— yakin diri
dan rendah hati memanfaatkan kecantikan
Perkembangan
seni fotografi dan industri busana membuat kebutuhan terhadap model (peragawati)
ikut terdongkrak. Model menjadi bidang yang mulai digeluti oleh banyak pihak.
Tak sekadar sebagai pekerjaan sampingan, melainkan menjadi karier utama
seseorang. Bahkan beberapa model bisa membuka lapangan pekerjaan sebagai tambang uang.
Model merupakan pekerjaan yang bergerak dalam bidang jasa
untuk menampilkan busana dan/atau menjadi objek pemotretan. Seperti jenis
pekerjaan lain, menjadi model juga memiliki keuntungan dan kerugian. Tak dimungkiri
memang menjadi model bisa memberi kegembiraan tersendiri, terlebih jika
dilakoni sepenuh hati. Namun tak disangkal pula bahwa banyak tantangan yang
dihadapi, apalagi kalau sudah berada pada posisi tinggi.
Keuntungan
menjadi model, antara
lain, menjadi panutan dalam penampilan. Penampilan badan seorang model biasa dianggap sebagai acuan. Karena menjadi acuan, model mudah dikenal oleh banyak kalangan. Dikenal banyak
kalangan memudahkan model untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga
menggunakannya sebagai sarana meraih penghasilan.
Keuntungan
tentu sebanding dengan kerugian yang didapatkan. Anggapan bahwa model merupakan acuan dalam berpenampilan membuat model seakan dituntut untuk senantiasa memperhatikan
penampilan badan. Perhatian dapat berupa perawatan fisik, pemilihan busana yang
dikenakan, hingga perilaku ketika mengenakan busana tertentu. Ditambah dengan
tingkat keterkenalan yang tinggi, tuntutan tersebut membuat perjalanan pribadi model cukup terganggu.
Keuntungan dan kerugian tersebut
disadari dengan baik oleh Venice Min [陈慧敏],
model asal Malaysia. Jauh sebelum menjadi model, perempuan
kelahiran Penang 9 Maret 1993 tersebut menghabiskan masa kecilnya untuk
menekuni dunia tari sebagai ballerina. Ketekunan sebagai penari sempat
membuatnya diminta menjadi pelatih balet yang sekitar empat tahun dijalani
olehnya. Model sendiri mulai ditekuni tatkala usia Venice menyentuh
angka tujuhbelas.
Langkah menjadi model dimulai
ketika dirinya lulus sekolah menengah atas. Awalnya Venice bergabung dengan
Velvet Productions, sebuah agensi asal kota kelahiran. Beberapa waktu kemudian,
perusahaan majalah asal Kuala Lumpur tertarik untuk menggunakan jasanya sebagai
objek pemotretan. Dari pemotretan itulah karier model dimulai.
Venice cukup ulet dalam melakukan
pekerjaan yang dia lakoni. Tak
sampai dua tahun, namanya berhasil terukir sebagai FHM Most Wanted Women in
the World pada tahun 2015. Satu catatan yang membuatnya berada di jajaran
papan atas.
Berada di jajaran papan atas
memudahkan Venice dalam mendapat tawaran. Banyak pihak—mulai dari majalah myc!,
Sisters, Jasmine, Hypertune Magazine, hingga FHM—meminta
Venice menjadi objek pemotretan. Tak sedikit brand—antara lain Swarovski,
Sony A5100, UNIQLO Malaysia, dan HSBC Bank—juga tertarik
meminta jasanya sebagai bintang iklan. Dalam pentas peragaan busana—seperti
dalam Milan Fashion Week, Bangkok International Fashion Week, Singapore
Fashion week, dan New York Fashion Week—dirinya juga sering
ikutserta mengambil bagian.
