Mulan Jameela,
23 September 2019, mengunggah foto di akun Instagram @mulanjameela1 bersama beberapa rekan,
termasuk aktris Dhini Aminarti, ketika mengikuti kajian Syarifah Halimah Alaydrus.
Pada waktu itu, nama Mulan Jameela sedang menjadi ‘buronan media’ seiring ‘pemberian
gelar’ baru oleh warganet, yakni label perekor (perebut kursi orang).
Unggahan tersebut
tampak menjadi cara Mulan Jameela menjawab warganet yang terkesan mencibirnya setelah
memenangkan gugatan hingga ditetapkan sebagai anggota DPR 2019–2024. ‘Gelar’ perekor
sendiri ‘diberikan’ karena gugatan Mulan Jameela berdampak terhadap kegagalan Ervin
Luthfi dan Fahrul Rozi menjadi anggota legislatif.
Jauh sebelum
Mulan Jameela menunjukkan keterlibatan dalam kajian Syarifah Halimah Alaydrus, Reza
Artamevia telah mengungkap rasa kepuasan batin. Perasaan tersebut diungkapkan Reza
Artamevia setelah mengikuti kajian bertema ‘Muhasabah Cinta Kehidupan Rasulullah’
dari Ustazah Syarifah Halimah Alaydrus Alaydrus.
“Kepuasan batin
sangat luar biasa. Majelis emang sebuah tempat barokah. Memang dianjurkan oleh Rasulullah,
hadir dalam majelis pengajian dan semacamnya,” kata Reza Artamevia ketika ditemui
redaksi dream.co.id di Balai
Kartini, Jakarta Selatan, Sabtu 3 Desember 2016.
Reza Artamevia
mengaku bahwa dirinya tertarik mengikuti kajian Syarifah Halimah Alaydrus setelah
diajak oleh sahabtanya, Dewi dan Rina Gunawan, 2 bulan sebelumnya. Sebagai salah
satu vokalis papan atas, dalam kajian ‘Muhasabah Cinta Kehidupan Rasulullah’ tersebut
dirinya turut memimpin lantunan 3 judul sholawat.
“Luar biasa acara
Muhasabah Cinta. Tadi nangis berat dibawa untuk lebih mengenal lagi perjalanan hidup
Nabi, saya merasa disini menyentuh lebih ke hati. Pendalamannya susah dijabarkan,
ilmunya, unsur tasawufnya luar biasa, bukan sekedar tauhid tapi juga tasawufnya,”
imbuh Reza yang dikutip oleh dream.co.id.
Syarifah Halimah Alaydrus termasuk penceramah yang memiliki brand
tersendiri. Sebagai pembicara untuk jemaat wanita, Syarifah Halimah Alaydrus tahu
cara menyampaikan pesannya secara efektif. Beliau tahu cara berbicara dengan berbagai
kalangan. Dalam satu kajian, latar belakang para jemaat bisa sangat beragam, dari
ustādhāt yang memiliki majelis ta'līm (sebuah jemaat umum yang terdiri
dari wanita berusia antara 40 dan 60 tahun), remaja (siswa sekolah menengah dan
atas) hingga anak usia sekolah dasar.
Kekhasan ceramah
Syarifah Halimah Alaydrus ialah kegemaran beliau menggunakan kisah kehidupan Nabi
Muḥammad dan para saḥabat sebagai bantuan penyampaian. “Cerita untuk sebagian besar
jemaat perempuan saya lebih mudah dimengerti. Cerita juga bisa mencegah kebosanan.
Selain itu, saya pikir ketika kita menggunakan cerita dalam ceramah kita, kita tidak
hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga menyampaikan benih-benih cinta ke hati
jemaat kita; cinta kepada Tuhan, Nabi Muhammad, dan Muslim yang saleh.” Ucapnya.
