Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus


Gedung Utara 1 Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus pada 18 Oktober 2010 pukul 14:03 GMT+7
Gedung Utara 1 Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus pada 18 Oktober 2010 pukul 14:03 GMT+7

Sistem pendidikan Indonesia sangat besar dan beragam. Terdapat lebih dari 60 juta siswa dan hampir 4 juta guru di sekitar 340.000 lembaga pendidikan. Jumlah tersebut merupakan terbesar keempat di dunia, setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat (AS). Dua kementerian bertanggung jawab untuk mengelola sistem pendidikan, ialah 84% lembaga dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan 16% lembaga lainnya dikelola oleh Kementerian Agama (Kemenag). Sekolah swasta memainkan peran penting dalam sistem pendidikan Indonesia, meskipun hanya terdapat 7% sekolah dasar swatas, tapi jumlahnya meningkat menjadi 56% sekolah menengah pertama dan 67% sekolah menengah atas.

Data tersebut tentu tidak sepenuhnya tepat karena terdapat beberapa lembaga pendidikan yang tidak terdaftar secara formal, entah di Kemdikbud maupun Kemenang. Namun, ketidaktepatan data tersebut menguatkan anggapan bahwa sistem pendidikan Indonesia sangat besar dan beragam. Perkembangan sistem pendidikan di Indonesia saat ini merupakan cerminan dari aspek masa lampau berupa warisan etnis dan agama yang beragam, perjuangannya untuk identitas nasional, dan akses tidak merata yang dimiliki berbagai masyarakat kepada sumber daya modal.

Sebelum lembaga pendidikan ‘sekolah’ diperkenalkan oleh Belanda, ‘pondok pesantren’ adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia di Indonesia. Dari sisi historis, ‘pondok pesantren’ adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional yang tidak hanya identik dengan makna keislaman walakin mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Sistem pesantren terdiri dari tiga elemen utama: kiai sebagai guru, santri sebagai murid, serta pondok sebagai asrama bersama yang disediakan oleh kiai untuk menampung para murid. Pesantren biasanya menggunakan model pembelajaran bandongan dan sorogan. Bandongan ialah pembelajaran yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun kitabnya. Sementara sorogan adalah pembelajaran yang inisiatifnya berasal dari santri sendiri, untuk lebih dapat mengerti pembahasan dalam kitab.

Dalam sistem pendidikan ‘pondok pesantren’, murid dapat memasuki dan meninggalkan pondok pesantren setiap saat sepanjang tahun karena pembelajaran tidak diselenggarakan sebagai kegiatan yang mengarah kepada kelulusan. Namun, sering terjadi ketika murid hendak meninggalkan pondok pesantren, dirinya menghadap kepada kiainya untuk berpamitan sekaligus meminta ijazah (Arab: الإِجازَة; Indonesia: kewenangan; Inggris: license) kelulusan. Kalau ijazah itu diberikan, santri tersebut mempunyai wewenang untuk mengajarkan kitab itu kepada orang lain—biasanya menjadi seorang kiai baru. Dari sini tampak bahwa lembaga ‘pondok pesantren’ punya kecenderungan yang sama dengan lembaga ‘madrasah’ di Timur Tengah dan ‘universitas’ di Eropa pada abad ke-10 sampai ke-15 dalam hal academic genealogy.

Kedatangan Belanda memberi warna lain dalam sistem pendidikan Indonesia. Pasalnya Belanda memperkenalkan sistem pendidikan berjenjang. Sistem ini dimulai dengan mendirikan lembaga pendidikan ‘sekolah’ untuk warga asal Eropa. Belakangan pada tahun 1870, dengan tumbuhnya Kebijakan Etis (Ethische Politiek) yang dirumuskan oleh Conrad Theodor van Deventer, Belanda turut mendirikan lembaga pendidikan ‘sekolah’ untuk ‘pribumi’ Indonesia. Ragam lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda sebagai berikut:
Tabel 1. Jenjang ragam lembaga dalam sistem pendidikan Belanda
Tingkat
Nama
Murid
Dasar
ELS
Europeesche Lagere-School
Warga Eropa
HSS
Hollandsch-Schakel-School
Warga Indonesia (jelata)
HIS
Hollandsch-Inlandsche-School
Warga Indonesia (bangsawan)
HCS
Hollandsch-Chinesche-School
Warga Cina
Menengah-bawah
MULO
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
Seluruh warga Hindia Belanda
Menengah-atas
AMS
Algemene Middelbare-School
Seluruh warga Hindia Belanda
Tinggi
HBS
Hogere Burger-School
Seluruh warga Hindia Belanda

