Pain Man or Fine Man?


— Apa sih yang Istimewa dari Richard Phillips Feynman?
 Richard Phillips Feynman dan Arline Greenbaum ketika di Albuquerque
Richard Phillips Feynman dan Arline Greenbaum ketika di Albuquerque

Richard Phillips Feynman kembali hadir mewarnai perjalanan saya sejak ḥaul keduapuluhnya pada 15 Februari 2018. Pada waktu itu saya sudah bergabung dengan Madrasah TBS (Tasywiquth Thullab Salafiyyah) Kudus. Tugas saya ialah mengampu Bahasa Jawa (untuk kelas 1, 2, dan 3) serta Bahasa Inggris (untuk kelas 1 dan 2) tingkat MI sekaligus Matematika di tingkat MPTs.

Feynman mudah kembali saya ingat karena cukup lama terlibat dalam perjalanan pribadi. Secara khusus saya kembali menengoknya melalui New Textbooks for the “New” Mathematics. Makalah (karena berupa transkrip ceramah yang dibuat paper) yang berisi keluhan Feynman tentang muatan textbook buku Matematika untuk kelas 1-8 di California itu saya gunakan sebagai bahan penyusunan a mathematics textbook that never comes.

Belakangan saya mulai tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut tentang Feynman. Kepindahan saya meninggalkan Matematika di MPTs untuk mengampu Biologi di MA bukannya menghentikan justru meningkatkan ketertarikan itu. Bahkan melalui Six Easy Peace karya Feynman lah saya akhirnya mengagumi Carl Richard Woese. Perjalanan Woese memberi dorongan kepada saya untuk switch dari fisika ke biologi serta sumbangan Domain Arkaea dan pandangan yang disampaikan melalui artikel A New Biology for a New Century mendasari modifikasi kurikulum yang dipakai.

Keterlibatan Feynman dalam perjalanan pribadi saya bermula pada masa sweet seventeen. Feynman turut menjadi orang yang bertanggung jawab mengubah perilaku saya yang mulanya banyak spaneng menjadi kelewat woles. Bagus juga waktu itu saya lebih banyak menonton 2NE1 TV yang menyajikan perilaku kekanak-kanakan dari Park Bom. Kira-kira kalau Feynman memberi kerangka konseptual, Park Bom menunjukkan gambaran aplikasi. Perilaku kekanak-kanakan memang selayaknya dilantan alih-alih ditanggalkan.

Perubahan perilaku itu terjadi gara-gara membaca artikel Feynman si Jenius Nakal karya Yohanes Surya, fisikawan dan pedagog kelahiran Indonesia. Yohanes boleh dibilang orang pertama yang mengenalkan Feynman kepada saya. Melalui artikel yang diterbitkan di webiste pribadi Yohanes pada 18 Januari 2004 itulah saya mengenal mad world dari Mad Genious. Setelah saya tahu lebih lanjut, Feynman si Jenius Nakal lebih dulu diterbitkan di Harian Kompas pada 25 April 2003 dengan judul Richard Philips Feynman : Pernah Jadi Anjing Pelacak dan Maling.

Feynman si Jenius Nakal kali pertama saya baca ketika masih nyantri mukim di PP MUS-YQ (Pondok Pesantren Ma’had al-‘Ulumisy Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an). Lebih tepatnya ketika menjadi pengurus bagian Perpustakaan dan Warung Internet. Muhammad Taqiyuddin yang terpilih sebagai ketua pondok sempat memberi sinyal bahwa saya bakal masuk ke dalam tim pengurus. Namun, saya kesulitan menebak posisi saya dalam formasi timnya Taqi. Soalnya dari semua posisi yang tersedia, tidak ada yang cocok dengan saya.

Muhammad Faiqurrohman sempat bergurau bahwa saya bakal dimasukkan ke bagian Kebersihan. Mungkin gurauan Faiq itu sebagai balasan kepada saya yang selalu memarahinya lantaran malas membersihkan kamar. Ternyata timnya Taqi membuka formasi baru, ialah bagian Perpustakaan dan Warnet, kayak Antonio Conte ketika di Chelsea bikin posisi baru winger back.