Ada banyak ustādhāt
yang berhasil menyampaikan pengetahuan tentang doa, seperti cara melakukannya dan
unsur-unsur yang membuat doa itu dapat diterima dan tidak dapat diterima. Sayangnya,
hanya ada beberapa yang dapat menyampaikan perasaan tentang cara memahami doa dan
harapan orang tersebut setelah doa selesai. Syarifah Halimah Alaydrus percaya bahwa
seni menyampaikan ceramah tidak hanya masalah mentransfer pengetahuan, tetapi juga
mentransfer perasaan.
“Saya pikir satu
poin penting dalam menyampaikan ceramah adalah tidak hanya untuk menyampaikan pengetahuan
tetapi juga untuk menyentuh hati para hadirin,” ucapnya, “Anda tahu, rentang usia
jemaat saya beragam. Bagi saya, kisah ini terbukti lebih mudah mengakomodasi kebutuhan
pertemuan ini. Saya tahu bahwa wanita dari berbagai kelompok umur suka mendengarkan
ceritanya.”
Soal komunikasi,
Syarifah Halimah Alaydrus memang jago menjalin pembicaraan yang enak disimak telinga
tanpa merisak sukma. Apalagi beliau juga aktif menulis untuk menyebarluaskan ilmu
dan dakwahnya. Hingga kini, Syarifah Halimah Alaydrus telah menulis empat buku:
Bidadari Bumi (2010), Tutur Hati Syarifah Halimah Alaydrus
Alaydrus (2014), Pilar
Cahaya (2014), dan Muhasabah
Cinta (2015). Belum lagi tulisan pendek yang beliau unggah melalui media
sosial: Facebook, Twitter, dan Instagram; sempat aktif menulis di Blogger dan al-Kisah;
sekaligus merawat akun YouTube pribadi beliau.
Gagasan
menulis buku muncul saat memikirkan orang yang ingin mendengarkan dakwahnya, tapi
terkendala jarak yang jauh. Syarifah Halimah Alaydrus ingin melewati keterbatasannya
dalam berdakwah. Dalam hati, beliau ingin dakwah bisa meluas. Sebab, ada banyak
hal yang ingin dia bagi kepada seluruh muslimah.
Faktor
lainnya, Syarifah Halimah Alaydrus tak ingin ilmu dan dakwah beliau terhenti ketika
dia sudah tiada lagi di dunia. Beliau berharap, manfaat dari dakwah tersebut terus
berlanjut walau sudah meninggal suatu saat nanti. Sehingga dakwah dan ilmu beliau
bisa menjadi peninggalan yang baik dan bermanfaat.
Syarifah
Halimah Alaydrus menyadari melalui sebuah tulisan yang tertuang dalam sebuah buku,
semua itu bisa jadi solusi atas harapan yang dipendam. Apalagi Syarifah Halimah
Alaydrus merupakan seorang yang memiliki hobi membaca dan menulis sejak lama. “Jadi
saya berpikir, hal apa yang akan saya tulis. Saya ingin menulis sesuatu yang tidak
mungkin ditulis orang lain. Tentu kisah tentang diri saya dan pengalaman sendiri,”
ungkapnya.
Dalam
buku Bidadari Bumi,
Syarifah Halimah Alaydrus menceritakan kisah para perempuan saleha yang beliau temui
semasa belajar di Tarim, Hadramaut, Yaman. Beliau menulis kisah sembilan bidadari
bumi yang bisa menginspirasi dan jadi teladan perempuan di zaman sekarang.
“Biasa
kita dengar kisah perempuan saleha tentang Khadijah dan Aisyah, tapi kondisi mereka
berbeda dengan zaman sekarang. Apa bisa kita praktikkan di kehidupan kini? Nyatanya
bisa jadi saleha seperti kisah perempuan di Bidadari
Bumi itu,” ujarnya.
Beliau
kemudian menulis tentang kisah para sahabat Rasulullah yang pertama kali masuk Islam
dalam buku berjudul Pilar Cahaya.
