Guru yang Menyapih

— tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Kekaguman pada Nong Darol Mahmada yang sudah lama bermula tak berlangsung istimewa. Dari dulu seperti itu saja dia, wajahnya ... sikapnya ... tak banyak berubah. Saya tak bisa mengingat dengan rapi dan rinci bagaimana saya bisa mulai mengaguminya. Namun sulit untuk tidak menyebut nama Dhani Ahmad Prasetyo, se-nyebel-in apapun dia berulah.

Ada bagusnya juga saya mengagumi Mbak Nong—sapaan saya padanya—sebelum akrab dengan dunia dalam jaringan (internet). Hal ini membuat nama Mbak Nong termasuk sosok-sosok awal yang saya cari namanya melalui mesin pencarian. Tak dimungkiri beberapa posting-an yang arahnya menjatuhkan nama Mbak Nong memang marak. Walau begitu, rasa kagum tak begitu saja bisa dirisak.

Justru dari posting-an seperti itulah saya mantap memilihnya sebagai salah satu role model buat saya. Karena awalnya Mbak Nong dipandang tanpa cela namun menjumpai beberapa posting-an yang isinya mencela dirinya, membuat saya membandingkan keduanya. Salah satu bentuk membandingkannya ialah membicarakan dengan orangtua yang bukannya berusaha menjauhkan dari Mbak Nong malah mendukung saya. Sebagai penegasnya orangtua malah mengapresiasi bahwa saya mulai bisa menentukan pilihan sendiri semadyana.

Kekaguman pada Mbak Nong termasuk kekaguman berkelanjutan, yang setelah dilanjutkan ... matematika. Semakin ditelusuri semakin tidak karuan saja. Terakhir dia membuat saya penasaran dengan The Corrs dan Hypatia of Alexandria. Kebetulan saat itu saya sedang mencari brand musik baru dan sosok puan pemula gelora kajian keilmuan sepanjang linikala peradaban manusia.

Perjumpaan pertama dengan Mbak Nong meninggalkan kesan mendalam buat saya. “The first date is never forgotten,” tutur Valentino Rossi 19 Januari 2017 lalu. Sampai saat ini, perjumpaan pertama dengan Mbak Nong masih sangat berkesan bagi saya. Satu peristiwa yang menempati kapling permanen dalam kalbu.

Saat itu saya ikut serta acara haul Gus Dur. Sebenarnya saya tak berencana ke Ciganjur. Namun oleh teman-teman, saya diajak ke sana. Nyaris tiada moment terkenang hingga saya hendak pulang andai wajah Mbak Nong tak sengaja dipandang tiba-tiba. Dengan berbalut busana hitam dan mengenakan kaca mata, saya segera menyapanya.

“Mbak Nong...” teriak saya di tengah kerumunan yang padat saat itu.
“Hei, sini,” tanggapnya sambil tersenyum melambaikan tangan seakan kami adalah sahabat yang lama tak bertemu.

Saat itu saya sudah diminta keluar oleh penjaga rumah Gus Dur, bersama beberapa orang yang berjejal masuk ke dalamnya. Namun karena penjaga tersebut melihat Mbak Nong tampak akrab menanggapi saya, dia memperkenankan saya begitu saja.

First time sit beside her make me speechless. Duduk tepat di samping sosok yang selama ini dikagumi ... dengan keramahan yang diberi ... tak hanya menghapus rasa lelah seharian keluyuran walakin ikut serta memberi energi tambahan. Saking speechless-nya ungkapan yang keluar dari mulut pun tak terstruktur cenderung ngelantur.

Hanya beberapa menit saja kami berjumpa. Perjumpaan yang nyaris tanpa disertai perbincangan apa-apa. Mata bicara banyak hal saat bibir tertutup rapat tak sanggup menjelaskan yang sedang dirasa.

Saya hanya duduk saja ... memandangi Mbak Nong yang tampak sudah lelah di sampingnya ... sejenak time travelling betapa telah lama saya mengagungkannya walau kami sama-sama manusia biasa. Mata perlu ditahan biar tak banjir karena gembira.

Sebagai penggemar berat, wajar kalau perkara maupun peristiwa seperti ini terus melekat. Tak peduli Mbak Nong terus menerus menerima hinaan dan caci maki, bagi saya dia adalah seberkas sinar pengantar saya untuk menerima segala tatanan Ilahi-Rabbi.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Ada masa-masa ketika saya menyadari kalau sosok seperti Mbak Nong mendapatkan tekanan lebih daripada saya. Mbak Nong ikut serta dalam urusan lingkungan di panggung utama, Jakarta. Hal ini membuatnya mudah mendapat sorotan dari media (massa, sosial, dan petan). Karena dia lebih tua, dia berada dalam keadaan seperti itu untuk jangka waktu yang lebih lama. Dan sepanjang waktu itu, nyaris tak ada perubahan yang ‘membanting’ masa lalunya.

Banyak terjadi saat yang mengecewakan ketika akhirnya kita bertemu sosok yang dikagumi, role model yang senantiasa memberi inspirasi setiap saat. Kalau perjumpaan dengan sosok yang dikagumi berlangsung pada saat yang tidak tepat, rentan memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian tidak diharapkan ini akan mengubah pandangan terhadap role model yang sebelumnya mengakar kuat.

Kita bisa berpikir kalau sosok yang dikagumi ternyata kurang ajar dan angkuh, meski mungkin dia sedang melepas peluh saja. Atau kita telah memiliki gambaran tentangnya, namun rupanya dia tidak sesuai dengan gambaran yang dimiliki sebelumnya. Perjumpaan kadang-kadang bisa mengubah bahkan ‘membanting’ sebuah hubungan. Apalagi saat sosok yang ingin dijumpai dianggap tidak dapat memberi cukup perhatian.

