الإنسان إذا فكر في خلقته، من أي شيء ابتدأ، وكيف دار في أطوار الخلقة طورا بعد
طور حتى وصل إلى كمال الخلقة، وعرف يقينا أنه بذاته لم يكن ليدبر خلقته، وينقله من
درجة إلى درجة.
“Jika seseorang berpikir
tentang ciptaannya, dari apa pun yang dia mulai, dan bagaimana dia melewati fase
penciptaan setelah periode sampai dia mencapai kesempurnaan ciptaan, dia tahu pasti
bahwa dia bukan dirinya sendiri untuk memimpinnya, dan memindahkannya dari satu
derajat ke yang lain.”
Postulat yang disampaikan oleh cerdik-cendekia cabang Teologi yang pemikirannya
banyak diiukuti oleh kelompok Sunni ini, buat saya, cukup bagus dalam menunjukkan
bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Sayang, pemikiran itu disampaikan menggunakan
logika. Logika memang bagus dalam membangun alur berpikir teratur untuk mencapai
simpulan. Namun, John R. Fraenkel dan Norman E. Wallen menjelaskan bahwa alur berpikir teratur dapat hancur ketika terdapat satu kesalahan dalam
salah satu premis yang disusun:
“There is a fundamental danger
in logical reasoning, however: It is only when the major and minor premises of a
syllogism are both true that the conclusion is guaranteed to be true. If either
of the premises is false, the conclusion may or may not be true.”
(Namun, ada bahaya mendasar
dalam penalaran logis: Hanya ketika premis mayor dan minor dari silogisme keduanya
benar maka simpulannya dijamin benar. Jika salah satu premisnya salah, simpulannya
mungkin atau mungkin tidak benar.)
Uniknya, sisi kekurangan penggunaan logika itulah yang diendus dengan bagus
oleh Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī, ketika Abū 'Alī Muḥammad al-Jubbā'i sedang girang
cuap-cuap tentang kehendak bebas.
Saya sendiri sebagai orang yang memiliki latar belakang pendidikan fisika, tidak
pernah setuju dengan anggapan bahwa manusia punya kehendak bebas. Ketidaksetujuan
ini timbul karena saya menganggap bahwa secara umum setiap hal termasuk organisme
yang terdapat di alam semesta ini taat kepada hukum alam (natural law). Tentu
frasa ‘hukum alam’ ini hanyalah diksi buatan manusia yang menekuni ilmu alam. Mungkin
terdapat diksi lain yang dibuat oleh manusia yang menekuni ilmu lain, seperti Teologi
yang menggunakan frasa sunnatulloh. Yang jelas, perkembangan ilmu alam dan
pemikiran teologi terasa linear perihal kehendak (manusia).
Hukum alam adalah ungkapan tentang aturan berdasarkan kebiasaan
peristiwa tertentu yang dapat menghasilkan perkiraan melampaui saat peristiwa itu
berlangsung. Misalnya ketika Ibrōhīm ‘alayhissalām memperhatikan bahwa matahari
biasanya tampak terbit dari arah timur setiap pagi, dirinya menyimpulkan, “Matahari
selalu tampak terbit dari arah timur”. Simpulan itu merupakan pernyataan hukum alam
karena diambil berdasarkan kebiasaan penampakan matahari oleh pengamat yang berada
di Bumi serta dapat menghasilkan perkiraan bahwa esok hari, lusa, bulan depan, atau
4532 tahun setelah Ibrōhīm ‘alayhissalām menyimpulkan, matahari akan selalu tampak
terbit dari arah timur. Di sisi lain, kalau saya bilang, “Seragam Chelsea berwarna
biru,” bukanlah hukum alam karena biarpun disimpulkan dari kebiasaan selama 115
tahun bahwa Chelsea menggunakan seragam berwarna biru, tidak dapat membuat prediksi
seperti, “Kalau Chelsea dibeli oleh Kim Jennie, seragamnya pasti biru.”
