“Dib”,
ungkap Maryam Musfiroh membuka percakapan, “Punya makalah tentang hakikat
pendidikan gak?” tanyanya. “Aku belum pernah buat sendiri,” tanggap saya 10
menit kemudian. Maryam bilang saat itu ingin membuat makalah tentang hakikat
pendidikan untuk disampaikan dalam satu organisasi. Kebetulan saya tak pernah
menulis topik tersebut, jadilah Maryam agak di-push... puusss meong.
Syukur kalau buatannya dapat memuaskan. Sudah banyak makalah sejenis tersedia,
tetapi setiap karya tentu memiliki nuansa rasa berbeda.
“Oh
iya... kamu udah pernah baca tentang Persis (Persatuan Islam)? Pendidikan Persis
kaya gimana?” lanjut Maryam, tepat semenit usai saya tanggapi. Pertanyaan
tersebut kemudian saya tanggapi seperlunya, dengan dasar pengetahuan seadanya
yang didapat dari membaca. Beruntung jawaban saya, “Yak.... bener banget
tuh...”, kata Maryam, 20 menit setelah percakapan dibuka olehnya.
Percakapan
spontan tersebut kemudian memaksa saya untuk menunjukkan beberapa pandangan
yang saya pilih mengenai pendidikan. Mengapa saya pilih? Karena pada dasarnya
saya tak punya pemikiran terhadap pendidikan. Paling jauh itu hanyalah
memadukan beberapa pemikiran saja atau menerapkan pemikiran dalam kegiatan pembelajaran.
Itz now humble statement, kosok balinya justru menunjukkan sikap
arogan saya. Soalnya saya pamer kalau memiliki landasan teoretis serta rekaman
praktis, arogan ‘kan? Lagipula humble hanya dapat dilihat melalui cairan
yang lama turunnya dan cepet naiknya, biasanya ketika pilek. HalahMbel...
niru gaya bicara Dewi Indah Dahlia.
Terkait
dengan niat belajar yang disampaikan Maryam, langsung saya tanggapi dengan
rujukan niat belajar dari buku Ta'līmu al-Muta'allimi Ṭorīqo at-Ta'allumi
karya Burhān al-Dīn al- Zarnūjī. Niat yang disebut ialah untuk mengurangi
kebodohan, menghidupkan agama, dan melestarikan Islām (Arab: الإسلام).
Buku
yang biasa disebut Ta’līm itu memang kesayangan saya sebagai panduan
belajar khususnya, dan cara bersikap umumnya. Pemilihan Setiya Utari sebagai
pembimbing skripsi, yang kebetulan sudah menangani saya sebagai pembimbing
akademik, pun merupakan penerapan saran memilih guru dari buku itu. Belakangan
saya melakukannya lagi ketika meminta Kusnadi menjadi freelance research
advisor saya terkait Biologi.
Dalam
hal itu, saya sama dengan Nong Darol Mahmada. Nong bercerita dulu mengaji Ta’līm
kepada Dedeh Fuadah, istri Ilyas Ruhiyat, ketika nyantri di Pondok
Pesantren Cipasung. Ketika kuliah di kampus Syarif Hidayatullah, Ciputat,
Nasaruddin Umar menjadi pembimbing akademik sekaligus skripsi Nong. Wajar kalau
pengaruh Nasaruddin Umar tampak kentara dalam karya mbak Nong kamā
Setiya Utari pada saya.
Memang
beberapa bagian dalam Ta’līm sulit ditangkap dengan penalaran. Bagian
tersebut misalnya pembiasaan menghadap kiblat saat sedang belajar. Bagian yang
tampak kentara dari kebiasaan saya ketika mengontrak rumah di Jl. Geger Arum
no. 24, Bandung, baik di dalam kamar maupun di depan kamarnya Uwais Al Qorni
Akbar, tata letak tempat duduknya Setiya Utari setelah pindah ruangan ke lantai
satu gedung A FPMIPA UPI, pun dengan smoking area tempat saya nongkrong
gemesz di Pondok Pesantren Ath-Thullab Kudus.
Namun,
apakah penalaran selalu kudu menjadi pijakan? Bukankah al-Qur’ān terkesan
berantakan kalau hanya ditangkap dengan penalaran? Apakah cerita terkait Maryam
dapat ditangkap dengan penalaran? Apalagi cerita tersebut disampaikan
berantakan, tak runtut dalam satu tuturan sepertihalnya kisah Yūsūf. Maryam dan
Yūsūf itu manusia yang erotic capital-nya paling kuat, ceunah. Apakah
keputusan Paris Whitney Hilton untuk tidak menikah pada umur 30 tahun dapat
ditangkap dengan penalaran? Apakah perubahan tajam karier Daniela Hantuchová
bisa ditangkap dengan penalaran? Apakah juara UEFA Champions League yang diraih
oleh Chelsea Football Club pada tahun 2012 dapat ditangkap dengan penalaran?
