— konsisten
dengan seribu kemuliaan
وَالشُّعَرَاءُ
يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ ۞ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ ۞
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ ۞ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ
مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ
يَنْقَلِبُونَ ۞
يَنْقَلِبُونَ ۞
«القرآن الكريم سورة الشعراء :٢٢٧-٢٢٤»
Citra: Lukisan “Topi dan Selimut” karya Remy Sylado menggunakan
cat minyak di atas kanvas 95 x 120 cm
|
“Konsisten
lebih baik ketimbang seribu kemuliaan,” tutur perkataan yang disadur dari bahasa Arab, «الاستقامة خير من ألف كرامة». Lalu kalau terdapat sosok yang
memiliki seribu kemuliaan dan konsisten, apa kita harus nggadho kecubung
sekarung?
Tentu sosok
tersebut pantas diberi semat sebagai panutan yang keren, atau dalam bahasa Arab
«أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ». Terlebih kemulian itu didapatkan olehnya melalui keahlian
yang purna disertai laku madya, bukan sekadar beruntung dengan
usaha menggantung.
Nama karibnya Remy Sylado. Nama lainnya banyak, antara lain Jubal Anak Perang Imanuel, Dova Zila, dan Alif Danya Munsyi. Walakin, nama Remy Sylado
lah yang banyak dikenal oleh masyarakat, barangkali Allāh «الله», Iblīs «إِبْلِيس», dan Jibrīl «جبريل» juga. Setiap nama memiliki makna dan guna tersendiri dari
lelaki yang bernama asli Yapi Panda
Abdiel Tambayong. Yapi Tambayong untuk buku teks dan resmi, Remy Sylado untuk musik,
teater, dan sastra, Alif Danya Munsyi untuk urusan kebahasaanm , Juliana C.
Panda untuk artikel di majalah perempuan, dan Dova Zila untuk lagu.
Selain banyak nama, Remy memang memiliki banyak pekerjaan. Mulai dari pencerita,
pewarta, pesastra, penulis, pelukis, pemusik, penyanyi, pemeran, hingga
pelantan istri. Sebagai
penulis yang pernah bekerja di media, Remy terang-terangan
mengatakan berseberangan dengan Pusat Bahasa (sekarang Badan Pembinaan dan
Pembinaan Bahasa). “Mereka mengalirkan frustrasi bahasa
Indonesia kepada pers,” katanya, “Sejarah bahasa Indonesia itu dipelopori oleh pers,
bukan ahli bahasa.”
Remy merasa terganggu
ketika ada kata yang mematikan huruf konsonan, seperti memperkosa menjadi
memerkosa. “Lalu, ada juga aturan dari ahli
bahasa Indonesia, Anton M. Moeliono, yang menurut dia lucu,
yaitu tak memperbolehkan huruf ‘e' di akhir sebuah kata. Pete jadi petai, lalu cabe jadi
cabai. Tapi dia lupa sore tidak kita tulis sorai. Tempe bukan tempai,” ujar Remy. Horai…
Pers,
menurut Remy, menjadi menarik dan berwibawa justru kalau berani membuat
perubahan terhadap bahasa baku. “Untuk sebuah
karya kesenian, bahasa baku itu bahasa tak laku,” katanya. Remy juga merasa prihatin melihat media yang manut dengan
aturan mengganti kata Cina dengan Tionghoa selepas diterbitkannya Keputusan
Presiden nomor 12 Tahun 2014. Padahal,
masyarakat Indonesia sejak dulu sudah mengenal kata itu. Beberapa benda bahkan
memakainya, misalnya petai cina, tinta cina, dan pacar cina.
Kata Remy, golongan
Cina komunis yang memaksakan perubahan tersebut di negara ini. Mereka
menganggap kata Cina terlalu rasis. “Sebenarnya tidak,” ujarnya. Nah,
yang mengenalkan kata Tionghoa pertama kali ke Indonesia adalah orang Kristen
Cina yang pertama datang ke negeri ini. Mereka mendirikan Gereja Tiong Hwa Kie
Tok Kauw Hwee pada 1856 yang sekarang menjadi Gereja Kristen Indonesia.
