— towards
a natural system of the mathematical world: proposal for the principle of least
action in teaching mathematics
Setelah
menyelesaikan tahap awal penyusunan uraian Kurikulum Lokal Madrasah TBS Kudus,
saya kembali tertarik dengan pembelajaran Matematika di tingkat pendidikan
dasar dan menengah. Tahun 2018 ini saya cukup perhatian kepada Matematika,
lebih daripada masa sebelumnya—bahkan selama mengikuti perkuliahan Matematika
sekalipun! Dari perhatian itu saya sempat menulis esai Máthēmatnic
terkait pengalaman satu tahun memandu pembelajaran Matematika di MPTs NU TBS
Kudus sekaligus meraba kemungkinan memasukkan konten trigonometri dan kalkulus
di tingkat SMP/MTs yang saya obrolkan bersama Lita Yuliyahya. Lita menyebut
bahwa kemungkinan tersebut bisa dilakukan dengan cara meletakkan kalkulus
setelah membahas persamaan serta menempatkan trigonometri setelah geometri.
Latar belakang itulah yang membuat saya menulis esai ini, dengan fokus kepada tiga pertanyaan:
1. Mengapa Matematika perlu dimasukkan ke
dalam pembelajaran?
2. Bagaimana arah pembelajaran Matematika di
sekolah/madrasah?
3. Apa konten Matematika yang disampaikan
selama pembelajaran?
Mengapa
Matematika perlu dimasukkan ke dalam pembelajaran?
Matematika
pada dasarnya adalah proses berpikir yang melibatkan penyusunan gagasan abstrak
dan terhubung secara teratur. Buat sebagian orang, termasuk sekaligus bukan
hanya ahli matematika profesional, daya tarik matematika terletak pada
keindahan dan tantangan kecendekiaannya. Buat sebagian orang yang lain,
termasuk banyak ilmuan dan tukang, nilai utama matematika adalah kegunaan untuk
pekerjaan mereka. Buat sebagian orang yang lain lagi, Matematika bisa menjadi
ajang gaya-gayaan maupun sesuatu yang unfaedah.
Matematika
sebagai disiplin ilmu memang menawan. Topik yang dicakup dalam matematika dapat
memberi kepusaan tersendiri kepada manusia. Ibrahim Tan Malaka dalam Madilog
serta Stephen William Hawking dan Leonard Mlodinow dalam The Grand Design
kompak menyebut bahwa manusia ialah makhluk yang ingin tahu. Dalam aspek
menuruti rasa ingin tahu inilah matematika memberi kepuasaan tersendiri.
Meskipun
tak jarang bahwa kepuasan tersebut terasa tak berguna untuk keseharian.
Misalnya kalau kita dapat menemukan nilai x untuk persamaan 4x + 10 =
1996, apakah membuat BNI menaikkan bunga deposito kita? Atau jika kita bisa
menyelesaikan integral lipat n, apakah Liverpool langsung dikasih tropi Premier
League yang selalu diimpikan? Walau begitu—dengan cara menuruti rasa ingin tahu
itu—matematika sebenarnya tak hanya memberi kepuasaan, melainkan kegunaan.
Kegunaannya ialah melatih kebiasaan berpikir yang teratur, sehingga hasilnya
dapat diuji oleh setiap manusia serta kecerdasan otak dapat dikembangkan.
Kebiasaan berpikir dapat memudahkan manusia dalam menyelesaikan persoalan. Di
sinilah letak kegunaan matematika.
Kegunaan
matematika begitu kentara nan terasa begitu dikaitkan dengan ilmu lain.
Misalnya dengan ilmu fiqh (Arab: ﻓﻘﻪ). Fiqh adalah
penafsiran keadaan terhadap sumber syarī’at (Arab: شريعة) yang dikembangkan oleh cerdik cendekia (Arab: العلماء; Inggris: scholar) semenjak abad kedelapan untuk
diterapkan sebagai aturan perilaku keseharian manusia. Sebagai sebuah disiplin
keilmuan, fokus tilikan fiqh dapat dilihat dengan indikator terukur dan
teramati yang terkait langsung dengan keseharian manusia, baik dalam konteks
personal, lokal, nasional, dan global.