Salah
satu sisi yang saya sukai dari buku Ta’lîm ialah teknik penulisan. Buku
yang terdiri dari bagian intro dan duabelas chapter tersebut
ditulis laiknya cerita. A.S. Laksana menyebut bahwa pada dasarnya setiap orang
suka cerita karena cerita tidak mengancam pikiran, sehingga bisa disampaikan
secara akrab. Lebih lanjut, penulis asal Indonesia tersebut mengatakan bahwa
kekuatan cerita bukan terletak pada efek tertentu yang diinginkan penulisnya,
tetapi pada caranya merasuk benak orang untuk dimaknai terus-menerus melewati
ruang dan waktu penciptaan. Wajar kalau cerita menjadi cara berkomunikasi yang
digunakan oleh para penggerak global untuk memulai sebuah perubahan besar. Make
sense juga kalau Richard Phillips Feynman lebih senang bercerita ketimbang
menyampaikan orasi ilmiah.
Walau
demikian, saya menyadari dengan hanya mengambil rujukan niat belajar dari buku Ta’lîm
sulit untuk diterapkan pada jaman now. Pada masa kekinian,
terdapat kecenderungan bahwa tujuan pelajar masuk sekolah ialah untuk meraih
ijazah setinggi-tingginya. Nyaris kosok bali dengan tujuan belajar yang
dituturkan dalam buku Ta’lîm, kecuali pada bagian akhir kalau memang
memaksa diseleraskan.
Tujuan
tersebut seperti diceritakan oleh Maryam, “Jadi gini dib... pendidikan di kita
teh sekarang kaya yang hanya berorientasi pada pendidikan jenjang
selanjutnya... anak-anak SMP belajar demi masuk SMA favorit... anak-anak SMA belajar
demi masuk PTN favorit... padahal bukan itu ‘kan ya tujuan kita belajar teh?”
ungkap Maryam, “nah ..... ada gak ya artikel atau makalah yang ngebahas tentang
kaya gitu?” tanyanya semenit kemudian, “barangkali Adib punya... hehe” pungkas
Maryam.
Kebetulan
dalam artikel Sekilas Mengelilingi Luas Geometri, tujuan belajar yang
kosok bali dengan Ta’līm termasuk pada bagian akhir sempat saya singgung.
Tujuan belajar yang dimaksud ialah pilihan untuk legowo kuliah di UPI
sekaligus mengubur keinginan nyantri di Lirboyo. Pilihan saat itu banyak
dipengaruhi oleh cerita Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī terkait belajar untuk
mendapatkan uang. Kepada Maryam, saya sampaikan bagian tersebut sekaligus
menunjukkan rujukannya. Rujukan cerita tersebut saya ambil dari bukunya Abū
Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī yang berjudul Ihyā’ ‘Ulūmu ad-Dīni.
Maryam
malah kemudian tertarik untuk membaca Ta’lîm. Tanpa berlama-lama dirinya
segera meminta versi terjemahan buku itu dalam Bahasa Indonesia. Dengan
dukungan sinyal kuat Indosat seperti saat perkenalan kami pada 11 Juni 2012
silam, tanpa berlama-lama pula saya segera mencarikan terjemahan melalui
pencarian daring di Google. Wajar, Maryam meminta versi terjemahan.
Kemampuan Maryam kurang bagus untuk dipakai membaca cepat naskah berbahasa
Arab. Wajar pula saya segera mencarikannya, sebelum pundung lalu berubah
mood... digliani Azra.
Setelah
menemukan beberapa versi yang diperiksa acak, terjemahan dengan judul Pelita
Penuntut Ilmu karya Qotrun Nada saya pilih untuk diberikan pada Maryam.
Penuturannya bagus, ialah teks Arab bersyakal disertakan untuk dialihbahasakan
setiap bagian ke dalam Bahasa Indonesia yang laras. Untuk memperkaya koleksi
Maryam, terjemahan Ta’līm dalam Bahasa Inggris juga saya sertakan. Bukan
ditujukan sebagai bacaan, cuma untuk pamer saja kalau Ta’līm itu
buku keren, di bujur timur dan barat planet Bumi, lintang selatan dan utara.
Tak apa-apa ‘kan pamer kesukaan sendiri, selama tidak menjelekkan kesukaan
orang?