Posisi baru itu saya isi bersama Akhidz Khoirul Amri dan Muhammad Zidni Nafi’. Keduanya memberikan ruang mandiri kepada saya untuk mengatur urusan Perpustakaan dan Warnet, walau secara khusus saya bertugas menangani Warnet. Dari perpustakaan saya banyak memperoleh informasi seperti Isaac Newton yang terlampau dikagumi, sementara dari Warnet saya banyak mengonsumsi girl group K-Pop seperti Park Bom yang kelewat digilai. Bekal informasi dan konsumsi seperti itulah yang saya miliki ketika berkenalan dengan Feynman melalui Yohanes.

Feynman si Jenius Nakal sangat berguna buat saya. Pesan yang disampaikan bahwa kita harus selalu melakukan sesuatu dengan gembira turut memberikan semangat kepada dunia akademik. Pesan lainnya bahwa kalau cuma menghafal kita belum tentu mengerti, tapi kalau kita sudah mengerti kita pasti ingat untuk seterusnya, juga bagus dalam menata ruang ingat saya. Ruang ingat patut dirawat karena kebiasaan membaca, mengobrol, dan jalan-jalan terlalu berharga kalau terlewat. Banyak orang bilang saya punya anugerah daya ingat berlipat. Faktanya ingatan saya lemah, lantaran harus ada satu set cara yang sering saya pakai untuk mengingat.

Wajar kalau saya sangat menyukai Feynman si Jenius Nakal. Kesukaan tersebut tak hanya mewujud dengan pembacaan berulang, malahan sampai membuat versi tiruan. Tiruan Feynman si Jenius Nakal tersebut saya terbitkan melalui blog pribadi dalam moment milad-nya pada 11 Mei 2015 dengan judul Butcah Mbeling. Serupa dilakukan oleh Park Bom terhadap Mariah Carey melalui All I Want for Christmas is You maupun Queen terhadap The Beatles dalam Need Your Loving Tonight.

Kalau isi Butcah Mbeling meniru Feynman si Jenius Nakal, judulnya merupakan paduan tiruan dari ‘butcah’ yang dibuat oleh Eny R. Octaviani fans Girls’ Generation dan ‘mbeling’ buatan Remy Sylado fans The Beatles. Stephen William Hawking, fans Marilyn Monroe, dalam dalam My Brief History menulis, “Imitation is the sincerest form of flattery.” (Peniruan adalah bentuk pujian yang jujur). Dengan demikian, tiruan itu merupakan bentuk pujian kepada Yohanes dan Feynman sekaligus Eny dan Remy.

Hawking sendiri belakangan menjadi orang yang paling peran dalam mengenalkan Feynman secara lebih teknis kepada saya. Melalui The Grand Design, buku yang digarap bersama dengan Leonard Mlodinow, Hawking memuji Feynman sebagai, “a colorful character” (sosok kaya nuansa) yang dapat memberikan penjelasan paling intuitif tentang teori kuantum.

Hawking dan Mlodinow banyak mengutip penjelasan tentang teori kuantum dari Feynman dalam The Grand Design. Keduanya sama-sama orang yang mengagumi Feynman. Sebelum keroyokan menulis The Grand Design, Mlodinow secara khusus menulis buku tentang a colorful character berjudul Feynman’s Rainbow. Sementara Hawking mengutip penjelasan teori kuantum dari Feynman dalam buku paling populernya A Brief History of Time serta menceritakan beberapa hal terkait Feynman melalui autobiografinya My Brief History.

Kalau tidak salah menebak, kutipan Hawking paling banyak diambil dari tesis Feynman berjudul The Principle of Least Action in Quantum Mechanics. Tesis tersebut kebetulan terbit pada Mei 1942 yang notabene tahun kelahiran Hawking (sekaligus ḥaul Galileo Galiei dan milād Isaac Newton, masing-masing ke-300). Mungkin Dennis William Siahou Sciama, murid Paul Adrien Maurice Dirac sekaligus guru Hawking, punya kapling peran dalam hal ini. Jadi kegagalan Hawking menjadi murid bimbingan Fred Hoyle ketika di Cambridge University berfaedah juga.

