Abstrak
Kisah
Wika Salim yang tak lelah mengayuh misteri teranyam azam. Teranyam sebagai
motivasi dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang Pencipta Semesta
Raya dengan rasa riang. Wika terlahir sebagai penghibur, yang sanggup membuat
orang lain gembira meski dia sendiri tak selalu merasakannya. Sanjungan yang
diterima tak membuat Wika melayang. Begitu juga cibiran tak membuat dirinya
tumbang. Wika tetaplah Wika, yang kehadirannya selalu dirindukan, namanya
dielu-elukan. Dan, dia tetaplah perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti
sepenuhnya meski dapat dinikmati seutuhnya. Wika ketika dilihat itu fisik,
ketika dinikmati itu hati.
Kata-kata Kunci :
Dangdut; Musik; Model; Penghibur; Penyanyi;
A. Pengantar
Musik
adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi yang mengalun secara teratur sehingga
enak untuk disimak (al-Fārābī, 1967, hal. 47) . Pada zaman kuno,
terdapat mitos dari sekelompok masyarakat yang percaya bahwa musik memiliki
kekuatan ajaib untuk menyempurnakan jiwa dan raga (McNeill, 2000, hal. 2) . Pada zaman now,
terdapat anggapan bahwa musik mempunyai kekuatan untuk mencirikan pandangan
pribadi dan kecenderungan masyarakat (Prasetyo, 2012) . Menyimak berbagai jenis pertunjukan
musik di Indonesia, barangkali dapat dikatakan bahwa tidak ada yang lebih
meriah dan meriak dibandingkan dengan dangdut. Hal ini bisa diamati melalui
tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam media massa, perbincangan di
lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para pengunjung yang menghadiri
pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut dapat menarik perhatian
banyak kalangan.
Dangdut,
di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat, khususnya buat yang
sedang dalam kesulitan (Weintraub, 2010, hal. 145) . Larik lirik dangdut
yang banyak memuat kisah tentang pergulatan pribadi dalam berjuang di tengah
kehidupan sosial yang kadang timpang seakan menjadi penyalur rasa terpendam (David,
2014, hal. 258) .
Di sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu (Weintraub, 2006, hal. 411) . Apalagi dangdut
terbilang lentur, tak kaku untuk berpadu dengan beragam pengaruh yang tumbuh
dalam dunia olah rasa, mulai dari nada ala Timur sampai Barat, tingkat ndeso
hingga dunia (Wallach, 2014, hal. 272-3) .
Cibiran
terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis penyanyinya
semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena baru dalam
pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan goyangan erotis
sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya terbuka untuk kalangan
dewasa belaka (Fitriya, 2018, hal. 1) . Perbedaan tajam
mulai terjadi pada dekade 2000-an, ketika goyangan erotis menjadi sajian biasa
nyaris di setiap pertunjukan, baik on maupun off air (Weintraub, 2010, hal. 164 & 188) . Masyarakat yang
sejak dulu menganggap bahwa goyangan erotis sebagai perbuatan tabu pun mulai
bereaksi secara menggebu.
Keadaan
sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita) belakangan ini
mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan mendapat
perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada yang
disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal ini
memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga
menggunakannya sebagai sarana menambang uang. Sayangnya, biduanita juga kerap
dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan tanpa peduli kualitas
vokal. Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual penampilan badan, masalahnya
ialah hal ini dilakukan di pasar yang menjajakan vokal.
Keadaan
tersebut disadari sepenuhnya oleh Wika, penyanyi kelahiran Bogor, Indonesia,
yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk ditekuninya. “Mungkin untuk
orang-orang yang sebenarnya mereka bukan basic-nya penyanyi dangdut,
tapi hanya sekadar mau cari uang di dangdut dan tidak menjaga nama baik dangdut
ya itulah yang merusak,” ungkap Wika tentang kesedihannya ketika dangdut yang
sudah mulai dipandang baik ada saja yang membuatnya kembali jelek (Puspasari & Syaifullah, 2019) . “Mereka yang
membawa dangdut dipandang sebelah mata adalah orang-orang yang nggak ngerti
dangdut, bukan orang dangdut, tapi pengin cari uang di dangdut dan caranya
salah. Yaitulah dangdut jadi jelek. Aku sedih, karena termasuk yang cinta
banget sama dangdut. dangdut ini bukan yang lo lihat sebelah mata, seronok,
murahan, itu hanya oknum-oknumnya saja. Secara musiknya saja, dangdut itu
adalah musik yang mahal. Secara nggak semua orang bisa nyanyi dangdut,”
tambahnya.