Dari situ
sebenarnya kelihatan kalau kata Tionghoa mengandung makna yang lebih eksklusif.
Remy menjelaskan hal ini sambil menulis aksaranya. Pada bagian hoa, terlihat ia
menggambar empat salib kecil dan satu salib besar. “Empat salib di penjuru angin ditunjang salib besar di
bawahnya,” katanya. Seperti itulah Remy. Ia bisa mengkritik dengan cerdas, tajam, luas, dan dalam. Apalagi kalau
itu dalam bentuk tulisan.
Kala masih
menjadi redaktur di majalah, ia biasa memberikan kritik tak hanya soal bahasa
saja, tapi juga musik dan seni budaya lainnya. Kalau tak biasa bersikap
semadyana, orang yang terkena kritik bisa jadi sakit hati. Remy pernah berkomentar pedas soal lirik musik pop tanah air yang terlalu cengeng dan meratap-ratap.
Lagu-lagu karya Bimbo, Koes Plus, dan Rollies kena
komentar pedasnya. Musik dangdut juga tak luput dari celaannya. Sampai sekarang
Remy mengaku tak suka mendengar jenis musik itu. “Kadar intelektual saya jadi
berkurang,” kata Remy.
Remy bisa juga memuji orang setinggi
angkasa. Misalnya memuji Seno Gumira Ajidarma dalam Orasi Sastra di Dewan
Kesenian Jakarta dengan makalah berjudul Kawindra Wafat, Hidup Kawindra.
Menulis kesan terhadap Bing Slamet dalam artikel berjudul The Immortals : 25
Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa
yang diterbitkan oleh majalah Rolling Stone Indonesia. Pula
komentar singkat di buku Imaji Cinta Halima, kumpulan puisi-esai karya
Novriantoni Kahar. Seperti saat terkena kritik darinya, kalau tak biasa
bersikap semadyana, orang yang dipuji bisa jadi melesat ke luar bumi.
Remy sangat hebat dalam bercerita. Ia hafal nama-nama tokoh dan tahun
kisah tersebut terjadi meskipun sudah seabad lewat. Rasa-rasanya tak perlu lagi
banyak
bertanya kalau berada di dekatnya. Satu lagi kehebatannya, yaitu kemampuan berbahasa. Soal bahasa Indonesia tak
diragukan lagi kemampuannya.
Remy adalah
munsyi. Sudah setingkat dewa (tanpa angka 19) istilahnya. Remy juga fasih menulis, membaca, dan berbicara dalam
bahasa Arab, Yunani, Latin, Cina, Inggris, Belanda, dan Perancis. “Sedikit bisa
bahasa Jepang,” ujarnya. Itu belum termasuk bahasa daerah di Indonesia. “Saya
belajar bahasa Cina setahun,” katanya. Saat itu ia telah berusia 56 tahun, usai
menulis buku Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa. Aksara Cina, Yunani, Ibrani,
dan Arab pun turut dilahap.
Citra: Lukisan “Ibu dan Putera” karya Remy Sylado menggunakan cat
minyak di atas kanvas 80 x 145 cm
|
Remy adalah petualang, yang merentang langkah dari Sulawesi hingga Jawa. Orang tuanya berasal dari Minahasa. Remy lahir di Makassar, Kamis Kliwon, 12 Juli 1945. Petualangannya berlanjut di Semarang, Solo, Bandung, kemudian Jakarta.
Sebagai
seorang penulis, Remy termasuk produktif. Puluhan novel
telah ia hasilkan. Ia memulai semua itu sejak umur 16 tahun dan menghasilkan
buku Inani Keke. Saat ini ia terkenal sebagai penulis dengan novel tebal yang cukup memberi dampak
berarti kalau dipakai untuk ngepruki, seperti Hotel Prodeo.
