Penulis:
Terry Mart
Penemuan
radiasi latar belakang kosmik dalam bentuk gelombang mikro (Cosmic Microwave
Background atau CMB) merupakan salah satu penemuan terpenting abad ini. Betapa
tidak, penemuan ini telah mengubah pandangan modern manusia tentang alam
semesta yang dihuninya. Meski fenomena pengembangan alam semesta telah lebih
dulu diungkap oleh Edwin Hubble pada tahun 1929, penemuan CMB memperkuat
dukungan pada teori Big Bang, suatu teori penciptaan alam semesta melalui
ledakan maha dahsyat dari titik berukuran nol dengan kerapatan serta suhu tak
berhingga tingginya. Ledakan ini telah menciptakan suatu kesetimbangan termal
benda hitam (black body) di masa lampau yang fosilnya ternyata masih dapat
teramati saat ini.
Adalah
Arno Penzias dan Robert Wilson yang telah berjasa menemukan CMB pertamakali
pada tahun 1964 dalam bentuk derau (noise) radio yang pada saat itu sangat
membingungkan mereka. Kedua ilmuwan tersebut bekerja di laboratorium Bell di
New Jersey dengan sebuah teleskop radio ultrasensitif (dipandang saat itu) yang
dirancang untuk menerima sinyal dari satelit. Teleskop tersebut menangkap derau
yang berasal jauh dari luar angkasa dan, yang paling membingungkan kedua
ilmuwan, sinyal tersebut tidak bergantung pada arah fokus teleskop serta tidak
bergantung pada waktu pengamatan. Pengukuran yang mereka lakukan mengantar pada
kesimpulan bahwa derau tersebut adalah radiasi gelombang mikro dengan panjang
gelombang 7 centimeter yang sebenarnya (saat ini) dapat ditangkap oleh televisi
biasa jika ditala pada kanal kosong. Untuk penemuan yang sangat menghebohkan
ini Penzias dan Wilson dianugrahi hadiah Nobel pada tahun 1978.
Dari
sifat isotropiknya wajar jika diyakini bahwa radiasi CMB berasal dari tempat
yang sangat jauh di jagad raya. Namun bagaimana para ilmuwan dapat yakin bahwa
radiasi ini merupakan fosil dari ledakan maha dahsyat di masa lampau saat alam
semesta tercipta?
Lebih
dari duapuluh tahun sebelum penemuan CMB, George Gamow, seorang profesor fisika
pada George Washington University di Washington D.C., bersama dengan
mahasiswanya mengusulkan teori penciptaan alam semesta melalui ledakan yang
sangat dahsyat yang mereka sebut sebagai teori Big Bang. Dua orang
mahasiswanya, Ralph Alpher dan Robert Herman, pada tahun 1949 kemudian
memperkirakan bahwa temperatur rata-rata alam semesta saat ini sebagai
konsekuensi dari ledakan besar di masa lalu serta berkembangnya alam semesta
pada kisaran 5 derajat Kelvin (minus 268 derajat Celsius). Sayangnya mereka
tidak sempat mengusulkan eksperimen dengan menggunakan teleskop radio, meski
pada tahun 1963 dua ilmuwan Rusia sempat menanyakan penemuan Ed Ohm yang
melaporkan pengukuran derau statik pada tingkat 3 Kelvin. Ohm sendiri tidak
mampu memisahkan derau tadi dengan derau yang berasal dari peralatannya.
Lalu
bagaimana hubungan antara derau statik gelombang mikro dengan temperatur alam
semesta? Inilah kisah sukses fisika selain mekanika kuantum dan mekanika
relativistik. Di dalam termodinamika, salah satu cabang fisika yang banyak
membahas hubungan antara temperatur dan sifat suatu zat, dikenal hukum Wien
yang menyatakan bahwa untuk distribusi radiasi benda hitam perkalian antara
panjang gelombang radiasi berintensitas maksimum dengan temperaturnya ekivalen
dengan bilangan 0,3. Pengukuran yang dilakukan oleh Penzias dan Wilson tidak
persis tepat pada puncak distribusi, namun karena kegigihan dan keyakinan para
ilmuwan, pengukuran-pengukuran yang dilakukan selama lebih dari dua dekade,
hingga tahun 1991 dengan menggunakan satelit COBE, berhasil mengkonfirmasi
distribusi radiasi benda hitam dari CMB dengan akurasi yang sangat mengesankan
(lihat gambar 2). Dari distribusi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa temperatur
alam semesta saat ini, lebih dari 10 milyar tahun setelah Big Bang, adalah
2,726 Kelvin.