Kegunaan
matematika terhadap fiqh ialah sebagai pendukung dalam pelaksanaan ajaran yang
disampaikan. Misalnya dalam menentukan status kesucian air. Fiqh memiliki
aturan yang menjelaskan bahwa isi (volume) air pada ukuran tertentu tetap suci
walau bercampur dengan najis (Arab: نجس). Fiqh memberikan indikator terukur dan teramati berupa batas
minimal isi air tetap suci, tetapi tidak membahas cara mengukurnya dalam
penampung yang beraneka ragam, seperti berbentuk kubus, balok, dan tabung. Pada
cara mengukur inilah matematika memberikan dukungan.
Wajar
kalau matematika termasuk ilmu non-syar’i yang disebut secara tersurat
dalam pembahasan ḥukum syar’i. Misalnya Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī
(Arab: أبو حامد محمد الغزالي),
Sufi asal Iran, yang mendefinisikan matematika sebagai mendefinisikan sebagai
ilmu yang berkaitan dengan perhitungan, perancangan, dan perilaku alam. Al-Ghozālī
menyebut bahwa matematika sama sekali tidak terkait dengan pembuktian maupun
penyangkalan kebenaran agama. Namun, dirinya menjelaskan bahwa matematika
termasuk ilmu yang memiliki kaitan terhadap kebaikan pelaksanaan ajaran agama.
Sehingga al-Ghozālī menyimpulkan bahwa hukum belajar matematika dirinci menjadi
dua: fardhu kifāyat (Arab: فرض كفاية, keharusan yang bersifat kolektif) dan fadhīlat (Arab: فضيلة, keutamaan yang dianjurkan). Fardhu kifāyat diberikan
untuk belajar secara umum, misalnya cara mengetahui keliling segitiga,
sedangkan fadhīlat diberikan untuk belajar secara rinci, seperti
membuktikan Teorema Pythagoras.
Pendapat
dari al-Ghozālī tersebut dikuatkan oleh Abū Zakariyyā Yahyā an-Nawawī (Arab: أبو زكريا يحيى النووى), faqih asal Suriah,
dan Muḥammad ibn Mūsā al-Khowārizmī (Arab: محمد بن موسى الخوارزمي), astronom asal
Iraq. An-Nawawī juga menyebut bahwa Matematika termasuk ilmu yang mendukung
pelaksanaan ajaran agama, sehingga hukum belajar matematika ialah fardhu
kifāyah. Sementara al-Khowārizmī turut menguatkan bahwa matematika
diperlukan dalam urusan pembagian warisan dan wasiat, perdagangan, pengukuran
tanah dan sungai, serta merancang bangunan.
Matematika
juga berguna terhadap fisika. Fisika adalah ilmu yang mempelajari cara alam
raya berperilaku untuk diterapkan dalam memberi pengertian tentang alam raya dan
menghasilkan produk yang memudahkan keseharian manusia. Alam raya, menurut
Galileo Galilei, memiliki bahasa yakni matematika. Bahasa alam raya ini
kemudian ditulis dalam bentuk simbol dan bangun untuk memudahkan manusia dalam
memahami alam raya yang menjadi tujuan fisika.
Kegunaan
Matematika terhadap fisika ialah sebagai pembantu dalam usaha yang dilakukan
oleh Fisika. Contohnya dalam meramalkan keadaan benda yang dicemplungkan ke
dalam air. Fisika memiliki penjelasan bahwa benda dapat tenggelam, melayang,
atau mengapung ketika tercemplung ke dalam air dengan indikator berupa
perbedaan kerapatan muatan isi benda dan air yang menyebabkan tiga hal itu
terjadi sekaligus cara menentukan besar kerapatan. Namun, fisika tidak
menjelaskan aturan perhitungan, seperti perbandingan bilangan tertentu yang
menunjukkan kerapatan benda (volumetric mass density, massa jenis) lebih
besar, sama dengan, atau kecil kecil dari air. Pada aturan perhitungan inilah
matematika muncul sebagai pembantu.
Wajar
kalau kemudian matematika menjadi pelajaran yang diberikan di semua tingkatan
sekolah, baik dasar, menengah, maupun tinggi, serta setiap jurusan dengan kadar
keluasan dan kedalalam pembahasan yang beragam. Di tingkat sekolah dasar,
pembahasan Matematika ditujukan pada objek konkret; di tingkat menengah,
pembahasan matematika mulai memadukan objek konkret dan abstrak; di tingkat
tinggi, pembahasan matematika dilakukan secara lebih rinci berupa pendalaman
terhadap konten tertentu atau diambil penerapan pada ilmu tertentu seperti pada
fisika dan akuntansi.