Mohon maaf bila agak berpanjang-panjang tentang kelindan Feynman dalam perjalanan saya secara pribadi. Tapi sejujurnya, kalau membahas Feynman saya tak bisa melupakan peran Yohanes dan Hawking sebagai penyedia informasi maupun Newton dan Bom sebagai penginjeksi inspirasi. Tak ketinggalan pula dua guru utama saya, Muhammad Arifin Fanani dan Setiya Utari, dengan keteladanan sebagai seorang expert yang sikapnya down to earth. Pun dengan Judhistira Aria Utama yang ketika kuliah sempat satu kali menyampaikan materi terkait Feynman—saya lupa di bagian mana tapi dia bilangnya ‘Pak Feynman’—serta Irma Rahma Suwarma sebagai dosen paling cantik di negeriku Indonesia yang bermain di wilayah kuantum.

Feynman sendiri lahir pada 11 Mei 1918 di Far Rock Away, New York City, Amerika Serikat. Dirinya merupakan rilisan perdana rahim Lucille Phillips, seorang ibu rumah tangga, hasil pembuahan dari Melville Arthur Feynman, seorang manager penjualan. Keduanya berdarah Yahudi asal Lithuania yang mulanya tinggal Minsk ketika masih menjadi bagian Kekaisaran Russia.

Feynman muda sangat dipengaruhi oleh ayahnya, yang mendorong untuk mengajukan pertanyaan untuk menantang pemikiran mapan sekaligus selalu siap untuk mengajarkan Feynman ilmu baru. Ibunya sendiri memberi pengaruh rasa humor yang dimiliki sepanjang perjalanannya.

Sebagai seorang anak, Feynman sudah menunjukkan bakat sebagai insinuyur sejak kecil melalui laboratorium eksperimen pribadi yang dibuat di rumahnya. Saya tidak tahu apakah masa kecil Feynman ini menginspirasi John Alexander Davis dalam membuat karakter James Isaac Neutron (Jimmy), boy genius yang jatuh cinta kepada Cynthia Aurora Vortex (Cindy). Saya hanya tahu kalau di laboratorium inilah Feynman banyak bermain, seperti memperbaiki radio, membuat alarm, dan bermain api menggunakan argon.

Melville, sebagai seorang ayah, tampak jeli mengendus kecenderungan yang dimiliki oleh sang anak. Dirinya tampak sadar bahwa anaknya adalah elang yang, meski punya sisi buaya, harus dididik dengan kurikulum elang, bukan singa maupun hiu. Kebetulan juga Melville, meski tidak di-reken sebagai akademisi, punya apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya tentang alam. Hubungan keduanya nyaris seperti Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī dan ayahnya Muḥammad al-Ghozālī, hanya beda antara pemain epistimologi burhāni dan bayāni plus ‘irfāni.

Feynman beberapa kali menyebut ayahnya berperan penting dalam perjalanannya. Misalnya ketika berceramah pada April 1966 di pertemuan National Science Teachers Association, New York City, dengan jelas disebut bahwa sang ayah menjadi orang yang kali pertama mengajarkan bahwa matematika ialah pencarian pola.

Ajaran pencarian pola tersebut disampaikan melalui permainan ubin putih-putih-biru yang disusun berulang. Gambaran bahwa Melville memang sengaja mengajarkan Feynman tampak ketika Lucille, sang istri, memintanya agar membiarkan sang anak bermain sesukanya ketika sempat melakukan kesalahan. Ketika itu Melville membantah dan terus tetap melanjutkan ajaran pola.

Permainan ubin tersebut berguna bagi Feynman ketika mendapat tugas membuat anyaman di tingkat Taman Kanak-Kanak (Raudlatul Athfal, Kindergarten). Lebih lanjut, dari situ Feynman punya gairah tak biasa dalam belajar Matematika. Aritmetika, aljabar, geometri, dan trigonometri secara perlahan malar dipelajarinya di rumah bersama ayah menggunakan buku serial matematika for the practical man karya James Edgar Thompson.

Belakangan ketika Feynman berusia 13 tahun, Melville mulai kesulitan menjadi partner obrolan tentang matematika sewaktu Feynman belajar kalkulus setelah bosan dengan aljabar dan trigonometri. Padahal ketika meminjam Calculus for the Practical Man di perpustakaan kota, Feynman bilang buat ayah. Tabiat!

Guna meningkatkan gairah Feynman agar terus belajar tentang alam, Melville selalu mengajak Feynman jalan-jalan ke Pegunungan Catskill setiap akhir pekan. Kiri-kanan dilihat saja oleh Feynman banyak pohon yang entah cemara atau stroberi. Pohon tersebut kadang dihinggapi oleh burung yang kemudian terbang tinggi seperti elang melewati siang malam menembus awan.