Gambar 1. Galaksi Andromeda yang merupakan
tetangga terdekat galaksi kita, meskipun demikian jarak galaksi ini lebih dari
dua juta tahun cahaya dari bumi. Jadi, gambar ini memperlihatkan keadaan
galaksi Andromeda lebih dari dua juta tahun yang lalu, jauh sebelum peradaban
manusia (yang dikenal) lahir. Galaksi ini pertamakali diamati oleh astronom
muslim Persia Abdul Rahman Al-Sufi pada tahun 964 dan dipublikasikan dalam
bukunya yang berjudul Kitab al-Kawatib al-Thabit al-Musawwar. Di kalangan kaum
orientalis buku ini kemudian lebih dikenal dengan nama The Book of Fixed Stars.
Diperkirakan, ada sekitar 10 milyar galaksi yang dapat diamati manusia dari
permukaan bumi. Gambar diambil dari Astronomy Picture of the Day, http://antwrp.gsfc.nasa.gov/apod.
Gambar 2. Distribusi intensitas radiasi benda
hitam dari radiasi CMB (Cosmic Microwave Background) yang berhasil dikonfirmasi
secara akurat oleh pengamatan (eksperimen). Garis merah merupakan perhitungan
teori untuk temperatur alam semesta rata-rata ekivalen dengan 2,726 Kelvin.
Data-data eksperimen diambil dari berbagai sumber. Gambar diambil dari Particle
Data Book 2000.
Kronologi
Alam Semesta
Distribusi radiasi CMB meyakinkan ilmuwan bahwa jauh di masa lampau telah terjadi kesetimbangan termal di alam semesta. Karena alam semesta terus berkembang hingga kini, masuk akal jika temperatur saat itu diperkirakan sangat tinggi. Para ilmuwan menggunakan hukum-hukum fisika untuk memperkirakan sifat-sifat alam semesta di awal terciptanya, bahkan ekstrapolasi dapat dilakukan hingga mendekati Big Bang. Meski demikian, karena temperatur saat ledakan (pada usia 0 detik) sangat tinggi, menuju nilai tak berhingga, hukum-hukum fisika tidak lagi valid di sini. Dalam matematika keadaan seperti ini dinamakan keadaan singular. Karena matematika tidak dapat sepenuhnya berurusan dengan bilangan tak berhingga, hukum-hukum fisika yang diformulasikan dalam matematika tidak lagi memiliki arti pada kondisi singularitas. Pada awal terciptanya, alam semesta memiliki ukuran tak berhingga kecil (menuju nol) namun kerapatan materinya sangat tinggi. Baru setelah 10-43 detik (satu per sepuluh juta triliun triliun triliun detik) dari ledakan situasi jagad raya dapat diakses dengan menggunakan teori-teori fisika mutakhir. Diperkirakan pada saat itu temperatur jagad raya mencapai 1032 K atau sepuluh triliun triliun kali lebih tinggi dari temperatur inti matahari. Periode yang dimulai pada usia 0 hingga 10-43 detik dikenal sebagai periode (masa) Planck yang hingga saat ini masih merupakan misteri bagi sains. Para ilmuwan mengimpikan sebuah teori yang dapat menggabungkan teori kuantum dengan teori gravitasi yang diharapkan dapat menguak apa yang terjadi pada masa Planck. Teori yang dinamakan teori gravitasi kuantum ini tentulah sangat sulit mengingat bahwa domain kuantum (daerah dimana efek kuantum dominan) berukuran mikroskopik maksimal sebesar atom atau molekul, sedangkan gaya gravitasi terlihat superior pada skala planet atau galaksi. Meski demikian, usaha ke arah sana sudah banyak dilakukan, misalnya melalui gagasan teori Superstring yang mempostulasikan ruang dengan dimensi 10 atau 26 pada masa Planck. Dimensi-dimensi tersebut berkontraksi setelah masa Planck dan menyisakan hanya 3 dimensi ruang serta satu dimensi waktu saat ini.
