Berjumpa Mbak Whasfi Velasufah Panutan Saya



Semua orang tentu memiliki panutan. Mulai orangtua, keluarga, tetangga, sahabat, guru, teman, hingga sosok lainnya termasuk sosok yang dikenal sebagai public figure. Panutan, baik seorangan atau sekerumunan, memberi semangat terhadap langkah yang dijalani dalam keseharian.Panutan memiliki peran psikis, yang dapat memengaruhi pandangan (cara, sudut, jarak, sisi, dan resolusi) terhadap sesuatu bahkan bisa memengaruhi seseorang sepenuhnya.

Seorang panutan biasanya menjelma sebagai sosok agung bagi pengagumnya. Sosok yang memiliki daya dorong luar biasa hingga sanggup membawa batin pengagumnya larut terhadap beberapa perkara. Saking hanyut batin itu sampai perilaku tak bisa dirunut dengan nalar biasa.

Panutan boleh siapa saja. Sah-sah saja preman yang nama sapaan karibnya tak elok menjadi nama sebuah gang menjadi panutan. Walakin nama dari sosok itulah yang selalu dilantan dengan penuh kasih sayang di hati mereka yang menggandrungi, mereka yang menjadikannya sebagai panutan. Itulah nama yang mudah diingat karena inspirasinya, bukan karena muka garangnya.

Dengan demikian, setiap manusia layak menjadi panutan, entah manusia tersebut dipandang sebagai sosok besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang sebagai sosok kecil karena sedikit orang yang mengenalnya. Sepanjang orang menunjukkan kesungguhan, pasti ada orang yang menjadikannya sebagai panutan, meski diam-diam.

Salah satu sosok yang menjadi panutan saya adalah Whasfi Velasufah. Kali pertama kami berjumpa ialah saat beliau menjadi delegasi Kudus dalam satu perlombaan tingkat propinsi, 2011 silam di asrama haji Jawa Tengah. Saat itu saya menyangka bahwa Mbak Whasfi ialah teman satu angkatan sekolah dengan saya. Pasalnya terasa ada aura karisma yang terpancar dari tubuh beliau yang, sejujurnya, tak bagus-bagus amat.

Sangkaan saya meleset jauh. Beliau ternyata adik kelas saya! Hal itu justru membuat saya yang mulanya kagum menjadi kian mengagumi perempuan kelahiran 9 Agustus 1995 ini. Belakangan, 2 tahun kemudian, kami berjumpa lagi di Tangerang Selatan, ketika saya main ke UIN Ciputat. Sejak saat itu, saya merasa beruntung Mbak Whasfi berkenan memberi saya kesempatan berinteraksi dengan beliau.

Sebenarnya tak banyak interaksi yang kami alami, tapi ini jauh lebih banyak ketimbang perjumpaan yang dapat terjadi. Pasalnya Mbak Whasfi adalah seorang yang sibuk dengan beragam kegiatannya, terutama kegiatan sebagai aktivis salah satu organisasi keislaman. Hal inilah yang membuat kesempatan berbicara, apalagi berjumpa, dengan Mbak Whasfi terasa bermakna untuk saya.

Tanpa saya duga, beberapa hari lalu Mbak Whasfi yang biasa sibuk di pusat Indonesia pulang ke kampung halaman. Kabarnya beliau jenuh dan ingin rehat sejenak melepas penat. Menyadari bahwa sang idola sedang berada di rumah, saya segera memohon waktu untuk berjumpa, syukur-syukur beliau berkenan mampir singgah sejenak di Omah Kopi, warung yang sedang dikembangkan bersama keluarga teman saya. Beruntung Mbak Whasfi berkenan. Malah beliau sempat memberikan beberapa masukan terkait pengembangan tempat jajan tersebut.

Menurut ungkapan Dahlan Iskan yang ditulis dalam buku The Next One, ucapan orang penting itu penting untuk didokumentasikan. Benar atau salah ungkapan tersebut, ucapan-ucapan yang disampaikan oleh Mbak Whasfi ternyata memiliki nilai tersendiri. Tak sekadar bercuap untuk Omah Kopi, beliau bahkan lebih jauh memotret perkembangan wisata warung kopi di daerah Colo. Hasilnya dari ucapan tersebut, kami menulis artikel akademik berjudul The Development of Coffee Shopping Tourism in Colo yang diterbitkan melalui Thesis Commons sehari setelahnya.

Ucapan penting lain dari Mbak Whasfi saya dokumentasikan ialah analisis beliau terhadap kecenderungan masyarakat di wilayah Muria banyak yang mengandalkan sektor pariwisata untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Melalui obrolan dengan warga dan pengamatan lokasi sekitar, Mbak Whasfi dengan jeli menyimpulkan bahwa pengembangan pariwisata di wilayah Muria lebih mengarah pada objek wisata buatan yang menimbulkan permasalahan lingkungan. Beliau lalu menyarankan agar dilakukan alternatif pengembangan pariwisata yaitu obyek wisata yang mampu menekan dampak kerusakan lingkungan sekaligus meningkatkan peran masyarakat lokal dan kesejahteraannya yaitu pengembangan desa ekowisata berbasis komunitas.