Saya bersyukur perjumpaan pertama dengan Mbak Nong berlangsung pada saat tepat buat kami berdua. Mungkin saya gede rasa saja lantaran perjumpaan tersebut terasa istimewa dikarenakan Mbak Nong tampak berusaha untuk tidak mengecewakan saya. Dan saya tak pernah kecewa dengan perjumpaan itu sepertihalnya tak pernah kecewa menjadi penggemarnya sejak masa persemaian remaja.

Kalau Mbak Nong tampak terlampau saya istimewakan seakan dipuja tanpa cela karena dia memang selalu istimewa bagi saya. Mata yang cinta memang tumpul dari cela. Apalagi selepas pertemuan pertama dengannya. Saya merasa diperlakukan setara dengannya, tak menganggap saya sebagai penggemar yang bisa semena-mena digunakan semau-maunya.

Puan Aries ini hanya melangkah tanpa pernah meminta saya mengikutinya alih-alih memaksa. Namun tanpa permintaan maupun pemaksaan, saya merasa ingin mengikutinya. Salah satunya ialah dengan terus menggunakan Blogger sebagai blog pribadi saya. Dulu saya berusaha mengenali diri maupun gagasan Mbak Nong melalui Blogger-nya. Lalu saya menirunya. Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling luhur dan dalam, tanpa perlu digaungkan dengan kata-kata.

Manunggaling susah-bungah pernah dialami Nong Darol Mahmada akhir Januari 2004 lalu [1]. Saat itu Umi—sapanya pada sang ibu—mengakhiri kesakitan badan yang didera selama sewindu. Buat seorang anak yang memiliki ikatan interaksi intim dengan ibunya, peristiwa ini tentulah melegakan kalbu.

Sayangnya akhir kesakitan badan tersebut adalah perlintasan perpindahan alam. Peristiwa yang menjadi keniscayaan bagi siapapun yang dilahirkan di Alam Raya. Peristiwa biasa saja lantaran semua juga mengalaminya. Namun tetap saja menyuntikkan duka mendalam pada sukma terdalam.

Mbak Nong sangat mencintai Umi. Rasa cinta yang sempat membikin dirinya mengungkapkan ‘protes’-nya pada Ilahi-Rabbi. Ketika Mbak Nong menyaksikan Umi merasakan kesakitan badan dalam waktu lama, dia merasa Sang Pencipta tak bersikap adil pada Umi [2]. Mbak Nong merasakan sekaligus menyaksikan sendiri kasih sayang Umi ditumpahruahkan tanpa pilih kasih. Tapi Sang Penguasa Alam Raya memberinya cobaan yang tampak tanpa belas kasih.

Walau mendapatkan cobaan dengan kesakitan badan terus menerus, iman Umi tak serta-merta tergerus. Umi malah berpesan pada Mbak Nong agar selalu menerima segala takdir-Nya walau pahit dirasa. “Allah sayang sama Umi, Mbak Nong. Kamu jangan begitu sama Allah. Ambil hikmahnya aja,” ungkap Umi pada Mbak Nong yang selalu diingat olehnya [1].

Kecintaan pada Umi-lah yang membuat Mbak Nong selalu kuat dan berserah pada Ilah. Kecintaan yang membikinnya woles dalam menjalani keseharian, tak ngoyo, tak ambisius, maupun tak menggebu-gebu dalam menggubah angan menjadi kenangan [1]. Walau Mbak Nong masih belum bisa memastikan rahasia di balik cobaan berupa penderitaan yang lama didera oleh Umi-nya.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Misteri yang terus menggelayuti sukma membuatnya tak lelah mengungkapkan harapan pada Rabbi untuk Umi. Mbak Nong memang tak sanggup memastikan rahasia di balik cobaan Umi. Hanya saja semenjak Umi-nya berpindah alam, Mbak Nong menyaksikan perubahan drastis pada Abah—sapanya pada sang bapak [3].

Semula Abah adalah sosok yang sangat keras dalam menjalani keseharian. Keras yang dimaksud di sini bukan kasar maupun kejam, melainkan Abah kurang lembut saja. Sosok yang sangat keras tersebut berkelindan dengan pandangan Abah tentang peran istri dalam berkeluarga dan berumahtangga.

Bagi Abah, istri harus melantan keseharian di rumah. Selain sangat keras, Abah juga tampak berjarak dengan anak-anak. Sikap ini memaksa semua anaknya sungkan bahkan takut pada Abah. Kosok balinya, mereka sangat erat dengan Umi. Peristiwa yang menjadi jalan pindah alam sang istri menjadi titik balik epik yang membalik kepribadian Abah hingga saat itu.

Puncaknya, sesudah sang istri berada di dimensi alam berbeda, Abah berubah menjadi sosok yang lemah lembut dan dekat pada anak-anaknya. Abah juga tak lagi ‘menang-menang’-an dalam berpendirian. Malah terus mengapresiasi segala kesamaan dan menghormati segala ketidaksamaan pendirian di keluarganya.

Abah mulai terus mendorong seluruh anaknya agar tak ragu mengambil keputusan. Keputusan untuk menjalani keyakinan buah pergulatan sepanjang perjalanan dengan penuh sikap tanggung jawab [4]. Perubahan Abah tersebut menjadi penghibur Mbak Nong ketika dia penasaran dengan misteri di balik cobaan penderitaan yang didera Umi.

