Gedung Utara 1 Madrasah Tasywiquth Thullab
Salafiyyah (TBS) Kudus pada 18 Oktober 2010 pukul 14:03 GMT+7
|
Sistem
pendidikan Indonesia sangat besar dan beragam. Terdapat lebih dari 60 juta
siswa dan hampir 4 juta guru di sekitar 340.000 lembaga pendidikan. Jumlah
tersebut merupakan terbesar keempat di dunia, setelah Republik Rakyat Cina
(RRC), India, dan Amerika Serikat (AS). Dua kementerian bertanggung jawab untuk
mengelola sistem pendidikan, ialah 84% lembaga dikelola oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan 16% lembaga lainnya dikelola oleh
Kementerian Agama (Kemenag). Sekolah swasta memainkan peran penting dalam
sistem pendidikan Indonesia, meskipun hanya terdapat 7% sekolah dasar swatas,
tapi jumlahnya meningkat menjadi 56% sekolah menengah pertama dan 67% sekolah
menengah atas.
Data
tersebut tentu tidak sepenuhnya tepat karena terdapat beberapa lembaga
pendidikan yang tidak terdaftar secara formal, entah di Kemdikbud maupun
Kemenang. Namun, ketidaktepatan data tersebut menguatkan anggapan bahwa sistem
pendidikan Indonesia sangat besar dan beragam. Perkembangan sistem pendidikan
di Indonesia saat ini merupakan cerminan dari aspek masa lampau berupa warisan
etnis dan agama yang beragam, perjuangannya untuk identitas nasional, dan akses
tidak merata yang dimiliki berbagai masyarakat kepada sumber daya modal.
Sebelum
lembaga pendidikan ‘sekolah’ diperkenalkan oleh Belanda, ‘pondok pesantren’
adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia di Indonesia. Dari sisi
historis, ‘pondok pesantren’ adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud
proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional yang tidak hanya identik
dengan makna keislaman walakin mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa
kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan
lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan
peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.
Sistem
pesantren terdiri dari tiga elemen utama: kiai sebagai guru, santri sebagai
murid, serta pondok sebagai asrama bersama yang disediakan oleh kiai untuk
menampung para murid. Pesantren biasanya menggunakan model pembelajaran bandongan
dan sorogan. Bandongan ialah pembelajaran yang inisiatifnya
berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun
kitabnya. Sementara sorogan adalah pembelajaran yang inisiatifnya
berasal dari santri sendiri, untuk lebih dapat mengerti pembahasan dalam kitab.
Dalam
sistem pendidikan ‘pondok pesantren’, murid dapat memasuki dan meninggalkan
pondok pesantren setiap saat sepanjang tahun karena pembelajaran tidak
diselenggarakan sebagai kegiatan yang mengarah kepada kelulusan. Namun, sering
terjadi ketika murid hendak meninggalkan pondok pesantren, dirinya menghadap
kepada kiainya untuk berpamitan sekaligus meminta ijazah (Arab: الإِجازَة; Indonesia: kewenangan; Inggris: license)
kelulusan. Kalau ijazah itu diberikan, santri tersebut mempunyai wewenang untuk
mengajarkan kitab itu kepada orang lain—biasanya menjadi seorang kiai baru.
Dari sini tampak bahwa lembaga ‘pondok pesantren’ punya kecenderungan yang sama
dengan lembaga ‘madrasah’ di Timur Tengah dan ‘universitas’ di Eropa pada abad
ke-10 sampai ke-15 dalam hal academic genealogy.