Hasilnya, simpulan dan saran tersebut menjadi bahan penulisan artikel Analisis Potensi dan Arahan Strategi Kebijakan Pengembangan Desa Ekowisata di Wilayah Muria. Dalam artikel tersebut, beliau mengarahkan saya untuk melakukan penilaian potensi wisata dan obyek daya tarik wisata, menganalisis kesiapan terhadap pengembangan desa ekowisata, serta menentukan arahan strategi kebijakan pengembangan desa ekowisata di  di wilayah Muria, bagian Kudus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa beberapa desa yang termasuk wilayah Muria memiliki potensi wisata dan obyek daya tarik wisata berupa atraksi alam, sumberdaya pertanian, dan budaya yang dapat lebih dikembangkan.

Latar belakang akademik Mbak Whasi yakni pondok pesantren dan Kimia rupanya cukup berpengaruh dalam obrolan. Selama meminta saya menemani beliau, kami sempat membahas topik Education for Sustainable Development (ESD) yang sedang saya kerjakan dalam penelitian saya. Dari pembahasan tersebut, beliau menyampaikan saran agar memperkaya pembahasan tersebut dengan pandangan Islam.

Hasilnya terbitlah artikel berjudul Islamic Perspective Toward Education for Sustainable Development (ESD), yang mengelaborasi dukungan perspektif Islam tradisional berdasarkan beberapa kitab kuning populer di kalangan nahdliyin, antara lain Tafsīr al-Jalālayn karya Muḥammad ibn Aḥmad al-Maḥallī & ‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī, Riyāḍ al-Ṣōliḥīn karya Abū Zakariyyā Yahyā al-Nawawī, serta Al-Mustaṣfa min ‘Ilm al-Uṣul karya Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghozālī.

Sifat cermat yang didukung kematangan dalam kitab kuning ditunjukkan oleh Mbak Whasfi ketika menyampaikan keluhan terkait perempuan. Menurut Mbak Whasfi, banyak orang yang kurang cermat dalam membaca kitab kuning, sehingga menyimpulkan bahwa karya klasik tersebut selalu meminggirkan perempuan. Padahal, menurut Mbak Whasfi, tidak selalu begitu.

Secara umum, Mbak Whasfi menyebut bahwa paling tidak terdapat empat tipe penempatan posisi perempuan oleh kitab kuning: melebur dalam lelaki, separuh harga lelaki, sejajar dengan lelaki, dan lebih tinggi dari lelaki. Merasa bahwa keluhan tersebut mengandung nilai penting untuk disampaikan, saya berinisiatif mengupasnya lebih dalam melalui artikel Memetakan Posisi Perempuan dalam Kitab Kuning. Beruntung beliau berkenan.

Lebih dari sekadar urusan perempuan, Mbak Whasfi bahkan lebih jeli meneliti diksi bermakna manusia yang digunakan dalam al-Qur’ān. Mbak Whasfi menjelaskan bahwa terjemahan al-Qur’ān dalam Bahasa Indonesia kurang mewadahi makna asal dari Bahasa Arab.

Contoh yang beliau sampaikan ialah terkait kata ‘manusia’, yang seakan hanya ada satu kata saja yang dipakai untuk menyebut manusia, seolah tak ada perbedaan apapun saat kata-kata yang dialihbahasakan itu diungkapkan. Padahal kalau dicermati, terdapat tiga kata yang dipakai untuk menyebut ‘manusia’, yang masing-masing memiliki penekanan tersendiri: ‘al-basyār’ «البشر», ‘al-insān’ «الإنسان», dan ‘al-nās’ «الناس». Dari sini saya kemudian mentranskip ucapan beliau untuk disajikan melalui artikel Menelusuri Kata Bermakna Manusia dalam al-Qur’ān.

Mbak Whasfi yang mengetahui latar belakang akademik saya ialah pendidikan, lalu memerintahkan kepada saya untuk mengupas sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang pro-perempuan, dari sisi apa, mengapa, dan bagaimana mewujudkannya. Perintah yang disampaikan tersebut dilatari oleh keprihatinan beliau bahwa data penelitian dan fakta lapangan menunjukkan bahwa topik kajian tentang Islam dan perempuan terbilang ramai dikupas.

Sayang secara umum kupasan tersebut terasa baru sebatas ‘seremonial’, karena tidak sampai ke tingkat operasional pembelajaran. Inilah yang membuat beliau memerintahkan saya untuk Mewujudkan Sistem Pendidikan Islam yang Pro-Perempuan, ucapan yang kemudian saya jadikan judul dalam artikel yang diterbitkan atas nama kami berdua.