Dari pengamatan terhadap alam itulah Melville memprovokasi Feynman agar mengajukan pertanyaan, kadang ditanggapi dengan penjelasan memuaskan, tak jarang pula dijawab dengan ketidaktahuan. Pengalaman membahas pengamatan alam tersebut kelak membentuk karakter Feynman yang memperhatikan setiap pertanyaan sebelum memberikan jawaban. Walau termasuk akademisi papan atas, Feynman tak ragu menunjukkan bahwa banyak hal tidak diketahuinya, tapi begitu tahu dirinya dengan jelas menguraiakan jawabannya.

Upaya orangtua menumbuhkan anak dan pemanfaatan kesempatan dirinya cukup berguna. Pasalnya Feynman kemudian berkembang sebagai orang yang punya rhapsody tersendiri ketika dirinya bisa mengerti fenomena alam. Cukup mengerti saja dia sudah gembira, tak terlampau mengharapkan imbalan finansial maupun award. Persis kayak Park Bom ketika menyanyi. Kegembiraan itu kian bertambah ketika dirinya dapat turut serta memberi penjelasan tambahan atau tawaran jawaban.

Buah dari perkembangan tersebut membuatnya punya kapling teknis dalam fisika: path integral mekanika kuantum, teori elektrodinamika kuantum, dan fisika superfluiditas helium cair super dingin, serta usulan model parton dalam fisika partikel. Tak ketinggalan pula peran terselubungnya dalam kemerdekaan Republik Indonesia dan Republik Korea Selatan.

Dari buah tersebut Feynman mendapat apresiasi akademik, seperti Albert Einstein Award (1954), Ernest Orlando Lawrence Award (1962), Nobel Prize in Physics (1965), Oersted Medal (1972), dan National Medal of Science (1979) serta terpilih sebagai anggota luar negeri di Royal Society dan sempat dipilih menjadi anggota (kemudian mengundurkan diri) di National Academy of Sciences pada masa kepemimpinan Philip Handler. Sayang di Indonesia tampaknya hanya Yohanes dan Handhika Satrio Ramadhan yang punya kemauan melantan warisan Feynman, itu pun tak begitu lantang berdendang.

Terus terang saya punya kesulitan tersendiri dalam menulis sumbangan terpenting Feynman bagi perkembangan ilmu pengetahuan alam. Biasanya untuk menebak sumbangan terpenting sosok tertentu terhadap sesuatu, saya lebih dahulu membuat sejenis peta sesuatu itu secara datar dan bulat. Secara datar, peta tersebut dipakai untuk melihat letak sumbangan sosok tertentu sepanjang linikala perkembangan: pemula, pengembang, atau peruntuh (yang berarti pemula kebaruan). Secara bulat, sumbangan itu digunakan buat mengetahu letak sumbangan sosok tertentu dalam ruang pembahasan: pusat atau permukaan. Misalnya menebak sumbangan terpenting Surotul Ilmiyah terhadap SANTRI, peta seperti itu pun dibuat lebih dulu.

Nah, dalam kasus Feynman, kesulitan muncul karena dirinya merupakan pemain fisika yang bermain di wilayah kuantum. Sulitnya ialah sampai sekarang saya tidak paham ‘alam ghōib’-nya fisika ini. Ketika masih aktif sebagai pelajar di Pendidikan Fisika, perkuliahan kelompok ‘alam ghōib’ (Fisika Modern, Fisika Kuantum, Fisika Inti, Fisika Zat Padat, Fisika Statistik, serta Eksperimen Fisika I dan II) gagal saya ikuti dengan baik. Setidaknya bisa membentuk rantai karbon karbosiklik.

Kegagalan itu bukan hanya ditimbul oleh masalah komunikasi dengan para pengajar dan adaptasi dengan kegiatan pembelajaran. Masalah utama justru disebabkan oleh kelemahan akut saya di matematika, terutama geometri non-euclid, trigonometri, dan kalkulus. Masalah lain yang muncul ialah pada saat memasuki ‘alam ghōib’ itu, pelan-pelan saya mulai mengalami depresi hampir setahun yang nyaris mengakhiri hidup saya.