Kedatangan
Belanda memberi warna lain dalam sistem pendidikan Indonesia. Pasalnya Belanda
memperkenalkan sistem pendidikan berjenjang. Sistem ini dimulai dengan
mendirikan lembaga pendidikan ‘sekolah’ untuk warga asal Eropa. Belakangan pada
tahun 1870, dengan tumbuhnya Kebijakan Etis (Ethische Politiek) yang
dirumuskan oleh Conrad Theodor van Deventer, Belanda turut mendirikan lembaga
pendidikan ‘sekolah’ untuk ‘pribumi’ Indonesia. Ragam lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Belanda sebagai berikut:
Tabel
1. Jenjang ragam
lembaga dalam sistem pendidikan Belanda
|
|||
Tingkat
|
Nama
|
Murid
|
|
Dasar
|
ELS
|
Europeesche
Lagere-School
|
Warga Eropa
|
HSS
|
Hollandsch-Schakel-School
|
Warga Indonesia (jelata)
|
|
HIS
|
Hollandsch-Inlandsche-School
|
Warga Indonesia (bangsawan)
|
|
HCS
|
Hollandsch-Chinesche-School
|
Warga Cina
|
|
Menengah-bawah
|
MULO
|
Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs
|
Seluruh warga Hindia
Belanda
|
Menengah-atas
|
AMS
|
Algemene
Middelbare-School
|
Seluruh warga Hindia
Belanda
|
Tinggi
|
HBS
|
Hogere Burger-School
|
Seluruh warga Hindia
Belanda
|
Pemisahan
rasial dalam sistem pendidikan mendorong beberapa tokoh Indonesia untuk
mendirikan lembaga pendidikan sendiri untuk masyarakat setempat. Misalnya Aḥmad
bin Hamzah Alatas mendirikan Jamiat Kheir (Arab: جمعية خير; Indonesia: Perkumpulan Kebaikan) di Jalan Pekojan II, Tambora,
Jakarta Barat pada 16 Maret 1905, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah (Arab: محمدية; Indonesia: Pengikut Muhammad) di Jalan Cik Di Tiro, Kota
Jogjakarta pada 18 November 1912, dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar
Dewantara) mendirikan Taman Siswa di Wirogunan, Kota Yogyakarta pada 3 Juli
1922.
Pada
saat bersamaan, ‘pondok pesantren’ turut mengalami perkembangan. Seperti Pondok
Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari di Cukir, Jombang
pada 3 Agustus 1899. Guna menyiapkan lulusan pondok pesantren agar dapat
menghadapi tantangan kontemporer, Kiai Hasyim Asy’ari mengembangkan Pondok
Pesantren Tebuireng dengan menerapkan sistem berkelas (madrasi) seperti
‘sekolah’ dari Belanda.
Pengembangan
tersebut dilakukan oleh Kiai Hasyim As’ari dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah, yang menyajikan pembelajaran berjenjang awalnya dalam dua tingkat,
yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Kurikulum Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah disusun dengan memadukan ilmu syar’i seperti Fiqh dan non-syar’i
seperti Bahasa Belanda yang dalam pelaksanaannya banyak dilakukan oleh Kiai Muhamamad
Ilyas dan Kiai Abdul Wahid.
Tidak
dimungkiri bahwa Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng terinspirasi oleh
Madrasah al-Nizamiyyah (Arabic: المدرسة النظامية) yang didirkian oleh Abu Ali Hasan
Nizam al-Mulk di Baghdad pada 1065. Pasalnya konten kurikulum madrasah yang
dipimpin oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghozali tersebut yang memuat kajian
keagamaan, bahasa dan sastra Arab, sejarag, ilmu formal (matematika dan
logika), ilmu alam (fisika dan biologi), serta musik turut menjadi rujukan Kiai
Abdul Wahid dalam menyusun kurikulum Madrasah Salafiyah Syafi’iyah.
Pengembangan
Pondok Pesantren Tebuireng turut menyulut daerah lain untuk mengikutinya,
seperti di Kudus. Kiai Noor Chudlrin selaku pengelola Pondok Pesantren Tasywiquth Thullab,
dikunjungi oleh Kiai Abdul Muhith, penduduk Langgar Dalem, Kudus
yang lulus dari Universitas al-Azhar (Arab: جامعة الأزهر) Kairo, Mesir.
Kepada Kiai Noor Chudlrin, Kiai Abdul Muhith menyampaikan keprihatian karena tidak
terdapat madrasah formal di Kudus. Kiai
Noor Chudlrin segera
menanggapi dengan menyediakan tanah di sebelah selatan Pondok Pesantren
Tasywiquth Thullab guna menjadi lahan pembangunan gedung madrasah.
Madrasah tersebut dinamai Tasywiquth Thullab (Arab: تشويق الطلاب; Indonesia: Tempat
Perhatian Para Pelajar) seperti nama pondok pesantren yang dikelola oleh Kiai Noor Chudlrin. Secara resmi, madrasah berdiri pada 21
(atau 24?) November 1928. Madrasah Tasywiquth Thullab disingkat TB, bukan TT,
karena mengambil dua huruf depan dan belakang. Akronim tersebut sengaja
digunakan karena disamakan dengan kecenderungan penomoran andong di Kudus pada
waktu itu yang menggunakan singkatan KS untuk KuduS.