Remy mengaku menulis novel-novelnya hanya
butuh waktu sebulan. Sampai sekarang ia masih setia memakai mesin tik untuk
bekerja. “Saya punya 100 mesin tik,” katanya. Kadang ia bahkan menuliskannya di
atas kertas dulu, baru pindah ke mesin tik, lalu komputer. “Saya ini penulis, bukan pengetik,” ujar Remy sambil tersenyum.
Hanya saja, sebelum bisa
menulis secepat itu, Remy membutuhkan riset. Proses ini yang memakan
waktu lama. Bacaan bukunya bisa menggunung dalam berbagai macam bahasa. Kalau
ia menulis tokohnya ke Filipina naik kapal dari Indonesia, maka Remy pun
melakukan hal yang sama. Begitu pula kalau tokohnya ke Belanda, Perancis,
Magelang, Semarang, atau Tarutung, ia pasti akan mendatangi tempat-tempat
tersebut.
Riset Remy
selalu rapi dan rinci, terutama
dari segi arsitektur dan sejarah. Buku-bukunya pun jadi kaya dengan kata,
muatan sejarah, dan deskripsi. Ajaibnya, meskipun tebal dan isinya padat, karya
tulis Remy tak menjadi bacaan yang berat dan membosankan. Terkadang ada humor
dan kisah cinta yang romantis di dalamnya.
Remy
menyusun setiap penuturan secara mengesankan, sehingga karyanya menjadi apik, terasa epik, dan menjelma ikonik. Kalimat-kalimatnya berisi, memakai bahasa yang lugas, dan banyak
mengungkapkan kosa kata yang tidak sedang popular. Tentu saja dengan susunan kata yang tepat.
Salah satu kecenderungan menarik dari karya Remy ialah ketika bertutur
sosok perempuan. Sosok
perempuan dalam novelnya selalu diturukan dengan gambaran sebagai pribadi kuat, jujur, dan berpendirian. Hal ini
mungkin tak lepas dari masa kecil Remy yang dibesarkan oleh figur ibu yang kuat
pula, bernama Juliana Caterina Panda. “Ibu saya
membesarkan saya dan dua saudara saya seorang diri," katanya.
Remy adalah
anak bungsu yang tak terlalu ingat sosok ayahnya. “Ayah meninggal saat saya masih kecil sekali, mungkin
dua bulan,” ujarnya. Johannes Hendrik Tambajong
wafat setelah ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang.
Remy
bercerita, ayahnya merupakan pendeta evangelist
kelahiran Magelang, Jawa Tengah. Ia ditangkap karena dituduh memberikan lampu
kepada pesawat yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan. “Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia
bekerja untuk misi zending dari negara itu. Kakek saya tentara Belanda,” kata Remy.
Jepang tak
suka dengan aksi Johannes Tambayong. Ia ditangkap dan disiksa. Tak hanya
menerima pukulan, ia juga harus tidur dalam papan sepanjang 30 sentimeter yang
berada di atas got depan kantor Kempeitai (polisi militer Jepang) di Makassar
selama berhari-hari. Sam Ratulangi, politikus asal Minahasa yang berwibawa dan berpengaruh saat
itu, berunding dengan Jepang untuk membebaskan Johannes Tambayong. “Ya bebas, tapi keluar dari situ dia (jalannya) sudah
bongkok. Tidak lama dia meninggal,” ujar Remmy
mengingat cerita ibunya.
Tentara
Jepang yang menyiksa ayahnya memberikan buku sebagai permintaan maaf. Buku itu
masih tersimpan rapi di rumah Remy. Isinya kumpulan puisi Jepang sebelum abad
masehi hingga 1939.