Wika
bukanlah pendatang baru dalam belantika musik dangdut Indonesia. Penyanyi
dangdut yang dikenal dengan ‘Goyang Keramas’ merupakan peserta ajang kompetisi
pencarian bakat yaitu StarDut di Indosiar 2008 silam. Ketika itu, dirinya
berhasil menjadi finalis. Menjadi penyanyi merupakan upaya Putri bungsu dari
pasangan Agus Salim dan Mujiarti untuk bisa membahagiakan dan menjadi
kebanggaan kedua orangtua. Pasalnya orangtua Wika memiliki mimpi anak sulung
mereka bisa menjadi salah satu penyanyi dangdut papan atas. Karena itulah dalam
usaha pencapaian mimpi yang banyak mengalami rintangan, semangatnya untuk terus
berusaha mewujudkan.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, kami tertarik untuk menulis biografi Wika. Bentuk
penting dari auto/biografi ialah menampilkan dokumen cerita faktual
mengenai perjalanan seseorang yang
berpotensi untuk dijadikan panutan (Stanley, 1992, hal. 11 & 14) . Auto/biografi juga
mempunyai potensi untuk menjadi agen perubahan di satu sisi dan pelestarian
nilai sosial tertentu di sisi lain (Steedman, 2000, hal. 27) . Auto/biografi
memang ditulis tentang seseorang tertentu, tetapi hasilnya tidak hanya bisa
dinikmati oleh penulis atau sosok dalam auto/biografi, melainkan oleh publik
untuk dimaknai sebagai bagian perbincangan tentang kehidupan pada umumnya (Bruner, 1993, hal. 41; Nadel, 1986, hal. 1) .
Walau
kerap dianggap remeh, auto/biografi merupakan bagian penting
dari budaya yang mencerminkan
cara mengapresiasi diri, menampilkan sejarah, dan menunjukkan perubahan. Dari
pengamatan yang dilakukan, kami melihat belum terdapat biografi utuh mengenai Wika.
Sebagai tokoh publik yang memiliki banyak penggemar, informasi utuh tentang Wika
perlu disediakan. Apalagi Wika memiliki rekam jejak kontroversial, yang tak
jarang menjadi sasaran ejekan maupun kabar yang masih belum jelas ketepatannya.
Dirinya jarang dinilai berdasarkan karakter yang ditampilkan maupun karya yang
disumbangkan, meski dua hal ini melekat pada dirinya. Justru rasa sinis dan
pandangan sempit kerap menjadi landasan dalam mengomentari diri maupun langkah perempuan
kelahiran 26 Februari 1992 ini.
B. Metode
Penelitian
yang dilakukan bertujuan untuk mendapat narasi biografi Wika. Karena itu,
diperlukan data terkait, seperti personalitas, identitas, pengalaman, karya,
dan gaya dari Wika. Berdasarkan tujuan yang ditentukan dan data yang
dibutuhkan, metode penelitian yang dipilih ialah kualitatif (Fraenkel & Wallen, 2009, hal. 422-3) .
Kemudahan
penggunaan metode kualitatif ialah tidak diperlukan tindakan untuk
mengutak-atik fenomena. Sedangkan kesulitannya ialah mengutamakan gambaran utuh
dari fenomena. Dari penuturan kemudahan dan kesulitan, metode kualitatif
dipilih karena kami bermaksud memahami secara menyeluruh dari fenomena yang
diteliti. Fenomena tersebut ialah diri Wika sebagai seorang pribadi dan tokoh
publik. Sehingga di sini, kami berperan sebagai instrumen penelitian.
Dari
metode yang dipilih, pendekatan yang digunakan ialah naratif (Fraenkel & Wallen, 2009, hal. 427) . Pendekatan naratif
memperbolehkan partisipan untuk menyebutkan kembali beberapa peristiwa untuk
ditafsirkan oleh peneliti sebagai bahan penggambaran. Karena penyebutan itu
terkait dengan pengalaman orang, maka bentuk yang dipilih ialah kajian biografi.