Pembedaan seperti itu sepertinya sepele, tapi penting karena menunjukkan bahwa
tidak semua pernyataan umum yang disimpulkan berdasarkan pengamatan dapat dipertimbangkan
sebagai hukum alam. Misalnya perbandingan antara pernyataan, “Semua bola berlian
berdiameter kurang dari 9,3 km,” dengan pernyataan, “Semua bola uranium-235 berdiameter
kurang dari 9,3 km.” Dari pengamatan boleh saja kita menyimpulkan bahwa tidak ada
bola berlian berdiameter sama dengan atau lebih besar dari 9,3 km. Kita juga tak
salah kalau merasa bahwa bola berlian tersebut tidak akan ada. Namun, kita tak punya
alasan untuk percaya bahwa hal ini tidak akan ada. Berlian dikenal sebagai benda
yang stabil, tidak mudah beraksi, sehingga terdapat kemungkinan untuk membuat bola
berlian berkukuran 9,3 km. Jadi saat Kim Tae-yeon, penyanyi bertinggi badan 158
cm, melantunkan, “I am a diamond,” ketika tampil bersama Girls’ Generation, tidak perlu lah disalahkan, ngapain juga.
Sedangkan pernyataan, “Semua bola uranium-235 berdiameter kurang dari 9,3 km,” dapat
dipertimbangkan sebagai hukum alam, karena menurut penelitian fisika nuklir uranium-235
dapat meledak sendiri ketika diameternya membesar sekitar 15 cm, sehingga bukan
ide bagus untuk membuatnya.
Semua pernyataan umum boleh diterima atau ditolak untuk dipertimbangkan sebagai
hukum alam. Hal ini dapat terjadi karena sejauh ini hukum alam tidak berupa pernyataan
tunggal, melainkan beberapa pernyataan berkelindan dengan pernyataan lain, yang
kadang salah satu pernyataan bersifat lebih khusus ketimbang pernyataan lain. Karena
hukum alam diambil berdasarkan pengamatan, pernyataannya dapat berupa kalimat verbal.
Namun, seiring terdapat keharusan bahwa pernyataan tersebut bisa menghasilkan perkiraan,
biasanya diperlukan pernyataan matematis berupa persamaan matematika (kaitan antar
unsur yang dapat dihitung). Dengan demikian, pernyataan hukum alam biasanya ditunjukkan
dengan seperangkat kalimat verbal yang kemudian dialihbahasakan ke dalam persamaan
matematika.
Perkiraan yang didapatkan dari hukum alam bisa berupa satu hasil yang tentu
atau beberapa hasil yang berada pada kisaran tertentu (probalility), tapi
harus memiliki cakupan dan batasan keberlakuan yang jelas. Misalnya hukum gerak
yang diungkap Isaac Newton gagal memperkirakan benda yang bergerak setara kecepatan
cahaya, tapi pernyataan tersebut masih dapat dianggap hukum karena masih mencakup
semua benda yang bergerak meski terbatas pada kecepatan yang jauh di bahwa kecepatan
cahaya. Menurut pendapat René Descartes—pelayan Princess Elisabeth (Bohemia) dan
Queen Christina (Swedia) —Perkiraan yang didapatkan dari hukum alam biasanya dapat dilakukan kalau diperoleh
informasi kondisi alam raya pada masa tertentu. Misalnya informasi benda yang bergerak
dengan kecepatan tetap sebesar 80 km/jam pada pukul 08:00 pada lintasan lurus, dapat
dipakai sebagai bahan memperkirakaan lokasi benda tersebut satu jam yang lalu maupun
kemudian.
Berdasarkan uraian yang disajikan, karena manusia hidup di alam raya dan berinteraksi
dengan benda lain di dalamnya, hukum alam juga berlaku bagi manusia juga. Namun,
banyak orang ketika mengakui keberlakukan hukum alam dalam ‘mengatur’ alam raya,
mengecualikan perilaku manusia sebab mereka yakin kita mempunyai kehendak bebas.
