— paduan yakin diri
dan rendah hati memanfaatkan kecantikan
Perkembangan
seni fotografi dan industri busana membuat kebutuhan terhadap model
(peragawati) ikut terdongkrak. Model menjadi bidang yang mulai digeluti
oleh banyak pihak. Tak sekadar sebagai pekerjaan sampingan, melainkan menjadi
karier utama seseorang. Bahkan beberapa model bisa membuka lapangan
pekerjaan sebagai tambang uang.
Model merupakan pekerjaan yang bergerak dalam bidang jasa
untuk menampilkan busana dan/atau menjadi objek pemotretan. Seperti jenis
pekerjaan lain, menjadi model juga memiliki keuntungan dan kerugian. Tak
dimungkiri memang menjadi model bisa memberi kegembiraan tersendiri,
terlebih jika dilakoni sepenuh hati. Namun tak disangkal pula bahwa banyak
tantangan yang dihadapi, apalagi kalau sudah berada pada posisi tinggi.
Keuntungan
menjadi model, antara lain, menjadi panutan dalam penampilan. Penampilan
badan seorang model biasa dianggap sebagai acuan. Karena menjadi acuan, model
mudah dikenal oleh banyak kalangan. Dikenal banyak kalangan memudahkan model
untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga menggunakannya sebagai
sarana meraih penghasilan.
Keuntungan
tentu sebanding dengan kerugian yang didapatkan. Anggapan sebagai acuan dalam
berpenampilan membuat model seakan dituntut untuk senantiasa
memperhatikan penampilan badan. Perhatian dapat berupa perawatan fisik,
pemilihan busana yang dikenakan, hingga perilaku ketika mengenakan busana tertentu.
Ditambah dengan tingkat keterkenalan yang tinggi, tuntutan tersebut membuat
perjalanan pribadi model cukup terganggu.
Keuntungan
dan kerugian tersebut disadari dengan baik oleh Lola Zieta Azelien, perempuan
kelahiran Blitar, Indonesia. Lola, sapaannya, termasuk perempuan inspiratif
berusia muda. Pasalnya, Lola terbilang total dalam mendalami kesenangannya.
Lola yang
lahir pada 17 Maret 1995 dibesarkan dalam keluarga kelas menengah. Sejak kecil
dirinya sudah jatuh hati dengan dunia gambar. Sampai akhirnya Lola memilih
Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia Yogyakarta untuk
melanjutkan pendidikan formal sekaligus mendalami ranah visual secara formal.
Dunia cosplay (Indonesia: permainan kostum, Jepang: コスプレ/Kosupure)
mulai menarik hati Lola.
Cosplay adalah kegemaran mengenakan pakaian beserta hiasan
dan riasan seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng,
permainan video, dan film kartun. Pelaku permainan kostum disebut pemain
kostum/cosplayer.
Buat
sebagian orang, menjadi cosplayer adalah kegemaran yang menyusahkan.
Kudu berusaha keras untuk mencari kostum yang sesuai dengan diri dan karakter
yang diperagakan. Sudah begitu harus susah payah agar dapat memeragakan
karakter-karakter sembari berjalan di antara keramaian.
Walakin buat
sebagian lain, cosplay dirasa sebagai kegiatan yang memberi kepuasan
tersendiri.Bahkan tak sedikit yang melakukannya sebagai jalan untuk bisa
terkenal sekaligus memberi keuntungan finansial. Lola termasuk dalam himpunan
yang tak sedikit itu.
Kakak dari
dua adik lelaki ini memulai kegemaran sebagai cosplayer sejak 2013.
Sekarang, cosplay sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Catatannya
sebagai cosplayer tak bisa dipandang setengah mata. Sudah puluhan pop
culture event diikuti oleh Lola. Misalnya Indonesia Comic Con, Anime
Festival Asia, Ennichisai, dan CLAS:H. Bahkan Lola pernah mewakili Indonesia
dalam acara Tokyo Game Show 2016.