Pemisahan rasial dalam sistem pendidikan mendorong beberapa tokoh Indonesia untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri untuk masyarakat setempat. Misalnya Aḥmad bin Hamzah Alatas mendirikan Jamiat Kheir (Arab: جمعية خير; Indonesia: Perkumpulan Kebaikan) di Jalan Pekojan II, Tambora, Jakarta Barat pada 16 Maret 1905, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah (Arab: محمدية; Indonesia: Pengikut Muhammad) di Jalan Cik Di Tiro, Kota Jogjakarta pada 18 November 1912, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Taman Siswa di Wirogunan, Kota Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Pada saat bersamaan, ‘pondok pesantren’ turut mengalami perkembangan. Seperti Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari di Cukir, Jombang pada 3 Agustus 1899. Guna menyiapkan lulusan pondok pesantren agar dapat menghadapi tantangan kontemporer, Kiai Hasyim Asy’ari mengembangkan Pondok Pesantren Tebuireng dengan menerapkan sistem berkelas (madrasi) seperti ‘sekolah’ dari Belanda.

Pengembangan tersebut dilakukan oleh Kiai Hasyim As’ari dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah, yang menyajikan pembelajaran berjenjang awalnya dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Kurikulum Madrasah Salafiyah Syafi’iyah disusun dengan memadukan ilmu syar’i seperti Fiqh dan non-syar’i seperti Bahasa Belanda yang dalam pelaksanaannya banyak dilakukan oleh Kiai Muhamamad Ilyas dan Kiai Abdul Wahid.

Tidak dimungkiri bahwa Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng terinspirasi oleh Madrasah al-Nizamiyyah (Arabic: المدرسة النظامية) yang didirkian oleh Abu Ali Hasan Nizam al-Mulk di Baghdad pada 1065. Pasalnya konten kurikulum madrasah yang dipimpin oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghozali tersebut yang memuat kajian keagamaan, bahasa dan sastra Arab, sejarag, ilmu formal (matematika dan logika), ilmu alam (fisika dan biologi), serta musik turut menjadi rujukan Kiai Abdul Wahid dalam menyusun kurikulum Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.

Pengembangan Pondok Pesantren Tebuireng turut menyulut daerah lain untuk mengikutinya, seperti di Kudus. Kiai Noor Chudlrin selaku pengelola Pondok Pesantren Tasywiquth Thullab, dikunjungi oleh Kiai Abdul Muhith, penduduk Langgar Dalem, Kudus yang lulus dari Universitas al-Azhar (Arab: جامعة الأزهر) Kairo, Mesir. Kepada Kiai Noor Chudlrin, Kiai Abdul Muhith menyampaikan keprihatian karena tidak terdapat madrasah formal di Kudus. Kiai Noor Chudlrin segera menanggapi dengan menyediakan tanah di sebelah selatan Pondok Pesantren Tasywiquth Thullab guna menjadi lahan pembangunan gedung madrasah.

Madrasah tersebut dinamai Tasywiquth Thullab (Arab: تشويق الطلاب; Indonesia: Tempat Perhatian Para Pelajar) seperti nama pondok pesantren yang dikelola oleh Kiai Noor Chudlrin. Secara resmi, madrasah berdiri pada 21 (atau 24?) November 1928. Madrasah Tasywiquth Thullab disingkat TB, bukan TT, karena mengambil dua huruf depan dan belakang. Akronim tersebut sengaja digunakan karena disamakan dengan kecenderungan penomoran andong di Kudus pada waktu itu yang menggunakan singkatan KS untuk KuduS.

