— dari
peniruan ke peniruan
“Teruslah
membaca & menulis apapun yang di pikiranmu.”
— Nong
Darol Mahmada kepada saya pada 24 Januari
2017 pukul 07.59.
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Lanny
Octavia mungkin tidak banyak dikenal oleh khalayak. Dibanding rekannya, Nong Darol
Mahmada, maupun suaminya, Novriantoni Kahar, tampak dirinya kalah dari sisi popularitas.
Dari sisi produktivitas pun demikian. Karya tulis Lanny tidak sebanyak Mbak Nong
maupun Mas Novri. Namun, dari sisi personal Lanny punya kapling permanen dalam hati
saya. Uraian perbedaan kata akhlāq,
adab, dan moral yang disajikan secara rapi dan rinci dalam buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren membuat saya sangat gembira.
Buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren menjadi satu dari dua rujukan utama saya
terkait pesantren. Satunya lagi ialah karya Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang berjudul
Bilik-Bilik Pesantren. Kapling permanen terkait perbedaan akhlaq, adab, dan
moral ialah dilatari oleh nama sapaan saya: Adib.
Atas dasar
perilaku mbeling, saya kerap dianggap sebagai orang yang sikapnya tidak sesuai
dengan namanya. Rita Purwaningrum, mantan pacar yang kelak menjadi tetangga sejak
saya menikah, pernah menulis tersurat melalui BlackBerry Messengger (BBM)
pertengahan 2014 silam, “Kalau Adib, beradab atau biadab?” Pesan tersebut langsung
saya tanggapi bahwa kata adib juga bisa dimaknai pesastra, tidak harus orang yang
beradab.
Nah, sisi
makna tidak harus orang yang beradab itulah yang diurai oleh Lanny secara rapi dan
rinci, berdasarkan kajian terhadap kitab kuning, sampai memberi simpulan berikut:
“Uraian tentang adab di atas
menunjukkan bahwa adab memiliki kecenderung an berbeda dengan akhlak. Akhlak selaras
dengan kata etika (serapan dari kata ethic dalam bahasa Yunani) dan moral
(serapan kata moral dari bahasa Latin), yang artinya adalah adat dan perilaku
moral manusia. Adab tidak menunjukkan pada arti adat-kebiasaan, insting dan tabiat
seperti yang terkandung dalam kata akhlak, bahkan justru adab mengarah pada persoalan
pembelajaran, pendidikan dan pembiasaan. Ini selaras dengan adab dalam bahasa Persia,
yang mengandung arti ilmu pengetahuan, kultur (tsaqâfah), penjagaan, ketakjuban,
cara atau jalan yang dapat diterima, kebaikan dan konsistensi pada batasan setiap
sesuatu. Sehingga tidak berlebihan kalau di kampus-kampus Islam terdapat fakutas
Adab.”
Lebih
lanjut, buku Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren memberi dorongan
kepada saya untuk melakukan peniruan. Memang saya belum membeli buku tersebut. Tak
dimungkiri pula bahwa saya baru membaca satu bab saja secara utuh. Walau begitu,
saya menangkap kesan bahwa Lanny berhasil menghasilkan karya tulis terkait pendidikan
yang tidak sekadar jargon, melainkan sampai kepada langkah mewujudkan secara konkret.
Kebetulan topik yang digarap ialah pendidikan karakter, frasa yang kerap digaungkan
secara luas tanpa pernah dikaji secara jelas.
Berdasarkan
kesan pertama inilah saya berusaha untuk konsisten bermain di topik literasi saintifik
serta belakangan literasi finansial. Harapan yang dipendam ialah agar bisa menghasilkan
buku tentang pendidikan literasi saintifik dan finansial laiknya Pendidikan Karakter
Berbasis Tradisi Pesantren. Karena itulah saya jarang terlibat penggaungan jargon
‘menumbuhkan literasi’ dan sejenisnya, melainkan lebih tertarik untuk menggarap
secara teknis langkah pembelajaran untuk mencapai literasi saintifik dan finansial.