Nama lengkapnya Nong Darol Mahmada. Nong merupakan panggilan untuk puan di Banten, sementara Darol Mahmada diambil dari Bahasa Arab yang artinya tempat (pusat) pujian. Saya menyapanya Mbak Nong. Tak peduli orang lain mau menyapanya dengan sapaan yang terdengar lebih santun dan lebih menghormati hierarki. Tak peduli juga rentang usia kami sangat jauh, hampir dua dekade.

Saya memang terbilang kurang ajar dalam menyapa sesama manusia. Tidak hanya sebatas tanpa penyantuman gelar yang disematkan, kadang juga tak menyapa sesuai sapaan ‘resmi’ yang disandangkan pada mereka. Melalui sapaan kurang ajar, saya merasa lebih bisa mencapainya secara apa adanya.

Cara menyapa tersebut ditiru dari kisah pewayangan ketika Burisrawa menyapa Dewi Subadra. Burisrawa yang notabene raksasa tak memandang dewi dari Mandura berbeda dengannya meski dia mengerti Putri Banoncinawi itu bersemayam di lingkaran yang jauh di atas tingkatannya [5].

Mbak Nong yang lahir di Kampung Jaha, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, 23 Maret 1975 tentu diharapkan Umi dan Abah menjadi seseorang yang bermakna buat semua. Milad-nya selisih tiga hari dengan saya dan bersamaan dengan satu peristiwa penting bagi saya beberapa tahun silam saat masa persemaian remaja.

Immortal memory yang terjadi pada 23 Maret 2007 itulah yang menjadi cikal-bakal penggubahan ungkapan manunggaling susah-bungah. Saat itu saya merasakan kesedihan mendalam yang belakangan sangat saya syukuri dan rasakan menjadi sebuah peristiwa menggembirakan perasaan.

Mbak Nong dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Ayahnya memiliki pesantren serta sekolah Pesantren Annizhomiyah di tanah kelahirannya, namun sejak lulus SD dia dititipkan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Di pesantren asuhan ajeungan Ilyas Ruhiyat Mbak Nong ditempa sepanjang masa remaja, dari SMP hingga SMA [6].

Mbak Nong merasa beruntung berkesempatan menempa diri (nyantri) di sana sekaligus menjalani keseharian dekat dengan sang ajeungan [7]. Menyaksikan sendiri keseharian Pak Ilyas—caranya menyapa sang guru—yang bersahabat dan menyenangkan disertai kepribadian konsisten, laras, dan tegas.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Sepanjang enam tahun di Cipasung, Mbak Nong tinggal di rumah Pak Ilyas, di Asrama Esa. Tinggal di Asrama Esa memberinya pengalaman bermakna. Pasalnya dirinya berkesempatan menyaksikan dan merasakan keseharian Pak Ilyas dalam berkeluarga dan berumah tangga hingga sebagai guru dan sosok panutan masyarakat.

Seperti tradisi pesantren nahdliyin, pengajian asuhan Pak Ilyas hanya diikuti oleh santri senior. Santri junior seperti Mbak Nong belum berkesempatan mengikuti pengajian yang diasuh langsung Pak Ilyas. Walau demikian, tinggal di Asrama Esa membuat Mbak Nong mendapatkan pengajian yang lebih ketimbang ikut serta mengaji seperti santri lainnya yang lebih senior.

Hubungan mereka bahkan tampak seperti ayah dan anak. Pak Ilyas penuh perhatian dengan mengingatkan Mbak Nong secara langsung ketika bersikap tak sepantasnya. Hubungannya dengan Ibu Dedeh Fuadah istri sang ajeungan pun seperti ibu sendiri. Ibu Dedeh menjadi guru mengaji pertamanya di pesantren ini.

Mbak Nong turut merasakan cinta Pak Ilyas pada istrinya serta kasih sayang Pak Ilyas dan Ibu Dedeh pada seluruh buah hati keduanya. Bagi Mbak Nong, Pak Ilyas adalah sosok ayah teladan yang tak mengekang anak-anaknya untuk menjalani keseharian sesuai pilihan mereka.

Pak Ilyas yang mengasuh pesantren besar ini tak mengekang tempat belajar anak dengan hanya mengijinkan nyantri atau setidaknya menjadi pelajar IAIN maupun perguruan tinggi di Timur Tengah. Dia tak memaksa anak-anaknya melanjutkan posisinya sebagai pengasuh Pesantren Cipasung.

Ruang cinta putrinya pun tak dibelenggu, Pak Ilyas tak menjodohkan putrinya dengan sesama anak ajeungan dan pintar mengaji. Acep Zam Zam Noor, anak sulung Pak Ilyas, dikenal sebagai seniman. Dia dulu kuliah di Seni Rupa ITB yang diselesaikan hingga tuntas. Dua adiknya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu menyelesaikan kuliahnya di IKIP Bandung (sekarang UPI).

Ketiganya akhirnya menikah dengan pasangan yang bukan berlatar belakang pesantren. Meski tak menguasai kitab kuning sepertihalnya orangtua mereka, ketiga anak beserta pasangan selalu bahu membahu untuk mempertahankan dan mengembangkan pesantren.

Selama nyantri di Cipasung, Mbak Nong juga merasakan sendiri hubungan pihak pesantren dengan masyarakat sekitar. Dia merasakan adanya kebersamaan dan kedekatan antara pesantren dan masyarakat sehingga tercipta keharmonisan lingkungan.

Pak Ilyas, selain menjadi pengasuh pesantren, juga mengemong masyarakat. Tak hanya ikut terlibat menjaga dan membangun masyarakat yang satu pandangan, juga dengan masyarakat yang berbeda pandangan. Sikap Pak Ilyas inilah yang membuat Mbak Nong merasa aneh ketika dia melihat beragam pertikaian yang disebabkan perbedaan pandangan.

