Eny Rochmawati Octaviani


— memberikan hiburan, menyuntikkan harapan
Eny Rochmawati Octaviani dalam Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 15-8

Intro:
Artikel ini diterbitkan melalui Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 15-8. [lihat: sumber, arsip]

Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat. Ketika ada seseorang yang memiliki satu set badan lengkap tanpa dapat merasakan rasanya sendiri—apalagi rasa manusia lainnya—dia seakan robot (Rusdy, 2013). Walaupun memiliki kepandaian—bukan kecendekiaan—melebihi para perancangnya, belum bisa memiliki rasa.

Segala perkara maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti berguna bagi keberlangsungan ummat manusia. Rasa kasih sayang misalnya, yang sanggup membawa manusia pada rasa sama (Nadjib, 2017).

Rasa sama membuat segala yang dilakukan memberikan kegembiraan. Sama-sama merasakan adanya kesamaan, kesetaraan, maupun keserupaan rasa antara dia sendiri dengan seluruh penghuni alam raya.

Kosok bali dari rasa beda yang merasa berbeda—baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah—dari liyan (orang lain). Rasa beda rentan memantik gairah pertikaian maupun ketidakpedulian yang membuahkan perilaku meresahkan.

Tak jarang dalam beberapa pilihan manusia merasa memiliki satu kesamaan antara dirinya dengan manusia lainnya. Dalam keseharian yang penuh dengan pilihan, satu kesamaan merupakan titik temu jitu untuk menciptakan keharmonisan. Tak dimungkiri, dalam beberapa hal lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?

Sebagai makhluk berperasaan, berunjuk rasa (expression) merupakan perilaku yang wajar dilakukan. Entah unjuk rasa melalui rupa, nada, gerakan, tulisan, dsb. dst. termasuk bergeming. Segala unjuk rasa yang bisa menggembirakan rasa ataupun menjadi sarana melepas rasa lara menimbulkan kekaguman pada pengunjuk rasa. Kekaguman menyebabkan manusia yang dikagumi mewujud sebagai panutan (role model).

Semua orang tentu memiliki panutan. Mulai orangtua, keluarga, tetangga, sahabat, guru, teman, hingga sosok lainnya termasuk sosok yang dikenal sebagai public figure (GS, Prie, 2016, hlm. 143-7). Panutan, baik seorangan atau sekerumunan, memberi semangat terhadap langkah yang dijalani dalam keseharian. Panutan memiliki peran psikis, yang dapat memengaruhi pandangan (cara, sudut, jarak, sisi, dan resolusi) terhadap sesuatu bahkan bisa memengaruhi seseorang sepenuhnya (Nadjib, 2016).

Seorang panutan biasanya menjelma sebagai sosok agung bagi pengagumnya. Sosok yang memiliki daya dorong luar biasa hingga sanggup membawa batin pengagumnya larut terhadap beberapa perkara. Saking hanyut batin itu sampai perilaku tak bisa dirunut dengan nalar biasa.

Setiap manusia layak menjadi panutan, entah manusia tersebut dipandang sebagai sosok besar karena banyak orang juga mengaguminya atau dipandang sebagai sosok kecil karena sedikit orang yang mengenalnya (GS, Prie, 2016, hlm. 143-7). Sepanjang orang menunjukkan kesungguhan, pasti ada orang yang menjadikannya sebagai panutan, meski diam-diam.

“Mustahil dipikirkan? Jika Dia sudah berkata Kun maka terjadilah..
— Eny Rochmawati Octaviani

Role Model ini Bernama Eny Rochmawati Octaviani

Ada banyak sosok yang dapat dijadikan sebagai panutan, salah satunya ialah Eny Rochmawati Octaviani, perempuan yang sempat menekuni dunia modelling (Octaviani, 2017). Awal Tata menjamah dunia modelling bermula sejak lama, saat masa anak-anak masih dijalani olehnya.

Kesenangan terhadap tata rias dan busana adalah pemantik rasa penasaran yang membuatnya ingin mencoba. Rasa penasaran yang menggelayuti hati mendapat jalan menelisiknya ketika Tata mendengar ada sekolah modelling. Di sekolah modelling ini, selain peragawati, juga diajari perihal pemeran (actress) dan pembawa acara (host).