Ketika depresi, saya banyak mengisi keseharian dengan menikmati karya 2NE1 beserta tiga brand yang mengarahkan saya kepada 2NE1, ialah DEWA19, Linkin Park, dan Britney Spears. Dari situ saya dapat berkenalan dengan Queen dan Madonna, sekaligus mendapat semangat untuk melanjutkan (sebenarnya mengulangi) Skripsi tentang Literasi Ilmiah ala PISA (Programme for International Student Assessment).

Beruntung Allōh mengirimkan ‘lima manusia biasa’ yang namanya saya tulis dalam lembar terima kasih di Skripsi. Kelima manusia biasa itu, ketika saya depresi, tak hanya menghibur walakin mengarahkan saya agar tak keluar dari dunia akademik. Beruntung juga saya diasuh oleh Setiya Utari yang, entah mengapa dan bagaimana, sentuhannya terasa begitu bermakna.

Posisi 2NE1 dalam industri dan seni musik, ajakan PISA agar pengetahuan tak sebatas mengisi otak, arahan dari ‘lima manusia biasa’, serta bimbingan dari Seriya Utari itulah yang membuat saya kembali teringat Feynman. Jalannya agak panjang memang, tapi masih bisa dirunut secara rapi dan rinci (cuma tidak berfaedah kalau dibahas di sini saat ini).

Sekarang ketidaktahuan saya terhadap Feynman telah berkurang dibanding dengan masa sweet seventeen. Setidaknya saya tahu bahwa Feynman si Jenius Nakal (atau Richard Philips Feynman : Pernah Jadi Anjing Pelacak dan Maling) yang ditiru menjadi Butcah Mbeling ini adalah ringkasan Surely You're Joking, Mr. Feynman! dengan diperkaya beberapa informasi tambahan.

Feynman sendiri kini mulai banyak menjadi rujukan saya ketika menulis dan mengajar. Bahkan perilakunya pun sejak turut saya rujuk. Tapi saya sulit menjawab pertanyaan: apa sih yang istimewa dari Richard Phillips Feynman? Saya coba kembali merenung dan mencerna ulang, apa yang saya dapat dari Feynman dan kurang saya dapatkan dari fisikawan kontemporer lain semisal Max Karl Ernst Ludwig Planck, Niels Henrik David Bohr, Albert Einstein, Erwin Rudolf Josef Alexander Schrödinger, dan Paul Adrien Maurice Dirac, dan Werner Karl Heisenberg. Setelah menimbang-nimbang, inilah beberapa kesan saya terhadap Feynman.

Pertama, dari cerita yang disampaikan secara lisan maupun melalui tulisan, perjalanan Feynman menunjukkan peran orangtua dalam mendidik anak. Meski tak gamblang berpesan agar menjadi fisikawan, jelas Melville Arthur Feynman menginginkan anaknya berpengetahuan luas. Tandanya dapat dilihat tidak hanya dari susah-payahnya dia membiayai sekolah anaknya, tapi juga dalam rekaman kebersamaan keduanya.

Rekam jejak tersebut cukup menyadarkan saya bahwa kritisme juga bisa ditata dan diasah sejak balita. Dalam wawancara yang diterbitkan melalui Harian Kompas pada 16 Mei 2004, Yohanes menyebut, “Orangtua Feynman mengarahkannya jadi fisikawan sejak SD.” Jauh berabad sebelumnya, Burhānu al-Dīn al-Zarnūjī dalam Ta'līmu al-Muta'allimi Ṭorīqo at-Ta'-allumi pun menyebut bahwa keberhasilan pelajar ditentukan oleh tiga hal: pelajar, orangtua, dan guru.

Kedua, sumbangan Feynman terhadap perkembangan fisika. Sulit memang untuk menentukan terpenting Feynman bagi perkembangan ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika. Namun, beberapa apresiasi akademik yang diterima oleh Feynman, beberapa kutipan Feynman yang diambil oleh Hawking, maupun penulisan feature yang dibuat oleh Yohanes, rasanya cukup untuk menyebut (secara kasar) bahwa Feynman punya peran penting terhadap perkembangan fisika.

Memang sumbangan Feynman tidak se-wow banget kayak Newton. Newton punya kejelian tersendiri dalam membaca Dialogo Sopra i due Massimi Sistemi del Mondo karya Galileo, Astronomia Nova dari Johannes Kepler, dan Principia Philosophiæ buatan René Descartes guna menjadi bahan penulisan Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Pun tidak seperti James Clerk Maxwell yang berhasil menyatukan fenomena listrik dan magnet dengan cahaya dalam satu rumusan teori radiasi elektromagnetik klasik sebagai sumbangan dalam perkembangan fisika.