Venice termasuk sosok yang memiliki
semangat kuat dalam bekerja. Tak sekadar bekerja sebagai model, dirinya
juga sesekali menerima tawaran saat diminta menjadi actress (pemeran)
drama. Venice memang bukan seorang dramatic girl, walakin sebagai workaholic
dirinya piawai memainkan peran yang harus ditampilkan. My Mr. Right yang
diproduksi di Taiwan serta Come Play with Us yang diproduksi di Amerika
Serikat adalah dua film yang pernah dia mainkan.
“I have acted in 2 movies so far.
The first is ‘My Mr.Right’, a Taiwanese film which was shot a couple of years
ago, and ‘Come Play With Us’. Which is a new horror western film from US, which
just finished filming not too long ago.” tutur
Venice..
Venice tak serta merta meninggalkan
pendidikan formalnya di sekolah walau sudah merambah pentas hiburan. Selain
peduli terhadap kepantasan penampilan badan, Venice juga peduli pada
pendidikan. Maret 2016 silam belajar formalnya pada program studi Public
Relations and Broadcasting di Taylor’s University berhasil diselesaikan.
“I just
graduated 2 months ago- I was previously studying in Taylors Lakeside.. erm in
PR and broadcasting degree student and I just finished it.” papar Venice
berkisah.
“Well,
it was really tough because you get so exhausted from working and waking up
early to school and stuff. So its kinda tough but I believe that if you are
very organised and you know what you want in life then I think its not a
problem , it’s the matter you want it or you don’t want it!” lanjut Venice
mencerirtakan caranya menyeimbangkan pendidikan formal dan pekerjaan
profesional.
Venice memang serakah. Seperti tak
mau berdiam diri, Venice selalu mencoba lalu memperjuangkan banyak ranah yang
jamah. Tak terpaku dengan semat sebagai penari, model, dan pemeran, sisi
lain sebagai penulis juga dirambah.
“So
far I have been modelling about 4 years, 5 years now but I am moving on to
acting instead of modelling and blogging.” terangnya.
Artikel yang ditulis untuk dibagikan
melalui media yang dikelolanya merupakan paduan catatan keseharian sebagai
manusia biasa dan seorang figur penarik banyak perhatian public. Penuturannya
runut, rapi, dan rinci disertai dengan bahasa ringan dicerna.
Namun yang lebih penting ialah penghayatan terhadap artikel. Hal ini membuat
catatan Venice bukan sekadar materi untuk disampaikan melainkan menjadi energi
yang hendak disalurkan.
Venice adalah salah satu manusia
yang berani berunjuk rasa (expression) dengan cara yang bisa
dilakukannya. Keberanian berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya
dilatih sejak masa balita. “Express yourself!” tutur Madonna melalui Express
Yourself, lagu yang dirilis 9 Mei 1989 dalam album Like a Prayer.
Keberanian berunjuk rasa memberi
semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan penuh yakin diri (confident).
Yakin diri menjadi pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati (humble).
Manusia yang piawai berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri
dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan
rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri.
Walau unjuk rasanya menggembirakan
rasa manusia lainnya, perempuan yang baru mulai memakai miniset sejak 01
Agustus 2011 ini tetaplah manusia biasa. Venice butuh makan, minum, maupun
tidur, juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad
mood, minder, dsb. dst. laiknya manusia pada umumnya. Dengan ungkapan lain,
kepiawaian Venice dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai
pembawaan diri dalam menjalani keseharian sepertihalnya manusia biasa.
Venice tak pernah merasa muruahnya
merendah dengan mengungkapkan bahwa dirinya adalah penggemar berat Amber Chia [谢丽萍]. Dia juga biasa saja saat
berinteraksi dengan orang lain yang menyatakan sebagai penggemar beratnya.
“I think she is someone you can
idolise because she has very strong characteristics and she knows what she
wants in life and also she is really humble, that’s what I like about her.”
tandasnya saat mengungkapkan kekaguman pada Amber Chia, penghibur bahadur asal
negerinya.