Pengalaman yang didapat di Cipasung membentuk karakter kuat padanya. Karakter yang terus dia kembangkan selanjutnya. Sesudah meninggalkan Cipasung, Mbak Nong melanjutkan pendidikan formalnya ke IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang dikenal UIN Ciputat). Semangat besar dalam ber-thalab al-‘ilmi membuatnya tak puas dengan pelajaran yang didapat di kelas.

Mbak Nong rajin mendatangi beragam forum diskusi dan seminar. Dia tak segan berdiskusi, berdebat, maupun sekedar berungkap pendapat dengan liyan. Sepanjang menjalani kebiasaan ini, Mbak Nong dikenal sebagai sosok yang yakin diri serta rendah hati ketika mengungkapkan isi hati. Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) adalah tempat nongkrong paling dia gemari [8].
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Mbak Nong memang senang terlibat obrolan [9]. Obrolan menjadi semacam ritual wajib di luar kesibukannya. Selalu saja ada waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan dengan siapa saja. Obrolan dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta memperkaya sedangkan dengan mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain tersendiri.

Dari obrolan inilah Mbak Nong mulai banyak tahu seputar politik, film, sastra, hingga seni. Walau demikian, kalau dia tak tahu, dia mengakui. Seperti untuk urusan ekonomi. Malah Mbak Nong tampak woles kelihaiannya memasak kalah gemilang ketimbang suami.

Mbak Nong ditempa pada lingkungan yang erat dengan puan. Ketika di Labuan, dia sangat dekat dengan Umi. Hijrah ke Cipasung pun serupa. Bahkan kedua buah hatinya pun puan. Andrea Azalia Ardhani Wibowo, nama lengkap putri pertama yang sangat disayanginya. Putri pertama yang mewarisi kecantikan dan tumbuh menjadi wonder woman laiknya sang ibu ini biasa disapa Dea atau Ea [3].

Dea yang lahir pada 09 Agustus 2004 merupakan anak satu-satunya dari pernikahan Mbak Nong dan Indra Budhi Wibowo. Dea menjalani masa kecil yang berat ketika harus merasakan keseharian di tengah ayah dan ibu yang memilih berpisah. Sesudah perpisahan tersebut, Dea tinggal bersama sang ibu.

Mulanya Mbak Nong tak hendak menamai buah hati yang dilahirkan melalui ceasar di RS Bunda ini dengan nama Andrea. Jauh-jauh hari sudah dipersiapkan nama buat buah hatinya. Hanya saja, setelah keadaan tak memperkenankannya melewati proses persalinan dengan normal, Mbak Nong yang biasa kuat justru gugup.

Sosok yang biasa tak ragu berungkap isi hati ini merasa ngeri membayangkan harus menjalani operasi. Di tengah rasa gugup yang merisak, Mbak Nong merasakan ketenangan ketika menikmati karya The Corrs, grup asal Dundalk.

Mbak Nong memang penggemar berat grup musik beranggotakan empat buah hati pasangan Gerry Corr dan Jean ini. Andrea Jane Corr, lead vocalist dan tin whistler di grup ber-genre utama folk rock adalah anggota paling digandrungi. Andrea sendiri di The Corrs menjadi punggawa termuda yang usianya sebaya dengan Mbak Nong sendiri (Andrea lahir pada 17 Mei 1974) [10].

Merasakan ketenangan ketika menikmati karya The Corrs terutama suara istimewa Andrea, timbul keinginan memberikan nama Andrea untuk buah hatinya. Baginya, Andrea adalah nama yang melintas batas laki dan puan. Dea pun tumbuh menjadi lovejoy yang kerap memperlihatkan rasa ingin tahunya.

Sebagai ibu muda, Mbak Nong sempat dibikin bingung cara menjawab pertanyaan Dea tentang kelahirannya. “Aku keluar dari mana sih dulu (maksudnya ketika lahir)?” tanya Dea satu waktu. Pengalaman semacam ini membuat Mbak Nong belajar cara menjelaskan pada anak-anak. Bahkan Dea pernah bertanya tentang siapa Tuhan yang ditanggapi Mbak Nong dengan jawaban, “Tuhan itu yang menciptakan mama, Dea, dunia ini, dan memeliharanya.”

Sejak kecil juga Dea menunjukkan kelincahan. Tak heran jika Dea bisa dengan mudah meniru tarian ala Cherry Belle dan JKT48, grup penggelinjang yang digemarinya. Kebersamaan dengan Dea menjadi surga bagi Mbak Nong ketika dia harus menghadapi kegagalan membina keluarga dan rumah tangga dengan ayah kandungnya Dea.

Kamu Kamulah Surgaku, karya Dhani yang dipakai sebagai ungkapan sekaligus penghiburan bagi ketiga buah hatinya dengan Maia Estianty, menjadi langgam yang dipersembahkan pada Dea ketika Mbak Nong masih menjadi orangtua tunggal baginya [11].

Kebetulan tahun itu Mbak Nong menjadi penyunting buku Pergulatan Iman yang turut memuat obrolannya pada 02 Oktober 2003 dengan Dhani terkait pergulatan iman yang pernah dialami pemusik genius ini [12]. Beruntung perpisahan ini tak disusuli pertengkaran menyebalkan ala Dhani-Maia sehingga tak banyak merisak sukma buah hati.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Kebiasaan terlibat obrolan pula yang menjadi perantara Mbak Nong kembali mengisi lubang kosong di hatinya. Sebuah lubang menganga yang sempat tak terisi oleh kasih sayang seorang laki. Satu lubang yang sempat membuatnya sepi dalam kesendirian.