Pada bentuk ini, penelitian fokus pada penafsiran beberapa peristiwa yang
dialami oleh satu individu untuk digambarkan melalui narasi.
Partisipan
sebagai sumber data dipilih menggunakan teknik purposive sampling (Fraenkel & Wallen, 2009, hal. 99 & 426) . Sumber utama dalam
penelitian ini ialah Wika. Sedangkan sumber pendukung ialah rekaman, seperti
catatan, artikel, foto, audio, dan video serta tuturan sumber lain terkait
Wika.
Data
tersebut dikumpulkan menggunakan teknik wawancara (Fraenkel & Wallen, 2009, hal. 445-6) . Wawancara dilakukan
secara informal untuk mendapat tuturan ingatan partisipan terhadap beberapa
peristiwa yang dialami terkait fokus penelitian. Dengan demikian, tipe yang
digunakan ialah wawancara retrospective.
Data
yang didapat berdasarkan ingatan, sehingga perlu diperiksa keabsahan dan
keandalannya. Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan external audit (Fraenkel
& Wallen, 2009, hal. 453) . Karena itu data
yang diperoleh tidak langsung digunakan, melainkan diulas dan dinilai oleh
orang lain di luar peneliti dan partisipan lebih dulu, untuk didapat data yang
absah dan andal. Data yang absah dan andal tersebut kemudian dianalisis dan
disintesis secara deskriptif untuk mendapat gambaran yang saling terkait.
C. Hasil
Sejak kapan punya
rambut pendek dan alasannya?
Rambut
pendek itu kalo nggak salah, awal tahun 2017. Kenapa rambut pendek? Satu,
karena dulu aku tuh hampir 5 tahun lebih rambutnya panjang terus dan selalu
hitam. Pengen sesuatu yang baru aja gitu kayanya bosenih, akhirnya kepikiran
untuk coba potong pendek.
Apa job pertama
kamu?
Pertama
kali tuh aku nyanyi pas acara hajatan di daerah ciracas. Kayanya itu pas aku
SD, kira-kira kelas 3.
Berapa sih bayaran
pertama saat kamu jadi penyanyi?
Aduh
lupa gue, berapa ya hahaha. Sekitar 50 ribu sampe 75 ribu lah pokonya.
Ada rencana bikin
bisnis?
Kalo
bisnis sejauh ini belum aku jalanin, tapi kalo kepikiran sih udah. Aku kan suka
fashion, jadi aku tuh kepikiran pengen bikin baju atau kaos-kaos yang memang
aku banget, rencananya.
Apa kejadian yang
tak terlupakan buat kamu?
Kejadian
yang paling nggak bisa dilupain yaitu waktu aku nyanyi di Belitung. Jadi pas
selesai nyanyi, turun dari panggung, itukan rame banget masih banyak penonton
yang banyak belum pulang. Terus
ceritanya aku mau turun, dan posisinya udah dijagain banget. Tiba-tiba pas aku
mau pegangan tangga, ada yang narik tangan aku dari atas, jadi aku jatoh
guling-guling gitu dari tangga panggung yang lumayan tinggi. Saat itu aku lagi
pake sepatu boots, sepatunya patah bagian depannya rusak, kaki aku juga jadi
keseleo. Udah gitu, orang yang mau salaman kabur dan ilang nggak tau kemana.
Mungkin dia takut kaliya, soalnya tadinya dia mau salaman tapi ketarik dan
bikin aku jatoh. Akhirnya aku pulang naik pesawat nggak bisa pake sendal karena
kaki aku bengkak.
Bagaimana rasanya
dampingi Tukul Arwana di acara Ini Baru Empat Mata?
Rasanya
seneng banget, excited nggak sabar karena program yang ditunggu-tunggu
masyarakat juga. Kemarin aku sempet posting di Instagram promo program ini,
walau belum dibilang itu programnya tapi di frame ada Mas Tukul terus
orang-orang udah notice gitu 'wah kayaknya ini empat mata ada lagi' dan respon
dari temen-temen di instagram itu antusiasnya luar biasa. Jadi yang pastinya
aku bersyukur banget karena banyak banget co host yang lebih baik dari aku,
lebih berpengalaman, tapi alhamdulillah di sini temen-temen Trans 7 ngasih tempat
untuk aku asah lagi kemampuan aku. Semoga ini jadi program yang kembali
fenomenal.