Sebagai seorang pengagum, wajar
kalau Venice meniru rekam jejak Amber Chia. Tak sebatas menekuni sisi model,
Venice pun ikutserta membantu talenta muda. Venice membangun VM STUDIOS
sepertihalnya Amber Chia membangun Amber Chia Academy. Melalui sarana ini,
dirinya ingin membantu talenta muda untuk mewujudkan mimpi.
Di luar sisi sebagai workaholic,
Venice tetap bersemangat saat terlibat obrolan, membaca buku, serta
jalan-jalan. Sembari mengayuh perjalanan selaras nuraninya, dia pun terus
melantan rasa cinta pada orangtua, keluarga, sahabat, gurunya, dan orang-orang
dekatnya. Venice memang mulai menjadi sosok yang dikagumi banyak orang hingga
mendapat semat sebagai panutan. Sebagai panutan, Venice tak lelah berusaha
untuk ikutserta memberikan penghiburan dan menyuntikkan pengharapan.
“I feel like I am doing something
good in my life – ya ya you will feel good – its about time to give back to the
people – its like when you see the kids are happy , you are happy and you are
so blessed.” ucapnya.
Venice tak setengah hati menggeluti
industri hiburan. Dengan tetap menyadari keuntungan dan kerugian yang
didapatkan, Venice tetap menjalani dengan penuh gairah membuncah.
“What I am doing, my passion in the
media industry is what I am doing right now. That’s my passion. I would
literally work every single day even on Sunday but ya sometimes I will get
tired.” ungkap perempuan bertinggi badan 170 cm ini.
Venice seakan mengayuh perjalanan yang membuat namanya memiliki harga jual.
Kehadirannya pun dapat memiliki nilai komersial. Keadaan yang demikian tentu
memudahkannya untuk ikutserta dalam berbagai kegiatan sosial.
Tak dimungkiri bahwa kecantikan
turut berperan dalam perjalanan Venice.
Karena kecantikan ini pula Venice
banyak mudah mendapatkan cibiran, seperti ‘modal cantik doang’. Pertanyaannya, salahkah menjadi
perempuan cantik? Sebagian
orang mungkin akan menjawab iya.
Naomi Wolf menuturkan bahwa
kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk mengeksploitasi
perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik. Pandangan Naomi beserta pendukungnya
boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang lengkap untuk menjadi genggaman.
Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik sebagai salah satu modal untuk
perempuan, seperti diungkapkan oleh Catherine Hakim melalui konsep erotic
capital.
Erotic
capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik, visual,
sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain. Ada enam
bagian dalam erotic
capital, kecantikan adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic
capital juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung
menyangka bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan (buat yang percaya Tuhan)
atau suatu kebetulan alamiah (buat yang cuma percaya Hukum Alam).
Cibiran terhadap Venice maupun orang
lain yang turut memanfaatkan kecantikan, banyak berpijak dari pandangan yang
menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan cantik adalah
bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja keras,
sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha.
Padahal posisinya bisa saja
terbalik. Pasalnya faktor genetis pun, terutama dari ibu, berperan penting
dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil cantik, seseorang
perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola konsumsi, merias
wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak perlu membutakan mata
menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat beragam kemudahan.
Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Yuryevna Sharapova (Maria
Sharapova). Pendapatan sebagai model jauh lebih banyak ketimbang menjadi
petenis. Maria bahkan masih tetap menambah kekayaan saat diskors gara-gara
kasus obat-obatan terlarang.
Erotic capital
sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya. Pertanyaan
selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan
sepertihalnya kecerdasan?
Ketika ada perempuan dandan,
dibilang menghabiskan waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka
waktu diisi dengan kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan
malahan tak jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan
perempuan, seperti modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.
Lebih menyesakkan lagi, ketika ada
perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya dilabeli ‘matre’ yang mengkhianati
kesucian cinta dalam perkawinan. Padahal, alasan di balik julukan ‘matre’
ini adalah bahwa lelaki harus mendapatkan kenikmatan yang mereka inginkan dari
perempuan secara gratis, terutama seks (sex).