Lola
terbilang memiliki totalitas sebagai cosplayer. Meskipun mulanya
perekonomian Lola tak bisa disebut menguntungkan, dia tak ragu untuk
menggelontorkan banyak uang. Paling sedikit Lola memerlukan Rp.800.0000 untuk
memeragakan satu karakter. Uang sejumlah itu dipakai untuk menyewa wig,
sepatu, kostum, soft lens, dan aksesori.
Walau
begitu, Lola mengaku ada beberapa hal yang membuatnya tak senang ketika menjadi
cosplayer, seperti ketika harus memakai soft lens lebih dari tiga
jam. Lola tak senang dengan hal ini karena membuat matanya tak nyaman bahkan
sempat mengalami iritasi. Kulit kepalanya juga pernah lecet karena wig.
Sebagai cosplayer,
Lola memiliki beberapa sosok role model. Mulai dari Jannet Incosplay, Alyson Tabbitha, Irine
Meier, Petrovich Gesha, Elena Samko, Gym Cosplay, M Mellu, Fink Fink, Oniksiya,
hingga Non Summerjack. Dari semua karakter yang pernah diperagakan oleh Lola,
dirinya mengaku paling senang menjadi perempuan petarung, seperti dimainkan
oleh Tifa Lockhart (Final Fantasy VII), Mikasa Ackerman (Attack on
Titan), Jun Kazama (Tekken), Mai Shiranui (King of Fighter),
Nico Robin (One Piece), dan Motoko Kusanagi (Ghost in the Shell).
Nama terakhir tersebut dianggap paling sulit diperagakan oleh Lola.
Kesenangan
menjadi perempuan petarung membuat Lola berkhayal bisa punya kekuatan dari Guts,
salah satu karakter dalam Berserk, anime kesukaannya. Kesenangan dan
khayalan ini memang didasari naluri Lola yang senantiasa ingin menerjang setiap
penghalang kemauannya untuk terus maju mewujudkan impian. Tak heran kalau Lola
belajar teknik bela dari. Bahkan meski memiliki ukuran kesintalan badan
menawan, Lola enggan dijuluki seksi. Dirinya mengaku lebih senang dibilang
sebagai “a boy with a pair of boobs”.
Lola tak
lelah menekuni dunia visual bukan semata memuaskan hasratnya, tidak juga
sekadar menggembirakan orangtua dan kedua adiknya. Namun, untuk memberi
motivasi dan inspirasi buat sesama manusia biasa, khususnya orang yang merasakan
hidup dengan ekonomi yang terbilang ‘pas-pasan’.
Orangtua
Lola bekerja sebagai penjual lele dengan lapak yang kecil. Penghasilannya
memang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok harian, tapi perlu memutar otak
agar bisa menekan pengeluaran. Pengalaman hidup seperti ini membuat perempuan
yang gemar mendengarkan musik era 1950—1980-an ini merasa terpanggil untuk
ikutserta berusaha mencukupi kebutuhan keluarga. Panggilan inilah yang membuat
Lola tak ragu melangkah sebagai model fotografi.
Pada
awalnya, banyak orang yang hadir sebagai perintang pilihan Lola tersebut. Malah
ketika Lola mulai melangkah, tak sedikit orang dekat yang menjauh darinya.
Bahkan orangtua pun sempat tak menyarankan Lola menjadi model. Hal yang paling
diingat Lola ialah tatkala orangtua merasa menyesal hidup dalam kemiskinan.
Sehingga mereka merasa telah bersalah karena menyebabkan Lola kini menjadi
model yang lekat dengan kesan seksi.
Itu semua
tak menyurutkan semangat Lola. Lola merasa saat ini, seperti inilah jalan yang
harus ditempunya. Pada masa depan, entahlah. Buatnya yang penting kehadirannya
bisa membantu keluarga. Urusan bahwa status sebagai model dapat membuatnya
menyenangkan hasrat orang lain, terutama lelaki, hanyalah bonus semata.
