Terry Mart


Terry Mart


“Yang paling mahal di dunia riset dan bidang kehidupan lain adalah ide atau kreativitas.”
— Terry Mart

Kutipan tersebut muncul mulai detik ke-7 dalam Video Biografi: Terry Mart yang diunggah oleh kanal YouTube Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia - LIPI pada 21 Agustus 2019 lalu. LIPI merilis video tersebut seiring penganugerahan apresiasi resmi LIPI SarwonoAward XVIII kepada Terry Mart. Terry Mart yang lahir pada 3 Maret 1965 merupakan fisikawan yang fokus kepada fisika partikel teoretis—bidang yang salah satu upaya besarnya ialah membangun deskripsi terpadu antara mekanika kuantum dan relativitas umum.

Saya pribadi bersyukur Terry Mart memperoleh apresiasi tersebut. Terry Mart merupakan salah satu role model saya yang muncul dari arena fisika teoretis. Satunya lagi Yohanes Surya. Kebetulan keduanya tampak saling berpadu dalam pendidikan. Kalau Yohanes Surya banyak menggarap pendidikan dasardan menengah, Terry Mart menggarap pendidikantinggi.

Sebagai fisikawan, Terry Mart termasuk sosok extremely productive. Artikel akademik karya Terry Mart dapat ditemukan melalui mesin pencari, seperti INSPIRES, Scopus, ISI Web ofScience, Los Alamos arXiv, NASA ADS, MicrosoftAcademic, dan Google Scholar. Selain menulis artikel akademik, lelaki kelahiran Palembang ini juga menulis artikel populer.


Pada 26 Desember 2019 lalu, artikel karya Terry Mart berjudul Kronologi AlamSemesta Dari Kacamata Sains saya terbitkan di blog Alobatnic. Artikel tersebut merupakan uraian tertulis terhadap ungkapan lisan terkait alam semesta dari Terry Mart melalui video berjudul Terry Mart — Kronologi Alam Semesta yang saya unggah di YouTube AdibRS pada 25 Desember 2019 ini. Kali ini, melalui post berikut, ditampilkan petikan wawancara Terry Mart terkait riset yang dilakukan. Buat yang tertarik menelisik lebih dalam riset Terry Mart, dapat menghubungi melalui surel tmart@fisika.ui.ac.id.

Sejak kapan Anda tertarik Fisika?

Saya senang Fisika, tapi orang-orang menganggap pelajaran ini sulit. Saya masuk Fisika Ul lewat jalur tanpa tes. Awalnya ragu-ragu juga. Saya tanya orang tua saya. Jawaban beliau bijak. Coba saja, kalau tidak cocok, tahun kedua keluar dan coba lagi. Setelah merasakan satu semester Fisika di Ul, saya tak mau keluar. Saat skripsi. saya diajak dosen ikut Simposium Fisika Nasional di Yogya. Ketika melihat orang mempresentasikan hasil penelitian, berdebat, saya bilang, inilah dunia saya. Menarik sekali, melihat orang berdiskusi tentang alam semesta yang didasarkan pada Matematika.

Secara objek material, apa yang menarik?

Fisika itu kan menarik, karena cara kerjanya. Alam ini diamati, kemudian dibuat model Matematika. Nah model ini bisa dimanipulasi, dicari solusinya, dan setelah dapat, dikembalikan lagi ke alam.

Kenapa memilih bidang Fisika Teori yang tak banyak diminati?

Karena saya senang Matematika, saya senang teori. Dan saya lihat, kita hanya bisa berkontribusi secara teori, khususnya untuk bidang saya, Fisika Partikel. Kalau untuk eksperimen, lha Amerika saja numpang ke Swiss untuk akseleratornya. Riset Fisika partikel itu mahal sekali. Di Jepang saja, untuk akselerator kecil, triliunan untuk bangunnya.

Mungkin bisa dijelaskan secara sederhana fokus kajian Anda selama ini?

Apa yang saya teliti, masih sama dengan penelitian skripsi saya, tahun 1988. Yaitu suatu reaksi partikel yang menghasilkan satu jenis partikel yang disebul Kaon, dari sebuah partikel yang namanya Proton. Proton itu partikel yang mengisi isi atom. Caranya, Proton kita tembaki dengan sinar Gamma. ltu saja, simpelnya.