Setelah terlibat persahabatan cinta yang tulus dengan Mohamad Guntur Romli, keduanya lalu bersama melaras hati. Berkelana bersama mengiris janji melantan keharmonisan dalam ikatan azam yang ditandai dengan proklamasi revolusi cinta dalam bingkai keluarga dan rumah tangga pada 25 Juli 2010.

Proklamasi keduanya bertempat di aula Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Satu sisi telah terhapus menyisakan perih yang dalam. Satu sisi telah terlahir menghapus sunyi yang panjang. Satu sisi melimpah berkah memeluk lelah.

Buat Mbak Nong, pernikahan dengan Guntur merupakan pernikahan keduanya. Sementara bagi laki kelahiran Situbondo 17 Maret 1978, pernikahan ini menjadi start, finish, dan satu-satunya. Guntur menyadari bahwa menduakan pasangan merupakan kelakuan tak religius dan bertentangan dengan pengalaman pribadi Adam.

Mbak Nong dan Guntur bukan semata saling memerankan diri sebagai mitra selakangan pasangan. Sebagai dua manusia yang seideologi dan seperjuangangitu kalau ngikutin istilah butcah radikal—Mbak Nong dan Guntur juga bisa saling memperkaya dan mewarnai unjuk pikiran maupun perasaan.

Mbak Nong bahkan meminta mahar pernikahannya dengan Guntur berupa sebuah buku. Mahar pernikahan merupakan hak bagi puan [13]. Menentukan mahar dengan caranya sendiri merupakan gambaran kemandirian. Apalagi mahar yang diminta sederhana, menulis sebuah buku.

Bukan bermaksud menganggap enteng perjuangan Guntur dalam mempersembahkan mahar tersebut, namun dengan menyebut sederhana sebagai bentuk pengakuan terhadap keberhasilan melewati serentetan proses yang rumit. Sederhana tampak biasa saja, namun di balik sederhana tersimpan ke-ruwet-an yang luar biasa. Sederhana bukanlah perkara remeh dan sepele.

Apa tidak ruwet namanya kalau Guntur harus jungkir-balik menyelami ragam macam pemaparan unjuk pikiran tentang puan? Belum lagi dia melakukan time travel dengan mengenang kembali peristiwa yang pernah dialami dan dirasakan sendiri. Semua perjuangan melaras peristiwa dan perkara guna memeras makna dilakoni sepenuh hati sebagai persembahan untuk pujaan hati.

Jadilah sebuah buku berjudul Muslim Feminis : Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam sebagai mahar sederhana yang terkenang manis. Terlebih dalam perjuangan menyelesaikan penulisan buku ini, Dea ikut serta memperhatikan. Sesekali Dea ikut berkomentar pada laki yang mulanya disapa ‘om’ dan belakangan menjadi ayahnya baginya.

Walau demikian, Mbak Nong dan Guntur saat memulai revolusi cinta mereka pada 13 Juni 2010 tampak tak berpikir dulu. Revolusi cinta yang mereka lakoni berjalan seperti orang berhitung barengan dimulai dari 0 kayak di SPBU. “Dimulai dari 0 ya, sampai angka terakhir,” tanpa mikir dulu kalau sudah menghitung 0, 1, 2, 3, 4, terus menerus tidak akan bisa berakhir.

Kebersamaan keduanya semakin indah dirasa berdua dengan kehadiran Alexandria Hypatia Mohamada, putri kedua Mbak Nong yang lahir pada 21 Maret 2011 [14]. Nama putri yang disapa Sasha ini diadaptasi dari Hypatia of Alexandria.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Nama adalah harapan dari pemberi nama kepada yang diberi nama. Selain diucapkan dalam serentetan rangkaian ritual ibadah mahdhah, harapan juga bisa diungkapkan melalui sebuah nama yang disandangkan. Harapan yang dihembuskan oleh orangtua sedari dini dalam suasana bahagia melalui sebuah nama tentu akan terus menyerta dan memberi daya dorong luar biasa tanpa bisa sirna.

Hypatia of Alexandria sendiri merupakan puan terpandang dalam kajian ilmu alam saat kajian ini masih didominasi oleh kaum laki [15]. Selain menekuni ilmu alam, terutama matematika dan astronomi, puan yang diperkirakan berada di Bumi antara 350–70 M dan pindah alam pada 415 M juga ikut serta mengajarkan pada lingkungan.

Sayang, sosok yang dikenal mengutamakan kajian logika ini mengalami nasib tragis. Hanya karena dianggap sebagai dalang penistaan agama, Hypatia of Alexandria tewas setelah dibunuh oleh gerombolan orang yang tersinggung. Meski melakukan kekejaman, tersirat bahwa gerombolan tersebut mengakui bahwa Hypatia of Alexandria merupakan sosok yang sanggup menggerakkan kerumunan.

Ditilik dari arti katanya, ‘Hypatia’ merupakan bentuk feminin dari ὕπατος (baca: upatos) yang bermakna ‘tertinggi’ [16]. Alexandria sendiri yang melekat pada Hypatia merupakan nama kota di Mesir, negeri tempat Guntur pernah kuliah. Sementara Mohamada merupakan paduan nama Mbak Nong dan Guntur, paduan yang bisa berdiri memiliki makna sendiri maupun dimaknai sendiri.

Sebagai puan yang sepanjang menggelinjang erat dengan puan, Mbak Nong tertarik menggeluti segala hal terkait puan. Mulai dari teori-teori sosial, isu-isu, hingga karya kaum puan. Selain Andrea punggawa The Corrs dan Hypatia of Alexandria, sosok puan lainnya juga turut digandrunginya, mulai dari Fetima Mernissi (Maroko), Aisyah Abdurrahman (Mesir), Rifaat Hasan (Pakistan), Nawal El Saadawi (Mesir), hingga Irshad Manji (Kanada).