Madrasah Tasywiquth Thullab didirikan dengan tujuan tafaqquh fi al-din (memahami agama) dengan cara “menyebarkan ilmu, mengurangi kebodohan” melalui kegiatan pembelajaran guna mempersiapkan para kader Islam ahlusunnah wal jama’ah yang cendekia, berwawasan global, dan berakhlaq mulia. Pembelajaran dilakukan secara berjenjang dalam 8 kelas, ialah sifir awal, sifir tsani, sifir tsalits serta qismul awal hingga qismul khomis. Kenaikan kelas ditentukan melalui het examen (eksamen), ialah ujian akhir untuk kenaikan tingkat, yang dilakukan dengan mengundang penguji dari luar, seperti Kiai Sholeh asal Tayu, istri Nyai Azizah putri Kiai Asnawi, Bendan, Kudus.

Dalam perjalanan setelah berdiri, Kiai Noor Chudlrin memilih untuk mengelola madrasah tanpa terlibat dalam pembelajaran. Kosok bali dengan Kiai Abdul Muhith yang melaksanakan pembelajaran tanpa terlibat pengelolaan. Selain Kiai Abdul Muhith, guru yang mengajar di Madrasah Tasywiquth Thullab pada masa awal ialah sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar guru Madrasah TBS pada masa awal
No.
Nama
Alamat
1
Kiai Abdul Muhith
Langgar Dalem, Kota, Kudus
2
Kiai Mushlichan Adjhuri
Langgar Dalem, Kota, Kudus
3
Kiai Turaichan Adjhuri
Langgar Dalem, Kota, Kudus
4
Kiai Mahmudi
Panjunan, Kota, Kudus
5
Kiai Abdul Muhith
Cendono, Dawe, Kudus
6
Kiai Dahlan
Piji, Dawe, Kudus
7
Habib Abdillah al-Jufri
Wergu, Kota, Kudus
8
Kiai Ismail
Langgar Dalem, Kota, Kudus
9
Kiai Mahmudi
Demaan, Kota, Kudus
10
Kiai Abdul Jalil
Langgar Dalem, Kota, Kudus

Belakangan Madrasah TB berubah nama menjadi Madrasah TBS, seiring penambahan kata ‘School’ pada 1934 oleh Kiai Abdul Jalil guna menghindari pembubaran dari Belanda. Sejak saat itulah nama Madrasah Tasywiquth Thullab School yang disingkat TBS mulai dikenal lebih luas. Apalagi para guru Madrasah TBS merupakan sosok terpandang di masyarakat. Habib Abdillah al-Jufri misalnya, yang merupakan keturunan Yaman, adalah kakek pemilik Toko Murah Kudus dan Habib Muhammad Alatas yang memiliki banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kudus. Kiai Abdul Muhith (Cendono) pun demikian, turut mendirikan Madrasah Miftahul Falah di Cendono pada 1945, guna memudahkan akses pendidikan untuk masyarakat Dawe.

Kiai Abdul Jalil, yang menambahi kata ‘school’ sehingga menjadi TBS, lahir di Bulumanis Kidul, Tayu, Pati dari pasangan Kiai Abdul Hamid dan Nyai Syamsiyah. Rekam jejak pendidikan diperoleh langsung dari ayahnya sampai 1919, yang beruntun dilanjutkan ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo asuhan Kiai Idris (1919 – 1920), Termas asuhan Kiai Dimyati (1920-1921), Kasingan Rembang asuhan Kiai Kholil Harun (1921-1924), lalu di Makkah.

Pernikahan pertama Kiai Abdul Jalil dengan Siti Siryati putri Kiai Adnan Bulumanis Kidul yang dikaruniai seorang putri bernama Roudloh berlangsung tak lama seiring wafatnya sang istri. Sepeninggal Siti Siryati, Abdul Jalil menikah dengan Nyai Aminah putri Kiai Noor Chudlrin, co-founder Madrasah TBS, yang dikaruniai seorang putra, yaitu Hamdan Abdul Djalil. Tak berselang lama selepas pernikahan kedua, Abdul Jalil mulai khidmah ‘ilmiyyah sebagai guru di Madrasah TBS.

Kiai Abdul Jalil kemudian dipercaya oleh Kiai Noor Chudlrin menjadi Kepala Madrasah TBS sejak 1932. Pada masa kepemimpinan Abdul Jalil inilah Madrasah TBS mengalami banyak perkembangan penting. Selain penambahan kata ‘school’ guna menghindari pembubaran dari Belanda, Kiai Abdul Jalil juga mengembangkan kurikulum madrasah dengan memasukkan ilmu non-syar’i seperti Bahasa Belanda, Matematika, dan Fisika.

