Ratu Verlyne

Ratu Verlyne (Verlyne Eca Safitri)


“Hidup hanya memiliki dua aturan: terima apa adanya dan jadilah yang terbaik dari apa yang ada”

— Ratu Verlyne

 

Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat. Ketika ada seseorang yang memiliki satu set badan lengkap tanpa dapat merasakan rasanya sendiri—apalagi rasa manusia lainnya—dia seakan robot (Rusdy, 2013). Walaupun memiliki kepandaian—bukan kecendekiaan—melebihi para perancangnya, belum bisa memiliki rasa.

 

Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi keberlangsungan ummat manusia. Rasa kasih sayang misalnya, yang sanggup membawa manusia pada rasa sama (Najib, 2017). Rasa sama membuat segala yang dilakukan memberikan kegembiraan. Sama-sama merasakan adanya kesamaan, kesetaraan, maupun keserupaan rasa antara dia sendiri dengan seluruh penghuni alam raya. Kosok bali dari rasa beda yang merasa berbeda—baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah—dari liyan (orang lain). Rasa beda rentan memantik gairah pertikaian maupun ketidakpedulian yang membuahkan perilaku meresahkan.

 

Tak jarang dalam beberapa pilihan manusia merasa memiliki satu kesamaan antara dirinya dengan manusia lainnya. Dalam keseharian yang penuh dengan pilihan, satu kesamaan merupakan titik temu jitu untuk menciptakan keharmonisan. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?

 

Sebagai makhluk berperasaan, berunjuk rasa (expression) merupakan perilaku yang wajar dilakukan. Entah unjuk rasa melalui rupa, nada, gerakan, tulisan, dsb. dst. termasuk bergeming. Salah satu cara berunjuk rasa ialah menggunakan musik.

 

Musik adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang mengalun secara teratur sehingga enak untuk disimak (al-Fārābī, 1967, hal. 67). Pada zaman kuno, terdapat mitos dari sekelompok masyarakat yang percaya bahwa musik memiliki kekuatan ajaib untuk menyempurnakan jiwa dan raga (McNeill, 2000). Pada zaman now, terdapat anggapan bahwa musik mempunyai kekuatan untuk mencirikan pandangan pribadi dan kecenderungan masyarakat (Prasetyo, 2012).

 

Menyimak berbagai jenis pertunjukan musik di Indonesia, barangkali dapat dikatakan bahwa tidak ada yang lebih meriah dan meriak dibandingkan dengan dangdut. Hal ini bisa diamati melalui tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam media massa, perbincangan di lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para pengunjung yang menghadiri pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut dapat menarik perhatian banyak kalangan.

 

Dangdut, di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat, khususnya buat yang sedang dalam kesulitan (Weintraub, 2010, hal. 145). Larik lirik dangdut yang banyak memuat kisah tentang pergulatan pribadi dalam berjuang di tengah kehidupan sosial yang kadang timpang seakan menjadi penyalur rasa terpendam (David, 2014, hal. 258).

 

Di sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu (Weintraub, 2006, hal. 411). Apalagi dangdut terbilang lentur, tak kaku untuk berpadu dengan beragam pengaruh yang tumbuh dalam dunia olah rasa, mulai dari nada ala Timur sampai Barat, tingkat ndeso hingga dunia (Wallach, 2014, hal. 272).

 

Cibiran terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis penyanyinya semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena baru dalam pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan goyangan erotis sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya terbuka untuk kalangan dewasa belaka (Fitriya, 2018, hal. 1). Perbedaan tajam mulai terjadi pada dekade 2000-an, ketika goyangan erotis menjadi sajian biasa nyaris di setiap pertunjukan, baik on maupun off air. Masyarakat yang sejak dulu menganggap bahwa goyangan erotis sebagai perbuatan tabu pun mulai bereaksi secara menggebu (Weintraub, 2010, hal. 164).

 

Keadaan sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita) belakangan ini mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan mendapat perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada yang disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal ini memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga menggunakannya sebagai sarana menambang uang. Sayangnya, biduanita juga kerap dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan tanpa peduli kualitas vokal. Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual penampilan badan, masalahnya ialah hal ini dilakukan di pasar yang menjajakan vokal.