Kesan
lain yang saya peroleh ialah Lanny menggunakan referensi kitab kuning dengan jumlah
banyak. Lanny menggunakan kitab kuning bukan hanya karena uraian yang dikandung
mendukung preposisi yang dibangun oleh Lanny, melainkan sekaligus untuk menunjukkan
bahwa kitab kuning termasuk karya tulis yang pantas diapresiasi secara akademik
sampai saat ini. Apresiasi akademik yang saya maksud ialah bukan sebatas mengungkap
kitab kuning itu bagus, melainkan sampai kepada tingkat menggunakannya sebagai referensi
dalam penulisan akademik seperti jurnal.
Kedua
kesan itu saya sampaikan secara lisan ketika menjumpai Novri, suaminya Lanny. Karena
kedua kesan itupula saya menyebut bahwa Lanny lebih unggul dibandingkan Mbak Nong.
Kedua kesan itulah yang belakangan memberi dorongan untuk melakukan peniruan terhadap
cara Lanny menulis. Bentuk konkret peniruan dapat dilihat dari penggunaan beberapa
kitab kuning dalam jurnal saya terkait literasi saintifik dan literasi finansial.
Kebetulan Lanny tampak cenderung lebih nyaman menulis dalam format jurnal akademik
ketimbang artikel populer.
Lanny
dan Novri termasuk kasus unik dalam perjalanan saya. Masing-masing termasuk role
model saya, yang dikagumi secara terpisah. Maksud terpisah ialah: atas dasar
perilaku dan letak pengaruh yang saling berlainan. Keunikan keduanya ialah: walau
saling berlainan, bisa saling melengkapi.
Kalau
Lanny memengaruhi saya dari sisi pelaksanaan gagasan pendidikan ke dalam praktik
pembelajaran serta cara menggunakan referensi, Novri banyak memiliki pengaruh dari
sisi alihbahasa dan diksi. Memang gara-gara Novri saya mulai membiasakan diri memakai
Tafsir al-Jalālayn dan Ḥāsyiyah al- Ṣōwī ‘alā Tafsir al-Jalālayn setiap
mengutip ayat al-Qur’ān. Namun, permulaan pembiasaan itu dilatari oleh kepiawaian
Novri dalam menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran ketika mengutip ungkapan
bahasa asing.
Uraian
yang disajikan ialah gambaran singkat—maunya tapi berkepanjangan jadinya—mengenai
sejumput kapling permanen dalam hati saya yang ditempati oleh Lanny sekaligus Novri.
Saya berharap uraian tersebut dapat menjadi sample guna menunjukkan bahwa
terdapat sisi peniruan dalam karya tulis yang saya hasilkan. “Imitation is the
sincerest form of flattery.” tulis Stephen William Hawking dalam My Brief
History ketika mengulas tentang penulisan A Brief History of Time.
Sebagai
penulis, saya merasa perlu—bukan sekadar tak ragu dan tak malu—untuk meniru—bukan
menjiplak. Melalui peniruan lah saya dapat melaksanakan keyakinan untuk bermadzhab
kepada para pendahulu, dalam hal apapun.
Mengumpulkan
beragam hal—termasuk gagasan dasar—terkait karya yang akan dibuat sebagai langkah
awal ketika hendak berkarya tentu perilaku wajar. Misalnya ketika hendak menulis
topik terkait pendidikan. Penulisan bisa dimulai dengan menganalisis analisis orang
lain, melihat hasil ijtihād yang sudah ada.
Walau
dimulai dari langkah tersebut, keotentikan karya tetap bisa ada, misalnya dalam
bentuk metode, hasil, pembahasan, maupun simpulan. Kalau membaca buku Lanny, letak
keotentikannya ialah mengulas topik pendidikan karakter sampai kepada tingkat langkah
menerapkan ke dalam pembelajaran. Kira-kira sejenis demikian.