Syarifah Halimah Alaydrus merasa kisah tersebut indah untuk beliau bagi kepada umat
muslim. Terakhir, buku Muhasabah
Cinta yang membahas berbagai permasalahan dalam rumah tangga. “Awalnya
karena saya sering di-curhat-i dan diminta nasihat soal rumah tangga. Jadi,
saya pikir melalui tulisan ini mereka bisa dapat jawabannya,” imbuh beliau.
Syarifah
Halimah Alaydrus sendiri tumbuh dan besar di keluarga yang mementingkan agama,
yakni anak kelima dari pasangan Usman Alaydrus dan Nur Assegaf. Meski ayahnya bukan
seorang ‘alim, tapi termasuk sosok yang sangat cinta dengan Alquran. Pria yang dia
panggil dengan sebutan abah ini hobi membaca dan belajar memahami Alquran. Sejak
Syarifah Halimah Alaydrus kecil, abah sering berkata bahwa beliau menyesal tidak
belajar agama sungguh-sungguh.
“Abah
bilang, urusan dunia Allah sudah atur. Tapi urusan akhirat, Alquran ini indah banget,
abah sedih karena tidak mengerti,” ucapnya menirukan perkataan ayahnya. Ternyata
ucapan ini berdampak besar pada Syarifah Halimah Alaydrus. Setelah tamat dari bangku
SD, beliau terdorong untuk mendalami agama.
Tidak
hanya ayah, ibu juga melakukan hal yang sama. Perempuan yang disapanya umi ini menginginkan
anak yang tidak keberatan membaca surah Yasin setiap pagi ketika dia sudah meninggal
dunia. “Saya jadi tahu orangtua ingin saya seperti apa dan tujuan hidup saya. Itu
terjadi sekitar kelas 5 SD, saat saya juga masih tidak tahu apa cita-cita saya,”
kata beliau.
Syarifah
Halimah Alaydrus merealisasikan keinginan dengan mantap mulai nyantri mukim di pondok pesantren
untuk mendalami agama sesuai manhaj salaf (bukan gerakan salafi).
Tidak tanggung-tanggung, Syarifah Halimah Alaydrus belajar di Pesantren Darullughah
Wadda’wah di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang sangat jauh dari rumah.
Beliau
menyampaikan bahwa pada saat itu, tidak gampang mempertahankan semangat untuk masuk
pondok pesantren. Sebab, anak yang mau sekolah pondok pesantren rerata berasal dari
dua faktor. Kalau bukan karena anak nakal atau ‘anak buangan’ yang tidak mampu masuk
sekolah negeri. “Padahal nilai akademik saya paling tinggi di sekolah. Saya sampai
dipanggil pihak sekolah kenapa milih masuk pesantren. Tapi, saya tetap yakin mau
sekolah di pesantren,” ucap beliau mengenang.
Akhirnya
petualangan mandiri Syarifah Halimah Alaydrus bermula. Perempuan yang saat itu masih
berusia 12 tahun harus berpisah dengan keluarga besar di Indramayu. Beliau menghabiskan
waktu lima tahun di pondok pesantren yang berlokasi di daerah Jawa Timur tersebut.
Di sana, dia mulai mengenal bahwa hidup untuk Allah dan ada seorang pemimpin, yaitu
Rasulullah. Beliau mulai jatuh cinta dengan ilmu agama, yakni senang belajar dan
memiliki ketertarikan pada agama. “Saya ingin pelajari bagaimana kehidupan Rasulullah,
saya ingin tahu bagaimana syariat Islam, atau saya ingin tahu kenapa ulama bisa
berbeda pendapat. Seluruh keingintahuan itu muncul,” ujarnya.
