“Hidup hanya memiliki dua aturan: terima apa adanya dan jadilah yang
terbaik dari apa yang ada”
Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi
landasan yang kuat. Ketika ada seseorang yang memiliki satu set badan lengkap
tanpa dapat merasakan rasanya sendiri—apalagi rasa manusia lainnya—dia seakan
robot
Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa
manusia pasti berguna bagi keberlangsungan ummat manusia. Rasa kasih sayang
misalnya, yang sanggup membawa manusia pada rasa sama
Tak jarang dalam beberapa pilihan manusia merasa memiliki satu kesamaan
antara dirinya dengan manusia lainnya. Dalam keseharian yang penuh dengan
pilihan, satu kesamaan merupakan titik temu jitu untuk menciptakan
keharmonisan. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam
ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa
mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?
Sebagai makhluk berperasaan, berunjuk rasa (expression) merupakan
perilaku yang wajar dilakukan. Entah unjuk rasa melalui rupa, nada, gerakan,
tulisan, dsb. dst. termasuk bergeming. Salah satu cara berunjuk rasa ialah
menggunakan musik.
Musik adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang mengalun secara
teratur sehingga enak untuk disimak
Menyimak berbagai jenis pertunjukan musik di Indonesia, barangkali dapat
dikatakan bahwa tidak ada yang lebih meriah dan meriak dibandingkan dengan
dangdut. Hal ini bisa diamati melalui tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam
media massa, perbincangan di lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para
pengunjung yang menghadiri pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut
dapat menarik perhatian banyak kalangan.
Dangdut, di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat,
khususnya buat yang sedang dalam kesulitan
Di sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu
Cibiran terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis
penyanyinya semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena
baru dalam pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan
goyangan erotis sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya
terbuka untuk kalangan dewasa belaka
Keadaan sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita)
belakangan ini mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan
mendapat perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada
yang disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal
ini memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga
menggunakannya sebagai sarana menambang uang. Sayangnya, biduanita juga kerap
dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan tanpa peduli kualitas vokal.
Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual penampilan badan, masalahnya ialah hal
ini dilakukan di pasar yang menjajakan vokal.
Keadaan tersebut disadari sepenuhnya oleh Verlyne Eca Safitri, penyanyi
kelahiran Jember, Indonesia, yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk
ditekuninya. Menjadi penyanyi bukanlah sebuah kebetulan buat Ratu Verlyne,
sapaan panggungnya.
Jalan agar bisa menjadi penyanyi seakan sudah ditatakan Tuhan. “Karena
saya dari kecil sudah sering mendengarkan lagu dangdut dan juga sering hoby
saya menyanyi,” paparnya mengenai pilihan menekuni dangdut. Ratu Verlyne memang
terbiasa mendengar lagu dangdut.
Selain terbiasa mendengar lagu dangdut, kegemaran menyanyi Ratu Verlyne
tampak mendapat dukungan dari orangtua. Dukungan ini menjadi bentuk kepedulian
orangtua yang melihat bakat buah hati tak boleh mati. Apalagi kebiasaan dan
kegemaran yang dimiliki bisa berbuah menjadi karier untuk ditekuni. Anugerah
inilah yang dimanfaatkan oleh Ratu Verlyne untuk belajar olah vokal secara rapi
dan rinci sedari dini.
Dukungan sepenuhnya, baik secara psikis, teknis, maupun ekonomis,
dirasakan oleh Ratu Verlyne. Wajar jika dirinya gembira melakukannya.
Kegembiraan yang turut membahagiakan orangtua tentunya, terutama mama. Ratu
Verlyne tak lelah belajar mengolah vokal sesuai jenis suara yang dimiliki agar
berpadu apik dengan alunan nada yang mengiringi. Dirinya terus mengelaborasi
pita suaranya maupun beragam bunyi alat musik agar kelak bisa menyajikan
pertunjukan prima ketika menjadi penyanyi.
Selain memanfaatkan bakat suara dan titian yang ditatakan Sang Pencipta,
Ratu Verlyne juga menyadari modal lain yang dimiliki, ialah daya tarik fisik.
Wajah cantik dan badan estetik menjadi sisi yang turut digali olehnya. Ratu
Verlyne mengerti bahwa modal ini sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial,
dan budaya
Ratu Verlyne tak ambil pusing terhadap sebagian kalangan yang enggan
mengapresiasi modal tersebut
Berbagai usaha yang dilakukan Ratu Verlyne tak sia-sia. Saat masih duduk
di kelas 9 SMP, dirinya mulai memantapkan diri untuk berkarier di dunia
dangdut. “SMP kelas 3,” kenangnya saat bercerita awal karier, “Iya benar saya
memulai karier 3 tahun yang lalu,” pungkasnya.