René Descartes misalnya, memandang bahwa manusia terdiri dari dua bahan, raga dan
jiwa. Raga adalah susunan benda biasa, yang boleh saja ‘diatur’ oleh hukum alam,
sedangkan jiwa tidak demikian. Dalam jiwa itulah ‘terletak’ kehendak bebas manusia.
Masalahnya, apakah manusia memang punya kehendak bebas? Jika kita punya kehendak
bebas, di mana hal ini berkembang pada pohon evolusi? Apakah rumput laut punya kehendak
bebas atau perilaku mereka ‘diatur’ oleh hukum alam? Apakah hanya organisme multisel
yang punya kehendak bebas? Mungkin kita menganggap bahwa kucing punya kehendak bebas
ketika ia menggaruk badan Oza Kioza, tapi bagaimana dengan Eschericia coli,
organisme sederhana yang tersusun dari satu sel? Mungkin E. Coli tidak pernah
berpikir, “Sisa pencernaan dalam usus besar manusia lezat juga untuk dimakan,” tapi
dia punya selera makanan yang jelas sehingga hanya mengonsumsi bahan yang sesuai
selerasa saja untuk memperoleh nutrisi. Apakah perilaku E. coli ini merupakan
bentuk kehendak bebas?
Meskipun kita merasa bahwa kita bebas memilih perilaku yang ingin diperbuat,
pemahaman kita mengenai dasar molekul biologi menunjukkan bahwa proses biologi dikendalikan
oleh hukum alam juga, sehingga dapat ditentukan seperti orbit planet Venus mengelilingi
bintang Matahari. Penelitian terkini dalam ilmu saraf (neuroscience) mendukung
bahwa otak manusia mengikuti hukum alam yang menentukan tindakan manusia, bukannya
terdapat sesuatu perantara yang berada di luar hukum-hukum itu. Contohnya, penelitian
tentang pasien yang tetap terjaga saat pembedahan otak, menemukan dengan cara rangsangan
listrik, daerah-derah yang cocok pada otak, yang dapat menciptakan kehendak pada
pasien untuk menggerakkan tangan, lengan atau kaki atau untuk menggerakkan bibir
atau berbicara.
Mungkin sulit diterima kalau perilaku manusia turut ‘diatur’ oleh hukum alam,
namun kian ke mari, perkembangan ilmu alam kian menunjukkan bahwa manusia seakan
mesin saja dan kehendak bebas hanyalah Perfect Illusion seperti judul lagunya Lady Gaga. Guna menyangkal hal ini, mungkin
memunculkan tantangan untuk memperkirakan perilaku manusia ketika berinteraksi dengan
sesamanya, misalnya antara Park Bom dan Jessica Jung. Masalahnya, informasi dasar
untuk memperkirakan ini sulit ditentukan. Kita perlu mengetahui keadaan sel yang
terdapat dalam tubuh Park Bom dan Jessica Jung sejak awal tahap evolusi dari arkaea
hingga manusia serta proses pewarisan sel dari manusia pertama sampai pada Park
Bom dan Jessica Jung. Tentu saja proses mendapatkan informasi ini sulit nan
rumit, dan cukup terlambat untuk memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh Jessica
Jung ketika Park Bom lewat dalam acara ‘Gaon Chart Music Awards’ pada
12 Februari 2014.
Memang untuk menjawab sangkalan seperti itu sulit, namun terdapat cara yang
dapat digunakan kalau memang diinginkan (dari mana keinginan itu muncul?). Cara
tersebut juga menunjukkan bahwa hukum alam turut ‘mengatur’ perilaku manusia, namun
karena tidak sangkil wal mankus untuk dipakai, boleh saja menggunakan teori efektif.