Dari rasa
keingintahuan tersebut, perjalanan mendalami ilmu agama terus berlanjut. Syarifah
Halimah Alaydrus memilih fokus belajar Tauhid selama enam bulan di At Tauhidiyah
Tegal. Di sana, beliau tidak hanya belajar tapi juga mulai mengajar berkat perintah
pimpinan pondok pesantren. Namun, Syarifah Halimah Alaydrus menyadari bahwa
beliua masih kurang ilmu ketika murid bertanya soal fikih. “Saya bilang ke kiai
mau belajar lagi terutama soal ilmu fikih. Beliau rekomendasi ke Al-Anwar Rembang,
saya belajar di sana tiga tahun,” tutur beliau.
Perjalanannya
mendalami ilmu tak juga berhenti. Ketika sudah mau tamat belajar dan mendekati waktu
ujian kelulusan, abang beliau datang mengajak Syarifah Halimah Alaydrus belajar
ke Tarim, Hadramaut, Yaman. Syarifah Halimah Alaydrus ingat persis, beliau bersama
kakaknya berangkat menuju Yaman akhir 1998. Setelah kerusuhan dan krisis moneter
yang melanda Indonesia.
Walau
pada waktu itu di Tarim belum terdapat lembaga khusus perempuan, Syarifah
Halimah Alaydrus tetap berangkat. “Akhirnya, abang yang belajar lalu dia rekamin,
saya menulis ulang dari hasil rekaman di sekolah,” imbuh beliau. Syarifah Halimah
Alaydrus mengaku banyak mendapat pengalaman berharga saat bertemu dengan ulama yang
menyampaikan ilmu lewat beberapa majelis karena belum ada sekolah resmi untuk perempuan.
Beruntung,
seiring banyak orang berdatangan untuk mencari ilmu ke Tarim, akhirnya dibuat pondok
pesantren untuk perempuan bernama Daruz Zahro. “Abang saya malah hanya tinggal 1,5
tahun, saya bertahan dan betah sampai 4,5 tahun di Hadramaut. Saya pulang sekitar
2002 dan menikah. Lalu kembali lagi setengah tahun ke sana untuk mengajar,” beber
beliau.
Syarifah
Halimah Alaydrus benar-benar menetap kembali di Tanah Air, 2003. Hingga kini beliau
aktif berdakwah, mengajar, dan bermukim di Jakarta. Sebagai ustādhāt,
fokus beliau ialah ilmu Fikih yang biasa disampaikan
menggunakan kisah Rasulullah. Beliau, yang memiliki penguasaan Fikih empat mazhab,
melihat bahwa sekarang muslimah mulai tertarik dengan ilmu Fikih. Di luar
Fikih, beliau juga melihat bahwa orang banyak tertarik dengan ilmu Tafsir. “Kalau
sesama muslimah, saya cenderung dengan metode cerita lebih masuk penyampaiannya.
Tema dakwah bermacam-macam dari akhlak, keluarga, keimanan, fikih, dan sebagainya,”
sebutnya.
Selama
belasan tahun berdakwah di Indonesia, Syarifah Halimah Alaydrus bersyukur tidak
ada kendala berarti dari luar. Apalagi beliau merasa seluruh yang berada di majelis
itu merupakan kawan, bukan murid. Syarifah Halimah Alaydrus berpikir semua umat
Islam sama, hati mereka baik dan indah. Justru tantangan dalam berdakwah ada dalam
diri beliau sendiri: agar bisa istiqomah dan tetap dakwah meski sakit atau hati
sedang tidak dalam keadaan baik.
“Suami
saya berpesan, selagi saya masih bisa berdiri dan bicara jangan tinggalkan majelis.
Jadi, bagaimana saya bisa mengatur diri tetap bisa dakwah walau misalnya sedang
sedih,” ujar beliau.