Kiai Abdul Jalil juga berperan penting dalam memperbarui sistem insentif guru Madrasah TBS. Mulanya guru Madrasah TBS tidak mendapatkan insentif berupa uang, tapi buah kelapa kebun milik Madrasah TBS di dukuh Kajan, Krandon, Kudus. Namun, lama-kelamaan buah kelapa tersebut kian menumpuk di madrasah karena kerepotan dibawa pulang ke rumah oleh beberapa guru yang mengajar. Saking lamanya, buah kelapa tersebut banyak yang tumbuh di sekitar madrasah.

Peristiwa tersebut memancing perhatian pada guru Madrasah TBS. Salah satunya ialah Kiai Ma’mun Ahmad, yang mulai mengajar di Madrasah TBS pada 1934. Kiai Ma’mun Ahmad mengusulkan agar buah kelapa tersebut dilelang untuk keperluan para guru di madrasah, seperti membeli peralatan pembelajaran dan minum untuk guru di sela-sela mengajar. Usulan Kiai Ma’mun Ahmad pun disetujui. Pasalnya saat itu terdapat guru yang membawa uang saku untuk kepentingan membeli peralatan sekolah semacam kapur dan buku tulis.

Keadaan tersebut membuat Kiai Abdul Jalil prihatin, hingga memunculkan inisiatif pengadaan uang masuk dari murid melalui sistem i’anah syahriyyah (bantuan bulanan). Sayang inisiatif tersebut setelah diusulkan oleh Kiai Abdul Jalil justru memancing polemik antara dirinya dengan Kiai Abdul Muhith (Langgar Dalem). Kiai Abdul Muhith berpendapat bahwa orang yang belajar ilmu syar’i (ngaji agama) tidak etis ditarik iuran dengan alasan apapun. Sebagai penguat pendapat, Kiai Abdul Muhith memberi garansi bahwa seluruh penghasilan panen dari sawahnya akan diberikan kepada para guru yang mengajar di Madrasah TBS. Kiai Abdul Jalil yang menanggapi penguat tersebut dengan menuturkan bahwa sawah tidak bisa selamanya dijadikan jaminan pemasukan madrasah terutama ketika mengalami gagal panen.

Komunikasi berjalan dinamis tanpa titik temu hingga berujung pada pengunduran Kiai Abdul Muhith karena Kiai Abdul Jalil keukeuh menjalankan rencana i’anah syahriyyah. Selepas mengundurkan diri dari Madrasah TBS, Kiai Abdul Muhith mendirikan lembaga pendidikan Ma’ahid pada 1937, yang mulanya dijalankan laiknya pondok pesantren (tradisional) tanpa memungut iuran dari murid. Hal ini karena Kiai Abdul Muhith memang lebih terobsesi dengan ilmu syar’i serta penghasilan dari panen sawahnya sudah mencukupi kebutuhan lembaga. Perlu ditegaskan bahwa pengunduran Kiai Abdul Muhith sepenuhnya karena perbedaan tata kelola lembaga (organisasi), bukan masalah akidah.

Kiai Abdul Jalil sendiri, selepas berpisah dengan Kiai Abdul Muhith, berjuang agar Madrasah TBS mendapatkan pemasukan dana. Selain menjalankan sistem i’anah syahriyyah, dirinya juga berusaha menggaet iklan melalui penerbitan majalah Soeara T.B.S. Majalah Soeara T.B.S. terbit setiap empat bulan dari Madrasah TBS sejak April 1938. Dalam mengelola majalah, Kiai Abdul Jalil yang menjadi Mede Redecteur (Indonesia: Redaktur Senior) dibantu oleh Kiai Turoichan Adjhuri sebagai Hoofd Redacteuren (Indonesia: Pemimpin Redaksi) bersama Tamyiz Chudlory serta Muhammad Mas’oed Noor sebagai bagian Administratie (Indonesia: Kesekretariatan).