Tak jarang dalam beberapa perkara maupun peristiwa saya merasa ada kesamaan antara kami berdua. Rasa sama itulah yang mungkin membikin saya mengaguminya. Tak dimungkiri, dalam beberapa perkara maupun peristiwa lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Hanya saja, kalau ada satu titik yang bisa menyatukan, untuk apa mempermasalahkan titik lain yang bisa menceraikan?

Mbak Nong tetaplah Mbak Nong, yang terus melangkah tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara. Karena wanita memang sulit dimengerti sepenuhnya, walau dirinya senantiasa menggembirakan rasa. Sebagai penggemar beratnya, tak sedikit dari banyak hal yang saya elaborasi, Sutan Ibrahim Tan Malaka misalnya, berangkat darinya.

Saya beruntung menggemari sosok yang apresiatif seperti Mbak Nong ini. Tanpa merasa kehilangan muruah dia mengungkapkan sosok lain yang dikagumi. Sikap ini membuat kekaguman yang ada menjelma sebagai kekaguman berkelanjutan, membukakan jalan untuk mengelaborasi sendiri.

Misalnya, saya sangat mengagumi Mbak Nong sejak lama dan kemudian kagum sekali pada Hyptia of Alexandria [Ὑπατία Hupatía]. Jika sosok yang saya kagumi mengaku mengagumi Hypatia sampai menjadi nama putri keduanya, bisa dibayangkan betapa kagumnya saya pada Hypatia.

Setahu saya dan menurut pengakuannya, Mbak Nong adalah pemeluk Islām [الإسلام‎‎], walakin seberapa besar kadar ke-Islām–an Mbak Nong, saya tidak tahu menahu dan tidak perlu mencari tahu. Dalam kitab mulia al-Quran [القرآن الكريم] dituturkan:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ۞ [القرآن الكريم سورة البقرة : ٢٠٨]
Mbak Nong tentu memiliki penafsiran tersendiri terhadap kata كَافَّةً, yang mungkin memiliki banyak penafsiran.

Tak jarang Mbak Nong menunjukkan penafsiran tersendiri darinya terhadap al-Quran. Salah satunya ialah dengan berunjuk karya melalui catatan. Beberapa catatannya memantik semangat catatan lain untuk menanggapi guna memberi dukungan dan tolakan dengan cara yang sama dalam beragam bentuk yang tersedia. Sebagian lainnya menggunakan cara kejam dalam menanggapi, seperti berungkap semaunya dan bersikap tak sepantasnya terhadap sesama manusia.
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci
Bila menyempatkan waktu untuk sejenak membaca kemudian menelaahnya, catatan Mbak Nong memang tak terlampau megah dalam hal pembaruan gagasan. Namun melalui catatan yang ditampilkan, dapat dilihat keterkaitan pengalaman personal dan pergaulan sosial dengan wawasan keilmuan. Catatan Mbak Nong banyak memuat cupilkan kajian lintas ruang dan waktu, menampakkan perjalanan gagasan sejak zaman kekunoan hingga kekinian.

Membaca catatan Mbak Nong seakan berhadapan dengan sebuah peta yang disusun mengagumkan. Walau tak selalu sepakat dengan cuplikan yang dimuat, khazanah keilmuan yang dia lumat ditunjukkan. Melalui lumatannya Mbak Nong berupaya mengaitkan dengan pengalamannya sendiri maupun pergaulan yang dihadapi. Dari sini dia mulai berunjuk gagasan untuk ikut serta membangun lingkungan dengan penuh yakin diri.

Dengan demikian, tampak jelas perjalanan gagasan tidak seperti terpenggal. Selain itu juga sebuah kajian tak lepas dari lingkungan sosial dan pengalaman personal. Pada sisi cara inilah Mbak Nong amat menawan dan sangat istimewa buat saya. Penuturan berisi dan tertata rapi disertai keterkaitan dengan kecenderungan keadaan yang ada menjadi cara kesukaan saya. Itu tak lepas dari pengaruh Mbak Nong. Pengaruh yang dengan gembira senantiasa saya emong.

Mbak Nong tanpa sengaja telah mengajarkan ijtihād [اجتهاد‎‎], yang buat saya merupakan upaya untuk mempertahankan kaitan antara landasan agama dengan pergaulan sosial dan perjalanan personal. Upaya tersebut membuat ruang ijtihād terbuka menganga untuk semua orang, dipandang high intellectual maupun low intellectual, dianggap sebagai sosok picisan maupun sosok fenomenal.

Mengenai hasil ijtihād, tinggal diserahkan pada lingkungan. Kalau hasil ijtihād tersebut dipandang berguna untuk ruang rasa tanpa merisak ruang rasa manusia lainnya, tak masalah ijtihād tersebut mendapatkan penerimaan. Kalau tak dianggap demikian, cukup diabaikan saja, sehingga tanpa perlu bertindak kejam, ijtihād yang diabaikan akan mangkrak tak mengalami perkembangan. Di sinilah tampak penting terjadi sebuah perjumpaan maupun perbincangan, supaya rasan-rasan yang menggelayuti batin tak merisak pergaulan.

Lebih lanjut, cara yang ditunjukkan Mbak Nong dalam menafsirkan al-Quran membuat pembedaan pendekatan aqliyyah [عقلية] dan naqliyyah [نقلية] tampak sirna buat saya. Pendekatan naqliyyah biasa memaknai teks dengan merujuk sumber-sumber tekstual dalam mengambil kesimpulan. Namun dalam praktiknya, dalam proses pengambilan kesimpulan tersebut, kemampuan akal juga berpadu bersama. Ketika teks al-Quran dibaca, tentu akal ikut serta nego dengannya, membentuk ruang tersendiri ketika akal menyediakan cakupan dan teks al-Quran memberikan batasan. Kalau begitu, untuk apa dianggap beda? Mengapa harus saling dipertentangkan?