Ratu Verlyne terbilang klop dengan musik dangdut. Ini tak lepas dari
masa lalunya yang lebih dini mendengar, mengenal, dan menekuni genre dangdut
dibanding genre lain. Musik pertama yang didengar dan pelajari pertama adalah
dangdut, seterusnya mengalir menjadi penyanyi dangdut, meski juga belajar genre
lain. Dalam hal musik dangdut, Ratu Verlyne menyebut Ratna Antika sebagai
panutannya.
Sejak kecil, Ratu Verlyne terbilang memiliki daya pikat yang tinggi. Tak
sulit baginya untuk mendapat perhatian dari lingkungannya. Bahkan kemauan dan
kemampuannya untuk bernyanyi sekaligus bergoyang di depan banyak orang
membuatnya dianggap sebagai sosok ratu yang menguasai panggung dan tatap mata
pengunjung. Keadaan tersebut membuatnya terinspirasi menggunakan nama “Ratu”
sebagai nama panggung. “Biar menjadi ratu panggung dan juga biar cepat ingat
nama Ratu Verlyne.” tuturnya mengenai alasan pemilihan kata ‘ratu’ menjadi nama
panggung.
Dengan menggunakan nama panggung Ratu Verlyne, perempuan kelahiran 31
Oktober 2006 ini kini mulai dikenal luas di kalangan penikmat dangdut. Banyak
orang datang untuk menyaksikan aksi Ratu Verlyne secara langsung, tak sedikit
pula yang menonton rekaman aksinya melalui layar kaca. Ratu Verlyne sendiri
selalu berusaha untuk menjadi penyanyi yang pantas dikagumi. Memang dirinya
kadang tampil tak jauh berbeda dengan biduanita, dengan menyajikan goyangan
menawan dalam balutan busana menggoda. Walakin penampilan Ratu Verlyne tak
sampai senonoh, apalagi vulgar dan jorok!
Dalam banyak aksi panggung, Ratu Verlyne memang cenderung berbusana
terbuka laiknya biduantita pada umumnya. Namun, Ratu Verlyne juga kerap tampil
tertutup mengenakan gaun elegan. Sayangnya, walau sudah menyajikan lantunan
vokal apik dan berbusana pantas, banyak khalayak yang memandang Ratu Verlyne
“modal badan doang”. Tak dimungkiri bahwa kesintalan badan turut berperan dalam
melambungkan nama Ratu Verlyne. Karena kesintalan badan pula Ratu Verlyne
banyak mudah mendapatkan cibiran kelewat cemar. Cibiran yang nyaris membutakan
hingga enggan mendengar, alih-alih mengapresiasi, kualitas vokal.
Wajar saja. Sah-sah saja. Mungkin penampilan Ratu Verlyne memantik
amarah sebagian orang. Amarah yang muncul karena cemburu, dengki, atau jengkel.
Sementara tak bisa dielakkan lagi bahwa, “Mata yang penuh amarah hanya
memandang segala yang nista sepertihalnya mata yang cinta akan tumpul terhadap
semua cela.”
Pertanyaannya, salahkah menjadi perempuan cantik? Sebagian orang mungkin
akan menjawab iya. Naomi Wolfdalam buku The Beauty Myth menuturkan bahwa
kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi
perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik
Pandangan Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan,
tetapi kurang lengkap untuk menjadi genggaman. Hal ini karena Naomi tak
mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk perempuan, seperti
diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui konsep erotic capital.
Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik,
estetik, visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik
orang lain
Cibiran terhadap Ratu Verlyne banyak berpijak dari pandangan yang
menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan cantik adalah
bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras,
sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha. Padahal
posisinya bisa saja terbalik. Faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan
penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik,
seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi,
merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak perlu membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang
kerap mendapat beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Kim
Kardashian. Walau dipandang sebelah mata karena dianggap tak memiliki talenta,
pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang banyak perusahaan
Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi,
sosial, dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita tampak enggan
mengapresiasi kecantikan perempuan sepertihalnya kecerdasan? Ketika ada
perempuan dandan, dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika
membaca buku, disangka waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat.
Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak jarang
otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang memanfaatkan badan perempuan, seperti
biduan dan modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina. Lebih
menyesakkan lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya
dilabeli “matre” yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan. Padahal,
alasan di balik julukan “matre” ini adalah bahwa lelaki harus mendapatkan
kenikmatan yang mereka inginkan dari perempuan secara gratis, terutama seks.