Dalam ilmu fisika, teori efektif adalah sebuah kerangka kerja yang dibuat untuk
memodelkan fenomena teramati tertentu tanpa menjabarkannya secara rinci seluruh
proses yang mendasarinya. Contohnya, kita tidak dapat menyelesaikan dengan tepat
persamaan yang mengatur interaksi gravitasi pada tiap atom di dalam tubuh manusia
dengan tiap atom di planet bumi. Namun untuk tujuan praktis, forsa gravitasi antara
seseorang dengan bumi dapat dijabarkan hanya dengan beberapa angka, misalnya massa
keseluruhan seseorang. Demikian pula kita tidak dapat menyelesaikan persamaan yang
mengatur perilaku atom dan molekul yang rumit, tapi teori efektif dalam ilmu fisika
(yang kebablasan menjadi cabang sempalan bernama kimia) menyediakan penjelasan memadai
tentang cara atom dan molekul bertindak dalam reaksi kimia tanpa mempertimbangkan
rincian interaksinya. Untuk kasus manusia, karena kita tidak dapat menyelesaikan
persamaan yang menentukan tindakan kita, teori efektif yang dipakai berupa anggapan
bahwa manusia punya kehendak bebas. Penelitian mengenai kehendak kita, dan tindakan
yang timbul darinya, merupakan wilayah pembahasan ilmu psikologi.
Teori efektif memang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang muncul
dalam benak. Tapi, hasil yang diperoleh hanya sedang-sedang saja dalam memperkirakan.
“Do I believe in absolute truth? I believe in effective theories,” (Apakah
saya percaya pada kebenaran absolut? Saya percaya pada teori yang efektif) ucap Lisa Randall, fisikawati yang memiliki pengaruh
kuat saat ini, “There's a truth that we know because it applies to the world
as we've seen it, as we've measured it. That's not to say that there can't be other
underlying truths you could see if you could understand . . . if you could really
see things better; if you could test them better; if you could measure them better.”
(Terdapat kebenaran yang kita tahu karena itu berlaku untuk dunia seperti yang kita
lihat, seperti kita telah mengukurnya. Itu tidak berarti bahwa tidak mungkin terdapat
kebenaran mendasar lain yang dapat kamu lihat kalau kamu bisa mengerti ... kalau
kamu benar-benar bisa melihat sesuatu dengan lebih baik; kalau kamu bisa mengujinya
lebih baik; kalau kamu bisa mengukurnya dengan lebih baik.) lanjutnya.
Apalagi dalam kasus manusia, banyak perbuatan yang dilakukan terasa tidak masuk
akal. Wajar, seperti diucapkan oleh Lisa Randall, “You know I think we're
inclined to sort of generalize from ourselves because we know ourselves the best.”
(Kamu tahu saya pikir kita cenderung menyamaratakan diri kita sendiri karena kita
tahu diri kita yang terbaik.) Pada masa Ibrōhīm sendiri, terdapat perbuatan orang
yang membuat patung sendiri, untuk dipuja sendiri, ketika ditanya mengapa perbuatan
itu dilakukan, dia jadi bingung sendiri, ketika diminta supaya patungnya mengubah
Matahari agar tampak terbit dari arah barat, malah marah dan menyuruh orang-orang
membakarnya. Kan halahhhh.
Nah... berdasarkan tuturan tersebut, saya menganggap bahwa seluruh materi, energi,
dan interaksi di alam raya ‘diatur’ oleh ‘hukum alam’, sesuatu yang no matery
no energy. Sesuatu yang membuat selain sesuatu itu termasuk alam raya khususnya
manusia bersifat lemah tanpa daya. “Can't nobody hold us down,” seperti lantun Park Bom dalam lagunya 2NE1 Can’t No Body.
Sesuatu yang membuat Ibrōhīm ‘alayhissalām berserah yang ditunjukkan melalui ucapan:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“(Pada titik ini) aku benar-benar menghadapkan wajahku
(yakni seluruh jiwa dan raga sepenuhnya), kepada Yang menciptakan langit dan bumi
(dengan seluruh kandungan materi, energi, dan interaksi yang terdapat di dalamnya),
dalam keadaan cenderung kepada (Yang menciptakan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang
yang mempersekutukan (kepada Yang menciptakan).”
K.Ah.Kl.051040.090619.13:54
K.Ah.Kl.150741.090220.06:51