Dalam terminologi
sakral para pemuja K-Pop, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai 'bias'. Ini
bukan sekadar idola favorit; ini adalah pusat gravitasi dari semesta fangirling
atau fanboying Anda. Seorang 'bias' adalah entitas semi-ilahi, eksis di
dimensi lain yang terbuat dari video musik beresolusi tinggi, koreografi yang
presisi, dan filter Instagram yang sempurna. Mereka adalah makhluk yang Anda
saksikan dari kejauhan, melalui layar gawai, yang keberadaannya dalam radius
lima kilometer dari Anda terasa seperti sebuah kemustahilan fisika. Interaksi
dengan mereka adalah sebuah fantasi yang tersimpan rapi di folder "tidak
akan pernah terjadi".
Dunia saya, di sisi
lain, adalah antitesis dari semua itu. Sebuah produksi berlokasi di sebuah
madrasah ibtidaiyah di Kudus. Saya adalah seorang sutradara sekaligus penonton dari
sebuah drama harian yang naskahnya ditulis oleh anak-anak kelas tiga yang lebih
peduli pada klakson 'telolet' daripada operasi hitung campuran. Realitas saya
adalah papan tulis yang ternoda spidol, tumpukan buku tugas yang belum
diperiksa, dan dering suara mbak-mbak yang memekakkan telinga setiap pukul
09:10, “Its time to begin the first lesson”. Tidak ada spotlight, tidak
ada fancam, hanya cahaya neon dan pengawasan CCTV.
Lalu, singularitas
itu terjadi. Dua alam semesta yang seharusnya terpisah oleh jarak, status, dan
takdir, bertabrakan dalam sebuah notifikasi WhatsApp. Bukan undangan fan
sign, bukan pengumuman comeback. Itu adalah pesan dari wali murid,
Bunda Antika, yang mengabarkan bahwa putranya, Abyan, sakit perut. Dalam
sekejap, 'bias' saya selama delapan tahun terakhir telah menembus batas
dimensional dan mendarat darurat di ruang profesional saya yang paling profan.
Dan sejak saat itu, saya tahu, naskah hidup saya yang membosankan akan dirombak
total oleh seorang produser eksekutif yang tidak pernah saya minta.
Secara konsep, kami
adalah antitesis. Logika saya adalah lagu rookie group yang ceria;
potensi Abyan adalah trap beat yang tak terduga dalam sebuah lagu
balada. Logika Bunda Antika, di sisi lain, adalah sebuah title track
BlackPink: multi-lapis, dengan beat drop yang ganas, rap verse
yang tajam, dan dance break yang mematikan. Beliau adalah seorang koreografer
perfeksionis yang menuntut kesempurnaan di setiap hitungan. Pesan WhatsApp-nya
bukanlah sarana komunikasi; itu adalah monitor in-ear beroperasi 24/7 yang
menyiarkan setiap kesalahan lirik dan nada sumbang saya yang kalau teriak intro
buat istri saya, “Putri... gadis belia yang baru melek...” akan terdengar “Putli...”.
Interogasi pertamanya—tentang guru killer—adalah teaser pertama
yang menandakan sebuah comeback besar. Setiap pertanyaannya setelah itu
adalah ketukan drum mesin yang presisi dan tak terbantahkan: “Apakah usil
banget pak?”, “Menurut panjenengan, apa saya ini termasuk ortu yg memanjakan anak?”,
“Abyan MTK nya termasuk yg sedang atau yg jelek pak?”. Beliau tidak bertanya,
beliau sedang menguji apakah saya siap untuk diinterogasi, sekaligus
mengumpulkan barang bukti berupa transkripsi chat.
Pengawasannya
bersifat sonik, sebuah kebutuhan obsesif akan mixing dan mastering
yang sempurna dalam dunia yang saya yakini digerakkan oleh improvisasi dan
energi mentah. Saya berada di bawah sorotan fancam resolusi 4K miliknya.
