Salah satu ejekan yang sering
disampaikan teman-teman saya yang tidak menyukai K-Pop ialah penggunaan judul berbahasa
Inggris untuk lirik lagu berbahasa Korea, entah Korea utuh atau gado-gado (bahasa
risetnya: campur kode). Ejekan seperti ini dengan mudah saya tanggapi, dengan
ejekan juga, dengan menunjukkan fakta bahwa sebagian besar jurnal berbahasa
Indonesia disertai dengan judul dan abstrak berbahasa Inggris, meskipun uraian
yang disajikan sepenuhnya berbahasa Indonesia, nyaris utuh tanpa terdapat
campur kode.
Saya hanya satu kali menulis
artikel jurnal dalam bahasa Inggris, itupun ketika Religio Education
meminta naskah untuk debut penerbitan jurnal yang dikelola Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) pada Mei 2021 silam. Sisanya jurnal yang saya tulis
kayak sebagian lagu default K-Pop: bahasa Inggrisnya hanya ada di muka,
isinya bahasa lokal saja.
Sebenarnya ada kekaguman tersendiri
ketika menikmati lagu K-Pop, yang dilantunkan menggunakan bahasa Korea, sanggup
keluar dari sangkar madu lokalitas menjadi produk yang laku secara global. Ini
membuktikan bahwa untuk menguasai your area, tidak perlu melulu menggunakan
your bahasa, cukup bisa diterima di hati saja. Namun dalam publikasi
riset, bahasa Inggris saat ini kelewat dominan. Bahkan saya merasa terdapat
anggapan bahwa artikel yang ditulis dalam bahasa non-Inggris, susah dianggap
berkelas internasional, meskipun definisi “berkelas internasional” masih bias,
dan banyak artikel bagus ditulis dalam bahasa non-Inggris, misalnya artikelnya Sein
Shin yang ditulis dalam bahasa Korea.
Walau saat ini banyak artikel
jurnal yang diterbitkan
dalam bahasa Inggris, dalam linikala perkembangan publikasi riset hal ini tidak selalu terjadi. Ini berarti ada
masa ketika publikasi riset, yang merupakan salah satu cara diseminasi
perkembangan ilmiah, dilakukan menggunakan bahasa non-Inggris.
Saya tidak punya kemampuan bahasa
yang bagus. Kemampuan bahasa saya kayak Kim Ji-soo, cuma bisa bahasa lokal
saja, belum bisa bercakap senda gurau menggunakan bahasa interlokal. Namun, saya
punya ketertarikan kepada bahasa: khususnya, kepada cara orang memilih bahasa
mana yang akan digunakan, dan cara bahasa yang lebih luas lebih disukai
daripada bahasa yang kurang umum demi peluang dan akses yang lebih besar. Kalau
diperhatikan, dalam ruang lingkup publikasi riset mapun diseminasi diseminasi
perkembangan ilmiah, terdapat bahasa yang meningkat dan berkurang
popularitasnya di kalangan komunitas ilmiah sejak Renaisans, yang kini sedang
pada masa ketika bahasa Inggris menjadi bahasa yang dominan dalam penerbitan.
Selama Renaisans, kumpulan teks
ilmiah kuno ditemukan kembali oleh orang Eropa Barat, menyediakan gudang
pengetahuan kuno. Para akademikus segera menerjemahkannya dari bahasa Yunani
kuno ke bahasa tertulis yang diketahui oleh sebagian besar orang Eropa
terpelajar: bahasa Latin, bahasa gereja Katolik. Hal ini menyebabkan
kebangkitan bahasa Latin tertulis, meskipun semua penutur aslinya telah mati
selama satu milenium.