“Bayangkan di buku itu disertai
lukisan-lukisan pendeta Shinto yang menulis sastra,” katanya, “Teksnya pun
tak hanya dalam bahasa Jepang tapi juga diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis,
Jerman, dan Inggris.” Remy masih ingat nama orang yang
menyiksa ayahnya, Miyahira. “Dia ternyata pembaca sastra tapi
kejamnya luar biasa,” ujar Remy sambil tertawa. “Tapi setelah itu dia minta-minta ampun dan menjadi
baik.”
Setelah
ayahnya wafat, Remy pindah ke Tanah Jawa. Sang ibu, petani yang sempat sekolah
selama tiga tahun, membawa tiga anaknya ke Semarang untuk bekerja di Seminari
Teologia Baptis. Dari situlah perjalanan seninya dimulai. Duduk di bangku
Sekolah Dasar, Remy sudah bisa bernyanyi dengan teknik yodel dan menulis
kaligrafi Arab dan ayat-ayat suci Alquran.
Menginjak
remaja ia membuat grup musik Remy Sylado and The Company sambil membawakan
lagu-lagu Elvis. Remy juga mulai gandrung pada grup musik asal Liverpool, Inggris, The Beatles. Saking gandrungnya pada The Beatles, ia
mengabadikan secarik notasi nada menjadi namanya.
Dari larik lagu And I Love Her, yang notasi numeriknya ialah 2-3-4-7-6-1 atau dalam solfège re-mi-fa-si-la-do inilah
nama Remy Sylado digubah. Angka 4, yang notasinya ‘fa’ sengaja dibuang,
lantaran Remy mengamini pandangan bangsa Cina bahwa ‘fa’ mengandung kesialan. Notasi
tersebut berkurang, menjadi 2-3---6-1 atau ditulis Remy Sylado. Walakin untuk
angkanya, tetap ditulis 23761. Kebetulan angka 23761 merupakan tanggal
bersejarah buaty Remy, peringatan ciuman pertama yang dilakukan pada 23 Juli
1961. Eheee…
Remy lalu
menjadi pewarta, penulis dan kritikus seni, membuat
gerakan mbeling (nakal dengan tetap memiliki muruah), bukan
urakan. Hal ini sebagai
bentuk perlawanan terhadap gerakan WS Rendra yang mengatakan melawan kebudayaan
yang mapan harus urakan. Ia juga mendirikan grup drama, menulis
lagu, membuat belasan album rekaman, berakting di dunia seni peran, ilustrator,
dan pelukis.
Remy memang…
entahlah. Ia manusia biasa, walakin tak seperti manusia pada umumnya «البشر لا كالبشر». Remy punya banyak talenta dan
semua dipergunakan dengan paripurna. “Semua bakat
itu anugerah Ilahi, bukan keputusan dewata,” kata Remy. Saat ini fisiknya memang sudah tak muda
lagi. Rambut di kepala sudah memutih semua. Keriput memenuhi tubuhnya. Tapi
pikirannya masih kritis dan tajam. Ia pun tak berhenti berkarya.
Sehari-hari
ia mengisi hari dengan melukis, menulis, dan membaca buku. “Ilham «الهام» itu harus dipanggil. Kalau ditunggu keburu jatuh miskin,”
katanya menasihati kami. “Kerja ini harus dianggap sebagai mata pencaharian dan
karunia Ilāhi «اله», enggak
ada hubungannya sama hobi.” Wajar kalau Remy memandang honorarium itu perlu diberikan secara
layak, bukan ala kadarnya sebagai balas jasa.
Saat itu Remy tinggal di belakang
Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Untuk mencapai rumahnya, harus masuk dulu melalui gerbang utama kampus
tersebut, lalu keluar dari pintu belakang, melewati jembatan, dan menyusuri
jalan yang cukup dua mobil. Tak jauh dari situ ada rumah di sebelah masjid dan
samping jurang. Di situlah sosok dengan rambut,
kumis, dan berewok yang berwarna putih itu menyapa Ilāhi-Rabbi «اله-رب».
Citra: Lukisan “Pulang” karya Remy Sylado menggunakan cat
minyak di atas kanvas 95 x 120 cm
|