Setiap modul yang saya rancang, setiap video pembelajaran yang saya kirim,
setiap catatan tentang Abyan yang lebih tertarik pada bus daripada bangun ruang
sederhana, saya tahu, akan diaudit dengan ketelitian Yang Hyun-suk yang mencari
satu saja nada yang kurang pas. Tidak ada kemewahan untuk tampil seadanya. Satu
instruksi yang ambigu, satu respons chat yang tertunda, bukanlah sekadar kesalahan
manusiawi. Itu adalah penampilan yang tidak sinkron, sebuah cacat produksi yang
akan diisolasi, dianalisis, dan dijadikan bahan ghibah dalam majlis silat-tur-rasan
kelas 3E atas inkompetensi saya.
Penting untuk
dicatat, namanya mungkin berima dengan jenama lain di panggung musik, tapi
jangan salah. Bunda Antika, Vina Antika, maupun Antika Raya tidak memiliki
afiliasi dengan Rindy Antika maupun Ratna Antika. Saya sudah tanya ke Rindy,
katanya mereka berdua beda dalam, sambil Rindy kaget videonya sendiri banyak
di-takedown YouTube. Beliau juga, sejauh yang saya tahu, tidak punya
sangkut paut dengan perusahaan karoseri asal Surabaya yang memproduksi
bodi-bodi bus yang begitu dipuja oleh putranya. Beliau adalah solois, sebuah
agensi tunggal yang menaungi dirinya sendiri.
Bridge
kolaborasi kami mencapai klimaksnya bukan di ruang kelas, melainkan melalui
transaksi katsu jenama Abyka miliknya. Itu bukan sekadar jual-beli; itu adalah
sebuah pembuktian bahwa Fiza dan Bimo bisa merancang rencana konsumsi setelah
mereka saling berdebat panjang. Saya tidak memesan makanan, saya sedang
menyerahkan Fathir dan Desta agar diajarin Bunda Antika cara bekerja sama
setelah mereka berdua berkelahi—yang membuat saya dan Jihan terpental ketika hendak
memisah. Tiga puluh porsi katsu dan es teh bukan lagi konsumsi, melainkan
proyek food support. Setiap potongan ayam itu adalah sebuah mahakarya.
Kerenyahannya adalah high note Jennie yang sempurna, dan sausnya adalah
koreografi Jisoo yang kompleks dan membuat ketagihan. Ketika saya datang untuk
membayar dan warungnya sudah tutup karena laris manis, itu adalah penegasan
statusnya: seorang idola papan atas yang jadwalnya padat dan tak bisa diganggu
gugat, jadi kalau bayar jangan telat.
Namun, di tengah
semua tekanan ini, ada sebuah kesadaran yang lebih dahsyat, sebuah killing
part yang terus terngiang di kepala. Dalam rentetan evaluasinya, terselip
kalimat-kalimat anomali: "Metode mengajar njenengan itu unik pak",
"Good Job pak adib 😃",
dan pengakuan bahwa saya "random"—sebuah pujian tertinggi dalam kamus
K-Pop. Beliau tidak akan membuang energinya untuk memproduseri seorang trainee
tanpa bakat. Beliau mengawasi saya karena beliau percaya ada potensi besar dalam
diri saya meski badan saya seperti Eka Jungs. Beliau menantang saya karena
beliau melihat saya sebagai lawan pertarungan yang sepadan untuk proyek debut
mahakarya bernama Abyan.
Tanpa tekanannya yang konstan, lagu-lagu saya
mungkin akan tetap menjadi demo mentah. Tanpa tuntutannya akan kesempurnaan,
para trainee saya tidak akan pernah terdorong untuk mencapai potensi
penuh mereka. Namun, saya masih penasaran: kenapa setiap job desc yang
milih Katsu, selalu berakhir lucu? Dari mulai kepeleset, sampai jatahnya dibawa
kelas lain.