Setelah
masa Planck alam semesta memasuki masa Penggabungan Agung (Grand Unification). Pada
masa ini semua gaya fundamental kecuali gaya gravitasi sama kuatnya. Saat itu alam
semesta masih belum berisi apa-apa kecuali sup plasma dengan temperatur lebih dari
seratus ribu triliun triliun Kelvin. Periode ini tidak berlangsung lama dan alam
semesta mengalami inflasi (pengembangan secara cepat) yang diakhiri dengan pemisahan
gaya lemah dan gaya elektromagnetik. Setelah kedua macam gaya tersebut terbedakan,
sup plasma panas berubah menjadi sup elektron-quark beserta partikel-partikel pembawa
gaya elektrolemah yaitu partikel W dan Z. Partikel-partikel tersebut eksis di alam
semesta bersama anti partikel mereka yang jika bergabung akan bertransformasi menjadi
radiasi dan sebaliknya radiasi yang ada dapat segera berubah menjadi partikel dan
anti-partikel.
Seperseratus
ribu detik setelah ledakan temperatur alam semesta turun menjadi 10 triliun Kelvin
atau sekitar seribu kali lebih panas dari temperatur pusat matahari. Pada saat ini
sup quark berkondensasi menjadi proton dan netron yang merupakan komponen dasar
dari nukleus atau inti atom.
Sekitar
tiga menit kemudian temperatur terus menurun menjadi satu milyar Kelvin. Energi
kinetik yang dihasilkan temperatur sebesar ini sudah tidak mampu lagi menahan gaya
nuklir kuat antara proton dan netron yang selanjutnya bergabung menjadi nucleus-nukleus
ringan. Proses ini dinamakan sebagai proses nukleosintesis. Proton dan netron bergabung
menjadi nukleus deuterium. Deuterium kemudian menangkap sebuah netron membentuk
inti tritium. Selanjutnya Tritium bergabung dengan sebuah proton menjadi inti Helium.
Proses ini berlanjut terus hingga mencapai inti atom Lithium, namun dengan peluang
yang semakin kecil. Dengan demikian teori Big Bang meramalkan kelimpahan Hidrogen
dan Helium di dalam alam ini. Konfirmasi ramalan ini diperoleh melalui spektrum
bintang-bintang serta galaksi yang dapat diamati dari bumi.
Setelah
3 menit pertama berlalu tidak banyak perubahan yang terjadi kecuali temperatur terus
menurun dan alam semesta semakin besar hingga usia jagad raya mencapai 300.000 tahun.
Di usia ini alam semesta telah mendingin menjadi 3000 Kelvin, suatu kondisi temperatur
yang masih mampu melelehkan kebanyakan logam yang kita kenal. Walaupun temperatur
ini masih sangat tinggi, energi kinetik yang dimiliki oleh elektron tidak mampu
lagi menahan gaya tarik menarik Coulomb antara elektron dan nukleus. Elektron kemudian
bergabung dengan nukleus membentuk atom sehingga seluruh sup plasma tadi akhirnya
berubah menjadi atom-atom. Mulai saat ini radiasi tidak lagi bertransformasi menjadi
partikel dan anti-partikel, sehingga dikatakan bahwa alam semesta mulai terlihat
transparan oleh radiasi. Radiasi foton selanjutnya dapat bergerak bebas bersama
mengembangnya alam semesta. Dengan demikian, radiasi CMB yang teramati oleh para
ilmuwan adalah fosil radiasi yang berasal dari 300.000 tahun setelah terjadinya
Big Bang.
Dalam
beberapa jam setelah Big Bang pembentukan Helium serta elemen-elemen ringan lainnya
berhenti. Alam semesta terus berkembang dan mendingin, namun dibeberapa lokasi yang
memiliki kerapatan jauh lebih besar dibandingkan di tempat lain proses pengembangan
tersebut agak lambat akibat gaya tarik menarik gravitasi yang relatif lebih besar.