Kecantikan dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak
baik. Para peserta kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran.
Kecerdasan dan kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin
dipadukan oleh perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan
untuk menggunakan semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Why?
Ratu Verlyne memang istimewa: vokalnya, fisiknya, usahanya, maupun
gagasannya. Pun karier yang dijalani, terbilang cemerlang. Wajar kalau dia
banyak disuka dan kehadirannya secara off air maupun on line mudah mendapat
pemirsa.
Ratu Verlyne adalah salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression)
dengan cara yang bisa dilakukannya
Walau unjuk rasanya menggembirakan rasa maupun melepas lara manusia
lainnya, Ratu Verlyne tetaplah manusia biasa. Ratu Verlyne butuh makan, minum,
maupun tidur, juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa
bad mood, minder, dsb. dst. laiknya manusia pada umumnya. Kepiawaian
Ratu Verlyne dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan
diri dalam menjalani keseharian laiknya manusia biasa. Ratu Verlyne sendiri
juga mengagumi manusia lainnya, seperti Ratna Antika.
Sepanjang menjalani keseharian, Ratu Verlyne tak pernah meminta
dikagumi. Dirinya hanya berusaha melakukan perbuatan yang selaras nurani.
Walakin dari sini, banyak orang yang kemudian mengagumi Ratu Verlyne. Tak
sedikit pula yang menjadikan perempuan kelahiran Selasa Legi ini sebagai
panutan untuk dianut.
Ratu Verlyne sendiri tak memikirkan hal tersebut. Dikagumi atau tidak,
menjadi panutan atau bukan, tak menjadi pijakan buatnya. Ratu Verlyne hanya
berusaha untuk terus tetap mentas, tanpa mencari pencapaian, tanpa lelah
berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang
merupakan kesuksesannya adalah tak lelah berjuang mengayuh secara
terus-menerus. Mengayuh… mengayuh… mengayuh perjalanan… saling mengapresiasi
kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You say God give me a choice…”
seperti lantun Queen dalam Bicycle Race yang dirilis pada 1978
Ratu Verlyne tak lelah berjuang bukan semata memuaskan hasratnya, tidak
juga sekadar menggembirakan orangtua. Namun, untuk memberi motivasi dan
inspirasi buat sesama manusia biasa, khususnya kepada anak-anak untuk belajar
dari lingkungan sekitarnya.
Perjalanan yang dilakoni Ratu Verlyne adalah duet awet ikhtiar dan
takdir. Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan cemar dan rajin mencibir.
Meski demikian, Ratu Verlyne tak langsir ungkapan nyinyir yang dialamatkan
padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik tiada akhir, Ratu
Verlyne terus tetap mengalir.
Kisah Ratu Verlyne yang tak lelah mengembangkan diri teranyam azam.
Teranyam sebagai motivasi dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang
Pencipta Semesta Raya dengan rasa riang. Ratu Verlyne terlahir sebagai
penghibur, yang sanggup membuat orang lain gembira meski dia sendiri tak selalu
merasakannya.
Sanjungan yang diterima tak membuat Ratu Verlyne melayang. Begitu juga
cibiran tak membuat dirinya tumbang. Ratu Verlyne tetaplah Ratu Verlyne, yang
kehadirannya selalu dirindukan, namanya dielu-elukan. Dan, dia tetaplah
perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti sepenuhnya meski dapat dinikmati
seutuhnya. Ratu Verlyne ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu hati.
K.Ah.Kl.030846.020225.01:41
Nama Lengkap |
: |
Verlyne Eca Safitri |
Tanggal Lahir |
: |
31 Oktober 2006 |
TK |
: |
TK Al Hidayah 2 Jember Kidul |
SD |
: |
SDN Tanggul Wetan 04 |
SMP |
: |
SMPN 1 Tanggul |
SMA |
: |
SMKN 8 Jember |
Idola |
: |
Ratna Antika dan Bernadya |
Lagu Favorit |
: |
Candu, Tau Dadi Cerito, Sampek Tuwek,
Pengarepan, dan Nresnasi |
Referensi
al-Fārābī,
A. N. (1967). Kitāb al-mūsīqī al-kabīr. Kairo: Dār al-kātib al-ʻarabī
li-al-ṭibāʻa wa-al-našr. Diambil kembali dari
https://archive.org/details/KitabAlMusiqaAlKadirByAlFarabiarabic_201801
Darwin, C. (1872). The expression of the emotions in man
and animals. London: John Murray. Diambil kembali dari
http://darwin-online.org.uk/content/frameset?itemID=F1142&viewtype=text&pageseq=1
David, B. (2014). Seductive pleasures, eluding
subjectivities: some thoughts on dangdut’s ambiguous identity. Dalam B. A.