Madrasah Tasywiquth Thullab didirikan dengan tujuan tafaqquh fi al-din
(memahami agama) dengan cara “menyebarkan ilmu, mengurangi kebodohan” melalui
kegiatan pembelajaran guna mempersiapkan para kader Islam ahlusunnah wal jama’ah
yang cendekia, berwawasan global, dan berakhlaq mulia. Pembelajaran dilakukan
secara berjenjang dalam 8 kelas, ialah sifir awal, sifir tsani, sifir
tsalits serta qismul awal hingga qismul khomis. Kenaikan kelas
ditentukan melalui het examen (eksamen), ialah ujian akhir untuk kenaikan
tingkat, yang dilakukan dengan mengundang penguji dari luar, seperti Kiai Sholeh
asal Tayu, istri Nyai Azizah putri Kiai Asnawi, Bendan, Kudus.
Dalam perjalanan setelah berdiri, Kiai Noor Chudlrin memilih untuk
mengelola madrasah tanpa terlibat dalam pembelajaran. Kosok bali dengan Kiai Abdul
Muhith yang melaksanakan pembelajaran tanpa terlibat pengelolaan. Selain Kiai Abdul
Muhith, guru yang mengajar di Madrasah Tasywiquth Thullab pada masa awal ialah
sebagai berikut:
Tabel 2. Daftar guru Madrasah TBS pada masa awal
|
||
No.
|
Nama
|
Alamat
|
1
|
Kiai Abdul Muhith
|
Langgar Dalem, Kota,
Kudus
|
2
|
Kiai Mushlichan Adjhuri
|
Langgar Dalem, Kota,
Kudus
|
3
|
Kiai Turaichan Adjhuri
|
Langgar Dalem, Kota,
Kudus
|
4
|
Kiai Mahmudi
|
Panjunan, Kota, Kudus
|
5
|
Kiai Abdul Muhith
|
Cendono, Dawe, Kudus
|
6
|
Kiai Dahlan
|
Piji, Dawe, Kudus
|
7
|
Habib Abdillah al-Jufri
|
Wergu, Kota, Kudus
|
8
|
Kiai Ismail
|
Langgar Dalem, Kota,
Kudus
|
9
|
Kiai Mahmudi
|
Demaan, Kota, Kudus
|
10
|
Kiai Abdul Jalil
|
Langgar Dalem, Kota,
Kudus
|
Belakangan Madrasah TB berubah nama menjadi Madrasah TBS, seiring
penambahan kata ‘School’ pada 1934 oleh Kiai Abdul Jalil guna menghindari
pembubaran dari Belanda. Sejak saat itulah nama Madrasah Tasywiquth Thullab
School yang disingkat TBS mulai dikenal lebih luas. Apalagi para guru Madrasah
TBS merupakan sosok terpandang di masyarakat. Habib Abdillah al-Jufri misalnya,
yang merupakan keturunan Yaman, adalah kakek pemilik Toko Murah Kudus dan Habib
Muhammad Alatas yang memiliki banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)
di Kudus. Kiai Abdul Muhith (Cendono) pun demikian, turut mendirikan Madrasah
Miftahul Falah di Cendono pada 1945, guna memudahkan akses pendidikan untuk
masyarakat Dawe.
Kiai Abdul Jalil, yang menambahi kata ‘school’ sehingga menjadi TBS, lahir
di Bulumanis Kidul, Tayu, Pati dari pasangan Kiai Abdul Hamid dan Nyai
Syamsiyah. Rekam jejak pendidikan diperoleh langsung dari ayahnya sampai 1919,
yang beruntun dilanjutkan ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo asuhan Kiai Idris
(1919 – 1920), Termas asuhan Kiai Dimyati (1920-1921), Kasingan Rembang asuhan Kiai
Kholil Harun (1921-1924), lalu di Makkah.
Pernikahan pertama Kiai Abdul Jalil dengan Siti Siryati putri Kiai Adnan
Bulumanis Kidul yang dikaruniai seorang putri bernama Roudloh berlangsung tak
lama seiring wafatnya sang istri. Sepeninggal Siti Siryati, Abdul Jalil menikah
dengan Nyai Aminah putri Kiai Noor Chudlrin, co-founder Madrasah TBS,
yang dikaruniai seorang putra, yaitu Hamdan Abdul Djalil. Tak berselang lama selepas
pernikahan kedua, Abdul Jalil mulai khidmah ‘ilmiyyah sebagai guru di
Madrasah TBS.