Lola adalah
salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression) dengan cara
yang bisa dilakukannya. Keberanian berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang
selayaknya dilatih sejak masa balita. “Express yourself!” tutur Madonna
melalui Express Yourself, lagu yang dirilis 9 Mei 1989 dalam album Like
a Prayer.
Keberanian
berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan
penuh yakin diri (confident). Yakin diri menjadi pondasi penting dalam
membentuk jiwa yang rendah hati (humble). Manusia yang piawai berunjuk
rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati. Meski
seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai sebagai
wujud rendah diri.
Walau unjuk
rasanya menggembirakan rasa manusia lainnya, perempuan yang baru mulai memakai
miniset sejak ... ini tetaplah manusia biasa. Lola butuh makan, minum, maupun
tidur, juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad
mood, bahkan minder laiknya manusia pada umumnya. Alhasil, kepiawaian Lola
dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam
menjalani keseharian sepertihalnya manusia biasa.
Lola tak
pernah merasa muruahnya merendah dengan mengungkapkan bahwa dirinya adalah
penggemar berat Berserk alias mengagumi karya orang lain. Dirinya juga biasa
saja saat berinteraksi dengan orang yang menyatakan sebagai penggemar beratnya.
Di luar sisi
sebagai workaholic, Lola tetap bersemangat saat terlibat obrolan,
membaca buku, serta jalan-jalan. Sembari mengayuh perjalanan selaras nuraninya,
dia pun terus melantan rasa cinta pada orangtua, keluarga, sahabat, gurunya,
dan orang-orang dekatnya. Lola memang mulai menjadi sosok yang dikagumi banyak
orang hingga mendapat semat sebagai panutan. Sebagai panutan, Lola tak lelah
berusaha untuk ikutserta memberikan penghiburan dan menyuntikkan pengharapan.
Lola tak
setengah hati menggeluti dunia visual, untuk melampiaskan hasrat seni maupun
meraih keuntungan finansial. Dengan tetap menyadari keuntungan dan kerugian
yang didapatkan, Lola terus menjalani dengan penuh gairah membuncah.
Sekarang
penggemar musik 1950-80 an ini seakan mengayuh perjalanan yang membuat namanya
memiliki harga jual. Kehadirannya pun dapat memiliki nilai komersial. Keadaan
yang demikian tentu memudahkannya untuk ikutserta dalam berbagai kegiatan
sosial.
Tak
dimungkiri bahwa kecantikan turut berperan dalam perjalanan Lola. Karena
kecantikan ini pula Lola banyak mudah mendapatkan cibiran, seperti ‘modal cantik doang’. Pertanyaannya, salahkah menjadi perempuan
cantik? Sebagian orang mungkin akan menjawab iya.
Naomi Wolf
menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk
mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik. Pandangan Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak
bisa disalahkan, namun kurang lengkap untuk menjadi genggaman. Pasalnya Naomi
tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk perempuan, seperti
diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui konsep erotic capital (modal
erotis).
Erotic capital merupakan
kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual, sosial, dan seksual yang
dimiliki seseorang untuk menarik orang lain. Ada enam bagian dalam erotic
capital, kecantikan adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital
juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka
bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu
kebetulan alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).
Cibiran
terhadap Lola maupun orang lain yang turut memanfaatkan kecantikan, banyak
berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar,
sedangkan cantik adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh
lewat kerja keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa
usaha. Padahal posisinya bisa saja terbalik. Pasalnya faktor genetis pun,
terutama dari ibu, berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang.
Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah
raga, menjaga pola konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak perlu
membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat
beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Yuryevna
Sharapova (Maria Sharapova). Pendapatan sebagai model jauh lebih banyak
ketimbang menjadi petenis. Maria bahkan masih tetap menambah kekayaan saat
diskors gara-gara kasus obat-obatan terlarang. Nilai penting erotic capital
setara dengan modal lain seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Pertanyaan
selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan
sepertihalnya kecerdasan? Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan
waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan
kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak
jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan, seperti
modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.