Dengan
melihat ijtihād yang sudah ada, kita bisa memperoleh inspirasi, memiliki
referensi, memberi apresiasi, serta melestarikan genealogi. Karena itu, kita juga
tak perlu repot memulai dari nol, melestarikan kesinambungan garis keilmuan, memberi
peluang untuk menemukan bagian tertentu yang belum dibahas oleh pendahulu. Sehingga
kita sekaligus bisa mengerti letak karya yang dihasilkan dalam peta keilmuan. Melalui
pengertian inilah sikap humble bisa dilaksanakan.
Misalnya
ketika James Clerk Maxwell membaca Experimental Researches on Electricity
karya Michael Faraday. Melalui buku inilah Faraday memberi inovasi dalam bidang
listrik-magnet berupa gagasan medan forsa. Selama beberapa waktu antara masa Isaac
Newton dan Faraday, fisikawan-fisikawati mengalami masa bingung beregu. Letak kebingungan
ialah memecahkan misteri hukum listrik-magnet yang tampak menunjukkan bahwa forsa
bekerja melintas ruang kosong antar benda yang saling berinteraksi.
Faraday
yakin bahwa agar benda bisa bergerak, sesuatu harus bersentuhan dengan benda itu.
Karena itu, dirinya membayangkan ruang antara muatan listrik dan magnet berisi tabung
tak kasat mata yang secara fisik mendorong dan menarik. Tabung inilah yang disebut
sebagai medan forsa.
Cara menjelaskan
hal ini kepada anak umur 10 tahun ialah menempatkan kaca bening di atas magnet batang,
kemudian menyebar serbuk besi atau debu di atas kaca bening itu. Dengan beberapa
ketukan untuk mengalahkan besar forsa gesekan, serbuk bergerak seolah disentuh oleh
kekuatan tak kasat mata guna mengatur diri membentuk pola lengkungan yang menjangkau
dari satu kutub magnet ke kutub lain. Pola inilah yang merupakan peta forsa magnet
tak kasat mata yang memenuhi ruang.
Sayangnya,
Faraday termasuk faqīr matematika. Dirinya kerap kesusahan, kurang berminat,
sekaligus sedikit mempelajari matematika. Karena itulah buku Experimental Researches
on Electricity terasa cerita verbal ketika dibaca pakar matematika seperti Maxwell.
Melalui analisis terhadap analisis Faraday, Maxwell yakin bahwa metode yang dipakai
Faraday untuk memahami fenomena alam dapat disebut metode matematis, meskipun tidak
diperlihatkan dalam bentuk simbol matematika konvensional.
Itulah
yang mendorong Maxwell menulis A Treatise on Electricity and Magnetism, yang
kali pertama memunculkan empat persamaan diferensial parsial. Persamaan yang dikenal
sebagai Persamaan Maxwell ini menjadi satu set persamaan matematis tentang
forsa listrik dan magnet sebagai wujud entitas yang sama: listrik-magnet atau
elektromagnetik.
Melalui
persamaan tersebut, Maxwell menunjukkan bahwa medan elektromagnetik bisa merambat
melalui ruang sebagai gelombang. Kecepatan gelombang itu diatur oleh satu angka
yang muncul di persamaannya, yang dia hitung berdasarkan data eksperimen beberapa
tahun sebelumnya. Maxwell kaget ketika mendapati kecepatan gelombang yang dihitungnya
sama dengan kecepatan cahaya, yang ketika itu sudah diketahui berdasarkan eksperimen.
Uraian
tersebut menunjukkan dengan kentara bahwa gara-gara melihat hasil ijtihād
Faraday, Maxwell justru memiliki hasil ijtihād sendiri berupa penemuan bahwa
cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Wajar kalau Maxwell menulis saran agar
karya Faraday juga dibaca dengan tuturan berikut:
“I have confined myself almost
entirely to the mathematical treatment of the subject, but I would recommend the
student, after he has learned, experimentally if possible, what are the phenomena
to be observed, to read carefully Faraday's Experimental Researches in Electricity.
