— atau lebih
tepatnya Pengalaman Menikmati Drama Korea atau paling tepatnya Cibiran
pada Para Pencibir Drama Korea
Saya suka
menonton drama Korea, terutama setelah 2NE1 tak lagi berkarya. Korea dalam
tulisan ini mengacu pada Republik Korea Selatan yang tim sepak bola lelakinya saat
saya menulis sedang melawan Jerman. Korea, negara ini sempat dikenal dengan
tingkat bunuh diri warganya yang tinggi. Belakangan, negeri ini dikenal luas
karena penghiburnya yang banyak digandrungi.
Korea juga
sering dikaitkan dengan operasi plastik karena begitu maraknya praktik ini
dilakukan di sana. Hanya saja Korea dapat memanfaatkan kemarakan ini untuk melahirkan
beragam cabang industri, mulai dari industri kecantikan, fesyen, seni, yang
pemasarannya meluas hingga seluruh dunia. Mereka bukan sekadar konsumen, bahkan
mengarahkan setiap potensi menjadi berdaya guna. Sekarang Korea semangkin naik
daun berkat, antara lain, drama-drama televisinya yang ditonton luas di seluruh
dunia.
Kalau kita
masuk ke situs Asian Wiki, perbendaharaan drama beserta thethek-mbengeknya
dari Asia terutama Korea sayangnya tidak Indonesia, dapat dijumpai dunia
tersendiri di sana. Dunia drama!
Di situs
tersebut, seluruh drama Korea yang tayang mulai dari dasawarsa 1990-an
tercatat. Kita juga bisa menelusuri perkembangan, tren drama setiap tahunnya,
termasuk perubahan ketertarikan para penikmat drama melalui rating atau
komentar-komentar untuk setiap drama yang pernah dibuat.
Singkatnya,
situs itu keren buat kita yang ingin mencari informasi soal drama dan sinema-sinema
Korea. Situs ini juga bisa dipakai buat belajar menulis komentar dalam bahasa
Inggris, biar agak gaya.
Saya suka
menonton drama Korea. Ada banyak alasan mengapa saya menyukai drama Korea. Tapi
yang terpenting, dalam pandangan saya sebagai penikmat sinema, banyak drama Korea
yang kualitasnya sama baik, mulai dari tema, tata busana, sinematografi, skrip,
kualitas akting dan sebagai-seterusnya.
Pertama,
soal tema. Tema yang disajikan dalam drama Korea umumnya punya kejelasan, tidak
melulu menampilkan roman picisan. Atau tema klise yang diafdruk berulang kali bolak-balik
hingga pegel hanya untuk menceritakan perihal perempuan miskin dipersunting lelaki
kaya. Memang ada beberapa yang masih mengadopsi tema demikian, tapi belakangan
mulai berkurang dan tidak begitu laku di pasaran.
Dalam
kebanyakan drama Korea, bahkan yang tak begitu bagus sekalipun, selalu terdapat
persoalan sosial yang mereka tunjukkan secara gamblang. Tengok misalnya drama The Queen of Office, yang mengadaptasi The
Pride
of
the
Temp
dari Jepang.
Drama ini
membicarakan dunia kerja di Korea pada satu waktu. Ceritanya terilhami oleh
carut-marut krisis finansial yang melanda Korea dan beberapa negara di Asia
pada tahun 1997. Krisis tersebut membuat Korea mengalami masa mengenaskan. Mereka
dilanda depresi yang ditandai dengan tingginya angka pengangguran.
Persoalan
utama yang disajikan ialah polemik antara pekerja tetap dan pekerja kontrak.
Uniknya, tokoh utama dalam drama ini, ialah Miss Kim, digambarkan sebagai
pekerja keras-profesional yang memilih bekerja secara kontrak. Setiap tiga
bulan dia berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain karena
pilihannya sendiri, bukan karena terpaksa atau perusahaan memutuskan kontrak.
Peran
tersebut dimainkan dengan mengesankan oleh Kim Hye-soo, aktris Korea yang
sekarang hampir berumur 48 tahun. Dengan kemasan komedi plus akting sang aktris
yang mampu mengocok perut, juga dialog yang cerdas, drama televisi ini, bagi
saya, tidak kalah berkharisma dibanding sinema-sinema Jackie Chan dan Mr. Bean
yang sudah punya tenun menahun.