Relevansinya dengan dunia nyata, kira-kira seperti apa?

Dari sini saya bikin model, bagaimana reaksi ini bisa terjadi. Nah, ternyata orang Fisika Nuklir perlu model ini untuk membuat nuklir baru, yakni nuklir hiper. Nuklir hiper ini berbeda dengan nuklir yang selama ini dipakai orang. Jadi, model saya dipakai untuk menghitung peluang terjadinya reaksi nuklir hiper. Kemudian, itu bisa juga dipakai untuk menyelidiki bintang Netron.

Waktu itu, saya juga sempat menulis Ekonofisika, yakni orang Fisika yang ingin berkontribusi di bidang Ekonomi, Caranya bagaimana? Kita kan punya banyak model, banyak Matematika di Fisika, cobalah kita pakai untuk analisa Ekonomi. Kalau biasanya kita masukkan data-data Fisika, sekarang kita masukkan data-data Ekonomi. Kita lihat apa yang terjadi. Mungkin kita akan menemukan sesuatu yang tak pernah dilihat oleh orang Ekonomi. Harapannya, Fisika bisa menemukan pola-pola dasar dari fenomena ekonomi.

Bintang Netron? Seperti apa itu?

Bintang, seperti Matahari, terlihat bulat karena keseimbangan gaya ledakan nuklir dan gaya gravitasinya. Gaya gravitasi itu kan mau mengerutkan, sedangkan ledakan nuklir itu memencarkan. Lama-lama, bahan bakar suatu bintang akan habis. Kalau dia habis, gaya yang keluar berkurang, sementara gaya gravitasi tetap. Akibatnya, bintang akan mengkerut. Terus mengkerut. Sebenarnya, kalau tidak ada yang menahan bisa menjadi black hole. Tapi suatu waktu ada yang menahan, namanya gaya degenerasi. Saat mengerut itu, atom bisa runtuh. Bisa dibayangkan, kalau atom itu runtuh, maka elektron akan hilang. Sementara, antara inti atom dan elektron ini ruang hampa, tak ada apa-apa. Betapa luar biasa mengkerutnya materi ini, kalau atom runtuh, mengerut 100 ribu kali lebih kecil. Jadi volumenya mengecil, tapi massanya tetap. Bisa ratusan ribu ton per millimeter kubik. Bintang seperti itu, karena ditahan oleh gaya degenerasi netron, disebut bintang netron. Elektron yang bermuatan negatif, ketika runtuh, masuk ke dalam inti atom bergabung dengan proton. Protonnya berubah jadi netron. Di alam semesta ini, banyak sekali bintang Netron, termasuk mungkin di galaksi kita.

Menurut Anda, apa kelemahan ilmuwan kita?

Dulu, Abdussalam pemenang Nobel dari Pakistan pernah bilang, orang-orang di negara berkembang itu kurang ambisi. Kedua, sistem atau budaya. Budaya kita tidak terlalu mendukung. lni menyangkut kebiasaan buruk bangsa kita, yakni terlalu pragmatis. Misalnya, di dunia universitas, kalau orang ingin jadi guru besar—yang dianggap sebagai naik pangkat, maka dia memburu poin, misalnya dengan ikut konferensi ini dan itu. Jadi, niatnya untuk naik pangkat, bukan untuk mengembangkan ilmu. Mestinya, orang kan meneliti dengan kesadaran bahwa dia adalah peneliti, sehingga dia suka dan terus menekuni bidang itu. Nanti kan pangkat itu ikut dengan sendirinya. Yang menyebabkan korupsi kan budaya pragmatis seperti ini. Orang pragmatis, ingin cepat naik pangkat, ingin cepat kaya.

Bagaimana dengan dukungan pemerintah?