Terlibat di sana
jadi batu loncatan karier kamu?
Memang
dari sebelum-sebelumnya orang yang bekerja sama dengan mas Tukul gitu (sukses)
ya, alhamdulillah menjadi lebih baik dan jalannya terbuka lebar. Mudah-mudahan
ini jadi satu kesempatan untuk aku juga (sukses) dan membuktikan aku juga mampu
bekerjasama dengan mas Tukul.
Ceritain dong
bagaimana tawaran itu datang.
Jadi
emang gini, sebenernya ada banyak banget, ada beberapa kandidat yang menjadi
pilihan untuk jadi co host mas Tukul. Aku salah satunya, terus ditawarin,
dateng, kita tes, ya aku nothing to lose ya, yang penting aku udah coba, karena
memang ini kan salah satu program unggulan trans 7 jadi aku coba dan aku dapet
kabar. Seneng banget karena prosesnya emang nggak terlalu lama. Aku dateng,
kita tes ketemu mas Tukul dan nanti jalan (program). Mas tukul kan suka
bercanda gombalan apa ya, mas tukul tuh spontan jadi apapun nanti yang terjadi
karena kita emang kerjasama kita ambil positifnya aja
Jadi presenter bakal
meninggalkan dunia tarik suara nih?
Nggak
dong, karena kan nyanyi tetep bisa jalan. Dan di program ini nggak menutup
kemungkinan aku masih punya wadah untuk bisa nyanyi. Jadi nyanyi tetep, co host
juga. Jadi ya kayak memperlebar pekerjaan aku.
Terus sekarang masih
terima tawaran main FTV atau sinetron?
Nggak
sih, selama waktunya ketemu. Pokoknya semua kembali ke schedule, kalau bisa
diatur ya aku masih tetep jalani semuanya.
Semua bidang sudah
dilakoni. Memang mau terkenal seperti apa sih?
Sebenernya
kayaknya lebih enak disebut multitalenta ya. Hem, nggak juga sih, aku sampai
sekarang masih banyak belajar. Awalnya sih aku nyanyi ya.. tapi makin ke sini
aku banyak belajar dan pengin coba segalanya. Kalau dibilang pengin yang mana?
Pengin semuanya. Tapi karena aku pertama kali di entertain nyanyi jadi aku
nggak akan meninggalkan dunia nyanyi
D. Pembahasan
Wika
adalah salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression) dengan
cara yang bisa dilakukannya (Darwin, 1872, hal. 10) . Keberanian berunjuk
rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya dilatih sejak masa balita.
Keberanian berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan
dengan penuh yakin diri (confident) (Stajkovic, 2006, hal. 1209) . Yakin diri menjadi
pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati (Davis, et al., 2011, hal. 225) . Manusia yang piawai
berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati.
Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai
sebagai wujud rendah diri.
Walau
unjuk rasanya menggembirakan rasa maupun melepas lara manusia lainnya, Wika
tetaplah manusia biasa. Wika butuh makan, minum, maupun tidur, juga bisa
berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad mood,
minder, dsb. dst. laiknya manusia pada umumnya. Kepiawaian Wika dalam berunjuk
rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam menjalani keseharian
laiknya manusia biasa. Sepanjang menjalani keseharian, Wika tak pernah meminta
dikagumi. Dirinya hanya berusaha melakukan perbuatan yang selaras nurani.
Walakin dari sini, banyak orang yang kemudian mengagumi Wika. Tak sedikit pula
yang menjadikan perempuan kelahiran Jumu’ah Pahing ini sebagai panutan untuk
dianut.
Wika
sendiri tak memikirkan hal tersebut. Dikagumi atau tidak, menjadi panutan atau
bukan, tak menjadi pijakan Wika. Wika hanya berusaha untuk terus tetap mentas,
tanpa mencari pencapaian, tanpa lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak
dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksesannya adalah tak lelah
berjuang mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh… mengayuh… mengayuh
perjalanan… saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You
say God give me a choice…” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race (Queen, 1978) .