Berdasarkan
paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat alasan untuk menolak
pembelajaran matematika di sekolah. Lalu, apa yang harus didapatkan oleh siswa terkait
matematika setelah mengikuti pembelajaran di sekolah? Pertanyaan ini membuat
kita beralih kepada bagian selanjutnya, “Bagaimana arah pembelajaran Matematika
di sekolah/madrasah?”
Bagaimana
arah pembelajaran Matematika di sekolah/madrasah?
Buat
saya, pembelajaran Matematika perlu diarahkan agar memberi pengalaman kepada
siswa (1) untuk mengerti bahwa matematika adalah pembahasan tentang pola dan
hubungan, (2) untuk menjadi akrab dengan beberapa pola dan hubungan tersebut,
dan (3) untuk belajar menggunakannya dalam keseharian. Dua arah umum terakhir
ini harus dilakukan secara beriringan bukan berurutan.
Dalam
banyak bagian pembelajaran matematika, urutan penyampaian dari gagasan abstrak kemudian
menggunakannya secara konkret belum terbukti efektif sampai sekarang. Justru
hal ini membuat matematika kian kurang diminati bahwa menimbulkan kecemasan
tersendiri. Meskipun urutan terbalik belum terbukti sangkil dan mangkus, tapi mencegah
mudarat lebih diutamakan dibanding menarik manfaat (Arab: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح). Dengan
demikian, arah pembelajaran perlu diatur guna memfasilitasi siswa untuk menemukan
pola atau hubungan matematis yang diberikan dalam banyak konteks yang berbeda
sebelum, selama, dan setelah pengenalan konten matematika itu sendiri.
Misalnya
dalam peristiwa populasi penduduk, siswa diberi informasi tentang perubahan
jumlah penduduk dalam satu wilayah tertentu. Dari informasi ini, siswa diminta
untuk mendapatkan pola perubahan (bertambah, tetap, atau berkurang) setiap tahun
dan hubungan antara perubahan jumlah penduduk dengan ketersediaan lahan perumahan.
Hasil penemuan pola dan hubungan tersebut kemudian dipakai untuk melatih siswa
dalam menyajikan dan membaca informasi. Ketika siswa dapat menyajikan pola
dan/atau hubungan dalam bentuk tabel, grafik, simbol, dan kalimat, dia dapat
dianggap telah mengerti matematika yang dipelajari.
Siswa
yang terlibat dalam kegiatan semacam ini pada akhirnya akan mendapatkan kesan tentang
kegunaan matematika, meskipun tak jarang perlu waktu lama. Waktu lama kadang
membuat guru selaku pemandu pembelajaran tergesa untuk melanjutkan ke
pembelajaran berikutnya. Bahkan seringkali guru merasa pembelajaran bisa
dilanjutkan atas dasar ‘sample representative’ siswa yang sudah
mengerti. Namun, sulit dimungkiri juga bahwa perilaku buru-buru ini muncul
sebagai dampak dari konten yang banyak. Karena itu, “Apa konten Matematika yang
disampaikan selama pembelajaran?”
Apa
konten Matematika yang disampaikan selama pembelajaran?
Bicara
tentang Matematika, mustahil untuk meninggalkan bilangan. Aritmetika, membahas
tentang bilangan. Aljabar, dalam beberapa kasus berakhir dengan simbol bilangan
a.k.a. angka. Geometri, perlu bilangan sebagai simbol yang mewakili
hasil pengukuran. Statistika, Trigonometri, Kalkulus, bahkan Logika sekalipun,
seringkali memerlukan bilangan. Bilangan memang menjadi ciri khas Matematika
laiknya payudara di tubuh perempuan. Keterampilan dasar yang diajarkan oleh
seluruh orangtua pun antara lain berhitung bilangan (dasar sepuluh, desimal).
Karena
itu, pembelajaran Matematika perlu menumbuhkan sikap apresiatif terhadap keindahan
dan kegunaan bilangan—laiknya payudara perempuan tadi—sekaligus mengembangkan
pengertian tentang bilangan. Pengertian tentang bilangan yang dimaksud ialah bahwa
terdapat dasar bilangan lain seperti dasar 60 (sexagesimal) dan dasar 2
(biner). Dari pengertian ini, kesan bahwa Matematika selalu memberi
hasil pasti bisa dikurangi. Matematika bukanlah kepastian, melainkan
kesepakatan. Misalnya: 2×2 tidak selalu 4, tapi bisa 22, tergantung
kita sepakat menggunakan dasar apa. Tentunya sisik pelik seperti ini
tidak disarankan untuk disampaikan pada tingkat paling awal.