Kiai Abdul Jalil kemudian dipercaya oleh Kiai Noor Chudlrin menjadi Kepala
Madrasah TBS sejak 1932. Pada masa kepemimpinan Abdul Jalil inilah Madrasah TBS
mengalami banyak perkembangan penting. Selain penambahan kata ‘school’ guna
menghindari pembubaran dari Belanda, Kiai Abdul Jalil juga mengembangkan
kurikulum madrasah dengan memasukkan ilmu non-syar’i seperti Bahasa
Belanda, Matematika, dan Fisika.
Kiai Abdul Jalil juga berperan penting dalam memperbarui sistem insentif
guru Madrasah TBS. Mulanya guru Madrasah TBS tidak mendapatkan insentif berupa
uang, tapi buah kelapa kebun milik Madrasah TBS di dukuh Kajan, Krandon, Kudus.
Namun, lama-kelamaan buah kelapa tersebut kian menumpuk di madrasah karena
kerepotan dibawa pulang ke rumah oleh beberapa guru yang mengajar. Saking
lamanya, buah kelapa tersebut banyak yang tumbuh di sekitar madrasah.
Peristiwa tersebut memancing perhatian pada guru Madrasah TBS. Salah
satunya ialah Kiai Ma’mun Ahmad, yang mulai mengajar di Madrasah TBS pada 1934.
Kiai Ma’mun Ahmad mengusulkan agar buah kelapa tersebut dilelang untuk
keperluan para guru di madrasah, seperti membeli peralatan pembelajaran dan
minum untuk guru di sela-sela mengajar. Usulan Kiai Ma’mun Ahmad pun disetujui.
Pasalnya saat itu terdapat guru yang membawa uang saku untuk kepentingan
membeli peralatan sekolah semacam kapur dan buku tulis.
Keadaan tersebut membuat Kiai Abdul Jalil prihatin, hingga memunculkan
inisiatif pengadaan uang masuk dari murid melalui sistem i’anah syahriyyah
(bantuan bulanan). Sayang inisiatif tersebut setelah diusulkan oleh Kiai Abdul
Jalil justru memancing polemik antara dirinya dengan Kiai Abdul Muhith (Langgar
Dalem). Kiai Abdul Muhith berpendapat bahwa orang yang belajar ilmu syar’i
(ngaji agama) tidak etis ditarik iuran dengan alasan apapun. Sebagai penguat
pendapat, Kiai Abdul Muhith memberi garansi bahwa seluruh penghasilan panen
dari sawahnya akan diberikan kepada para guru yang mengajar di Madrasah TBS. Kiai
Abdul Jalil yang menanggapi penguat tersebut dengan menuturkan bahwa sawah
tidak bisa selamanya dijadikan jaminan pemasukan madrasah terutama ketika
mengalami gagal panen.
Komunikasi berjalan dinamis tanpa titik temu hingga berujung pada
pengunduran Kiai Abdul Muhith karena Kiai Abdul Jalil keukeuh menjalankan
rencana i’anah syahriyyah. Selepas mengundurkan diri dari Madrasah TBS, Kiai
Abdul Muhith mendirikan lembaga pendidikan Ma’ahid pada 1937, yang mulanya
dijalankan laiknya pondok pesantren (tradisional) tanpa memungut iuran dari
murid. Hal ini karena Kiai Abdul Muhith memang lebih terobsesi dengan ilmu syar’i
serta penghasilan dari panen sawahnya sudah mencukupi kebutuhan lembaga. Perlu
ditegaskan bahwa pengunduran Kiai Abdul Muhith sepenuhnya karena perbedaan tata
kelola lembaga (organisasi), bukan masalah akidah.
Kiai Abdul Jalil sendiri, selepas berpisah dengan Kiai Abdul Muhith,
berjuang agar Madrasah TBS mendapatkan pemasukan dana. Selain menjalankan
sistem i’anah syahriyyah, dirinya juga berusaha menggaet iklan melalui
penerbitan majalah Soeara
T.B.S. Majalah Soeara T.B.S. terbit setiap empat bulan dari Madrasah
TBS sejak April 1938. Dalam mengelola majalah, Kiai Abdul
Jalil yang menjadi Mede Redecteur (Indonesia: Redaktur Senior) dibantu
oleh Kiai Turoichan Adjhuri sebagai Hoofd
Redacteuren (Indonesia: Pemimpin Redaksi) bersama Tamyiz Chudlory serta
Muhammad Mas’oed Noor sebagai bagian Administratie (Indonesia:
Kesekretariatan).