Wika
tak lelah berjuang bukan semata memuaskan hasratnya, tidak juga sekadar
menggembirakan ortangtua, melainkan untuk memberi motivasi dan inspirasi buat
sesama manusia biasa, khususnya anak-anak yang merasakan perih dan pedihnya
menerima perpisahan. Wika mengajak kita semua untuk menyadari bahwa setiap
orang sudah memiliki jalannya sendiri, walau masih misteri, tak bisa dilihat
secara pasti. “Life is a mystery...” lantun Madonna dalam Like a Pray
(Madonna, 1989) . Perjalanan yang dilakoni Wika adalah
duet awet ikhtiar dan takdir. Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan
cemar dan rajin mencibir. Meski demikian, Wika tak langsir ungkapan nyinyir
yang dialamatkan padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik
tiada akhir, Wika terus tetap mengalir.
Di
luar sisi sebagai workaholic, Wika tetap bersemangat saat terlibat
obrolan, membaca buku, serta jalan-jalan. Sembari mengayuh perjalanan selaras
nuraninya, dia pun terus melantan rasa cinta pada orangtua, keluarga, dan
orang-orang dekatnya. Wika tak setengah hati menggeluti industri hiburan, untuk
melampiaskan hasrat seni maupun meraih keuntungan finansial. Dengan tetap
menyadari keuntungan dan kerugian yang didapatkan, Wika terus menjalani dengan
penuh gairah membuncah. Sekarang penggemar musik 1950-80 an ini seakan mengayuh
perjalanan yang membuat namanya memiliki harga jual. Kehadirannya pun dapat
memiliki nilai komersial. Keadaan yang demikian tentu memudahkannya untuk
ikutserta dalam berbagai kegiatan sosial.
Tak
dimungkiri bahwa kecantikan turut berperan dalam perjalanan Wika. Karena
kecantikan ini pula Wika banyak mudah mendapatkan cibiran, seperti ‘modal cantik doang’. Pertanyaannya, salahkah menjadi perempuan cantik?
Sebagian orang mungkin akan menjawab iya (Zein & Setiawan, 2019) . Naomi Wolf
menuturkan bahwa kecantikan adalah mitos yang diciptakan industri untuk
mengeksploitasi perempuan secara ekonomi melalui produk-produk kosmetik.
Pandangan
Naomi beserta pendukungnya boleh jadi tidak bisa disalahkan, namun kurang
lengkap untuk menjadi genggaman. Pasalnya Naomi tak mementingkan paras cantik
sebagai salah satu modal untuk perempuan, seperti diungkapkan oleh Catherine
Hakim melalui konsep erotic capital (modal erotis). Erotic capital merupakan kombinasi dari daya tarik fisik, estetik,
visual, sosial, dan seksual yang dimiliki seseorang untuk menarik orang lain (Hakim, 2010) . Ada enam bagian
dalam erotic capital, kecantikan
adalah salah satunya. Sepertihalnya jenis modal lain, erotic capital
juga dapat diupayakan, kosok bali dengan pandangan yang cenderung menyangka
bahwa kecantikan hanyalah ketetapan Tuhan atau suatu kebetulan alamiah.
Cibiran
terhadap Wika yang turut memanfaatkan kecantikan, banyak berpijak dari
pandangan yang menyebut bahwa pintar adalah hasil tekun belajar, sedangkan
cantik adalah bawaan lahir. Cerdas dianggap sesuatu yang diperoleh lewat kerja
keras, sedangkan kecantikan adalah anugerah yang didapat tanpa usaha. Padahal
posisinya bisa saja terbalik. Pasalnya faktor genetis pun, terutama dari ibu,
berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Sedangkan untuk tampil
cantik, seseorang perlu banyak berusaha, mulai dari olah raga, menjaga pola
konsumsi, merias wajah, hingga berpikir menentukan pakaian.
Tak perlu
membutakan mata menyaksikan bahwa orang yang cantik memang kerap mendapat
beragam kemudahan. Contoh paling bagus dalam hal ini ialah Maria Yuryevna
Sharapova (Maria Sharapova) (Badenhausen, 2016) . Pendapatan sebagai model jauh
lebih banyak ketimbang menjadi petenis. Maria bahkan masih tetap menambah
kekayaan saat diskors gara-gara kasus obat-obatan terlarang. Nilai penting erotic
capital setara dengan modal lain seperti ekonomi, sosial, dan budaya.