Selain
angka, hubungan antar simbol huruf tentu saja perlu disampaikan. Apalagi dalam
beberapa kasus, penggunaan simbol huruf seringkali berguna dalam menyederhakan
ungkapan. Misalnya ketika mengungkapkan bahwa populasi penduduk bertambah
setiap tahun sehingga mengurangi ketersediaan lahan perumahan, bisa lebih
sederhana kalau diungkapkan dengan p≈t →
p≈l-1 (dengan
p menyimbolkan populasi penduduk; t berarti tahun; dan l
adalah lahan perumahan). Bagian Matematika yang secara khusus menangani urusan
hubungan antar simbol huruf ini ialah aljabar, sebagai konten setelah bilangan yang
perlu disampaikan dalam pembelajaran.
Tentu
saja tak seluruh konten aljabar yang biasa dikuasai oleh ahli matematika perlu
disampaikan. Malah saya cenderung kurang menekankan istilah sisik melik
aljabar seperti variabel, koefisien, dan konstanta, tapi lebih gembira ketika
siswa bisa mengerti bahwa a+b tidak sama dengan c atau boleh c
dengan syarat a, b, dan c diganti angka yang sesuai. Mengembangkan
keterampilan terkait simbol huruf (yang biasanya disebut variable) menjadi
aspek penting dalam pembelajaran.
Bagian
ini kerap memunculkan keluhan tersendiri dari saya secara pribadi. Pasalnya banyak
siswa yang dapat menyelesaikan persamaan (setidaknya sampai waktu ulangan
harian dan/atau ujian akhir semester), tapi tidak mengerti makna, alasan penggunaan,
maupun penyajian lain seperti dalam bentuk grafik dari persamaan tersebut. Hal
ini biasanya tampak kentara dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Ambil
contoh dalam masalah penyebab gerak (dalam tinjauan mekanika klasik). Siswa
banyak yang terampil membolak-balik sampai pegel persamaan F=ma
(dengan ‘F’ adalah ‘forsa’; ‘m’ sebagai ‘massa’, dan ‘a’ adalah
akselerasi benda), tapi kerap gagap ketika diminta untuk menyajikan informasi
forsa, massa, dan akselerasi dalam bentuk grafik. Kalau dari sini saja sudah
gagap, bagaimana cara untuk membuat siswa mengerti bahwa kalkulus—yang dipakai
untuk menghitung luas daerah—bisa diterapkan untuk membahas persamaan F=ma?
Salah satu dampak parah dari dari kegagalan mengerti matematika di sisi ini
ialah ketika seseorang bangga telah menghafal bentuk Persamaan Schrödinger,
tapi sebenarnya dia tidak mengerti makna persamaan itu—apalagi menjelaskan.
Makna
persamaan lebih mudah dirasakan ketika digunakan untuk membahas bangunan (shape).
Saya yakin bahwa setiap siswa sebelum memasuki sekolah telah punya bekal
pengalaman terkait titik, garis, bidang, dan ruang. Karena itu, di sekolah
siswa hanya perlu mengisi (memperluas dan memperdalam) pengalaman itu untuk terampil
melihat dunia melalui mata geometri. Keterampilan ini bisa dilatih melalui kegiatan
yang mengharuskan siswa untuk menggunakan aturan geometri dalam menggambar,
mengukur, dan membandingkan bangunan konkret (maksudnya dari alam) dalam bentuk
abstrak (maksudnya di kertas). Siswa tidak perlu repot untuk tahu istilah
juring, yang penting mereka bisa menunjukkan kesamaan luas beberapa bidang
elips yang jarak antara garis luar dan tengahnya berbeda (tentunya mereka juga
harus bisa menggambar bentuk elips menggunakan dua jari yang diikat oleh karet
gelang).