Syarifah
Halimah Alaydrus sering kali menjumpai momen-momen berharga yang mampu membangkitkan
semangat dakwahnya. Terutama saat dakwah di daerah terpencil. Beliau bercerita,
salah satu pengalamannya di Madura. Dia harus melakukan perjalanan yang cukup panjang
dan melelahkan. Desa yang dituju ini masih jauh dari area kota Madura, perjalanan
darat membutuhkan waktu sekitar dua jam. Pemandangan di samping kiri Laut Jawa dan
samping kanan hutan belantara.
“Saya
pikir siapa yang mau datang ke majelis itu. Apalagi majelis ini dilakukan malam
saat mereka punya waktu luang,” ungkap beliau. Namun tak disangka, mereka yang hadir
jauh melebihi ekspektasi. Ribuan orang mau berkumpul dan bersama-sama melantunkan
selawat. Mereka mendengarkan dakwah sampai kondisi cukup larut.
Momen
seperti ini yang mampu membuat Syarifah Halimah Alaydrus terharu dan semangat berdakwah.
Perempuan yang dalam kesehariannya tampil berniqab ini mengaku tak memiliki target
dalam hidup. Semua dia jalani dan yakin bahwa Allah akan selalu membimbing. Dia
berdoa bisa istiqomah di jalur ini.
“Selebihnya
saya ingin menulis banyak hal lagi. Ini masih cari waktu dan kesempatan, semoga
bisa terus konsisten menulis,” kata beliau.
Dalam
satu perbincangan, Syarifah Halimah Alaydrus berpesan bahwa terdapat banyak hal
yang perlu disyukuri dalam hidup. Terutama nikmat Allah yang menginginkan kita sebagai
hambanya. Itu kenikmatan yang tak ternilai harganya.
“Dalam
keadaan seperti apapun, ingatlah bahwa kamu punya Allah dalam hidupmu yang siap
menampung segala keluh kesah, siap mendengar segala doa-doamu, dan mengijabah. Siap
datang kepadamu bahkan dengan berlari, jika kamu datang kepada-Nya hanya dengan
berjalan sekalipun. Jangan pernah menyerah,” tutur beliau.
Beliau
juga mengungkap tips bahagia ala rasulullah. Tips ini diungkap dengan menyampaikan
cerita ketika ada orang yang bertanya kepada Rasulullah terkait, orang yang paling banyak mendapat nikmat.
Menurut Syarifah Halimah Alaydrus, Rasulullah menjawab: Para Nabi, para Wali, para
Syahid, dan orang saleh.
Syarifah
Halimah Alaydrus kemudian menjelaskan bahwa pada zaman sekarang, untuk menjadi Nabi
tidak mungkin karena tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad. Untuk menjadi Wali
juga ketinggian. Untuk menjadi Syahid masih mungkin karena tidak hanya orang yang
pergi perang untuk membela agama Allah, tetapi orang yang bersyi'ar untuk Agama
Allah yaitu ulama. ”Kalau ketiganya tidak bisa, maka kejarlah untuk menjadi orang
saleh, menjadi hamba Allah Ta'ala yang saleh,” terang beliau.
“Siapapun
yang taat kepada Allah dan Rasulullah, maka dialah orang yang dikasih nikmat paling
banyak oleh Allah Ta'ala. Dialah orang yang paling bahagia. Bahagia itu adanya di
hati. Tidak bisa dirasakan kulit ataupun mata. Bahagia itu tidak sebanding dengan
harta, tidak sebanding dengan jabatan, tidak sebanding dengan kekayaan dan juga
tidak sebanding dengan rupa.” jelas beliau.
Beliau
kemudian melanjutkan, “Lantas bagaimana bahagia yang sesungguhnya? Bahagia adalah
orang yang hatinya dibahagiakan oleh Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya:
ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
‘(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah
hati menjadi tenteram.’ Jadi selama ini mungkin kita tidak bahagia
karena salah sangka dengan perspektif kebahagiaan,” tutup Ustazah Syarifah Halimah
Alaydrus.
وَاللّهُ أعلَم
بِالصَّوَاب