Usaha
mereka tak sia-sia. Pasalnya pada edisi kedua, Agustus 1938, majalah Soeara
T.B.S. berhasil menggaet 13 pengiklan. Padahal tarif yang dipatok saat itu
sebesar ƒ5 (5 gulden Belanda) untuk iklan satu halaman penuh.
Tabel
3. Tarif Iklan Soara
T.B.S. pada 1938
|
|
Halaman
|
Tarif
(dalam gulden Belanda)
|
Penuh
|
5
|
Setengah
|
2,75
|
Seperempat
|
1,5
|
Seperdelapan
|
1
|
Keterangan:
Nilai tukar gulden terhadap dolar AS pada 1938: ƒ1 = US$0,41 atau ƒ2,46 = $1 |
Manfaat
lain dari penerbitan majalah Soara T.B.S. ialah menjadi sarana
komunikasi dengan Dewan Islam yang dipimpin oleh Muhammad Arsyad Thalib
Lubis, salah satu pendiri Al-Jam'iyatul
Washliyah (Arab : الجمعيةالوصليه) di Medan pada 30 November 1930. Kelak komunikasi antara Muhammad
Arsyad Thalib Lubis dari Dewan Islam dengan Soeara T.B.S. yang
diwakili oleh Kiai Turoichan Adjhuri berlanjut ketika
keduanya menjadi anggota Konstituante pada 9 November 1956 sampai 5 Juli 1959.
Sebagai anggota Konstituante, Muhammad Arsyad Thalib Lubis mewakili Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sementara Turoichan Adjhuri menjadi
wakil dari Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Curriculum Vitae Kiai Turochan Adjhuri
sebagai anggota Konstituante
|
Kiai Turoichan Adjhuri
adalah mad genious
yang memiliki rekam
jejak unik dalam lintasan perjalanan Madrasah TBS. Pasalnya dirinya sudah
diminta untuk ikutserta mengajar ketika berusia 13 tahun. Padahal pada waktu
bersamaan Kiai Turaichan Adjhuri juga masih menjadi
pelajar di Madrasah TBS. Alhasil, ketika pagi hari, Kiai Turoichan
Adjhuri menjadi guru dan pada siang hari diajar Tafsir Jalalain oleh Habib Abdillah al-Jufri. Hal ini membuat Kiai
Turoichan Adjhuri tercatat sebagai abiturien (lulusan) sekaligus guru
pada masa awal Madrasah TBS.
Sebagai murid, Kiai Turoichan Adjhuri sangat menggandrungi Ilmu Falak
(paduan Astronomi dan Fiqh) dengan belajar kepada Kiai Abdul Jalil. Keduanya
kerap terlibat korenspondensi menyangkut masalah Ilmu Falak. Tak jarang
korespondensi tersebut dilakukan dengan cara membuat almanak (Arab: ألمناخ; Indonesia: musim)
versi masing-masing untuk saling dibandingkan. Almanak adalah terbitan tahunan
yang mengandung informasi tabular untuk beberapa topik yang disusun
sesuai dengan kalender.
Sebagai guru, Kiai Turoichan Adjhuri mengajar Ilmu Falak dan Fisika serta
menjadi Pemimpin Redaksi Soara T.B.S. seperti telah dituturkan.
Perjalanan Turoichan Adjhuri sebagai guru di Madrasah TBS berakhir ketika
dirinya menjadi anggota Konstituante. Sejak saat itu, peran Kiai Turoichan
Adjhuri di Madrasah TBS ialah sebagai penasihat aktif. Lagipula selepas menjadi
anggota Konstituante, aktivitas Kiai Turoichan Adjhuri bersama Nahdlatul Ulama
(NU) dan Departemen Agama (Depag; kini Kemenag) tidak berhenti.
Dalam perjalanan selanjutnya pada 1970, Kiai Abdul Jalil mulai ingin
menghilangkan kata ‘school’ dari nama madrasah. Pasalnya alasan penambahan
tersebut, ialah guna menghindari pembubaran dari Belanda, sudah tidak berlaku selepas
berdirinya Republik Indonesia. Karena nama Madrasah TBS sudah dikenal luas
sampai luar Kudus, Kiai Abdul Jalil ingin agar akronim ‘S’ tetap dipertahankan,
hanya ‘school’ saja yang diganti.
Alhasil, muncull dua usulan dalam rapat para guru: ‘sunniyyah’ dan ‘salafiyyah’.