He will there find a strictly contemporary historical account of some of the greatest
electrical discoveries and investigations, carried on in an order and succession
which could hardly have been improved if the results had been known from the first,
and expressed in the language of a man who devoted much of his attention to the
methods of accurately describing scientific operations and their results. It is
of great advantage to the student of any subject to read the original memoirs on
that subject, for science is always most completely assimilated when the description
of the phenomena, and the elementary parts of the theory of each subject, will be
found in the earlier chapters of each of the four Parts into which this treatise
is divided. The student will find in these chapters enough to give him an elementary
acquaintance with the whole science.”
Perilaku
meniru juga didukung oleh informasi pustaka yang menunjukkan bahwa tak selamanya
peniruan membuat satu karya begitu saja tenggelam, bahkan bisa menjelma sebagai
karya azam.
Contoh
paling bagus ditunjukkan oleh Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn ‘Abdillāh al-Ṭō’ī yang lebih
dikenal dengan nama ibn Mālik. Dalam pengantar karyanya kumpulan 1002 bait mengenai
tata bahasa berjudul al-Khulāṣoh al-Alfiyyah, penulis asal Jaén, Spanyol
ini menyebut bahwa karya lebih bagus ketimbang karya Yaḥya ibn ‘Abdi al-Mu’ṭī al-Zawāwī
yang berjudul al-Durrot al-Alfiyyah:
فائقة
ألفيّة ابن معطي
Dari sisi
penyajian, al-Alfiyyah ibn Mālik memang unggul karena hanya menggunakan baḥr
rojaz yang berpola: mustaf’ilun mustaf’ilun mustaf’ilun. Sedangkan al-Alfiyyah
ibn Mu’ṭī disajikan menggunakan dua pola, yakni baḥr rojaz serta sarī’ yang berpola:
mustaf’ilun mustaf’ilun fā’ilun. Untuk sisi ini, ketika dilantunkan al-Alfiyyah
ibn Mālik lebih nyaman dibanding al-Alfiyyah ibn Mu’ṭī.
Dari sisi
jumlah bait, al-Alfiyyah ibn Mālik 19 bait lebih sedikit dibanding al-Alfiyyah
ibn Mu’ṭī. Dengan jumlah 1002 bait, al-Alfiyyah ibn Mālik lebih dekat dengan
angka 1000 dibandingkan 1021 bait al-Alfiyyah ibn Mu’ṭī. Rasio selisih yang
tak seberapa, tapi perlu diapresiasi juga. Malah al-Alfiyyah ibn Mālik menjadi
alfiyyah literally, andai tidak terdapat 2 bait yang menyinggung al-Alfiyyah
ibn Mu’ṭī.
Walau
begitu, ibn Mālik tak lupa bahwa karya ibn Mu’ṭī diterbitkan lebih dahulu:
وهو
بسبق حائز تفضيلا
Ungkapan
inilah yang menunjukkan bahwa ibn Mālik meniru ibn Mu’ṭī dalam membuat karya tulis,
tapi peniruan tersebut lebih azam dibanding karya yang ditiru. Dengan demikian,
head to head antara ibn Mālik dan ibn Mu’ṭī pun terhindar dari priority
dispute.
Lagipula
al-Alfiyyah ibn Mālik tidak mengungguli al-Alfiyyah ibn Mu’ṭī secara
mutlak. Misalnya dalam urutan penyajian topik, perbedaan madzhab Baṣroh dan Kūfah
dalam masalah kata asal apakah fi’il mādhī atau maṣdar, serta kecenderungan
i’rōb untuk ism dan binā’ untuk fi’il, menurut pandangan orang awam seperti saya
al-Alfiyyah ibn Mu’ṭī lebih unggul dibanding al-Alfiyyah ibn Mālik.