Selain
aritmetika, aljabar, dan geometri, konten matematika yang secara umum muncul di
setiap jenjang pendidikan ialah statistika. Seiring kemudahan memperoleh
informasi, saya kerap berharap agar konten statistika diberi perhatian secara
serius. Pembahasan tentang peluang, ringkasan data, dan pengambilan sampel adalah
aspek penting untuk belajar menangani bukti. Tujuan utamanya ialah agar siswa
biasa menyimpulkan berdasarkan data yang tersedia (secara tidak langsung juga
melatih mereka untuk mengakui batasan kesimpulan).
Bicara
tentang statistika, terdapat beberapa gagasan yang memang sangat sulit untuk
disampaikan kepada siswa tingkat menengah, bahkan sebagian besar orang dewasa sekalipun!
Satu kesalahpahaman umum adalah keyakinan bahwa rata-rata selalu sangat
mewakili suatu populasi. Padahal belum tentu demikian. Misalnya rata-rata penghasilan
5 orang dalam satu mobil ialah Rp.18.000.000, tidak selalu mewakili populasi.
Siapa tahu kalau dalam satu mobil itu terdiri dari Zaskia Gotik yang
penghasilannya Rp.70.000.000 setiap penampilan dan 4 orang lain ialah
asistennya yang bergaji Rp.5.000.000 setiap bulan? Tidak ada gunanya menyampaikan
rerata sampai beberapa pertanyaan muncul yang dapat dijawab dengan baik oleh
rerata. Wajar kalau rerata sering disampaikan bersamaan dengan median
dan modus, karena masalah kayak gitu tadi. Sayangnya, median
dan modus cenderung kurang diurus.
Kesalahpahaman
lain dari statistika adalah anggapan bahwa variabel selalu dihubungkan oleh
sebab dan akibat. Ketika diberitahu korelasi antara dua variabel seperti Z dan
G, banyak orang hampir selalu menyimpulkan secara cepat dengan hubungan kausal
(sebab-akibat) antar dua variabel tersebut. Padahal hubungan antar dua variabel
punya beberapa kemungkinan untuk dipertimbangkan: (1) Z dapat menyebabkan G; (2) G
dapat menyebabkan Z; (3) Z dan G mungkin tidak saling menyebabkan satu sama
lain, tetapi keduanya disebabkan oleh C; dan (4) hubungan antara Z dan G perlu
diselidiki lebih lanjut. Dalam hal ini, mungkin tidak terdapat peran yang lebih
besar dari matematika untuk masyarakat daripada menumbuhkan pemahaman tentang makna
korelasi antar dua variabel.
Pemahaman
tentang makna korelasi antar dua variabel itu juga menuntut agar siswa biasa
diajari tata nalar, yang dicakup oleh logika. Tentu saja penalaran tidak harus hanya
disampaikan melalui pembelajaran matematika, bahkan sepantasnya dalam
pembelajaran IPA, ilmu-ilmu sosial, dan di mana pun pemikiran kritis diajarkan
termasuk kajian keagamaan.
Bagian
penting dari konten matematika yang harus disampaikan ialah agar siswa memperoleh
jenis pemahaman tentang logika deduktif yang diperlukan untuk mengatakan logika
yang baik dan logika yang buruk dalam alasan yang dibuat orang. Mereka juga harus
menyadari mengapa penalaran sangat penting dalam matematika. Bagian lain dari penalaran
harus berurusan dengan penyusunan generalisasi logika induktif berdasarkan pada
contoh penggunaan dalam keseharian.
Bagian
lain yang sama pentingnya ialah agar siswa biasa menggunakan logika dan bukti
dalam membuat alasan yang absah (valid) dan dapat menilai alasan dari
orang lain. Hal ini dapat terjadi kalau siswa banyak dilatih dalam merumuskan alasan,
menyampaikan kepada teman satu kelas, serta memberi kepada dan menjawab dari tanggapan
teman. Pengalaman ini tentu harus dibiasakan dalam waktu lama secara bertahap dari
perkara paling sederhana ketika siswa belajar untuk mengelola informasi yang
diperoleh dalam keseharian.
Penutup
yang Membuka
Tentu
saja esai ini ditulis dengan beragam keterbatasan Matematika yang saya mengerti.
Tidak lepas dari kekurangan, kesalahan, bersifat subjektif, relatif, dan tidak
final. Esai ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk ditulis sebagai naskah
akademis atau hasil dari sebuah kajian ilmiah. Bukan humble atau wise
statement, tapi malas dibantah saja.
K.Jm.Pa.200440.281218.00:26