Bahkan di tempat-tempat tertentu di alam semesta proses pengembangan berhenti sama
sekali dan elemen-elemen yang ada di tempat itu mulai merapat. Karena gaya gravitasi
semakin bertambah, gas-gas Hidrogen dan Helium mulai berrotasi untuk mengimbangi
tarikan gravitasi. Proses ini selanjutnya melahirkan galaksi-galaksi yang berputar
dan memiliki berbagai macam bentuk seperti cakram dan elips, bergantung pada kecepatan
rotasi serta gaya gravitasinya.
Selanjutnya
gas-gas Hidrogen dan Helium dalam galaksi akan pecah menjadi awan-awan yang lebih
kecil dan juga mengalami proses kontraksi karena masing-masing memiliki gaya gravitasi
sendiri. Karena atom-atom di dalam awan-awan tersebut saling bertumbukan, tarikan
gravitasi mengakibatkan tekanan bertambah dan temperatur terus meningkat yang pada
akhirnya sanggup untuk menyulut reaksi nuklir fusi. Reaksi ini akan mengubah Hidrogen
menjadi Helium dan berlangsung relatif lama karena persediaan Hidrogen yang berlimpah
dan terjadi keseimbangan antara gaya gravitasi dengan gaya ledakan nuklir. Helium
kemudian diubah menjadi elemen-elemen yang lebih berat melalui proses fusi hingga
menjadi Karbon dan Oksigen. Tahapan selanjutnya menghasilkan bintang-bintang di
dalam galaksi yang sebagian meledak sambil melemparkan bahan bakar untuk membentuk
bintang-bintang generasi baru. Matahari kita adalah salah satu contoh dari bintang
jenis generasi baru ini. Sebagian kecil pecahan ledakan yang mengandung element-elemen
lebih berat tidak lagi sanggup untuk menyalakan reaksi fusi nuklir karena elemen-elemennya
relatif sudah stabil dan temperaturnya tidak cukup tinggi. Bagian ini akhirnya membentuk
planet-planet yang mengorbit bintang seperti bumi kita yang mengorbit matahari.
Pada saat
bumi terbentuk, sekitar 5 milyar tahun yang lalu, temperaturnya sangat tinggi dan
tidak memiliki atmosfir. Setelah agak lama barulah temperatur bumi menurun dan atmosfir
mulai terbentuk karena adanya emisi gas dari batu-batuan di atas permukaan bumi.
Namun, atmosfir pertama ini bukanlah atmosfir yang dapat mendukung kehidupan seperti
saat ini, karena atmosfir bumi mula-mula terdiri dari gas-gas beracun seperti Hidrogen
Sulfida. Untungnya beberapa makhluk primitif yang ada saat itu membutuhkan gas-gas
tersebut untuk bernafas dan menghasilkan Oksigen sebagai gas buangan ke permukaan
bumi, sehingga permukaan bumi akhirnya dipenuhi oleh gas Oksigen. Karena gas Oksigen
sendiri merupakan racun bagi makhluk primitif ini, sebagian besar dari mereka akhirnya
punah secara alami, sedangkan sebagian lagi dapat menyesuaikan diri dengan mengkonsumsi
Oksigen sebagai kebutuhan hidupnya.
Masalah
yang Dihadapi Teori Big Bang
Teori
Big Bang standar (Standard Big Bang atau SBB) berhasil membangun hubungan antara
jarak bintang dengan besar pergesaran merah yang teramati, serta dapat menjelaskan
berlimpahnya elemen-elemen ringan seperti Helium, Deuterium, dan Lithium. Untuk
menjelaskan fenomena-fenomena tersebut SBB hanya memerlukan satu konstanta sebagai
input yaitu rasio antara kerapatan baryon dengan kerapatan foton di alam semesta
saat ini. Namun yang paling penting sekali adalah SBB berhasil meramalkan keberadaan
distribusi radiasi benda hitam dari CMB yang berhasil dikonfirmasi dengan akurasi
yang sangat tinggi.