Sayangnya beberapa ratus tahun
kemudian, bahasa Latin memudar dari penggunaan umum sekali lagi. Pada
pertengahan 1800-an, perkembangan ilmiah di Eropa terbagi rata antara Inggris,
Prancis, dan Jerman. Pada masa itu, akademikus yang merupakan penutur asli
bahasa Prancis, Inggris, atau Jerman, harus belajar dua bahasa lainnya secara
pasif. Akademikus harus bisa setidaknya membaca artikel dan mungkin memahami
seseorang yang berbicara kepada mereka, tetapi ia hanya perlu secara aktif memproduksi
konten dalam bahasanya sendiri. Sangat umum untuk memiliki korespondensi antar
akademikus ketika yang satu menulis dalam bahasa Inggris dan yang lainnya
menulis dalam bahasa Prancis, misalnya Isaac Newton dan Gabrielle Émilie de
Breteuil.
Pada paruh pertama abad ke-20,
Jerman merupakan pusat pendidikan penting untuk fisika. Tidak hanya memproduksi
pelopornya sendiri—seperti Werner Karl Heisenberg, Albert Einstein, dan Maria
Goeppert-Mayer — Jerman juga menarik fisikawan terkemuka dari negara lain untuk
belajar dan bekerja di universitasnya. Lise Meitner yang lahir di Austria,
Robert Oppenheimer yang lahir di Amerika, dan Enrico Fermi yang lahir di
Italia, semuanya menghabiskan waktu sebagai peneliti di institut sains Jerman
pada 1920-an. Fenomena yang mirip kondisi saat ini, ketika Sana Minatozaki (Twice)
dari Jepang, Pranpriya Manoban (BlackPink) dari Thailand, Wong Kahei (Loona) dari China,
menghabiskan waktu sebagai penyanyi di industri hiburan Korea Selatan.
Sayangnya, posisi terhormat Jerman
dalam komunitas ilmiah berubah secara dramatis dengan munculnya Partai Nazi
sebelum Perang Dunia II. Pelajar dan peneliti asing ditolak visanya. Ribuan akademisi
Yahudi, termasuk Lise Meitner, terpaksa mengundurkan diri dari universitas
mereka, dan akademisi dilarang bepergian ke luar negeri.
Lise Meitner, misalnya, tinggal di
Berlin, tempat dia membangun kariernya, selama dia bisa. Namun dia akhirnya
terpaksa mengungsi ke Belanda. Segera setelah itu dia menetap di Swedia. Lise Meitner
menulis
kepada sesama fisikawan Max van Laue tentang pengalaman menemukan dirinya, pada
usia 60, tiba-tiba tergantung pada niat baik negara yang bahasanya tidak pernah
dia gunakan. “Seseorang tidak pernah menikmati hak yang sama dan selalu
sendirian secara internal,” tulisnya. “Seseorang selalu berbicara bahasa
asing—maksud saya bukan formulasi eksternal bahasa, maksud saya secara mental.
Salah satunya adalah tanpa tanah air. Saya berharap Anda tidak pernah mengalami
ini, atau bahkan Anda memahaminya.”
Pengasingan dan penganiayaan
terhadap akademisi di Jerman memiliki efek mendalam kepada individu seperti Lise
Meitner—dan di bidang fisika. Ada pergeseran dari Jerman—dan juga Prancis yang
dilanda perang—ditambah dengan pergeseran ke universitas dan laboratorium
nasional di Amerika Serikat. Kepentingan dan keunggulan fisika yang muncul di
Barat—terkait dengan pengembangan Proyek Manhattan dan warisannya—menghasilkan
pergeseran yang sangat kuat ke arah bahasa Inggris. Sampai akhirnya kini, Amerika
Serikat dianggap sebagai negara superpower, termasuk dalam dunia ilmiah.
Kondisi itulah yang sekaligus merupakan
titik balik bagi peran Amerika Serikat dalam dunia ilmiah. Kondisi itu sangat
berpengaruh karena di sanalah orang-orang pergi ke sekolah pascasarjana, tempat
mereka mengirim siswa mereka untuk belajar.