Kecantikan dan upaya mempercantik
diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta kontes kecantikan,
misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan kecantikan dilihat sebagai
dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh perempuan. Perempuan yang
memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan semuanya, hanya boleh
memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa? Whyyy?
Venice
termasuk perempuan yang menggunakan kecerdasan dan kecantikan. Sah-sah saja
kalau Venice rajin merawat badan, terutama payudara dan pantat, bagian yang memiliki daya pikat kuat
dalam merangsang gairah seks lelaki.
Seks
terbilang nafsu yang paling sosial. Tanpa memperhitungkan moral, secara
naluriah kita bisa turut bergembira menyaksikan orang lain yang sedang memenuhi
nafsu seksnya. Kita punya hasrat kesenangan walaupun sekadar untuk menontonnya.
Itulah kenapa ada pornografi, yang melahirkan industri seperti blue film (BF) dan
majalah dewasa dengan omzet besar.
Seks
berbeda dengan nafsu lain, misalnya nafsu makan. Adakah orang, terutama lelaki,
yang sanggup suntuk berjam-jam menyaksikan tayangan dengan sajian berupa
adegan-adegan orang sedang makan bakwan biarpun orang itu adalah Via Vallen?
Adakah media pendulang iklan yang menjebak pengunjung dengan gambar Oza Kioza sedang
mangap ngemplok cilok?
Saking
sosialnya nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian.
Ia jadi empuk sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan. Ia juga
legit buat stok pengalihan isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan
sewaktu-waktu. Sebab, kabar terkait seks tidak cuma memberikan informasi,
walakin memberdayakan imajinasi.
Venice menyadari sisi ini, mengerti hal ini.
Tak risau dengan segala caci-maki maupun puja-puji, keduanya berusaha
memanfaatkannya memenuhi kebutuhan diri.
“I
think that the importance of sex in a relationship is highly dependent on the
age of the said couple. If you’re older, sex is PARTLY important BUT communication is MORE important.. Yes, sex is
important to please your partner- but if you’re in a relationship just for sex,
that is totally wrong in my books.” tutur Venice saat diminta memberikan
tanggapan perihal gairah seksual.
References
Penuturan
Venice Min dalam wawancara di New & Cozy Studio. [lihat]
— Bibliography
Catherine Hakim. (2011). Erotic capital: the power of attraction in the
boardroom and the bedroom, hlm. 16–18. New York City: Basic Books. [lihat]
Joanne Entwistle. (2002). The aesthetic economy: the
production of value in the field of fashion modelling. Dalam Journal of
Consumer Culture, 2(3), hlm. 317-339. [lihat]
Joanne Entwistle & Don Slater. (2012). Models as
brands: critical thinking about bodies and images. Dalam Fashioning Models:
Image, Text and Industry, hlm. 15-33.
London: Berg. [lihat]
Kurt Badenhausen. (2016). How maria sharapova earned $285
million during her tennis career. Forbes, 8 Maret. [lihat]
Lars Hartman. (2013). Humble and confident. on the so-called
philosophers in colossians. Dalam Approaching New Testament Texts and
Contexts: Collected Essays II, hlm. 223-236. Heidelberg: Mohr Siebeck. [lihat]
Laura Mulvey.
(2003). Visual pleasure and narrative cinema. Dalam The Feminism and Visual
Culture Reader, hlm. 44-53.
London: Routledge. [lihat]
Naomi Wolf. (2002). The beauty myth: how images of beauty
are used againts women, hlm. 9-19. New York City: Morrow. [lihat]
P Soley-Beltran. (2004). Modelling femininity. Dalam European
Journal of Women’s
Studies, 11(3), hlm. 309-326. [lihat]
— Discography
Madonna. (1989). Express yourself. Dalam Like a Prayer.
Burbank: Warner Bros. Records, 20 Maret. [lihat]