Pemerintah justru kadang mengeluarkan kebijakan yang tak masuk di akal. Misalnya, sekarang yang banyak dikeluhkan adalah ‘azas kepatutan’ dalam publikasi ilmiah. Jumlah publikasi internasional maksimal hanya satu dalam setahun. Jadi kalau ada dosen yang publikasi lebih dari satu, dianggap tidak layak, dianggap tidak mungkin. Harusnya publikasi itu bukan kemudian tidak dihitung. Oke lah dicurigai, tapi kemudian diperiksa apakah benar. Begitu juga soal penelitian, saya tidak tahu kenapa dananya selalu turun telat. Dana turun sudah di pertengahan tahun, pekan depannya kita diminta laporan. lni tidak masuk di akal.

Bagaimana Anda menyiasatinya?

Saya selama ini punya uang simpanan yang, misalnya, saya pakai dulu untuk ikut konferensi yang nanti akan diganti jika dananya turun. Begitu juga untuk nalangin dulu pembelian alat. Jadi memang butuh energi dan kemampuan yang luar biasa. Untuk bisa berprestasi, kalau kemampuan kita sama, maka kita harus kerja dobel. Ketika belajar ke Jerman, saya lihat orang Jerman pinter-pinter sekali. Sementara kita kan basic-nya lemah. Mereka fokus sekali, karena tiap semester paling 3 atau 4 mata kuliah. Sedangkan kita, bisa 8 atau 9 mata kuliah. Akhirnya saya bilang, saya bisa seperti mereka ka.lau saya bekerja dua kali lebih banyak, dua kali lebih keras dari mereka. Maka, sebagai peneliti, kalau kita ingin sukses ya harus kerja keras, kerja sungguh-sungguh. Dan itu bisa tercapai kalau kita memiliki motivasi tinggi. Kalau motivasi turun, ya seperti yang saya sering bilang, itu pembusukan akademis.

Pembusukan akademis itu seperti apa?

Sebagai ilustrasi, begini. Misalnya ketika kita riset, jika ada tugas lain, maka kita tinggalkan. Bahkan untuk ngajar 2 atau 3 jam, kemudian switch ke penelitian lagi, itu nggak mudah. Akhirnya kita tunda-tunda. Tertunda seminggu, tertunda sebulan, sudah sulit. Tertunda setahun, sudah tak mungkin lagi kita lakukan. Pembusukan akademis itu tidak terasa. Memang, karena sistem juga.

Tidak tertarik membangun ke luar negeri seperti sebagian ilmuwan lndonesia?

Kalau tawaran atau kesempatan ada. Saya sering ditanya, antara lain oleh Nelson Tansu, Profesor dari Amerika, orang Sumatera Utara. Dia bilang, publikasi saya sudah independen, tidak bergantung pada siapa-siapa. Dia bilang, tertarik nggak ke Amerika, nanti difasilitasi. Di tempat saya post doctoral, Washington, juga ada kesempatan. Saya bilang, saya ini di luar negeri mungkin biasa-biasa saja, tapi kalau di lndonesia mungkin tak biasa. Saya pikir. kalau di sana, saya jadi professor, mengajar, sudah. Biasa-biasa saja. Dengan begitu saya mungkin tak terlalu berarti bagi Amerika, apalagi bagi lndonesia. Saya mungkin lebih berarti di lndonesia. Selain itu, saya merasa banyak tantangan yang harus saya taklukkan di sini.

Tantangan seperti apa?

Ada dua tantangan. Pertama, tantangan untuk menjadi berarti buat lingkungan, keluarga, negara, agama. Kedua, menjawab tantangan orang-orang Fisika. Ada seorang Profesor Fisika Teori dari ITBsekarang sudah pensiun, yang kemudian switch ke Fisika Material yang lebih konkrit, ketika diwawancarai Kompas bilang, kau tak akan bisa bertahan dengan Fisika teori di lndonesia. Teman saya, Yohannes Surya yang bidangnya sama, juga bilang, nggak bakalan berhasil deh kalau menekuni Fisika teori ini. lni pada akhirnya menjadi cambuk. ltu jadi motivasi bagi saya. Saya mau buktikan bahwa kita bisa survive. Memang, saya lihat banyak fisikawan yang tidak survive di Fisika Teori. Maksudnya, mereka tidak sampai pensiun tetap publikasi Fisika Teori di jurnal internasional.