 

Keadaan tersebut disadari sepenuhnya oleh Verlyne Eca Safitri, penyanyi kelahiran Jember, Indonesia, yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk ditekuninya. Menjadi penyanyi bukanlah sebuah kebetulan buat Ratu Verlyne, sapaan panggungnya.


 

Jalan agar bisa menjadi penyanyi seakan sudah ditatakan Tuhan. “Karena saya dari kecil sudah sering mendengarkan lagu dangdut dan juga sering hoby saya menyanyi,” paparnya mengenai pilihan menekuni dangdut. Ratu Verlyne memang terbiasa mendengar lagu dangdut.

 

Selain terbiasa mendengar lagu dangdut, kegemaran menyanyi Ratu Verlyne tampak mendapat dukungan dari orangtua. Dukungan ini menjadi bentuk kepedulian orangtua yang melihat bakat buah hati tak boleh mati. Apalagi kebiasaan dan kegemaran yang dimiliki bisa berbuah menjadi karier untuk ditekuni. Anugerah inilah yang dimanfaatkan oleh Ratu Verlyne untuk belajar olah vokal secara rapi dan rinci sedari dini.

 

Dukungan sepenuhnya, baik secara psikis, teknis, maupun ekonomis, dirasakan oleh Ratu Verlyne. Wajar jika dirinya gembira melakukannya. Kegembiraan yang turut membahagiakan orangtua tentunya, terutama mama. Ratu Verlyne tak lelah belajar mengolah vokal sesuai jenis suara yang dimiliki agar berpadu apik dengan alunan nada yang mengiringi. Dirinya terus mengelaborasi pita suaranya maupun beragam bunyi alat musik agar kelak bisa menyajikan pertunjukan prima ketika menjadi penyanyi.

 

Selain memanfaatkan bakat suara dan titian yang ditatakan Sang Pencipta, Ratu Verlyne juga menyadari modal lain yang dimiliki, ialah daya tarik fisik. Wajah cantik dan badan estetik menjadi sisi yang turut digali olehnya. Ratu Verlyne mengerti bahwa modal ini sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya (Hakim, 2010, hal. 500). Ratu Verlyne tampak tak memungkiri bahwa kecantikan itu penting, sehingga upayanya dalam merawat dan menjaga kecantikan adalah bentuk dari rasa syukur karena diberi nikmat dari Yang Maha Kuasa.

 

Ratu Verlyne tak ambil pusing terhadap sebagian kalangan yang enggan mengapresiasi modal tersebut (Wolf, 2002, hal. 14). Dirinya tetap berusaha agar daya tarik fisik turut berperan dalam kariernya, mulai dari olah raga ringan teratur setiap bangun tidur, menjaga pola konsumsi makanan dan minuman, memperhatikan kecocokan riasan wajah, hingga berpikir menentukan busana yang dikenakan.

 

Berbagai usaha yang dilakukan Ratu Verlyne tak sia-sia. Saat masih duduk di kelas 9 SMP, dirinya mulai memantapkan diri untuk berkarier di dunia dangdut. “SMP kelas 3,” kenangnya saat bercerita awal karier, “Iya benar saya memulai karier 3 tahun yang lalu,” pungkasnya.

 

Ratu Verlyne terbilang klop dengan musik dangdut. Ini tak lepas dari masa lalunya yang lebih dini mendengar, mengenal, dan menekuni genre dangdut dibanding genre lain. Musik pertama yang didengar dan pelajari pertama adalah dangdut, seterusnya mengalir menjadi penyanyi dangdut, meski juga belajar genre lain. Dalam hal musik dangdut, Ratu Verlyne menyebut Ratna Antika sebagai panutannya.

 

Sejak kecil, Ratu Verlyne terbilang memiliki daya pikat yang tinggi. Tak sulit baginya untuk mendapat perhatian dari lingkungannya. Bahkan kemauan dan kemampuannya untuk bernyanyi sekaligus bergoyang di depan banyak orang membuatnya dianggap sebagai sosok ratu yang menguasai panggung dan tatap mata pengunjung. Keadaan tersebut membuatnya terinspirasi menggunakan nama “Ratu” sebagai nama panggung. “Biar menjadi ratu panggung dan juga biar cepat ingat nama Ratu Verlyne.” tuturnya mengenai alasan pemilihan kata ‘ratu’ menjadi nama panggung.