Wajar pula kalau ibn Mālik tetap merasa perlu untuk memuji al-Alfiyyah ibn
Mu’ṭī:
مستوجب
ثنائي الجميلا
Malah
dari pola penyajian, kalau memang ibn Mālik ingin tampak mengungguli ibn Mu’ṭī,
mestinya dirinya menggunakan baḥr selain rojaz serta sarī’.
Bisa baḥr yang lebih populer seperti ṭowīl, basīṭ, kāmil, atau
wāfir agar terasa lebih merakyat. Atau bisa juga menggunakan baḥr
yang jarang dipakai seperti muḍōri’, muqtaḍob, atau mutadārik
supaya terasa limited edition.
Dari
sisi kemauan dan kemampuan meniru karya pendahulu saja saya sudah tak bisa
kabur dari bersyukur kepada Allōh maupun makhluq Allōh. Karena memang dalam
membuahkan kemauan dan kemampuan meniru itu, Allōh terasa memberi sesuatu
kepada saya disertai guru untuk mengerti sesuatu itu.
Misalnya
Allōh memberi saya rasa penasaran terhadap penggunaan fi’il muḍōri’
untuk kata ‘aql dalam al-Qur’ān. Dalam upaya untuk mengerti
penggunaan itu, saya sempat menanyakan kepada Syarofis Siayah dengan data
meyakinkan. Mbak Ofis pun mengucapkan bahwa kata ‘aql dalam al-Qur’ān
disampaikan menggunakan fi’il bukan ism mengandung pesan tersirat
agar ‘aql itu di-pekerja-kan, bukan di-benda-kan.
Lebih
lanjut Mbak Ofis kemudian mengingatkan kepada saya tentang perbedaan fi’il
muḍōri’ dengan fi’il māḍī. Perbedaan keduanya ialah fi’il muḍōri’
memiliki makna dinamis, sedangkan fi’il māḍī memiliki makna statis.
Sehingga ucapan Mbak Ofis pun kemudian diimbuhi, agar di-pekerja-kan terus
menerus.
Dari situ
saja Mbak Ofis sekaligus mendorong saya untuk menemukan pesan tersirat dalam al-Qur’ān
yang dituturkan menggunakan fi’il muḍōri’. Selain itu, ketika saya
menyampaikan hal ini kepada Khoirul Umam, dirinya menyebut bahwa arti literal
kata عَقَلَ يَعْقِلُ عَقْلًا ialah ‘mengikat’. Tindaklanjut penyampaian Pak Umam tersebut
menunjukkan bahwa kata kerja transitif. Dengan dasar serampangan ini, bisa saja
saya minta bimbingan Fadhli Lukman untuk mengungkap pesan tersirat menggunakan
metode tafsir sastrawi.
Satu
hal lain yang juga saya syukuri ialah dapat
menikmati seabreg selera ragam karya yang beraneka macam. Kalau punya banyak
selera lintas ragam karya, tentunya kita akan paham bahwa setiap karya adalah
sebuah evolusi yang memengaruhi karya generasi sesudahnya. Dengan demikian,
bisa menghindarkan diri dari kecenderungan asal
mbacot menyampaikan perkataan—tertulis maupun lisan. Juga menuntun
hati agar tak hobi jumping
start menerobos time
machine dalam menafsirkan teks berumur empatbelas abad.
Contoh evolusi dalam karya tulis, buku Iḥyā’ ‘Ulumi
al-Dīn Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī mempengaruhi al-Ghunyah li Ṭōlibī Ṭoriqi al-Haq
karya Abū Muḥammad 'Abdul al-Qōdir ibn Mūsā
al-Jaylanī. Atau karya lain al-Ghozālī berjudul al-Munqidh min al-Dholāl wa al-Mauṣul ilā dzi
al-‘Izzati wa al-Jalāl mempengaruhi
buku Discours de la
Méthode: Pour Bien Conduire sa Raison, et Chercher la Vérité dans les Sciences
karya René Descartes. Artikel Fenomenologi
Jilbab dan Antropologi
Jilbab buatan Nasaruddin Umar juga memengaruhi Kritik atas Jilbab dan Jilbab, Kewajiban atau Bukan?
buatan Nong Darol Mahmada.