Barendregt, Sonic modernities in the Malay world: A history of popular
music, social distinction and novel lifestyles (1930s–2000s) (hal.
249-268). Leiden: Brill Publishers. Diambil kembali dari
https://books.google.co.id/books?id=0wUSBQAAQBAJ&lpg=PA258&ots=U3biazYboQ&lr&hl=id&pg=PA258#v=onepage&q&f=false
Davis, D. E., Hook, J. N., Jr., E. L., Tongeren, D. R.,
Gartner, A. L., Jennings, D. J., & Emmons, R. A. (2011). Relational
humility: conceptualizing and measuring humility as a personality judgment. Journal
of Personality Assessment, 93(3), 225-234. Diambil kembali dari
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00223891.2011.558871
Fitriya, A. (2018). Hubungan kuasa komunikasi panggung
penyanyi dangdut. Interaksi Online, 6(1), 1-9. Diambil kembali dari
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/19034
Hakim, C. (2010). Erotic Capital. European Sociological
Review, 26(5), 499-518. Diambil kembali dari
http://www.catherinehakim.org/wp-content/uploads/2011/07/ESR-Erotic-Capital-Oct-2010.pdf
McNeill, R. J. (2000). Sejarah musik: musik awal sejak
masa yunani kuno sampai akhir masa barok, tahun 0-1760. Jakarta Pusat:
Gunung Mulia. Diambil kembali dari
https://books.google.co.id/books?isbn=9799290724
Najib, E. A. (2017, Februari 20). Latihan lemah lembut.
Diambil kembali dari Daur-II CakNun.com:
https://www.caknun.com/2017/latihan-lemah-lembut/
Prasetyo, A. D. (2012, April 11). Musik yang paling benar.
Diambil kembali dari AhmadDhani.com:
http://ahmaddhani.com/musik-yang-paling-benar/
Queen. (2008, Agustus 2). Queen - Bicycle Race (Official
Video). Diambil kembali dari Youtube Queen Official:
https://youtu.be/xt0V0_1MS0Q
Rusdy, S. T. (2013). Rahwana Putih: Sang Kegelapan Pemeram
Keagungan Cinta. Jakarta Selatan: Yayasan Kertagama.
Simms, J. (2024, September 25). Kim Kardashian's
Billionaire Journey & 5 Steps to Wealth. Diambil kembali dari CEO Today
Magazine:
https://www.ceotodaymagazine.com/2024/09/kim-kardashian-from-reality-tv-star-to-billionaire-mogul-5-steps-to-become-a-millionaire-by-2025/
Stajkovic, A. D. (2006). Development of a core
confidence-higher order construct. Journal of Applied Psychology, 91(6),
1208-1224. Diambil kembali dari http://psycnet.apa.org/record/2006-20695-002
Wallach, J. (2014). Notes on dangdut music, popular
nationalism, and indonesian islam. Dalam B. A. Barendregt, Sonic modernities
in the Malay world: A history of popular music, social distinction and novel
lifestyles (1930s–2000s) (hal. 271-289). Leiden: Brill Publishers. Diambil
kembali dari
https://books.google.co.id/books?id=0wUSBQAAQBAJ&lpg=PA271&ots=U3biazYboQ&lr&hl=id&pg=PA271#v=onepage&q&f=false
Weintraub, A. N. (2006). Dangdut soul: who are ‘the people’in
indonesian popular music? Communication, 16(4), 411-431. Diambil kembali
dari
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32386936/Dangdut_Soul_2006.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1523643626&Signature=xkGFl3U113tCfG3VxNC9XOsE8k4%3D&response-content-disposition=inline%3B%20filename%3DDangdut_Soul_Who_are_the_Peo
Weintraub, A. N. (2010). Dangdut stories: a social and
musical history of indonesia's most popular music. Oxford: Oxford
University Press. Diambil kembali dari
https://books.google.co.id/books?id=VP1P_SQ5jj0C&lpg=PR7&ots=Bw24lo9Gbb&dq=Andrew%20Weintraub%20musik%20dangdut&lr&hl=id&pg=PA145#v=onepage&q&f=false
Wolf, N. (2002). The beauty myth: how images of beauty are
used againts women. New York City: Morrow. Diambil kembali dari
http://www.alaalsayid.com/ebooks/The-Beauty-Myth-Naomi-Wolf.pdf