 

Dengan menggunakan nama panggung Ratu Verlyne, perempuan kelahiran 31 Oktober 2006 ini kini mulai dikenal luas di kalangan penikmat dangdut. Banyak orang datang untuk menyaksikan aksi Ratu Verlyne secara langsung, tak sedikit pula yang menonton rekaman aksinya melalui layar kaca. Ratu Verlyne sendiri selalu berusaha untuk menjadi penyanyi yang pantas dikagumi. Memang dirinya kadang tampil tak jauh berbeda dengan biduanita, dengan menyajikan goyangan menawan dalam balutan busana menggoda. Walakin penampilan Ratu Verlyne tak sampai senonoh, apalagi vulgar dan jorok!

 

Dalam banyak aksi panggung, Ratu Verlyne memang cenderung berbusana terbuka laiknya biduantita pada umumnya. Namun, Ratu Verlyne juga kerap tampil tertutup mengenakan gaun elegan. Sayangnya, walau sudah menyajikan lantunan vokal apik dan berbusana pantas, banyak khalayak yang memandang Ratu Verlyne “modal badan doang”. Tak dimungkiri bahwa kesintalan badan turut berperan dalam melambungkan nama Ratu Verlyne. Karena kesintalan badan pula Ratu Verlyne banyak mudah mendapatkan cibiran kelewat cemar. Cibiran yang nyaris membutakan hingga enggan mendengar, alih-alih mengapresiasi, kualitas vokal.


 

Wajar saja. Sah-sah saja. Mungkin penampilan Ratu Verlyne memantik amarah sebagian orang. Amarah yang muncul karena cemburu, dengki, atau jengkel. Sementara tak bisa dielakkan lagi bahwa, “Mata yang penuh amarah hanya memandang segala yang nista sepertihalnya mata yang cinta akan tumpul terhadap semua cela.”

 

Pertanyaannya, salahkah menjadi perempuan cantik? Sebagian orang mungkin akan menjawab iya. Naomi Wolfdalam buku The Beauty Myth menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik (Wolf, 2002, hal. 14).

 

Pandangan Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, tetapi kurang lengkap untuk menjadi genggaman. Hal ini karena Naomi tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk perempuan, seperti diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui konsep erotic capital.

 

Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain (Hakim, 2010, hal. 500). Ada enam bagian dalam erotic capital, kecantikan adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan) atau suatu kebetulan alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).

 

Cibiran terhadap Ratu Verlyne banyak berpijak dari pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan cantik adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha. Padahal posisinya bisa saja terbalik. Faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.

 

Tak perlu membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Kim Kardashian. Walau dipandang sebelah mata karena dianggap tak memiliki talenta, pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang banyak perusahaan (Simms, 2024). Kim Kardashian bahkan dapat menambah kekayaan hanya melalui sebuah unggahan di media sosial.

 

Erotic capital sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan sepertihalnya kecerdasan? Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat.

 

Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang memanfaatkan badan perempuan, seperti biduan dan modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina. Lebih menyesakkan lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya dilabeli “matre” yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan. Padahal, alasan di balik julukan “matre” ini adalah bahwa lelaki harus mendapatkan kenikmatan yang mereka inginkan dari perempuan secara gratis, terutama seks.

 

Kecantikan dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Why?

 

Ratu Verlyne memang istimewa: vokalnya, fisiknya, usahanya, maupun gagasannya. Pun karier yang dijalani, terbilang cemerlang. Wajar kalau dia banyak disuka dan kehadirannya secara off air maupun on line mudah mendapat pemirsa.

 

Ratu Verlyne adalah salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression) dengan cara yang bisa dilakukannya (Darwin, 1872, hal. 10). (Darwin, 1872, hal. 10). Keberanian berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya dilatih sejak masa balita. Keberanian berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan penuh yakin diri (confident) (Stajkovic, 2006, hal. 1209). Yakin diri menjadi pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati (humility) (Davis, et al., 2011, hal. 225). Manusia yang piawai berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri.