Usaha mereka tak sia-sia. Pasalnya pada edisi kedua, Agustus 1938, majalah Soeara T.B.S. berhasil menggaet 13 pengiklan. Padahal tarif yang dipatok saat itu sebesar ƒ5 (5 gulden Belanda) untuk iklan satu halaman penuh.
Tabel 3. Tarif Iklan Soara T.B.S. pada 1938
Halaman
Tarif (dalam gulden Belanda)
Penuh
5
Setengah
2,75
Seperempat
1,5
Seperdelapan
1
Keterangan:
Nilai tukar gulden terhadap dolar AS pada 1938:
ƒ1 = US$0,41 atau ƒ2,46 = $1

Manfaat lain dari penerbitan majalah Soara T.B.S. ialah menjadi sarana komunikasi dengan Dewan Islam yang dipimpin oleh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, salah satu pendiri Al-Jam'iyatul Washliyah (Arab : الجمعيةالوصليه) di Medan pada 30 November 1930. Kelak komunikasi antara Muhammad Arsyad Thalib Lubis dari Dewan Islam dengan Soeara T.B.S. yang diwakili oleh Kiai Turoichan Adjhuri berlanjut ketika keduanya menjadi anggota Konstituante pada 9 November 1956 sampai 5 Juli 1959. Sebagai anggota Konstituante, Muhammad Arsyad Thalib Lubis mewakili Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sementara Turoichan Adjhuri menjadi wakil dari Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Curriculum Vitae Kiai Turochan Adjhuri sebagai anggota Konstituante
Curriculum Vitae Kiai Turochan Adjhuri sebagai anggota Konstituante

Kiai Turoichan Adjhuri adalah mad genious yang memiliki rekam jejak unik dalam lintasan perjalanan Madrasah TBS. Pasalnya dirinya sudah diminta untuk ikutserta mengajar ketika berusia 13 tahun. Padahal pada waktu bersamaan Kiai Turaichan Adjhuri juga masih menjadi pelajar di Madrasah TBS. Alhasil, ketika pagi hari, Kiai Turoichan Adjhuri menjadi guru dan pada siang hari diajar Tafsir Jalalain oleh Habib Abdillah al-Jufri. Hal ini membuat Kiai Turoichan Adjhuri tercatat sebagai abiturien (lulusan) sekaligus guru pada masa awal Madrasah TBS.

Sebagai murid, Kiai Turoichan Adjhuri sangat menggandrungi Ilmu Falak (paduan Astronomi dan Fiqh) dengan belajar kepada Kiai Abdul Jalil. Keduanya kerap terlibat korenspondensi menyangkut masalah Ilmu Falak. Tak jarang korespondensi tersebut dilakukan dengan cara membuat almanak (Arab: ألمناخ; Indonesia: musim) versi masing-masing untuk saling dibandingkan. Almanak adalah terbitan tahunan yang mengandung informasi tabular untuk beberapa topik yang disusun sesuai dengan kalender.

Sebagai guru, Kiai Turoichan Adjhuri mengajar Ilmu Falak dan Fisika serta menjadi Pemimpin Redaksi Soara T.B.S. seperti telah dituturkan. Perjalanan Turoichan Adjhuri sebagai guru di Madrasah TBS berakhir ketika dirinya menjadi anggota Konstituante. Sejak saat itu, peran Kiai Turoichan Adjhuri di Madrasah TBS ialah sebagai penasihat aktif. Lagipula selepas menjadi anggota Konstituante, aktivitas Kiai Turoichan Adjhuri bersama Nahdlatul Ulama (NU) dan Departemen Agama (Depag; kini Kemenag) tidak berhenti.

Dalam perjalanan selanjutnya pada 1970, Kiai Abdul Jalil mulai ingin menghilangkan kata ‘school’ dari nama madrasah. Pasalnya alasan penambahan tersebut, ialah guna menghindari pembubaran dari Belanda, sudah tidak berlaku selepas berdirinya Republik Indonesia. Karena nama Madrasah TBS sudah dikenal luas sampai luar Kudus, Kiai Abdul Jalil ingin agar akronim ‘S’ tetap dipertahankan, hanya ‘school’ saja yang diganti.

Alhasil, muncull dua usulan dalam rapat para guru: ‘sunniyyah’ dan ‘salafiyyah’. Salah satu pendukung usulan ‘sunniyyah’ ialah Kiai Ma’mun Ahmad, yang keberatan dengan ‘salafiyyah’ lantaran identik dengan gerakan salafi yang biasa disematkan kepada pengikut Ibn Taimiyyah. Agar tidak menimbulkan gesekan internal, dua usulan hasil rapat tersebut kemudian disampaikan oleh Kiai Machin (Mlati, Kota, Kudus) dan Kiai Sya'ban Budiono (Karang Malang, Gebog, Kudus) kepada KH. Turoichan Adjhuri selaku penasihat aktif Madrasah TBS.