Banyak tuturan Mbak Whasfi yang sayang kalau dibiarkan begitu saja. Keluasan dalam membentangkan peta serta kedalaman dalam menyingkap makna berpadu laras dengan kesabaran mengungkap kata. Apalagi sejauh yang saya dengar, tuturan Mbak Whasfi bukan hanya membincangkan tentang dirinya seorang. Alih-alih memberi informasi diri, Mbak Whasfi justru memberikan kesempatan bagi saya untuk memperoleh wawasan yang tak biasa.

Menuliskan tuturan Mbak Whasfi juga menjadi sarana menguji ketepatan pemahaman saya dengan kehendak Mbak Whasfi. Tidak semua yang disampaikan olehnya dapat saya cerna. Sebagian besar malah hanya dapat saya dengar saja, laiknya sebuah lagu yang dilantunkan oleh suara serak khasnya. Tak jarang pula saya justru salah memahami tuturan yang disampaikan Mbak Whasfi.

Sulit untuk mengelak dari kenyataan bahwa dalam beberapa perkara, Mbak Whasfi dan saya memiliki titik temu serta pada beberapa perkara lainnya kami juga memiliki titik pisah. Kalau ada satu titik yang bisa menemukan, untuk apa titik-titik pisah dianggap terlampau menjadi masalah? Sejauh-jauhnya kami berpisah pada beberapa perkara, kami sama-sama manusia, meskipun dirinya tentu lebih mulia daripada saya.

Di akhir pertemuan, saya memohon kepada beliau untuk berkenan membubuhkan tanda tangan di salah satu buku saya. Beruntung sekali rasanya ketika Mbak Whasfi berkenan. Malah beliau sempat mengimbuhinya dengan pesan singkat, “Be your self”.

Kutipan kata-kata Mbak Whasfi termasuk perkataan yang saya koleksi. Semacam menjadi pendobrak kuldesak kala paceklik gagasan dialami. Sejenis alat bantu dalam menggali inspirasi. Mbak Whasfi seperti punya daya endus tersendiri sehingga mampu menyusun tuturan bergizi dan enak dinikmati. Beruntung rasanya berkesempatan mendengar beliau bercerita.

Mbak Whasfi sendiri menjadi orang yang dapat bicara setara. Memang kami tidak setara, jelas kalau dia lebih mulia dibandingkan dengan saya. Namun, Mbak Whasfi bisa membuat obrolan yang dilakukan terasa setara karena memiliki sejenis ‘standar’ yang sama. Bukan standar ganda yang hanya mau menerima enaknya sendiri saja.

Sebagai lawan bicara, Mbak Whasfi terbilang sosok yang tak banyak basa-basi bicara sejak perbincangan dimulai dari salam. Saat bicara pun, dirinya bisa terhindar dari gagal paham. Sepanjang mengenal Mbak Whasfi, saya memang menganggapnya sebagai orang yang suka bercerita.

Mbak Whasfi lebih gemar bercerita alih-alih mengulas persoalan secara akademis seperti menerbitkan jurnal. Ceritanya hanyalah biasa, tampaknya. Tapi dari sini saya mudah menerima karena tak merasa mengancam pikiran sehingga bisa disampaikan secara akrab. Kekuatan cerita dari Mbak Whasfi bukan pada efek tertentu yang dikehendaki olehnya, tetapi pada caranya merasuk benak orang untuk dimaknai terus-menerus melewati ruang dan waktu penuturan.

Mbak Whasfi mengajari saya agar senang terlibat percakapan, bukan sekadar mengungkapkan perkataan. Beda lho, dalam percakapan perlu kemauan untuk menempatkan diri agar tampak setara dengan lawan bicara. Sedangkan dalam mengungkapkan perkataan, tinggal menyampaikan tuturan yang diinginkan.

Dari percakapan pula Mbak Whasfi banyak memberi tahu hal lain yang belum pernah saya jamah. Pun dirinya mengakui, bahwa tak semua hal sudah dia mengerti, misalnya tentang K-Pop yang nyaris tak pernah beliau jelajahi.

Melalui kebiasaan terlibat percakapan, Mbak Whasfi mendidik saya untuk tak mem-‘benda’-kan akal. Soalnya walau terdengar remeh, ucapan Mbak Whasfi kadang perlu direnungkan secara mendalam. Bisa jadi diam-diam Mbak Whasfi berpesan bahwa Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus. Siapa tahu?

Lha kita pun tak pernah tahu bukan kenapa kata ‘akal’ tak sekalipun muncul sebagai kata benda «اسم» di dalam al-Qur’ān «القرآن», tetapi berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja «فعل»?