Tata tak melewatkan kesempatan ini. Tanpa lama-lama memikirkan, keikutsertaan bergabung diputuskan. Tanpa lama-lama pula rasa penasaran yang menggelayuti hati mulai terkurangi.

Saat menjadi peserta di sekolah modelling, Tata mendapat perkataan bahwa dirinya terampil dalam berkomunikasi. “Kalau ngomong ringan rasa,” begitu kira-kira perkataan yang masih dikenang olehnya.

Perkataan tersebut seakan menjadi penegas bahwa Tata memang memiliki keterampilan alami dalam komunikasi. Pasalnya oleh beberapa orang yang mengenalnya, Tata dikenal murah bicara.

Mungkin hanya karena sekadar memuaskan rasa penasaran, Tata tak lama-lama menekuni dunia modelling. Walau singkat saja ditekuni, buahnya tak sirna begitu saja sirna dari penyuka jus alpukat ini.

Perkataan, “Kalau ngomong ringan rasa,” membuat Tata yakin diri untuk tampil sebagai master of ceremony (MC). Beberapa kali dirinya diminta untuk membawakan sebuah acara, baik acara formal maupun seremonial, yang semuanya bisa dinikmati.

Dalam perjalanannya, dunia modelling berbanding terbalik dengan dunia tari, yang sama-sama ditekuni sejak masa anak-anak masih dijalani. Dunia tari sendiri mulai ditekuni tatkala Tata duduk di kelas tiga SDN 2 Mlati Lor, Kudus.

Kala itu, Tata dan empat orang rekannya dilatih (trainee) oleh tetangga mereka untuk menjadi pengisi acara 17-an (17 Agustus). Keterampilan menari yang didukung kelihaian dalam berkomunikasi, membuatnya diminta untuk menjadi pelatih (trainer) sejak masih duduk di kelas 6 SD.

Tak seperti modelling yang bisa dilakukan sendiri, dalam dunia tari Tata biasa tampil bersama rekan-rekan. Dari beberapa kesempatan, dirinya berulang kali mendapat kepercayaan sebagai lead dancer.

Menjadi lead dancer merupakan peran yang dinikmati olehnya. Mendapat kesempatan untuk menjadi orang yang paling berperan, tampil sebagai yang terdepan, hingga menjadi pusat perhatian, adalah beberapa hal yang membuat Tata merasa bahagia. Rasa bahagia yang mengingatkan dirinya agar tak kabur dari rasa syukur pada Sang Pencipta.

Tata sendiri tak banyak belajar teknik tari secara rapi dan rinci. Terlebih lulusan SMPN 3 Kudus ini sempat merasa kurang mendapat dukungan, baik dukungan psikis, teknis, juga ekonomis. Namun hal itu tak membuatnya menalak tiga dunia tari. Walau dukungan kadang dirasa kurang, Tata tetap menjalani seni gerak badan ini dengan perasaan riang.

Kekurangan berlatih teknis malah memberi berkah tersendiri buat perempuan Libra kelahiran 04 Oktober 1995. Pasalnya Tata terpaksa mengelaborasi gerakan badan untuk manunggal (larut berpadu) dengan alunan nada yang mengiringinya. Keterpaksaan yang membuat penampilan Tata banyak disuka. Gerakan badan dan suara nada terasa bisa larut bersama untuk memberikan hiburan.

Sesering apapun kita jatuh, bangkit dengan cepat dan tidak mengulang kesalahan sama.
— Eny Rochmawati Octaviani

Hadir Untuk Membesarkan Hati

Memberikan hiburan menjadi semangat yang menggelora dalam sukma Tata (Octaviani, 2017). Di setiap kesibukan menjalani beragam kegiatan, Tata senantiasa berusaha hadir mengibur, untuk membesarkan hati orang lain.

Membesarkan hati sebagai pemacu untuk segera bangkit dari keterpurukan dalam waktu singkat. Membesarkan hati setelah meluangkan waktu untuk menyimak keluh kesah sebagai cara untuk mengenali masalah.