Evolusi dalam arena karya musik, antara lain terdapat Julia gubahan The Beatles
yang memengaruhi Jealousy karya Queen, kemudian memengaruhi Kosong
buatan DEWA dan Karen Don’t
Be Sad milik Miley Cyrus. Begitu pula dalam arena karya rupa.
Misalnya lukisan Última
Cena karya Leonardo da Vinci memengaruhi detik ke-145 sampai ke-147
dari musik video Iridescent
punya Linkin Park. Atau film science-fiction
action berjudul The
Matrix yang memengaruhi gagasan video musik Come Back Home dari 2NE1.
Wajar kalau dalam karya tulis yang saya hasilkan, terdapat
peniruan banyak ragam karya maupun informasi lain yang pernah saya peroleh. Misalnya
kebiasaan menulis feature sosok perempuan, seperti Mbak Nong, Oza Kioza,
mapun Venice Min. Kebiasaan itu didasari keinginan meniru Nuzhat al-Julasāʼ
fī Asyʻār al-Nisāʼ, buku antologi penyair perempuan, karya Jalāl al-Dīn
‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī. Kebetulan cerdik-cendekia yang sangat produktif
dalam karya tulis ini merupakan role model utama saya dalam penulisan.
Apalagi
karakter al-Suyūṭī yang confident
yang menyajikan karya tulis, lebih mudah saya tiru ketimbang sok rendah hati.
Ungkapan seperti disajikan dalam buku al-Asybāh wa al-Nadzōir, al-Suyūṭī
menulis bahwa bukunya merupakan rangkuman ilmu sepanjanh masa confidently:
وَأَنْتَ
إذَا تَأَمَّلْتَ كِتَابِي هَذَا عَلِمْتَ أَنَّهُ نُخْبَةُ عُمْرٍ، وَزُبْدَةُ
دَهْرٍ، حَوَى مِنْ الْمَبَاحِثِ الْمُهِمَّاتِ، وَأَعَانَ عِنْدَ نُزُولِ
الْمُلِمَّاتِ، وَأَنَارَ مُشْكِلَاتِ الْمَسَائِلِ الْمُدْلَهِمَّاتِ،
Atau
dalam Itmām al-Dirōyah li Qurrō’
al-Nuqōyah, penulis kelahiran 1 Rojab 849 H./3 Oktober 1445 M. ini
mengungkap bahwa pelajar yang memiliki buku tersebut tidak membutuhkan buku
lain:
وأودعت
فِي طي ألفاظها مَا نشره النَّاس فِي الْكتب الْكِبَار بِحَيْثُ لَا يحْتَاج
الطَّالِب مَعهَا إِلَى غَيرهَا وَلَا يحرم الفطن المتأمل لدقائقها من خَيرهَا
Dalam
bagian terakhir Tafsir al-Jalayni yang ditulisnya pun, al-Suyūṭī mengungkapkan cerita yang
menunjukkan sisi kepercayaan dirinya.
Buat saya, peniruan adalah pujian lestari paling luhur
dan dalam. Peniruan dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai dari menulis
sampai berperilaku. Karena itulah saya kerap menyayangkan ketika orang yang
membaca karya saya, tidak menemukan sisi peniruan yang dilakukan. Pun timbul
rasa kecewa berat ketika orang melihat peniruan yang saya lakukan, tidak
dilihat sebagai bentuk menunjukkan sumber inspirasi,
memiliki referensi, memberi apresiasi, serta melestarikan genealogi. Peniruan lho,
bukan penjiplakan.
Begini dan segini dulu...
K.Sl.Pa.170741.100220.23:38