Di balik
semua kesuksesan itu teori SBB ternyata memiliki cacat. Teori SBB tidak dapat menjelaskan
mengapa radiasi CMB sangat isotropik. SBB juga menghadapi masalah yang dikenal sebagai
problem horizon, yaitu jarak maksimal yang dapat ditempuh cahaya setelah ledakan
jauh lebih kecil dibandingkan dengan jarak gelombang mikro dari foton yang teramati
pada temperatur yang sama (dengan kata lain, ukuran alam semesta pada saat itu yang
terlihat dari masa sekarang jauh lebih besar dari ukuran yang dapat ditempuh cahaya
setelah terjadinya Big Bang). Disamping itu, bagi teori SBB fenomena alam semesta
yang cenderung flat (fenomena yang memperlihatkan kecenderungan alam semesta untuk
terus berkembang) juga masih merupakan misteri. Problem lain adalah SBB secara internal
tidak konsisten karena SBB bersandar pada asumsi bahwa materi merupakan zat alir
ideal atau fluida klasik, padahal semua ilmuwan tahu bahwa pada temperatur sangat
tinggi penjelasan materi sebagai gas ideal klasik tidak lagi valid.
Karena
Teori Medan Quantum (Quantum Field Theory atau QFT) merupakan satu-satunya teori
yang berlaku pada energi (temperatur) sangat tinggi, maka solusi problem terakhir
adalah melalui modifikasi SBB dengan QFT. Masuknya QFT pada kosmologi Big Bang ternyata
memberi jalan pada penemuan skenario inflasi alam semesta yang mempostulatkan bahwa
pada suatu masa alam semesta mengalami pengembangan secara eksponensial. Pada masa
ini energi materi disimpan dalam bentuk lain dan dilepas sebagai energi termal di
akhir proses inflasi.
Skenario
inflasi tentu saja dapat menyelesaikan problem horizon karena ukuran alam semesta
setelah inflasi konsisten dengan kerucut cahaya masa lampau (ukuran alam semesta
di masa lampau dilihat dari masa sekarang). Selain itu skenario inflasi juga dapat
menyelesaikan masalah flatness karena pada masa inflasi entropi semesta bertambah
dengan faktor yang sangat besar yang pada akhirnya mendorong alam semesta untuk
mengambil bentuk flat. Pembuktian secara akurat diperoleh dengan menggunakan persamaan
Friedmann-Robertson-Walker, yang merupakan kasus khusus dari persamaan Einstein
dalam teori relativitas umum.
Masalah
Pada Saat Penciptaan
Mungkin,
masalah yang paling fundamental dalam teori Big Bang adalah masalah penciptaan atau
pada saat alam semesta berusia 0 detik. Seperti sudah dijelaskan di atas, pada saat
itu teori Big Bang meramalkan kondisi singularitas yang tidak dapat diakses dengan
teori fisika semutakhir apa pun. Namun, kalau pun kita mengabaikan kondisi ini,
teori penciptaan alam semesta tampaknya tidak dapat diterima oleh fisika karena
menyalahi aturan fisika yang paling fundamental, kekekalan energi. Hukum kekekalan
energi merupakan dasar fisika dan belum pernah ada bukti-bukti eksperimen eksplisit
bahwa hukum kekekalan energi ini dilanggar. Jika pada saat sebelum alam semesta
tercipta tidak terdapat apa-apa sedangkan saat ini kita dapat mengamati alam semesta
yang maha luas, maka hukum kekekalan energi telah dilanggar sebesar massa semesta
dikalikan dengan kuadrat kecepatan cahaya, E = mc2 , sesuai dengan teori
Einstein. Di manakah letak solusinya?
Sebagian
ilmuwan berpendapat bahwa energi total alam semesta tetap nol. Energi yang berasal
dari massa alam semesta adalah energi positif, sedangkan energi yang mengikat alam
semesta akibat gaya tarik menarik gravitasi yang dialami oleh setiap partikel merupakan
energi negatif. Kedua jenis energi tersebut saling menghilangkan, sehingga energi
total semesta tetap nol sesuai dengan kondisi sebelum alam semesta diciptakan. Pendapat
ini juga mendukung adanya materi yang tidak terdeteksi yang tersebar di alam semesta
yang disebut materi gelap (dark matter).