Pemilihan
tema serta cara penyajian melalui drama, juga memperlihatkan bahwa para penulis
skrip untuk drama-drama Korea bukanlah orang yang sembarang bisa menulis saja.
Mereka tahu banyak tentang persoalan yang ingin disampaikannya. Misalnya drama
yang mengambil tema kedokteran. Penulis skrip untuk drama dalam genre ini
tampak melek terhadap istilah-istilah teknis kedokteran.
Selain itu,
drama televisi Korea terasa gairah kebangsaan yang membuncah. Selain dengan
jelas bisa kita temui lewat drama-drama sejarah (saeguk), bahkan unsur kebangsaan
bisa mudah kita dapati pada drama-drama yang non-sejarah. Gairah tersebut bisa
terlihat dari banyak segi. Misalnya, cara mereka menonjolkan berbagai tradisi
dan kebudayaan negeri.
Terdapat
banyak penghormatan terhadap tradisi yang bisa kita jumpai dalam drama-drama
Korea. Misalnya lewat cara mereka berbahasa. Pembagian bahasa santun (nophimmal)
dan bahasa akrab (banmal) dalam tradisi Korea, sering mendapat sorotan
tersendiri dalam banyak drama televisinya.
Juga soal
makanan tradisional mereka. Lewat drama-drama inilah berbagai makanan
tradisional Korea dikenal luas di seluruh dunia. Bagaimana orang Korea suka
makan dan minum ditunjukkan di banyak drama. Pengaruhnya? Lihat saja di
Indonesia, restoran-restoran besar khas Korea hingga yang kaki lima, bertebaran
dan nyaris selalu penuh setiap pekannya.
Selain itu,
lewat drama-drama ini pula kampanye pariwisata mereka lakukan. Misalnya, drama Dae Jang Geum yang juga
dikenal dengan judul Jewel
in
the Palace
ini telah memicu banyak turis untuk
berkunjung langsung ke lokasi pembuatan. Atau Pulau Jeju yang semakin dikenal
karena banyak drama yang mengambil lokasi shooting di pulau tempat
tinggalnya Lee Hyo-ri tersebut. Pula drama One Sunny Day yang
menampilkan titik lokasi menarik di pulau tersebut.
Masih banyak
keunggulan drama televisi Korea yang bisa kita ulas bersama. Selain
aktris-aktor yang mampu membikin para fans klepek-klepek, juga ada keprofesionalan para kru dan tentunya, kesungguhan segenap pihak Korea, termasuk government-nya,
dalam menyokong perkembangan industri penyiaran mereka.
Makanya saya
sering kesal dengan beberapa teman (tampaknya mereka sangat cendekia) yang
kerap mengejek para penggemar drama Korea. Bukan hanya karena saya penggila
Korea (walau untuk bola tetaplah Jerman karena saya penggila Adolf Hitler),
walakin juga karena yakin mereka bicara tanpa data tentang drama Korea. Persis
kelakuan orang yang mengaku anti madzhab dalam beragama. Mereka belum
menontonnya, apalagi merisetnya, walakin sudah bicara macam-macam. Seolah-olah
mereka sudah mengerti drama Korea secara mendalam.
Seorang
teman saya yang tampak cendekia bahkan pernah bilang, “Nonton drama Korea? Hargaku
bisa merosot!” Lalu ketika saya tanya drama apa yang pernah dia tonton,
jawabannya ternyata sama, “Nonton drama Korea? Hargaku bisa merosot!” Jadi, dia
sudah menyimpulkan harganya akan turun tanpa terlebih dulu menjajalnya, serupa
kasusnya dengan seseorang yang mengatakan, “Baca kitab kuning? Nggak ah, ntar
pikiranku jadi kolot!”
Catatan
Judul ditiru
dari cara penulisan judul dari Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java dan Abū
al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Rusyd dalam Tahāfut
al-Tahāfut,
bukan hendak sok cendekia walakin menunjukkan keterpengaruhan saja.
K.Km.Wg.141039.270618.21:59