Lebih
menyesakkan lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya
dilabeli ‘matre’ yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan.
Padahal, alasan di balik julukan ‘matre’ ini adalah bahwa lelaki harus
mendapatkan kenikmatan yang mereka inginkan dari perempuan secara gratis,
terutama seks (sex).
Kecantikan
dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta
kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan
kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh
perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan
semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa?
Whyyy?
Dengan
memperhatian perdebatan wacana pemanfaatan badan perempuan tersebut, Lola patut
diapresiasi semadyana sebagai perempuan yang menggunakan kecerdasan dan
kecantikan. Sah-sah saja kalau Lola rajin merawat badan, terutama payudara dan
pantat, bagian yang memiliki daya pikat kuat
dalam merangsang gairah seks lelaki.
Seks
terbilang nafsu yang paling sosial. Tanpa memperhitungkan moral, secara
naluriah kita bisa turut bergembira menyaksikan orang lain yang sedang memenuhi
nafsu seksnya. Kita punya hasrat kesenangan walaupun sekadar untuk menontonnya.
Itulah kenapa ada pornografi, yang melahirkan industri seperti blue film
(BF) dan majalah dewasa dengan omzet besar.
Seks berbeda
dengan nafsu lain, misalnya nafsu makan. Adakah orang, terutama lelaki, yang
sanggup suntuk berjam-jam menyaksikan tayangan dengan sajian berupa
adegan-adegan orang sedang makan bakwan biarpun orang itu adalah Cania Citta
Irlanie? Adakah media pendulang iklan yang menjebak pengunjung dengan gambar
Oza Kioza sedang mangap ngemplok cilok?
Saking
sosialnya nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian.
Ia jadi empuk sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan. Ia juga
legit buat stok pengalihan isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan
sewaktu-waktu. Sebab, kabar terkait seks tidak cuma memberikan informasi, walakin
memberdayakan imajinasi. Lola menyadari sisi ini, mengerti hal ini. Tak risau
dengan segala caci-maki maupun puja-puji, dirinya berusaha memanfaatkannya
memenuhi kebutuhan diri.
Referensi
— Bibliografi
Catherine Hakim. (2011). Erotic capital: the power of attraction in
the boardroom and the bedroom, hlm. 16–18. New York City: Basic Books. [lihat]
Joanne Entwistle. (2002). The
aesthetic economy: the production of value in the field of fashion modelling.
Dalam Journal of Consumer Culture, 2(3), hlm. 317-339. [lihat]
Joanne Entwistle & Don Slater.
(2012). Models as brands: critical
thinking about bodies and images. Dalam Fashioning Models: Image, Text and
Industry, hlm. 15-33. London: Berg. [lihat]
Kurt Badenhausen. (2016). How maria
sharapova earned $285 million during her tennis career. Forbes, 8 Maret.
[lihat]
Lars Hartman. (2013). Humble and
confident. on the so-called philosophers in colossians. Dalam Approaching
New Testament Texts and Contexts: Collected Essays II, hlm. 223-236. Heidelberg: Mohr Siebeck. [lihat]
Laura Mulvey. (2003). Visual pleasure and
narrative cinema. Dalam The Feminism and Visual Culture Reader, hlm.
44-53. London: Routledge. [lihat]
Naomi Wolf. (2002). The beauty
myth: how images of beauty are used againts women, hlm. 9-19. New York
City: Morrow. [lihat]
P Soley-Beltran. (2004). Modelling
femininity. Dalam European Journal of Women’s Studies, 11(3),
hlm. 309-326. [lihat]
— Diskografi
Madonna. (1989). Express yourself.
Dalam Like a Prayer. Burbank: Warner Bros. Records, 20 Maret. [lihat]