Untuk
menjawab masalah penciptaan materi dari keadaan 'tidak ada' menjadi 'ada' ilmuwan
berpaling pada teori kuantum. Di dalam teori kuantum keadaan 'tidak ada' ini dikenal
dengan istilah vacuum, suatu keadaan yang ternyata tidak kosong sama sekali namun
terdiri dari dinamika penciptaan dan pemusnahan partikel serta anti-partikel dalam
waktu yang sangat singkat. Mengapa partikel dan anti-partikel dapat diciptakan dari
sesuatu yang tidak ada dan keduanya dapat dimusnahkan tanpa ada bukti sisa radiasi
anihilasi? Jawabannya adalah melalui ketidakpastian Heisenberg yang menyatakan bahwa
ketidakpastian pengukuran energi berbanding terbalik terhadap ketidakpastian waktu
pengukuran dengan konstanta Planck sebagai konstanta pembanding. Ketidakpastian
Heisenberg secara implisit memperbolehkan pelanggaran energi dalam suatu sistem
asalkan waktu pelanggaran sangat singkat, semakin besar pelanggaran energi semakin
singkat waktu yang diperbolehkan. Dengan demikian keadaan vacuum terdiri dari lautan
partikel dan anti-partikel yang eksis dan musnah dalam waktu sangat singkat. Fluktuasi
vacuum ini juga mengakibatkan black hole (lubang hitam) bersifat tidak 'benar-benar
hitam' karena ia dapat menarik partikel sambil meradiasikan anti-partikel dari dalam
vacuum.
Setelah
terjadinya Big Bang jumlah partikel dan anti-partikel sama banyaknya. Keduanya dapat
bergabung menjadi radiasi dan sebaliknya radiasi dapat menghasilkan pasangan partikel
dan anti-partikel. Mengapa saat ini yang teramati di alam semesta hanyalah materi,
atau dengan kata lain ke mana perginya anti-materi?
Eksperimen
dan teori fisika telah berhasil membuktikan bahwa alam semesta beserta isinya memperlihatkan
sifat simetri dengan cacat yang sangat kecil. Pada saat terjadi kesetimbangan termal
antara pasangan partikel dan anti-partikel dengan radiasi, tidak semua proton beranihilasi
dengan anti-proton dan sebaliknya tidak semua radiasi menghasilkan pasangan partikel
dan anti-partikel. Cacat simetri yang sangat kecil ini akhirnya meninggalkan lebih
banyak materi dibandingkan dengan anti-materi, sehingga alam semesta yang terlihat
sekarang disusun sepenuhnya oleh materi. Beberapa jenis anti-partikel yang teramati
di ruang angkasa diperkirakan berasal dari reaksi nuklir yang berasal dari bintang-bintang
tertentu.
Nasib
Alam Semesta di Masa Mendatang
Jauh sebelum
CMB terdeteksi oleh Penzias dan Wilson, seorang ilmuwan Rusia bernama Alexander
Friedmann mencatat kekeliruan Einstein pada persamaan relativitas umumnya. Sementara
Einstein dan para fisikawan lain sibuk memodifikasi persamaan gravitasi untuk membuat
alam semesta bersifat statik, Friedmann mengajukan dua asumsi sederhana tentang
alam semesta. Pertama: alam semesta terlihat sama ke arah mana pun kita memandang.
Kedua: hal tersebut benar dari mana pun kita memandang alam semesta. Untuk skala
manusia tentu saja asumsi ini terlihat terlalu ceroboh, namun untuk skala milyaran
galaksi simulasi-simulasi komputer saat ini memperlihatkan kebenarannya. Dari kedua
asumsi tersebut Friedmann memperlihatkan bahwa alam semesta haruslah berkembang.
Bahkan pada tahun 1922 ia dapat meramalkan secara akurat apa yang akhirnya ditemukan
oleh Hubble pada tahun 1928.