Pertanyaan
selanjutnya, mengapa kita tampak enggan mengapresiasi kecantikan perempuan
sepertihalnya kecerdasan? Ketika ada perempuan dandan, dibilang menghabiskan
waktu tak berguna. Walakin ketika membaca buku, disangka waktu diisi dengan
kegiatan bermanfaat. Perempuan yang berusaha menunjukkan kecantikan malahan tak
jarang otomatis dianggap bodoh. Pekerjaan yang menjual badan perempuan, seperti
modelling, diberi stigma sebagai pekerjaan hina.
Lebih
menyesakkan lagi, ketika ada perempuan cantik ingin menikahi lelaki kaya
dilabeli ‘matre’ yang mengkhianati kesucian cinta dalam perkawinan.
Padahal, alasan di balik julukan ‘matre’ ini adalah bahwa lelaki harus
mendapatkan kenikmatan yang mereka inginkan dari perempuan secara gratis,
terutama seks (sex).
Kecantikan
dan upaya mempercantik diri dianggap sebagai tindakan tak baik. Para peserta
kontes kecantikan, misalnya, mendapatkan banyak cibiran. Kecerdasan dan
kecantikan dilihat sebagai dua hal bertentangan yang tak mungkin dipadukan oleh
perempuan. Perempuan yang memiliki keduanya, tidak diizinkan untuk menggunakan
semuanya, hanya boleh memaksimalkan kecerdasan saja. Mengapa oh Menyapa?
Whyyy?
Dengan
memperhatian perdebatan wacana pemanfaatan badan perempuan tersebut, Wika patut
diapresiasi semadyana sebagai perempuan yang menggunakan kecerdasan dan
kecantikan. Sah-sah saja kalau Wika rajin merawat badan, terutama payudara dan
pantat, bagian yang memiliki daya pikat kuat
dalam merangsang gairah seks lelaki (Setiawan, 2018) .
Seks
terbilang nafsu yang paling sosial (Setiawan, 2018) . Tanpa
memperhitungkan moral, secara naluriah kita bisa turut bergembira menyaksikan
orang lain yang sedang memenuhi nafsu seksnya. Kita punya hasrat kesenangan
walaupun sekadar untuk menontonnya. Itulah kenapa ada pornografi, yang
melahirkan industri seperti blue film (BF) dan majalah dewasa dengan
omzet besar.
Seks berbeda
dengan nafsu lain, misalnya nafsu makan. Adakah orang, terutama lelaki, yang
sanggup suntuk berjam-jam menyaksikan tayangan dengan sajian berupa
adegan-adegan orang sedang makan bakwan biarpun orang itu adalah Cania Citta
Irlanie? Adakah media pendulang iklan yang menjebak pengunjung dengan gambar
Oza Kioza sedang mangap ngemplok cilok?
Saking
sosialnya nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian.
Ia jadi empuk sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan. Ia juga
legit buat stok pengalihan isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan
sewaktu-waktu. Sebab, kabar terkait seks tidak cuma memberikan informasi,
walakin memberdayakan imajinasi. Wika menyadari sisi ini, mengerti hal ini. Tak
risau dengan segala caci-maki maupun puja-puji, dirinya berusaha
memanfaatkannya memenuhi kebutuhan diri.
E. Penutup
Kisah
Wika yang tak lelah mengayuh misteri teranyam azam. Teranyam sebagai motivasi
dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang Pencipta Semesta Raya dengan
rasa riang. Wika terlahir sebagai penghibur, yang sanggup membuat orang lain
gembira meski dia sendiri tak selalu merasakannya. Sanjungan yang diterima tak
membuat Wika melayang. Begitu juga cibiran tak membuat dirinya tumbang. Wika
tetaplah Wika, yang kehadirannya selalu dirindukan, namanya dielu-elukan. Dan,
dia tetaplah perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti sepenuhnya meski
dapat dinikmati seutuhnya. Wika ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu
hati.
Referensi
al-Fārābī,
A. N. (1967). Kitāb al-mūsīqī al-kabīr. Kairo: Dār al-kātib al-ʻarabī
li-al-ṭibāʻa wa-al-našr.