Anda merasa bisa menjawab tantangan itu?

Memang, di awal tak terlalu menggembirakan. Kalau orang berjuang, kan biasa, ada kendala ekonomi, kesulitan naik pangkat, dan lain sebagainya. Dulu, tahun 2003, saya menulis Sulitnya Penelitian Dasar. Saya menceritakan, tidak ada dana riset untuk teori. Kalau orang riset, selalu ditanya, produknya apa. Agak frustasi juga sebetulnya. Mana pangkat tidak naik-naik, terus nggak dapat dana. Tapi ada satu yang menghibur, yakni pubilikasi riset-riset di jurnal internasional. Juga, kolega-kolega saya di luar negeri yang sering mengundang. Mereka minta saya bicara di konferensi atau minta riset bersama dengan saya. Hampir tiap tahun saya berangkat ke luar negeri. Itu hiburan yang terus memotivasi saya. Saya tak peduli dengan pangkat, dengan jabatan, sampai-sampai Majalah Tempo menyebut saya guru besar tanpa gelar resmi.

Kenapa akhirnya mengajukan jadi guru besar juga?

Menjadi guru besar sebetulnya juga bukan sebuah motivasi, kecuali satu, bahwa Departemen Fisika Ul ini harus memiliki program S3. Untuk mendirikan program S3 harus ada professor. Jadi kalau saya tetap masa bodoh dengan pangkat, secara institusi akan rugi. Akhirnya, ya saya mengusulkan juga jadi guru besar. Tentu saja tidak sulit, karena publikasi saya banyak. Saya prihatin melihat banyak orang yang mengejar-ngejar guru besar dengan segala cara, sehingga banyak kasus plagiarism.

Publikasi Anda di jurnal lnternasional sangat banyak, apa resepnya?

Motivasi harus tetap tinggi, karena riset butuh tenaga potensial yang tinggi sekali. Misalnya kita harus bisa menyiasati waktu yang terbatas, karena kita juga terbebani tugas mengajar dan lain-lain, termasuk waktu untuk keluarga kan. Biarkan keluarga tidur, baru kita nyalakan laptop, dan mulai bekerja. Kita mungkin kurang tidur, tapi kita harus ingat, banyak orang-orang sukses yang kurang tidur. Saya dengar sendiri, orang seperti Yohanes Surya itu sangat kurang tidur. Dia bangun lebih pagi dari orang yang sholat subuh. Dia bilang, tidurnya sedikit, karena harus segera menulis. Ini memangsoal bagaimana kita membiasakan diri.

Anda yakin edaran Dikti soal kewajiban publikasi bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 akan signifikan menaikkan jumlah publikasi ilmiah?

Itu di luar dugaan dan harapan saya. Harapan saya sebenarnya satu, S3 harus publikasi internasional, seperti yang dilakukan Malaysia. Jadi professor dan mahasiswanya meneliti, sebelum jadi doktor, dia publikasi internasional dulu. Kalau setiap profesor dan doktor menghasilkan publikasi internasional, jumlahnya akan signifikan, mungkin nggak lerlalu jauh dari capaian Malaysia. Bagi S1 dan S2, kewajiban publikasi itu merepotkan.

Apa makna berbagai penghargaan yang Anda terima selama ini?

Penghargaan, berarti orang mengamini kerja kita. Tak semua dalam bentuk materi, ada yang cuma plakat. Bagi saya, itu untuk menambah semangat, menambah keyakinan bahwa saya on the right track, saya sudah berada di jalur yang benar. Tapi saya harus ingat, ada orang-orang di rumah. Mereka tak butuh plakat atau medali. Saya pernah diundang rektor untuk membicarakan sebuah lema yang wah, yakni World Class University. Waktu itu mau lebaran, ada sms dari rumah, ini mixer rusak, tolong belikan, carikan uangnya, kalau tidak, kita tidak lebaran. Ini contoh kecil, bahwa yang di rumah itu tak butuh dengan World Class University, publikasi di jurnal internasional. Mereka butuhnya dapur bisa ngebul. Jadi, kalaupun idealis tetap harus proporsional. Penghargaan yang sifatnya materi itu rezeki yang di sana (rumah), kalau yang lain-lain itu rezeki saya.