Bagusnya Tata tak selalu memberikan saran. Tata hanya berusaha untuk membantu orang mengenali masalah yang dialami sekaligus memberi kepercayaan sepenuhnya bahwa masalah tersebut bisa diselesaikan menggunakan cara mereka sendiri.

Kebiasaan Tata sebenarnya biasa saja lantaran memang mestinya tak ngoyo memberikan saran, walakin mengenali masalahnya dulu. Hanya saja sebagian manusia merasa sia-sia berkeluh kesah dan merasa kurang hebat kalau tak memberi saran.

Tata hanya meluangkan waktunya untuk berbagi, yang dituturkan oleh Lim Yoon-ah [임윤아] (Yoona), penghibur asal Korea Selatan yang dikaguminya, “Happiness is doubled when you share them together and sadness is halved when you share them together.”

Memberikan hiburan pula yang membuat Tata bersemangat untuk memberikan sentuhan kepada kamu mustadh'afīn (dipinggirkan), seperti anak berkebutuhan khusus (ABK) (Rakhmat, 2014). Sentuhan ini dilakukan oleh Tata bersama Rumah Belajar Anak (RBA), tempat terapi bagi ABK dan juga bimbingan belajar untuk umum (Octaviani, 2017).

Lembaga yang berlokasi di Mlati Lor, RT/RW 002/002 No. 187, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, ini memberi terapi tanpa perlu bolak-balik control teratur ke rumah sakit, rontgen, serta mengonsumsi obat-obatan.

RBA melatih perkembangan motorik kasar dan halus anak, dengan harapan agar mereka tak merasa terpinggirkan dari lingkungan. Seperti ungkapan yang senantiasa digelorakan, Aku Sama Denganmu”, RBA berupaya agar perbedaan takdir tak membuat rasa sama harus langsir.

Program yang diberikan pada siswa RBA antara lain: fine motor skill, gross motor skills, edukasi, senam otak, outdoor learning, religious education, fisioterapi, terapi wicara, ADL (the activity of daily living), hasta karya, home visit, shadow teacher ke sekolah, dan tes psikologi. RBA juga membuka program lain berupa kelas reguler dua jam dan seharian, kelas hobi yang meliputi seni rupa dan seni tari, serta kelas Bahasa Inggris dan Matematika.

Pengalaman bersama RBA membuat Tata mendapat kesempatan untuk menjadi pengajar sekolah luar biasa (SLB). Di SLB Purwosari, Kudus, dirinya mendapat kepercayaan untuk mengajarkan pada siswa tentang kesehatan, seperti mencuci tangan serta mengukur tensi darah dan berat badan (Octaviani, 2017).

Dunia kesehatan sendiri adalah bidang keilmuan yang ditekuni secara formal oleh Tata. Setelah lulus SMA Muhammadiyah Kudus, Tata memilih Ilmu Keperawatan sebagai program studi selanjutnya. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Kudus menjadi perguruan tinggi yang dipilih olehnya.

Tata termasuk sosok yang memiliki semangat kuat dalam menjalani keseharian. Kesibukan melakukan banyak kegiatan tak serta merta membuat pendidikan formal dia tinggalkan. Pada 08 Oktober 2017, belajar formalnya pada program studi Ilmu Keperawatan berhasil diselesaikan.

Tata tak sekadar menyelesaikan kuliah, melainkan mendapat predikat lulus dengan pujian (cumlaude). Walau sempat banyak terkendala dengan support dari orangtua, akhirnya dia mengambil keputusan untuk melanjutkan Program Profesi Keperawatan (Ners) selepas wisuda (Octaviani, 2017).

Hargailah hal sekecil apapun yang kamu miliki, karena mungkin itu merupakan hal yang besar bagi orang lain.
— Eny Rochmawati Octaviani

Memberikan Wawasan Bukan Picisan

Sebagai orang yang kerap ikut serta dalam kegiatan umum, wajar kalau Tata selalu memperhatikan penampilan badan. Perhatian dapat berupa perawatan fisik, pemilihan busana yang dikenakan, hingga perilaku ketika mengenakan busana tertentu. Karena mengalami keadaan seperti ini, Tata biasa tampil dengan busana yang terasa enak dipandang.