Badenhausen,
K. (2016, Maret 6). How Maria Sharapova Earned $285 Million During Her
Tennis Career. Dipetik September 7, 2018, dari Forbes:
https://www.forbes.com/sites/kurtbadenhausen/2016/03/08/how-maria-sharapova-earned-285-mill-during-her-tennis-career/
Bruner,
J. S. (1993). The autobiographical process. Dalam The Culture of
Autobiography: Constructions of Self-Representation (hal. 38-56). Stanford:
Stanford University Press.
Darwin,
C. R. (1872). The expression of the emotions in man and animals. London:
John Murray.
David,
B. (2014). Seductive pleasures, eluding subjectivities: some thoughts on
dangdut’s ambiguous identity. Dalam B. Barendregt, Sonic modernities in the
Malay world: A history of popular music, social distinction and novel
lifestyles (1930s–2000s) (hal. 249-268). Brill.
Davis,
D. E., Hook, J. N., Jr., E. L., Tongeren, D. R., Gartner, A. L., II, D. J., et
al. (2011). Relational humility: conceptualizing and measuring humility as a
personality judgment. Journal of Personality Assessment, 93(3), 225-234.
Fitriya,
A. (2018). Hubungan kuasa komunikasi panggung penyanyi dangdut. Interaksi
Online, 6(1), 1-9.
Fraenkel,
J. R., & Wallen, N. E. (2009). How to design and evaluate research in
education (7th ed.). New York City: McGraw-Hill.
Hakim,
C. (2010, Oktober). Erotic Capital. European Sociological Review, 26(5),
499–518.
Madonna
(Pemain). (1989). Like a Prayer. Dalam Like a Prayer. Burbank: Warner
Bros.
McNeill,
R. J. (2000). Sejarah musik: musik awal sejak masa yunani kuno sampai akhir
masa barok, tahun 0-1760. . Jakarta Pusat: Gunung Mulia.
Nadel,
I. B. (1986). Biography: fiction, fact and form. New York City:
Springer.
Prasetyo,
D. A. (2012, April 11). Musik yang paling benar. Dipetik Februari 26,
2020, dari AhmadDhani.com: http://ahmaddhani.com/musik-yang-paling-benar/
Puspasari,
D., & Syaifullah, A. (2019, September 1). Stigma Pedangdut Dipandang
Sebelah Mata, Wika Salim Sorot Hal Ini. Dipetik April 16, 2020, dari
detikHOT:
https://hot.detik.com/celeb/d-4689239/stigma-pedangdut-dipandang-sebelah-mata-wika-salim-sorot-hal-ini#
Queen
(Pemain). (1978). Bicycle race. Dalam Jazz. London: Electric and Musical
Industries.
Setiawan,
A. R. (2018, Maret 5). Breast Capital. Dipetik September 7, 2018, dari
Alobatnic: https://alobatnic.blogspot.com/2018/03/breastcapital.html
Setiawan,
A. R. (2018, Januari 1). Pantat Perekat Umat. Dipetik September 6, 2018,
dari Alobatnic: https://alobatnic.blogspot.com/2018/01/pantat-perekat-umat.html
Stajkovic,
A. D. (2006). Development of a core confidence-higher order construct. Journal
of Applied Psychology, 91(6), 1208-1224.
Stanley,
L. (1992). The auto/biographical i: the theory and practice of feminist
auto/biography. Manchester: Manchester University Press.
Steedman,
C. (2000). Enforced narratives: stories of another self. Dalam Feminism and
Autobiography: Texts, Theories, Methods (hal. 25-39). London: Routledge.
Wallach,
J. (2014). Notes on dangdut music, popular nationalism, and indonesian islam.
Dalam B. Barendregt, Sonic modernities in the Malay world: A history of
popular music, social distinction and novel lifestyles (1930s–2000s) (hal.
271-289). Brill.
Weintraub,
A. N. (2006). Dangdut soul: who are ‘the people’in indonesian popular music? Asian
Journal of Communication, 16(4), 411-431.
Weintraub,
A. N. (2010). Dangdut stories: a social and musical history of indonesia's
most popular music. Oxford: Oxford University Press.
Zein, L.
F., & Setiawan, A. R. (2019, Maret 19). Salahkah Menjadi Perempuan Cantik? Laila
Academy.