Dalam menekuni Fisika, barangkali ada semacam pelajaran hidup?

Di Fisika, ada hukum kekekalan energi. Jika seseorang, misalnya, menggunakan energinya untuk hal-hal pragmatis semata, ya sudah, energinya habis untuk itu. Apa yang saya lakukan? Saya mencoba hidup sederhana. Tetapi, karena energi kekal, dengan hidup sederhana, kemudian saya kerja keras, ini tidak gratis. Di ujung, akan dibayar, baik dengan hadiah, penghargaan, atau gaji yang baik. Satu yang saya banggakan adalah karya-karya saya berupa ilmu yang kalau dibaca orang, bisa dikembangkan. Ilmu tak akan berkurang kalau kita sebarkan. Energi itu kekal, tak ke mana-mana. Seperti anak muda yang hidup berfoya-foya, ya silakan, tapi dia harus siap menderita saat tua, begitu pula sebaliknya.

Bagaimana dengan sisi keyakinan?

Fisika juga menegaskan keberadaan Tuhan. Dalam perdebatan tentang alam semesta, Stephen Hawking dalam Grand Design menyatakan bahwa alam semesta bisa terjadi dengan sendirinya. Okelah kalau secara Fisika mereka mengatakan demikian, tapi siapa yang membuat hukum alam fisika itu. Nggak bisa kalau tidak ada sesuatu di balik itu semua.

Ada yang disebut ketidakpastian Heisenberg. Disini, energi boleh dilanggar sedikit dalam jangka waktu selang yang berhubungan dengan itu. Ada partikel dan anti partikel yang bisa diciptakan dari yang tidak ada, kemudian bergabung lagi. Harusnya menjadi radiasi tapi dia tidak, karena ‘bayar’ hutang energi pencipataan tadi. Itu banyak sekali. Dari situ disimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak ada itu adalah lautan partikel dan anti partikel. Tercipta hilang, tercipta hilang. Wah, itu dampaknya luar biasa, karena itu mengubah sesuatu yang dipikirkan para filsuf selama ini, karena mereka mempertanyakan apakah itu ada. Kalau sesuatu yang tidak ada itu ada, maka makin pusing mereka. Ada sesuatu di balik semua yang kita lihat.

Jadi, pendapat Hawking tidak serta merta ateisme?

Hawking sendiri mungkin tak peduli disebut ateis atau bukan, tapi kita harus membacanya dengan kritis. Yang saya sesalkan di negara kita, banyak orang yang memusuhi sains. Padahal sains bukanlah suatu yang harus dimusuhi, karena hukum Fisika itu kan hasil pengamatan dan kita interpretasikan. Hukum Fisika itu fluktuatif dan relatif. Jadi sains itu selalu mengalami perubahan. Misalnya teori Big Bang adalah suatu pengamatan yang kemudian diinterpretasikan dan bisa mengalami perubahan. Kita harus bijak bersikap terhadap ilmu. Karena terus berubah, ilmu tidak bisa kita jadikan judgment pada doktrin agama. Kebenaran agama itu mutlak, sedangkan kebenaran sains itu relatif. Kita harus bijak untuk menempatkan ilmu dan agama.

Jadi ilmu pasti pun sebetulnya tidak pasti?

llmu pasti pun sejatinya tidak pasti. Dalam mekanika quantum, segala sesuatu adalah probabilitas, peluang kemungkinan. Menurut mekanika quantum, kemungkinan itu adalah intrinsik, sesuatu yang tidak bisa dihindari. Nah mulailah dari situ bahwa ilmu itu tidak exact. lni mestinya membuat kita arif. Banyak sekali hal-hal yang tidak under control kita.

Apa obsesi Anda kini?

Saya ingin melakukan riset sampai pensiun dan mengembangkan Fisika partikel, juga membuat akselerator di lndonesia. Akselerator itu memang mahal, tapi ttukan tak mungkin dibuat di sini, karena kita punya SDM nya. Sesuatu itu dimulai dari SDM nya.