Walau begitu, kepedulian Feynman dalam menjelaskan perkembangan fisika melalui jalur pengajaran, tayangan televisi, maupun penulisan karya tulis populer kepada masyarakat patut diberi smoking area.

Pada awal 1960-an, Feynman menyetujui permintaan untuk “merapikan” pengajaran para mahasiswa di California Institute of Technology (Caltech). Persetujuan itu dilakukan selama tiga tahun memberikan serangkain ceramah yang kemudian dibukukuan menjadi The Feynman Lectures on Physics. Dalam proses penulisan hasil ceramah tersebut, Feynman dibantu oleh dua fisikawan, Robert Benjamin Leighton dan Matthew Sands.

Meskipun The Feynman Lectures on Physics tidak diadopsi oleh perguruan tinggi sebagai buku pelajaran, tapi terus terjual dengan baik karena mereka memberikan pemahaman mendalam tentang fisika. Sekarang seluruh bahan yang disajikan dapat diakses secara daring di feynmanlectures.caltech.edu.

Feynman juga sempat mengajar di perguruan tinggi Rio de Janeiro, Brazil. Saat mengajar, Feynman berusaha untuk menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa keseharian masyarakat tempatnya mengajar (tidak ngoyo menggunakan Bahasa Inggris yang notabane bahasa Feynman sendiri).

Pengalaman mengajar di Brazil dituliskan dengan ciamik dalam Surely You're Joking, Mr. Feynman!. Isinya banyak memuat kritik. Kritikan utama diberikan kepada kebiasaan hafalan tanpa pemahaman yang membuat pelajar tidak belajar tentang alam sama sekali. Pengalaman ini lebih dulu disampaikan secara lisan kepada pihak perguruan tinggi, baru kemudian ditranskrip secara tertulis.

Masih banyak peran Feynman dilihat dari sisi pengajaran. Termasuk ketika dirinya membabat habis New Mathematics. Feynman banyak mengeluh bukan karena buku yang dibacanya kelewat banyak dan jelek, tapi perilaku juri yang memberikan ‘nilai ajaib’ terhadap buku yang bahkan tidak dibaca oleh juri tersebut. Dalam pembelajaran matematika, Feynman keberatan dengan pembelajaran yang lebih menekankan ketepatan daripada kejelasan bahasa. Dampaknya kegiatan seperti ini justru memusingkan ketimbang menggembirakan.

Feynman memang terbiasa menggunakan bahasa yang jelas. Misalnya ketika menceritakan perjalanannya terkait ilmu alam dalam ceramah yang ditranskrip menjadiWhat is Science, serta sentilan meneduhkan dalam ceramah yang ditranskrip dengan judul The Relation Science and Religion maupun menyakitkan dalam ceramah yang ditranskrip dengan judul Cargo Cult Science. Kebiasaan yang membuatnya Wolfgang Ernst Pauli dan Hans Albrecht Bethe pernah berkomentar bahwa Feynman bicara seperti gelandangan.

Tak kalah penting ialah fakta bahwa Feynman merupakan lelaki berperasaan kebal cibiran yang lemah ketika kesepian. Feynman sejak masih belajar di Far Rockaway High School sudah kesengsem dengan Arline Greenbaum. Namun, sampai meraih gelar akademik S.B. (Scientiae Baccalaureus, setara Bachelor of Science atau B.Sc.) dari Massachusetts Institute of Technology, keduanya belum juga bisa menikah.

Pernikahan keduanya terhambat karena Feynman langsung melanjutkan belajarnya di Princeton University untuk meraih gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy). Masalahnya ialah salah satu syarat beasiswa Feynman ke Princeton adalah bahwa dia tidak bisa menikah. Walau begitu, Feynman terus merawat kasih sayang kepada Arline hingga bertekad menikahnya begitu lulus Ph.D. Pada saat bersamaan, Arline mengidap tuberkulosis yang diprediksi usianya tak akan lebih dari 2 tahun.

