadi. Ibuk dan Bapak me-warning saya satu hal saja:
tidak boleh dikeluarkan dari pondok. Anyway, di tempat saya, kata
‘pondok’ kalau dimutlakkan merujuk pada ‘pesantren’, dan saya lebih suka
menyebut seperti ini karena terhindar dari huruf R—entah mengapa Allah
menciptakan huruf R dan cadel.
Sebenarnya semangat saya untuk nyantri pada tahun 2009 sudah beda
dengan tahun 2005. Tahun 2005 bisa dibilang menggebu-gebu tetapi akhirnya
dilarang oleh orangtua. “Belum cukup modal pengalaman terlibat pergaulan dengan
perempuan,” tutur Ibuk saat itu. Tapi di tahun 2009 nyaris tak ada kemauan
samasekali untuk nyantri. Bahkan melanjutkan sekolah di madrasah pun
sudah ogah. Tak cuma madrasah swasta, madrasah negeri pun sudah tak mau.
Saya ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Selama di MTs, pergaulan intim
saya justru banyak dengan anak-anak SMP. Setelah sejak MI hingga MTs hanya
merasakan atmosfer madrasah saja, pada masa SMA ingin merasakan atmoesfer
non-madrasah. SMA Kuburan Kembar adalah incaran utama. Malah mungkin hanya
satu-satunya. SMA Negeri 1 Bae adalah rencana cadangan.
Alasan ‘masuk akal’ yang saya sampaikan pada orangtua dalam obrolan enam
mata saat itu adalah saya ingin fokus pada pelajaran ilmu alam, khususnya
fisika. Tapi alasan ‘masuk akal’ ini akhirnya dibantah dengan argumen yang
‘masuk akal’ juga. Orangtua mengingatkan saya kalau dulu saya pernah ngebet
ingin nyantri. Mereka berdua pun berkata kalau sudah lulus MA, saya
dibolehkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dan mengambil program
studi fisika.
Saya menolak keinginan orangtua saya kala itu dan membantah mereka dengan
beberapa alasan. Salah satunya saya bilang kalau saya akan kesulitan masuk
perguruan tinggi dalam program studi fisika kalau sekolah menengah atas kembali
di madrasah. Pelajaran di madrasah sangat banyak dan kurang serius
memperhatikan ilmu alam. Selama 9 tahun, saya habiskan sekolah saya di
madrasah, mulai MI sampai MTs, dan rasanya saya perlu merasakan pengalaman lain
dengan tidak bersekolah di madrasah.
Belum ada titik temu saat itu. Lalu saya menelepon Tata pada malam hari.
Bercerita seputar apa yang terjadi pada hari itu. Tata bilang ke saya, lebih
baik menuruti apa kata orangtua saja. Selain karena mereka yang membiayai
sekolah saya, juga tak baik melawan orangtua. Saran darinya sangat mengena buat
saya. Pasalnya dia adalah pelajar non-madrasah, awalnya di SD lalu melanjut ke
SMP. Sebagai penambah hiburan dan penumbuh harapan, Tata bilang kalau anak MA
lebih baik daripada anak SMA.
Sampai pada detik-detik terakhir sebelum menginjakkan kaki di pesantren,
saya masih terlibat obrolan dengannya melalui telepon. Dia tampaknya tahu kalau
saya sedang tak enak menjalaninya sehingga dengan gencar menghibur saya. Tata
kerap berperan sebagai ‘penjungkir balik’ keadaan dengan elegan. Obrolan
dengannya tak istimewa, karena semua orang bisa melakoninya. Walau begitu,
selalu ada sisi lain yang diberikan saat terlibat bacot-bacotan.
Alhasil, sampailah saya ke MUS-YQ pada Senin sore. Pondok pesantren yang
namanya akronim dari Ma’hadul Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an. MUS-YQ
memiliki dua pengasuh, Pak Arifin (Muhammad Arifin Fanani) dan Pak Fauzi (Hasan
Fauzi). Bedanya kalau Pak Arifin bermukim di lingkungan pesantren sedangkan Pak
Fauzi bermukim di luar pesantren. Tapi saya lebih dulu tahu dengan Pak Fauzi
dan sama sekali tak tahu menahu dengan Pak Arifin. Baru pada D-Day Senin
sore itulah saya tahu mengenai Pak Arifin.
