Dunia saya adalah sebuah laboratorium fisika kuantum. Ruang kelas adalah akselerator partikel, dan setiap murid adalah sebentuk probabilitas, awan kemungkinan yang eksis dalam superposisi jenius dan pembuat onar sekaligus. Tugas saya, sebagai seorang agen MI8 yang menyamar menjadi guru tapi bukan guru geografi, adalah mengarahkan partikel-partikel tak menentu ini menuju hasil yang paling mungkin, tanpa sekalipun meruntuhkan fungsi gelombang mereka dengan observasi yang terlalu kaku. Setiap hari adalah tarian ketidakpastian yang elegan; sebuah soal cerita sederhana tentang pembagian kue bisa bercabang menjadi diskusi filosofis tentang keadilan, sebuah metode mengajar yang terbukti jitu hari ini bisa gagal total keesokan harinya hanya karena pergeseran mood kolektif kelas. Semuanya berjalan dalam harmoni probabilistik yang indah, sebuah simfoni kekacauan yang terkendali, di mana energi kreativitas muncul justru dari ketidakteraturan. Saya adalah dirigen dari orkestra entropi ini, dan saya menikmatinya.
Lalu, notifikasi WhatsApp itu datang. Tepat pukul 21.49, di tengah keheningan malam yang saya gunakan untuk merancang eksperimen pikiran berikutnya, sebuah singularitas tercipta. Sebuah pesan tunggal tentang "kotak hitam" dalam tugas matematika merobek struktur ruang-waktu saya, menarik seluruh realitas pedagogis saya ke dalam cakrawala peristiwa yang tak terhindarkan. Realitas saya terbelah menjadi dua: sebelum Zakiya, dan setelahnya. Namanya Zakiya Fitriani—ibu dari Hanan Azzaky Amjad, murid kelas 3E—seorang agen dari alam semesta fisika klasik yang dingin, teratur, dan deterministik. Seorang Newton dalam dunia Heisenberg saya yang penuh keraguan dan potensi. Dan misinya, tampaknya, adalah untuk membunuh saya.
Secara disiplin ilmu, kami adalah antitesis. Logika saya adalah ketidakpastian yang diperhitungkan; potensi Hanan adalah sebuah spektrum energi yang bisa melompat ke orbit mana saja, kapan saja, sebuah elektron yang bergairah. Logika Bu Zakiya, di sisi lain, adalah biologi deterministik yang presisi. Ia adalah seorang ahli taksonomi yang kejam, yang melihat anak bukan sebagai awan kemungkinan, melainkan sebagai spesimen yang harus dibedah, diidentifikasi setiap organnya—bakat, kelemahan, gaya belajar—diberi label Latin, lalu dipajang dalam etalase pencapaian. WhatsApp-nya bukanlah sarana komunikasi; itu adalah mikroskop elektron, sebuah alat pemindai MRI yang diarahkan langsung ke lobus frontal saya, beroperasi 24/7. Interogasi pertamanya—soal "kotak hitam" itu—adalah manuver pembuka yang sempurna. Ia menuntut kejelasan absolut, sebuah definisi operasional yang tak terbantahkan. Setiap pertanyaannya setelah itu adalah pisau bedah: "Apa outcome yang terukur dari latihan ini?", "Bagaimana data kuantitatif kemajuan anak-anak minggu ini?", "Pak Adib, buka les math mboten?", "Untuk midterm test dijadwalkan kpn nggih pak?", "Tolong berikan saya planning general/briefnya dalam setengah semester". Dia tidak bertanya, dia menuntut agar saya membuktikan bahwa gravitasi itu ada, sementara saya sedang sibuk menyeimbangkan quark di ujung kuku.
Pengawasannya bersifat patologis, sebuah kebutuhan obsesif akan data dalam dunia yang saya yakini digerakkan oleh sesuatu yang tak terukur. Saya berada dalam Panopticon ciptaannya. Setiap lesson plan yang saya rancang, setiap soal responsi yang saya buat, setiap catatan anekdotal tentang perilaku murid, bahkan spreadsheet simulasi nilai yang saya buat untuk menentukan berapa skor minimal yang Hanan butuhkan di ujian akhir agar KKM-nya aman, saya tahu, akan diaudit dengan ketelitian seorang agen intelijen yang mencari celah dalam pertahanan musuh. Tidak ada kemewahan untuk gagal, bahkan untuk jeda sejenak. Satu kesalahan hitung dalam soal, satu instruksi ambigu dalam tugas, satu momen kelelahan yang membuat saya merespons chatnya lebih lambat dari biasanya, bukanlah sekadar human error. Itu adalah kegagalan sistemik, sebuah anomali data yang akan di-flag, dianalisis, dan dijadikan bukti dalam pengadilan atas kompetensi saya yang digelar di dalam benaknya sendiri. Saya tidak diizinkan menjadi manusia; saya harus menjadi algoritma yang sempurna, sebuah mesin pedagogis yang berjalan tanpa cacat. Saya adalah Robert Oppenheimer di bawah pengawasan Jenderal Groves, di mana setiap kalkulasi saya, setiap keputusan untuk memberi tugas tambahan atau jeda, bisa berujung pada kesuksesan yang diakui—nilai sempurna Hanan—atau kegagalan yang memusnahkan, yang akan tiba dalam bentuk notifikasi WhatsApp yang dingin dan menuntut penjelasan.