 

Walau unjuk rasanya menggembirakan rasa maupun melepas lara manusia lainnya, Ratu Verlyne tetaplah manusia biasa. Ratu Verlyne butuh makan, minum, maupun tidur, juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad mood, minder, dsb. dst. laiknya manusia pada umumnya. Kepiawaian Ratu Verlyne dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam menjalani keseharian laiknya manusia biasa. Ratu Verlyne sendiri juga mengagumi manusia lainnya, seperti Ratna Antika.

 

Sepanjang menjalani keseharian, Ratu Verlyne tak pernah meminta dikagumi. Dirinya hanya berusaha melakukan perbuatan yang selaras nurani. Walakin dari sini, banyak orang yang kemudian mengagumi Ratu Verlyne. Tak sedikit pula yang menjadikan perempuan kelahiran Selasa Legi ini sebagai panutan untuk dianut.

 

Ratu Verlyne sendiri tak memikirkan hal tersebut. Dikagumi atau tidak, menjadi panutan atau bukan, tak menjadi pijakan buatnya. Ratu Verlyne hanya berusaha untuk terus tetap mentas, tanpa mencari pencapaian, tanpa lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksesannya adalah tak lelah berjuang mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh… mengayuh… mengayuh perjalanan… saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You say God give me a choice…” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race yang dirilis pada 1978 (Queen, 2008).

 

Ratu Verlyne tak lelah berjuang bukan semata memuaskan hasratnya, tidak juga sekadar menggembirakan orangtua. Namun, untuk memberi motivasi dan inspirasi buat sesama manusia biasa, khususnya kepada anak-anak untuk belajar dari lingkungan sekitarnya.

 

Perjalanan yang dilakoni Ratu Verlyne adalah duet awet ikhtiar dan takdir. Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan cemar dan rajin mencibir. Meski demikian, Ratu Verlyne tak langsir ungkapan nyinyir yang dialamatkan padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik tiada akhir, Ratu Verlyne terus tetap mengalir.

 

Kisah Ratu Verlyne yang tak lelah mengembangkan diri teranyam azam. Teranyam sebagai motivasi dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang Pencipta Semesta Raya dengan rasa riang. Ratu Verlyne terlahir sebagai penghibur, yang sanggup membuat orang lain gembira meski dia sendiri tak selalu merasakannya.

 

Sanjungan yang diterima tak membuat Ratu Verlyne melayang. Begitu juga cibiran tak membuat dirinya tumbang. Ratu Verlyne tetaplah Ratu Verlyne, yang kehadirannya selalu dirindukan, namanya dielu-elukan. Dan, dia tetaplah perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti sepenuhnya meski dapat dinikmati seutuhnya. Ratu Verlyne ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu hati.


 

K.Ah.Kl.030846.020225.01:41

 

Nama Lengkap

:

Verlyne Eca Safitri

Tanggal Lahir

:

31 Oktober 2006

TK

:

TK Al Hidayah 2 Jember Kidul

SD

:

SDN Tanggul Wetan 04

SMP

:

SMPN 1 Tanggul

SMA

:

SMKN 8 Jember

Idola

:

Ratna Antika dan Bernadya

Lagu Favorit

:

Candu, Tau Dadi Cerito, Sampek Tuwek, Pengarepan, dan Nresnasi

 

Referensi

al-Fārābī, A. N. (1967). Kitāb al-mūsīqī al-kabīr. Kairo: Dār al-kātib al-ʻarabī li-al-ṭibāʻa wa-al-našr. Diambil kembali dari https://archive.org/details/KitabAlMusiqaAlKadirByAlFarabiarabic_201801

Darwin, C. (1872). The expression of the emotions in man and animals. London: John Murray. Diambil kembali dari http://darwin-online.org.uk/content/frameset?itemID=F1142&viewtype=text&pageseq=1