Kisah yang mengharukan ialah Feynman tetap mewujudkan tekad tersebut meskipun tahu bahwa Arline mengidap tuberkulosis. Keduanya menikah pada 29 Juni 1942 di kantor kota Staten Island, New York City. Dengan penuh suka cita, Feynman mencium pipi Arline selepas keduanya sah menjadi pasangan suami-istri. Selepas prosesi pernikahan, Arline segera dirawat di Deborah Hospital, Browns Mills. Di sana Feynman mengunjungi istrinya setiap akhir pekan.

Feynman sangat mencintai Arline. Pertemuan yang hanya terjadi setiap akhir pekan itupun terjadi hanya karena Feynman sibuk dengan pekerjaannya di Manhattan. Ketika pindah tempat bekerja di Los Alamos, dalam perjalanan menggunakan kereta api pada 28 Maret 1943, Feynman bahkan menyewa kamar pribadi khusus untuk Arline.

Sembari bekerja di Los Alamos, Arline dirawat di Albuquerque, New Mexico sesuai saran Julius Robert Oppenheimer. Feynman berharap Arline dapat disembuhkan dari tuberkulosis. Sayang ketika sedang bekerja di ruang komputer, Feynman diberitahu bahwa Arline sedang sekarat. Buru-buru Feynman segera meminjam mobil untuk menemui Arline.

Arline akhirnya meninggal pada 16 Juni 1945, tapi setidaknya Feynman berhasil beberapa jam duduk di samping istrinya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Setidaknya juga Feynman telah berusaha untuk membuat Arline bisa ceria selama sisa-sisa akhir perjalanannya.

Gambaran rasa cinta mendalam Feynman kepada Arline tampak dari dampak yang timbul. Kematian Arline memberikan pukulan telak kepada Feynman sampai membuatnya mengalami depresi. Pekerjaan di Los Alamos pun menjadi berantakan. Pukulan kian telak setelah ayahnya meninggal pada 8 Oktober 1946.

Dalam keadaan seperti itu, pada 17 Oktober 1946, dia menulis surat kepada Arline, mengungkapkan cinta dan patah hati yang mendalam. Surat itu sebenarnya disegel, tapi segera dibuka setelah kematian Feynman pada 15 Februari 1988. “Maaf aku tidak mengirimkan ini,” tulis Feynman, “tapi aku tak tahu alamat barumu.”

Karena terdampar di keruhnya satu sisi dunia, Feynman tak dapat fokus pada dunia akademik. Meski demikian dirinya tak melepaskan dini dari masalah fisika. Masalah yang menarik buat Feynman ialah terkait cakram berputar saat bergerak di udara. Tentu masalah ini tampak tak berguna buat perkembangan fisika. Feynman sendiri pun mengakui bahwa masalah ini memang hanya sebagai sarana lari dari lara. Tidak lebih dari itu. Uniknya, tindakan berkelanjutan yang dilakukan oleh Feynman terhadap masalah cakram tersebut berujung di Swedia, saat dirinya diberi Nobel Prize pada 1965.

Dengan terus tetap memperhatikan kelebihan dan kekurangan Feynman, baik diri maupun karyanya, sikapnya untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai hiburan pantas dilantan sepanjang zaman. Ilmu pengetahuan adalah bahan untuk menambah kegembiraan, bukan untuk mengurangi apalagi menghilangkan.

Ketika menikmati music video Into You dari Kwon Yuri misalnya, kita tak sekadar berdecak kagum seraya berkata dalam sukma, “Mā ajmalahā...” saja. Dengan ilmu pengetahuan, kita bisa menikmati paduan alunan frekuensi gelombang bunyi dan lukisan gelombang cahaya yang mengeksplorasi keindahan Yuri? Apakah kalau kita bisa memahami bunyi, kita juga dapat mengerti cahaya? Kita juga dapat membayangkan sel-sel dalam tubuh Yuri, tindakan-tindakan rumit di dalamnya yang juga memiliki keindahan. Ilmu pengetahuan tak hanya membuat kita menikmati keindahan pada dimensi satu sentimeter, juga dapat larut dalam rhapsody keindahan pada dimensi yang lebih kecil, struktur bagian dalam tubuh Yuri. Bagian yang kalau ditelusuri pun sama-sama tersusun dari karbon, kayak tanah.


وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ



K.Sb.Wg.020340.091118.23:44
K.Sb.Wg.020340.101118.16:25