Dalam
pemikiran Friedmann ada tiga kemungkinan (model) yang akan terjadi pada alam semesta
di masa mendatang. Kemungkinan pertama adalah alam semesta bersifat tertutup (closed
universe). Kemungkinan ini terjadi jika gaya gravitasi yang dihimpun oleh semua
galaksi relatif sangat kuat, sehingga mampu untuk menekuk ruang (space) menjadi
bentuk seperti permukaan sebuah bola jika kita bayangkan alam semesta hanya terdiri
dari dua dimensi. Untuk model ini alam semesta akan berhenti berkembang pada suatu
masa dan gaya gravitasi akan kembali menyatukan semua galaksi menuju ke satu titik.
Apa yang terjadi kemudian adalah kehancuran semesta yang dikenal dengan istilah
Big Crunch atau kebalikan dari Big Bang.
Kemungkinan
kedua adalah gaya gravitasi terlalu lemah untuk mengatasi proses pengembangan alam
semesta sehingga alam semesta akan terus menerus berkembang dengan cepat dan selamanya.
Kemungkinan
yang terakhir akan terjadi jika proses pengembangan alam semesta tidak terlalu cepat
namun hanya cukup untuk mengeliminasi gaya gravitasi, sehingga alam semesta berkembang
menuju ukuran tertentu dan kecepatan pengembangannya berkurang sedikit demi sedikit
menuju nol. Pada kasus ini alam semesta dikatakan bersifat flat.
Dari ketida
model tersebut mana yang paling mungkin menurut para ilmuwan? Karena peluang untuk
setiap model sangat bergantung pada laju berkembangnya semesta serta besar gaya
gravitasi yang dimilikinya, maka informasi tentang kerapatan rata-rata alam semesta
sangat menentukan. Jika kerapatan rata-rata ini lebih kecil dari suatu nilai kritis
maka alam semesta akan terus berkembang untuk selamanya. Namun jika sebaliknya maka
kehancuran alam semesta akan terjadi melalui proses Big Crunch.
Hingga
saat ini hasil pengukuran dan perhitungan kebanyakan mengarah pada nilai kritis
yang berarti bahwa alam semesta cenderung untuk bersifat flat. Meski demikian, banyak
ketidakpastian yang harus diperhitungkan para ilmuwan. Salah satu dari yang paling
membingungkan para ilmuwan adalah pada pengukuran konstanta Hubble, suatu konstanta
yang menghubungkan antara jarak bumi-bintang dengan pergeseran merah (red shift)
bintang tersebut. Konstanta Hubble yang banyak diyakini oleh para astronom saat
ini menghasilkan usia alam semesta pada kerapatan kritis sekitar 10 milyar tahun.
Kontrasnya, pengukuran memperlihatkan bahwa usia bintang tertua dalam galaksi kita
paling tidak telah 14 milyar tahun. Wajar saja jika perdebatan yang sangat sengit
masih mewarnai masalah ini.
Bagi kita
sendiri, sebagai manusia yang hidup di masa kini, model mana yang mungkin terjadi
tidak akan menjadi masalah. Meski alam semesta keesokan hari mulai mengkerut menuju
kehancuran, waktu yang dibutuhkan tentulah paling tidak 10 milyar tahun lagi. Pada
saat itu tentu saja seluruh manusia dan peradabannya di permukaan bumi telah lama
punah karena matahari sudah kehabisan bahan bakar. Kecuali, seperti kata Stephen
Hawking dalam bukunya A Brief History of Time, jika manusia sudah mengkoloni tatasurya atau galaksi-galaksi
lain yang masih memungkinkan berjalannya kehidupan. Jika kasus terakhir ini terjadi
maka manusia-manusia di akhir zaman akan dapat "menikmati" perubahan warna
langit menjadi merah lalu membara dan terang benderang karena peningkatan temperatur
menuju ke tak hingga.
Apa yang
akan terjadi setelah Big Crunch tidak ada yang tahu, karena apa yang terjadi setelah
keadaan singularitas tidak dapat diprediksi dengan menggunakan pengetahuan manusia
saat ini. Namun jika alam semesta ini terus berkembang, maka ia akan menuju ke temperatur
nol absolut. Alam semesta akan terus menerus mendingin dan mati karena tidak ada
lagi proses transfer energi yang merupakan prinsip dasar dari kehidupan.