David, B. (2014). Seductive pleasures, eluding subjectivities: some thoughts on dangdut’s ambiguous identity. Dalam B. A. Barendregt, Sonic modernities in the Malay world: A history of popular music, social distinction and novel lifestyles (1930s–2000s) (hal. 249-268). Leiden: Brill Publishers. Diambil kembali dari https://books.google.co.id/books?id=0wUSBQAAQBAJ&lpg=PA258&ots=U3biazYboQ&lr&hl=id&pg=PA258#v=onepage&q&f=false

Davis, D. E., Hook, J. N., Jr., E. L., Tongeren, D. R., Gartner, A. L., Jennings, D. J., & Emmons, R. A. (2011). Relational humility: conceptualizing and measuring humility as a personality judgment. Journal of Personality Assessment, 93(3), 225-234. Diambil kembali dari https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00223891.2011.558871

Fitriya, A. (2018). Hubungan kuasa komunikasi panggung penyanyi dangdut. Interaksi Online, 6(1), 1-9. Diambil kembali dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/interaksi-online/article/view/19034

Hakim, C. (2010). Erotic Capital. European Sociological Review, 26(5), 499-518. Diambil kembali dari http://www.catherinehakim.org/wp-content/uploads/2011/07/ESR-Erotic-Capital-Oct-2010.pdf

McNeill, R. J. (2000). Sejarah musik: musik awal sejak masa yunani kuno sampai akhir masa barok, tahun 0-1760. Jakarta Pusat: Gunung Mulia. Diambil kembali dari https://books.google.co.id/books?isbn=9799290724

Najib, E. A. (2017, Februari 20). Latihan lemah lembut. Diambil kembali dari Daur-II CakNun.com: https://www.caknun.com/2017/latihan-lemah-lembut/

Prasetyo, A. D. (2012, April 11). Musik yang paling benar. Diambil kembali dari AhmadDhani.com: http://ahmaddhani.com/musik-yang-paling-benar/

Queen. (2008, Agustus 2). Queen - Bicycle Race (Official Video). Diambil kembali dari Youtube Queen Official: https://youtu.be/xt0V0_1MS0Q

Rusdy, S. T. (2013). Rahwana Putih: Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta. Jakarta Selatan: Yayasan Kertagama.

Simms, J. (2024, September 25). Kim Kardashian's Billionaire Journey & 5 Steps to Wealth. Diambil kembali dari CEO Today Magazine: https://www.ceotodaymagazine.com/2024/09/kim-kardashian-from-reality-tv-star-to-billionaire-mogul-5-steps-to-become-a-millionaire-by-2025/

Stajkovic, A. D. (2006). Development of a core confidence-higher order construct. Journal of Applied Psychology, 91(6), 1208-1224. Diambil kembali dari http://psycnet.apa.org/record/2006-20695-002

Wallach, J. (2014). Notes on dangdut music, popular nationalism, and indonesian islam. Dalam B. A. Barendregt, Sonic modernities in the Malay world: A history of popular music, social distinction and novel lifestyles (1930s–2000s) (hal. 271-289). Leiden: Brill Publishers. Diambil kembali dari https://books.google.co.id/books?id=0wUSBQAAQBAJ&lpg=PA271&ots=U3biazYboQ&lr&hl=id&pg=PA271#v=onepage&q&f=false

Weintraub, A. N. (2006). Dangdut soul: who are ‘the people’in indonesian popular music? Communication, 16(4), 411-431. Diambil kembali dari https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32386936/Dangdut_Soul_2006.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1523643626&Signature=xkGFl3U113tCfG3VxNC9XOsE8k4%3D&response-content-disposition=inline%3B%20filename%3DDangdut_Soul_Who_are_the_Peo

Weintraub, A. N. (2010). Dangdut stories: a social and musical history of indonesia's most popular music. Oxford: Oxford University Press. Diambil kembali dari https://books.google.co.id/books?id=VP1P_SQ5jj0C&lpg=PR7&ots=Bw24lo9Gbb&dq=Andrew%20Weintraub%20musik%20dangdut&lr&hl=id&pg=PA145#v=onepage&q&f=false

Wolf, N. (2002). The beauty myth: how images of beauty are used againts women. New York City: Morrow. Diambil kembali dari http://www.alaalsayid.com/ebooks/The-Beauty-Myth-Naomi-Wolf.pdf