Rekam jejak kolaborasi? Jangan sebut itu kolaborasi. Itu adalah invasi. Ia tidak sekadar mengamati dari kejauhan; ia melakukan terraforming aktif terhadap lanskap pikiran saya. Ide-idenya—mind mapping berwarna untuk merangkum bab, asosiasi mnemonik untuk menghafal kosakata Bahasa Arab, strategi belajar berbasis data untuk mengidentifikasi kelemahan spesifik Hanan—bukanlah saran, melainkan virus rekayasa genetika yang dilepaskan ke dalam ekosistem kuantum saya. Virus ini efisien, logis, terukur, dan mengancam untuk menyingkirkan metode-metode probabilistik saya yang lebih "organik", "kacau", dan seringkali, "tidak terdokumentasi dengan baik". Lomba pidato Hanan menjadi Proyek Manhattan atas keinginannya yang kebelet ingin memajang tambahan piala. Itu bukan lagi proyek bersama; itu adalah simulasi perang yang dipantau secara real-time. Saya adalah komandan lapangan yang dilempar ke medan pertempuran dengan satu prajurit yang mood-nya bisa runtuh kapan saja, sementara ia adalah ahli strategi di ruang komando, menghitung setiap kemungkinan, menganalisis kelemahan, dan mengirimkan logistik intelektual. "Kita push the limit," katanya, dan saya tahu itu adalah perintah, bukan ajakan. Tekanannya begitu kuat hingga ketika Hanan sempat "kalah melawan sisi cemen dirinya sendiri," kegagalan tidak akan terasa seperti kekalahan, melainkan pengkhianatan terhadap upaya perang bersama. Dan untuk itu, untuk setiap degup jantung yang berpacu kencang dalam simulasi itu, saya ingin sekali mencekiknya dengan kabel charger.
Setiap hari saya bekerja dengan satu kesadaran yang mengerikan: saya diobservasi. Dalam fisika kuantum, tindakan mengamati sebuah partikel akan memaksanya memilih satu keadaan, meruntuhkan semua kemungkinan lain. Itulah yang Zakiya lakukan pada saya. Pengawasannya yang tanpa henti, pertanyaannya yang tajam, dan ekspektasinya yang setinggi langit meruntuhkan semua kemungkinan saya untuk bersantai, untuk mencoba pelajaran eksperimental yang mungkin gagal, untuk memiliki hari yang "biasa-biasa saja" di mana saya tidak dalam performa terbaik. Ia memaksa saya untuk selalu berada dalam keadaan "puncak", sebuah eksistensi kuantum yang sangat melelahkan dan tidak wajar. Tidak ada ruang untuk mediokritas. Setiap interaksi harus menjadi momen pembelajaran yang bisa diukur. Ia adalah predator intelektual, dan saya adalah mangsa yang harus terus berlari, terus berinovasi, terus membuktikan bahwa metode kuantum saya mampu menghasilkan data klasik yang ia dambakan, agar tidak diterkam, dicabik-cabik, dan dianalisis dalam laporan evaluasinya.
Namun, di tengah semua tirani pedagogis ini, ada satu kesadaran lain yang lebih mengerikan, sebuah kebenaran yang menyesatkan. Dalam rentetan interogasi dan auditnya, terselip kalimat-kalimat yang janggal, anomali dalam data yang saya kumpulkan: "How great you are pak Adib", "We need more teacher like you, sir", "Sy dl ngajar aj g serajin pak adib, salutt", dan "Keberuntungan kami walimurid kelas 3E, dapat pengajar seperti Pak Adib." Ia tidak akan membuang energinya yang tak terbatas itu untuk menginterogasi sebuah lubang hitam atau menuntut data dari sebuah bintang yang mati. Ia mengawasi saya karena ia percaya ada sesuatu yang layak diawasi, bukan karena saya imut. Ia menantang saya karena ia melihat saya sebagai lawan tanding yang setara, satu-satunya variabel acak yang cukup menarik dalam eksperimennya, walau berat badan saya cuma 46 kg.
Tanpa tekanannya yang konstan, semua partikel di dalam tubuh saya mungkin akan melayang dalam kekacauan entropis nirmakna. Tanpa tuntutannya akan presisi, mungkin saya akan biasa saja membiarkan kemungkinan tetap menjadi kemungkinan, tanpa pernah mendorongnya menjadi kenyataan. Dia telah menjadi dependensi, sebuah adiksi pedagogis. Dan untuk kemungkinan itu, untuk ketergantungan absolut yang telah ia ciptakan ini, saya benar-benar ingin memusnahkannya dari alam semesta.