KH. Turocihan Adjhuri mengapresiasi dua usulan tersebut. Menurutnya, kata ‘sunniyyah’ dan ‘salafiyyah’ sama-sama punya makna positif. Namun, dirinya lebih memilih untuk menggunakan kata ‘salafiyyah’ ketimbang ‘sunniyyah’ atas dasar nadzom (Arab: نظم) ke-137 yang dimuat dalam buku Jauhar al-Tauhid (Arab: جوهرة التوحيد), salah satu buku penting yang membahas aqidah sunniyyah karya Burhan al-Din Abu Ishaq Ibrohim al-Laqqoni (Arab: برهان الدين أبو إسحاق إبراهيم اللقاني) pada 1631:
وَكُلُّ شَرٍ في ابْتـدَاعِ مِـنْ خَلَـفْ
فَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَف
yang dapat diartikan:
“Segala kebaikan itu mengikuti orang dahulu dan segala yang keburukan itu karena inovasi orang sekarang.”

To be continued...

K.Sn.Po.160440.231218.23:34

Referensi

— Bibliografi

Ahmad Irham. (2016, 3 Agustus). KH. Abdul Muhith, Kiai Zahid Pendiri TBS dan Ma’ahid. Santri Menara. [lihat]

Ari Jumrotun. (2018) Biografi K.H. Turaichan Adjhuri Kudus 1915-1999 M. Skripsi Thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [lihat]

Byron G. Massialas and Samir A. Jarrar. (1987). Conflicts in Education in the Arab World: The Present Challenge. Arab Studies Quarterly, 9(1), 35-52. [lihat]

George Makdisi. (1989). Scholasticism and Humanism in Classical Islam and the Christian West. Journal of the American Oriental Society, 109 (2),175–182: 175-177. [lihat]

Muhammad Abdullah Badri. (2016, 25 April). Sejarah Madrasah TBS di Masa Awal Berdirinya Nahdlatul Ulama. Duta Islam. [lihat]

Musthofa Imron. (2016). Sejarah Madrasah TBS Kudus. Madrasah TBS. [lihat]

Nurcholish Madjid. (1997). Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan: 17 & 34. Jakarta Selatan: Paramadina. [lihat]

OECD & ADB. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge,69-72. Paris: OECD Publishing. [lihat]

Qomarul Adib & Rosyidi. (2018, 22 Mei). Mengenal Maestro Astronomi dari Pati. Alif. [lihat]

Syamsir. (2013, 22 Februari). HM Arsyad Thalib Lubis. Kabar Washliyah. [lihat]

— Dokumen

“Curriculum Vitae Kiai Turochan Adjhuri sebagai anggota Konstituante”, yang ditulis tangan (mungkin oleh staf di Bandung) berdasarkan informasi yang diberikan langsung oleh Kiai Turochan Adjhuri diambil dari koleksi Konstituante (RA14) berkas nomor 10 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang hasil scan dari Kevin W. Fogg (Albukhary Foundation Fellow in the History of Islam in Southeast Asia, Oxford Centre for Islamic). [profil]

“Selayang Pandang Perjalanan Madrasah TBS Kudus” yang disusun oleh Kiai Musthofa Imron pada 24 Juni 2013 (diperbarui pada 16 Februari 2016) diperoleh dari Pak Syafi’i Noor pada 10 Oktober 2017 setelah diberi ijin oleh penyusun pada 9 Oktober 2017.

— Wawancara

Wawancara informal dengan Pak Musthafa ‘Imron pada 9 Oktober 2017 dan 16 Mei 2018.

Alobatnic bersama Kiai Musthofa Imron dalam acara di Pondok Pesantren Ath-Thullab (salah satu lembaha pendidikan yang dikelola oleh Madrasah TBS) pada 15 Juli 2017 pukul 18:39 GMT+7
Alobatnic bersama Kiai Musthofa Imron dalam acara di Pondok Pesantren Ath-Thullab (salah satu lembaha pendidikan yang dikelola oleh Madrasah TBS) pada 15 Juli 2017 pukul 18:39 GMT+7