Pengaruh Mbak Nong yang paling megah buat saya ialah dalam memandang sebuah persoalan perlu ditilik dari beberapa sisi, paling tidak dari dua sisi yang saling dipertentangkan. Misalnya dalam persoalan `Ādam ketika memetikkan buah terlarang untuk menuruti kemauan Hawa. Sebagian kalangan girang betul menyebut Hawa adalah biang keladi terusirnya manusia dari Surga dan terdampar di planet Bumi hingga perbuatan tersebut dianggap sebagai kesalahan. Namun tanpa kemauan Hawa itu, tujuan awal penciptaan manusia sebagai khalīfah di Bumi bisa jadi tak akan terlaksana.

Tanpa ada perbuatan tersebut, mungkin Hawa dan `Ādam selamanya menjadi penghuni surga. Barangkali pula ungkapan bahwa “wanita tak pernah salah” ada tepatnya, karena dari peristiwa Hawa bisa dilihat kesalahannya pun memiliki kebenaran. Pula menunjukkan bahwa sejak awal pria memiliki sisi lemah terhadap wanita. Tak dimungkiri wanita sanggup membuat pria merangkak di hadapannya untuk memohon kasih sayang dengan penuh rasa sumringah, selantang apapun pandangan rendah terhadap wanita digaungkan.

Dengan atau tanpa sadar, pada titik ini pria justru berlaku lebih rendah di hapan wanita. Tak salah kalau salah satu bagian tubuh wanita  iberi nama dengan mencuplik asmā’ Allāh al-ḥusnā, ialah Raḥīm [رحيم]. Dengan atau tanpa sadar pula, pada titik ini Mbak Nong dengan gagah meluruhkan pengaruh pada saya. Pengaruh untuk tak lelah menebarkan sifat raḥīm, melawan perbuatan zalim.

Mungkin Mbak Nong tak semenawan Aspasia dalam berjuang bersama Periklēs membangung lingkungan [15]. Barangkali Mbak Nong tak segagah ‘Ā’isha [عائشة‎‎] dalam berunjuk peran di tengah pergaulan lingkungan [17]. Bolehlah Mbak Nong tak sepenting Ḥafṣah [حفصة] dalam berperan menyusun teks al-Qur’an [18][19]. Bisa jadi segala usaha Mbak Nong tak berdampak banyak laiknya Émilie du Châtelet dalam mengembangkan gagasan [15]. Walau demikian, Mbak Nong tetap menempati kapling permanen dalam kalbu sepanjang saya bernafas. Kita bisa berbeda pandangan, tak dimungkiri kadang berlawanan, namun Mbak Nong tetap manusia yang laras, wanita yang tegas, panutan yang pantas.

Wabakdu, pengaruh dari Mbak Mbak Nong tak lekang sepanjang waktu merentang. Memang rasa kagum tampak perlahan berkurang. Namun bukankah berkurangnya rasa kagum justru karena Mbak Nong memberikan kekaguman berkelanjutan? Mbak Nong terus menerus memperkaya dan mewarnai sepanjang saya mengayuh perjalanan. Buat Mbak Nong yang terus seperti itu, semoga keteladanan darimu membuahkan riḍhā Allah selalu.

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞ [القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢]
Guru yang Menyapih — tak melayang dipuji, tak tumbang dicaci

References
[1] Mahmada, N.D. (2008). Umi. Blog Nong Darol Mahmada, 15 Januari. [view]
[2] Christanty, L. (2003). Is there a rainbow in islam?. Latitude Magazine, July 2003. [view]
[3] Mahmada, N.D. (2007). Andrea. Blog Nong Darol Mahmada, 20 November. [view]
[4] Zam, F. (2017). Menyalakan spirit kiai rafe’i ali. Alinea TV, 09 Januari. [view]
[5] Tejo, S.. (2013). Kang mbok: sketsa kehidupan sri teddy rusdy. Jakarta Selatan : Yayasan Kertagama. [buy here] [alobatnic hard-file collection]
[6] Mahmada, N.D. (2007). Profil pengguna blogger. Blog Nong Darol Mahmada, 23 Maret. [view]
[7] Mahmada, N.D. (2007). Kh. ilyas ruhiyat, guruku, telah tiada. Blog Nong Darol Mahmada, 22 Desember. [view]
[8] Affiah, N.D. (2017). Ulang tahun nong darol mahmada. Facebook Neng Dara Affiah, 23 Maret. [view]
[9] Umam, N.J. & Sihite, E. (2009). Demi masa depan anak. Koran Jakarta, edisi 303 12 April. [view archive]
[10] Reges, M. (2007). Andrea Corr. Allmusic, 24 November 2015. [view]
[11] Mahmada, N.D. (2008). Kamu-kamulah surga. Blog Nong Darol Mahmada, 21 Februari. [view]
[12] Mahmada, N.D. (2008). Tentang buku “pergulatan iman”. Blog Nong Darol Mahmada, 19 Agustus. [view]
[13] Romli, M.G. (2010). Muslim feminis polemik kemunduran dan kebangkitan islam. Jakarta Pusat : Yayasan Freedom Institute. [view intro]
[14] Mahmada, N.D. (2017). Sasha. Instagram Nong Darol Mahmada, 21 Maret. [view]
[15] Arditti, R. (1980). Feminism and science. Science and liberation, hlm. 350-68. [view]
[16] Liddell, H.G. & Scott, R. (1940). A greek-english lexicon. Oxford. Clarendon Press. [view]
[17] Geissinger, A. (2011). ‘A’isha bint abi bakr and her contributions to the formation of the islamic tradition. Religion Compass, 5(1), 37-49. [view]
[18] Khan, R. Y. (2014). Did a woman edit the qur’ān? hafṣa and her famed “codex”. Journal of the American Academy of Religion, 82(1), 174-216. [view]
[19] Geissinger, A. (2017). No, a Woman Did Not “Edit the Qurʾān”: Towards a Methodologically Coherent Approach to a Tradition Portraying a Woman and Written Quranic Materials. Journal of the American Academy of Religion, 0(0), 1-30. [view]