Sebagian orang tak terlalu memperhatikan perihal penampilan badan. Nyaris sangat mengabaikan cenderung meremehkan. Dapat dimengerti, pasalnya sebagian orang memang menganggap bahwa perilaku ini hanya menjadi ajang untuk pamer saja.

Hanya saja Tata memiliki pandangan lain terkait hal ini. “Kalau kita tampil rapi, itu berarti kita menghormati orang lain,” tuturnya saat ditemui dalam satu makan siang di salah satu tempat makan Kudus (Octaviani, 2017).

“Menghormati orang lain,” rasanya Tata tepat juga, atau minimal pernyataannya tak bisa disalahkan begitu saja (Shihab, 2012, hlm. 33-40). Coba bayangkan, andaikan ada rekan meminta kita ikut acara futsal, namun busana yang dikenakan ialah kemeja dan sarung, kira-kira apakah orang yang meminta merasa dihormati? Membuat orang lain merasa dihormati bukankah perilaku terpuji?

Untuk urusan  penampilan badan, Tata memilih jilbab sebagai busana keseharian. Sekadar pilihan berbusana tanpa merasa sebagai perempuan paling shalīhah di dunia dan merendahkan perempuan lainnya.

Terkait jilbab, Tata memiliki pandangan dinamis sepanjang mengenakan. Awalnya, dia hanya memahami bahwa berjilbab adalah kewajiban menaati aturan. Ketaatan yang juga menambah kecantikan. Lambat laun, dia mengerti bahwa jilbab bukan sebatas penggugur kewajiban, melainkan sebagai kebutuhan buat perempuan.

Perempuan tercipta sebagai seni hidup yang identik dengan kecantikan (Shihab, 2011, hlm. 61-80; Zein, 2012). Kecantikan yang terpancar dari perempuan kadang menjadi pemicu perselisihan. Karena itu perlu untuk sedikit ditutupi. Bukan semata sebagai wujud perilaku mawas diri, melainkan untuk mencegah gairah tak biasa dari lelaki.

Tak heran kalau Tata merasa tak berkenan dengan ungkapan, “Berjilbab agar lebih cantik. (Sodiq, 2014, hlm. 122-34 & 172-6). Menurutnya, Dengan berjilbab, perempuan berupaya untuk menutupi kecantikan.” (Octaviani, 2017).

Tata tak salah berungkap demikian. Dalam lintasan sejarah, jilbab memang berfungsi sebagai penutup kecantikan (Mahmada, 2016; 2003 Shihab, 2012, hlm. 247-63). Agar kecantikan tak begitu saja diumbar, supaya tak memicu timbulnya perselisihan.

“Dengan berjilbab, perempuan berupaya untuk menutupi kecantikan.”
— Eny Rochmawati Octaviani

Tata Hanya Manusia Biasa

Walau unjuk rasanya bisa menggembirakan rasa manusia lainnya, Tata tetaplah manusia biasa. Tata butuh makan, minum, maupun tidur, juga bisa berpeluh lelah, berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad mood, minder, dsb. dst. laiknya manusia pada umumnya. Dengan ungkapan lain, kepiawaian Tata dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam menjalani keseharian laiknya manusia biasa.

Perempuan penyuka K-Pop dan Drama Korea ini memang manusia biasa. Tata merupakan makhluk berperasaan «الإنسان» (al-insān) yang peduli pada penampilan badan «البشر» (al-basyar) dengan kemauan membaur dalam lingkungan «الناس» (an-nās) (Siroj, 2006, hlm. 34-6). Sepanjang menjalani keseharian, dia hanya berusaha untuk menghibur ketika lara dan mengingatkan saat mapan (Sularto, 2011, hlm. 149-174).

Tak ada yang istimewa dari Tata karena semua manusia bisa meniru untuk melakukannya. Malahan Tata sendiri mengagumi manusia lainnya seperti Yoona. Walau tak istimewa, perempuan penyuka suara Jihan Audy ini tetap pantas dijadikan sebagai panutan. Semangat perjuangannya layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan satu sisi megah tersendiri yang layak dikagumi.