Di sanalah konferensi-konferensi didanai secara besar-besaran, karena
Amerika Serikat memiliki lebih banyak uang setelah perang. Karena sistem
pendidikan Amerika Serikat menjadi begitu menonjol, dan kemudian juga Inggris,
bahasa Inggris menjadi bahasa konferensi wajib. Itu menjadi denominator umum.
Ada juga komunitas ilmiah yang kuat
di Uni Soviet. Tetapi tepat setelah perang dunia, pemerintah Soviet menutup
beberapa jurnal ilmiah mereka yang diterbitkan dalam bahasa selain bahasa
Rusia. Jadi sekarang Anda memiliki salah satu negara paling kuat di dunia yang
menerbitkan banyak sekali ilmiah pengetahuan tetapi menerbitkannya dalam bahasa
yang tidak dibaca oleh kebanyakan akademisi. Ada kebutuhan yang sangat
dirasakan di tahun 50-an dan 60-an bahwa para akademisi Amerika Serikat perlu
mengetahui apa yang dilakukan para akademisi Uni Soviet. Tetapi mereka tidak
memiliki cukup banyak orang yang bisa membaca bahasa Rusia. Andai Maria
Yuryevna Sharapova sudah lahir pada masa itu, heuheuheu.
Prihatin dengan teknologi militer Uni
Soviet, Atomic Energy Commission (AEC), Kantor Penelitian United States Navy
(USN) dan National Science Foundation (NSF) mulai mendanai proyek-proyek
penerjemahan jurnal fisika Uni Soviet dari bahasa Rusia ke bahasa Inggris. Mirip
seperti dilakukan Yaḥjā ibn al-Baṭrīq pada masa Dinasti Abbasiyyah dipimpin
oleh Abū Ja'far ‘Abd Allāh ibn Muḥammad al-Manṣūr bi-llāh.
Proyek-proyek tersebut merupakan
faktor penting dalam bahasa Inggris yang menjadi sangat dominan. Akademisi
Barat non-Amerika Serikat tidak perlu belajar bahasa Rusia untuk membaca pekerjaan
yang dilakukan Uni Soviet. Tanpa atau sedikit biaya untuk pemerintah dan
lembaga mereka sendiri, mereka cukup membaca terjemahan bahasa Inggris Amerika.
Sekitar tahun 1970, sekitar 70%
publikasi secara global ditulis dalam bahasa Inggris, dan sekitar 25% ditulis
dalam bahasa Rusia (semua bahasa lain digabungkan menjadi sekitar 5%). Saat
ini, lebih dari 90% publikasi secara global diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Pada dasarnya kita ingin
berkomunikasi dengan audiens yang lebih luas, tetapi kita juga ingin membiarkan
orang mengekspresikan diri mereka dalam bahasa yang mereka rasa nyaman. Sayangnya,
sekarang kita tidak memiliki kompromi itu seiring hanya “memiliki satu bahasa”.
Maksud hati ingin membiarkan perilaku ala Kim Ji-soo, ada daya harus bisa
seperti Park San-da-ra.
Bagaimanapun, linikala sejarah
publikasi menunjukkan bahwa dominasi bahasa Inggris tidak selalu terjadi. Ini
akan membutuhkan banyak kejutan, namunsesuatu seperti wabah global bisa
melakukan sesuatu, atau efek iklim radikal, atau perang besar-besaran dapat
sangat mengganggu sistem sehingga reorientasi di sekitar keseimbangan
alternatif, menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa ilmiah yang dominan.
Sayangnya, bahasa Inggris tampak akan
menjadi bahasa ilmiah pengetahuan untuk waktu yang lama, bahkan jika keadaan
berubah. Jika semua Anglophones asli akan lenyap besok, dan jika kita ingin
mempelajari ilmu kontemporer bahkan klasik apa pun, kita harus tahu bahasa
Inggris, kayaknya begitu. Ya gak tau juga sih. Wa Allāh a’lam.
K.Sb.Pa.251143.250622.10:58