Additional References
 [1] Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. (2009). How to design and evaluate research in education (7th ed.). New York. McGraw-Hill Companies. [view]
[2] Yow, V.R. (2005). Recording oral history a guide for the humanities and social sciences (2nd ed.). Walnut Creek: Altamira Press. [view]

Further Reading about Mbak Nong
Christanty, L. (2003). Is there a rainbow in islam. Latitude Magazine, July, 30. [visit]
Umam, N.J. & Sihite, E. (2009).  Demi masa depan anak. Koran Jakarta, edisi 303 12 April. [visit archive]

[Selected] Piece of Mbak Nong
as Author
(1994). Memunculkan ayat yang terabaikan. Dalam Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Qur'an, Edisi Khusus No. 5 dan 6, Vol. V, Th 1994.
(2001). Membangun fikih yang pro-perempuan. Majalah TEMPO NO. 22/XXX/30 Juli - 5 Agustus 2001. [visit source] [visit archive]
(2001). Hijabisasi perempuan di ruang publik. IslamLib, 25 November. [visit]
(2002). Fatima mernissi rebel for the sake of women. IslamLib, 01 Mei. [visit archive]
(2003). Menjawab terorisme dengan islam warna-warni. IslamLib, 09 Februari. [visit]
(2003). Terorisme dan Demokratisasi di Indonesia. Ditampilkan dalam Program of Global Youth Exchange, Japan Government, Japan, Februari 2003. [visit]
(2003). A Critic upon jilbab. IslamLib, 05 April. [visit archive]
(2003). Kritik atas jilbab. IslamLib, 17 April. [visit]
(2003). When they say your husband is a terrorist. Latitude Magazine, July. [visit archive]
(2004). Moderate indonesian muslim rejection of the us attack on iraq. Kyoto Review of Southeast Asia, Issue 5 (March 2004), Islam in Southeast Asia. [visit]
(2004). Kilas balik aksi muslim moderat indonesia menolak serangan as ke irak. Kyoto Review of Southeast Asia, Issue 5 (March 2004), Islam in Southeast Asia. [visit]
(2006). Perempuan dan kue donat. IslamLib, 16 Oktober. [visit]
(2007). Peraturan daerah syariat dan perempuan. Koran Tempo, 07 April. [visit archive]
(2007). Nabi itu monogami. Majalah Gatra no. 3/XIV, 5 Desember 2007. [visit source] [visit archive]
(2008). Muslimah lesbian yang gigih menyerukan ijtihad. Dalam Mariana Amiruddin (penyunting), Jurnal Perempuan, No. 58, Maret 2008, Seksualitas Lesbian, hlm. 136-145. [visit source] [visit archive]
(2008). Kado kartini dan partisipasi perempuan. Seputar Indonesia, 06 April. [visit archive]
(2008). Kartini dan islam. Koran Tempo, 22 April. [visit source] [visit archive]
(2008). Irshad manji dan muslim refusenik. Media Indonesia, 25 April. [visit archive]
(2011). Satu istri. IslamLib, 30 September. [visit]
(2015). Fatima mernissi. IslamLib, 28 Juni. [visit]
(2016). Islam dan perempuan. Inspirasi.co, 21 Januari. [visit]
(2016). Lgbt mulia di sisi allah. Deutsche Welle (DW), 01 Maret. [visit]
(2016). Keadilan untuk korban kekerasan seksual. Satu Harapan, 05 Desember. [visit]
(2016). Sunat perempuan, untuk apa?. Deutsche Welle (DW), 25 Mei. [visit]
(2016). Jilbab, kewajiban atau bukan?. Deutsche Welle (DW), 11 Juli. [visit]
(2016). Jilbab warna-warni. Deutsche Welle (DW), 19 Juli. [visit]
(2016). Tak semata hindari Zina. Deutsche Welle (DW), 26 September. [visit]
as Editor
(2003). Dalam Novriantoni Kahar dan Oppie Tj (Author), Kritik atas jilbab. Jakarta Selatan : The Asia Foundation. [visit intro]
(2008). Dalam Pergulatan iman : munir, ahmad "dewa" dhani, dee lestari, ayu utami, garin nugroho, faisal basri, arief budiman, dll. Jakarta : Nalar. [visit intro]
(2010). Dalam Mohamad Guntur Romli (Author), Muslim feminis: polemik kemunduran dan kebangkitan islam. Jakarta Pusat : Freedom Institute. [visit intro]
(2012). Dalam Mohamad Guntur Romli (Author), Syahadat cinta rabi'ah al-'adawiyah. Jakarta Selatan: Rehal Pustaka. [visit intro]
(2013). Dalam Mohamad Guntur Romli (Author), Islam tanpa diskriminasi: mewujudkan Islam rahmatan lil alamin. Jakarta Selatan: Rehal Pustaka. [visit intro]
(2016). Dalam Mohamad Guntur Romli dan Tim Ciputat School (Author), Islam kita, islam nusantara: lima nilai dasar islam nusantara. Tangerang Selatan : Ciputat School. [visit]