Sowan—kunjungan—perdana
dengan orangtua saat itu secara simbolis ‘menitipkan’ saya pada Pak Arifin.
Obrolan kami cukup lama dan kebetulan tak ada orang lain selain saya, Ibuk,
Bapak, Pak Arifin, dan istri beliau. Sialnya, dalam start tersebut
orangtua saya memberitahu rekam jejak kelam saya pada Pak Arifin. Semua rekam
jejak kelam yang sebagian besar selama MTs serta daftar sakit yang sering
didera diberi tahu.
“Kalau masih rewel tinggal dikeluarkan saja pak,” ungkap Ibuk dengan
santainya.
“Asal tak macam-macam saja di pondok ini. Hati-hati lah sama keamanan
pondok,” ungkap Pak Arifin sambil tersenyum melirik pada saya.
Saya mencoba menduga-duga dibalik pelarangan saya nyantri pada 2006
dan pemaksaan untuk nyantri pada 2009. Pada masa-masa sebelum 2006, sisi
‘Islamis’ saya sangat kuat. Saking kuatnya tak mau bergaul dengan orang ‘kafir’
dan ‘sesat;. Kalau bergaul dengan mereka seringkali melahirkan ‘debat kusir’.
Daripada mengijinkan saya belajar agama dengan rinci sejak dini, orangtua
justru menyuruh saya belajar menjadi manusia dulu. Tata saja diawal perkenalan
dengan saya kerap menganggap saya adalah orang yang agamis. Saya memperkirakan
kalau 2006 saya diijinkan nyantri sekarang saya menjadi bagian dari
anak-anak ‘Islamis’. Ciiyyyuuuusssss......
Orangtua juga keukeuh meminta saya nyantri di MUS-YQ. Ibuk
malah mengajak taruhan kalau saya tak boleh dikeluarkan dari pondok. Padahal
kalaupun saya dikeluarkan dari MUS-YQ, tak serta merta membuat saya dikeluarkan
dari MA NU TBS. Ini tak bisa dibalik. Pilihannya sudah sangat sempit. Mungkin
mereka menyadari kalau hanya Pak Arifin saja yang mampu menggarap saya.
Pak Arifin memiliki daya ingat berlipat dan peduli pada santrinya. Lebih
jauh lagi peduli pada semua orang. Saya sendiri merasakan ‘sentuhan’ hangat
orang yang sudah diberi tahu rekam jejak kelam saya sejak debut pertemuan kami.
Beliau juga mendidik saya bagaimana cara memilih guru. Ini hal yang krusial
lantaran salah memilih guru bisa berakibat fatal.
Salah satu contoh bagus dalam menggambarkan kepedulian beliau adalah ketika
saya tertidur pulas di luar kamar pada malam hari. Beliau memiliki kebiasaan
kalau tengah malam bersih diri. Hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya tak
bisa membangunkan saya. Dengan tampak memaksa beliau membangunkan saya yang
sudah berselimut hangat dan meminta saya pindah ke kamar.
“Kamu tuh gampang sakit, jangan tidur di luar lagi,” kata beliau
ketika mata saya masih remang-ramang.
Di luar itu masih banyak lagi hingga officially saya meninggalkan
MUS-YQ. Meninggalkan MUS-YQ dalam ruang untuk pindah tempat sebagai usaha untuk
bisa berkembang. Setelah melalui masa-masa nyantri di MUS-YQ, akhirnya
saya bersama orangtua sowan untuk ‘pamitan’. Dan dalam resepsi
perpisahan ini beliau mengeluarkan pernyataan yang sangat lucu bagi saya.
Ketika ada anak yang akan meminta tanda tangan beliau untuk melengkapi
surat pernyataan terakhir, beliau bilang sambil tersenyum ke arah saya, “Lihat tuh
kakak kelasmu yang 3 tahun di sini tak pernah di-ta’zir.” Untung
pernyataannya tidak pernah di-ta’zir, bukan tidak pernah melanggar.
Kalau pernyataan kedua yang dikeluarkan, jelas bukan pernyataan bagus untuk
saya tanggapi.
Serial Trinfinity
[2] Pak Muhammad Arifin Fanani
[3] Buk Setiya Utari