Tata mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah mengayuh perjalanan. Di-reken (anggap) sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksesannya adalah tak lelah mengayuh secara terus-menerus (Tejo, 2013). Mengayuh… mengayuh… mengayuh perjalanan… saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You say God give me a choice…” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race (Queen, 1978).

Tata tak lelah mengayuh perjalanan untuk mewujudkan keseimbangan. Keseimbangan yang membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena memiliki rasa sama. Satu perjalanan yang patut diapresiasi semadyana.

Saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama. Seperti diungkapkan oleh nama besar sebelum Tata, Muhammad shallallāhu’alaihiwasallam. Sang Kirana Azalea bertutur bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman «الدعاء سلاح المؤمن» (Rahmawan, 2017; Prasetyo, 2012). Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna Louise Veronica Ciccone melalui Like a Prayer (Madonna, 1989).

Tata tetaplah Tata, yang terus melangkah tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara sepenuhnya. Karena perempuan memang sulit dimengerti sepenuhnya, walau tetap bisa dinikmati seutuhnya. Tata ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu hati.

“Allah punya berbagai cara untuk membuat kita bersyukur.
— Eny Rochmawati Octaviani
Eny Rochmawati Octaviani dalam Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 15-8
Cuplikan Majalah SANTRI edisi April 2018 halaman 16-7


References

— Interview

Octaviani, Eny Rochmawati. (2017). Wawancara informal pada pada 11 Juli 2017 pukul 11.18-12.22 GMT+7 di Kabupaten Kudus.

— Bibliography

GS, Prie. (2016). Waras di zaman edan, hlm. 143-7. Sleman: Bentang Pustaka. [lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2003). Kritik atas jilbab. IslamLib.com, 17 April. [daring: lihat]

Mahmada, Nong Darol. (2016). Jilbab, kewajiban atau bukan?. Deutsche Welle, 11 Juli. [daring: lihat]

Nadjib, Emha Ainun. (2016). Pusat pandang allah. Daur CakNun.com, 3 Agustus. [daring: lihat]

Nadjib, Emha Ainun. (2017). Latihan lemah lembut. Daur-II CakNun.com, 20 Februari. [daring: lihat]

Prasetyo, Dhani Ahmad. (2012). Nama adalah do'a. AhmadDhani.com, 16 Maret. [daring: lihat]

Rahmawan, Rizky Dwi. (2017). Maiyah dan manajemen dakwah. CakNun.com, 11 November. [daring: lihat]

Rakhmat, Jalaluddin. (2014). Perjuangan mustadh'afin. Majulah IJABI, 4 April. [daring: lihat]

Rusdy, Sri Teddy. (2013). Rahwana putih: sang kegelapan pemeram keagungan cinta. Yayasan Kertagama. [luring]

Shihab, M. Quraish. (2011). Perempuan – cetakan vii, hlm. 61-80. Lentera Hati. [luring]

Shihab, M. Quraish. (2012). Jilbab, pakaian wanita muslimah: pandangan ulama masa lalu dan cendikiawan kontemporer -- cetakan vi, hlm. 33-40 & 247-63. Lentera Hati. [daring: lihat]

Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai kritik sosial: mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi, hlm. 34-6. Mizan Pustaka. [daring: lihat]

Sodiq, Burhan. (2014). Engkau lebih cantik dengan jilbab: untaian motivasi bagi wanita yang ingin menutup auratnya : dilengkapi kesaksian para jilbaber, hlm. 122-34 & 172-6. Niaga Swadaya. [daring: lihat]

Sularto, St. (2011). Syukur tiada akhir: jejak langkah jakob oetama. Kompas Media Nusantara. [luring]

Tejo, Sujiwo. (2013). Kang mbok: sketsa kehidupan sri teddy rusdy. Yayasan Kertagama. [luring]

Zein, Laila Fariha. (2012). Menjadi muslimah idaman sepanjang zaman. Festival Muslimah Indonesia, 5 November. [luring: arsip]

— Discography

Madonna. (1989). Like a prayer. Dalam Like a Prayer. Warner Bros, 3 Maret. [daring: lihat]

Queen. (1978). Bicycle race. Dalam Jazz. London: Electric and Musical Industries, 13 Oktober. [daring: lihat]