Salah satu pendukung usulan ‘sunniyyah’ ialah Kiai Ma’mun Ahmad, yang keberatan
dengan ‘salafiyyah’ lantaran identik dengan gerakan salafi yang biasa
disematkan kepada pengikut Ibn Taimiyyah. Agar tidak menimbulkan gesekan
internal, dua usulan hasil rapat tersebut kemudian disampaikan oleh Kiai Machin
(Mlati, Kota, Kudus) dan Kiai Sya'ban Budiono (Karang Malang, Gebog, Kudus)
kepada KH. Turoichan Adjhuri selaku penasihat aktif Madrasah TBS.
KH. Turocihan Adjhuri mengapresiasi dua usulan tersebut. Menurutnya, kata ‘sunniyyah’
dan ‘salafiyyah’ sama-sama punya makna positif. Namun, dirinya lebih memilih
untuk menggunakan kata ‘salafiyyah’ ketimbang ‘sunniyyah’ atas dasar nadzom
(Arab: نظم)
ke-137 yang dimuat dalam buku Jauhar al-Tauhid (Arab: جوهرة التوحيد), salah satu buku
penting yang membahas aqidah sunniyyah karya Burhan al-Din Abu Ishaq Ibrohim
al-Laqqoni (Arab: برهان الدين
أبو إسحاق إبراهيم اللقاني) pada 1631:
وَكُلُّ شَرٍ في ابْتـدَاعِ مِـنْ خَلَـفْ
|
✡
|
فَكُلُّ خَيْرٍ
فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَف
|
yang dapat diartikan:
“Segala kebaikan itu mengikuti orang dahulu dan segala yang keburukan itu
karena inovasi orang sekarang.”
To be continued...
K.Sn.Po.160440.231218.23:34
Referensi
— Bibliografi
Ahmad
Irham. (2016, 3 Agustus). KH. Abdul Muhith, Kiai Zahid Pendiri TBS dan Ma’ahid.
Santri Menara. [lihat]
Ari
Jumrotun. (2018) Biografi K.H. Turaichan Adjhuri Kudus 1915-1999 M. Skripsi Thesis,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [lihat]
Byron
G. Massialas and Samir A. Jarrar. (1987). Conflicts in Education in the Arab
World: The Present Challenge. Arab Studies Quarterly, 9(1), 35-52. [lihat]
George
Makdisi. (1989). Scholasticism and Humanism in Classical Islam and the
Christian West. Journal of the American Oriental Society, 109
(2),175–182: 175-177. [lihat]
Muhammad
Abdullah Badri. (2016, 25 April). Sejarah Madrasah TBS di Masa Awal Berdirinya
Nahdlatul Ulama. Duta Islam. [lihat]
Musthofa
Imron. (2016). Sejarah Madrasah TBS Kudus. Madrasah TBS. [lihat]
Nurcholish
Madjid. (1997). Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan: 17
& 34. Jakarta Selatan: Paramadina. [lihat]
OECD
& ADB. (2015). Education in Indonesia: Rising to the Challenge,69-72.
Paris: OECD Publishing. [lihat]
Qomarul
Adib & Rosyidi. (2018, 22 Mei). Mengenal Maestro Astronomi dari Pati. Alif.
[lihat]
Syamsir.
(2013, 22 Februari). HM Arsyad Thalib Lubis. Kabar Washliyah. [lihat]
— Dokumen
“Curriculum
Vitae Kiai Turochan Adjhuri sebagai anggota Konstituante”, yang ditulis tangan
(mungkin oleh staf di Bandung) berdasarkan informasi yang diberikan langsung
oleh Kiai Turochan Adjhuri diambil dari koleksi Konstituante (RA14) berkas nomor
10 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang hasil scan dari Kevin
W. Fogg (Albukhary Foundation Fellow in the History of Islam in Southeast Asia,
Oxford Centre for Islamic). [profil]
“Selayang
Pandang Perjalanan Madrasah TBS Kudus” yang disusun oleh Kiai Musthofa Imron
pada 24 Juni 2013 (diperbarui pada 16 Februari 2016) diperoleh dari Pak Syafi’i
Noor pada 10 Oktober 2017 setelah diberi ijin oleh penyusun pada 9 Oktober 2017.
— Wawancara
Wawancara
informal dengan Pak Musthafa ‘Imron pada 9 Oktober 2017 dan 16 Mei 2018.
Alobatnic bersama Kiai Musthofa Imron
dalam acara di Pondok Pesantren Ath-Thullab (salah satu lembaha pendidikan yang
dikelola oleh Madrasah TBS) pada 15 Juli 2017 pukul 18:39 GMT+7
|