Terjemahan
itu berjudul Instruction of the Student: the Method of Learning karya
Gustave E. von Grunebaum dan Theodora Mead Abel yang diterbitkan oleh Starlatch
Press, USA, dari tahun 1947 sampai 2003. By the way, buku memang karya
terjemahan, tetapi buat saya kedua penulis pantas mendapat kredit atas karya
tersebut. Dalam menerjemahkan karya tulis, dibutuhkan keterampilan khusus
berupa penguasaan bahasa sumber dan sasaran serta bahan kajian. Kedua penulis Instruction
of the Student: the Method of Learning masing-masing memiliki latar
keturunan dan kelimuan berbeda. Gustave adalah ahli sejarah keturunan Vienna,
Austria, sementara Theodora adalah ahli psikologi kelahiran Newport, Amerika
Serikat.
“Eh
tau gak aku lagi baca terjemahan kitan Ta’lim Muta’allim yang dari
kamu... seruuu” ungkap Maryam beberapa jam kemudian. “Asiiikkkk” tanggap saya
seketika pada menit yang sama. Tentu saya bahagia Maryam berkenan meluangkan
waktunya yang padat untuk membaca Ta’lîm. Entah Maryam menjadi orang
keberapa yang membaca buku itu.
Buku
Ta’lîm al-Muta’allim ditulis atas dasar inisiatif Burhān ad-Dīn
az-Zarnūjī sendiri ketika mengamati fenomena mencemaskan pada masanya. Pada
masa itu sebenarnya pelajar telah menunjukkan kesungguhan dalam belajar ilmu.
Namun, kesungguhan belajar tidak membuahkan pengamalan dan penyebaran dari ilmu
yang dipelajari. Andreas Schleicher dari PISA (Programme for International
Student Assessment) pasti sedih kalau mengambil sample di situ pada jaman
segitu.
Burhān
ad-Dīn az-Zarnūjī menyimpulkan bahwa permasalahan terletak
pada cara belajar yang tidak tepat dan ditinggalnya beberapa syarat. Kesimpulan
terhadap fenomena itulah yang melatarbelakangi penulisan buku Ta’lîm.
Hebatnya, buku yang ditulis atas dasar inisiatif sendiri itu mendapat tanggapan
bagus dari lingkungan sejak awal diterbitkan. Terlihat dari penggunaan kitab
ini yang semakin meluas secara ruang dan waktu.
Secara
ruang kitab ini tak hanya digunakan di lingkungan penulis, ialah Zarnūj yang
terletak di dekat sungai Amu (Oxus), Kazakhstan. Buktinya, dapat dijumpai karya
terjemahan, antara lain dalam Bahasa Inggris. Secara waktu kitab ini tak hanya
digunakan pada masa diterbitkan, ialah abad ketigabelas masehi harga nego.
Buktinya, buku itu masih dibaca oleh Maryam mulai 25 Maret 2018 sampai lupa
ulang tahun saya, kzl.
Jauh
sebelum Ta’līm dipakai sebagai rujukan untuk menanggapi Maryam,
sebenarnya kesukaan terhadap buku itu sudah saya sampaikan langsung padanya.
Malah terbilang lebih lengkap, lantaran penyampaian pada 20 Juli 2017 pukul
17.47 itu disertai pemetaan kitab kuning berdasarkan cara penyajiannya. Pemetaan
tersebut ialah: matn, syarḥ, dan ḥasyiyah, serta mukhtashor.
Kitab kuning adalah buku-buku klasik berisikan tafsiran dan penjabaran ajaran
Islam yang ditulis oleh para ulama dengan pola pikir dan format pra-renaissance.
Karya tulis ini dipakai sebagai panduan untuk memahami ajaran yang terdapat
dalam al-Qur’ān dan al-Hadist. Ta’līm termasuk ke dalam
pengertian itu yang termasuk ke dalam kategori matn kalau dari pemetaan
tersebut.
Sayang,
saat itu Maryam tak memberi tanggapan berupa menengok sejenak Ta’līm seperti
dilakukannya pada 25 Maret 2018. Wajar saja, pasalnya Maryam memiliki jadwal
padat yang cukup melelahkan, cukup dimengerti. Saat itu sendiri Maryam baru
selesai membaca The Seat of the Soul karya Gary Zukav dan sedang
menggandrungi ilmu Ushūl al-Fiqh. Saya sendiri sedang dalam masa koreksi
Meniti Ilmuwati (Scholaristi), artikel tentang peran perempuan dalam
kajian ilmu alam. Artikel itu saya tulis sebagai ungkapan terima kasih untuk
Maryam atas persahabatan yang terbangun bersama sejak perkenalan kami pada 11
Juni 2012.
Persahabatan
dengan Maryam memberi kesempatan pada saya untuk mencerap informasi, menangkap
kesan, merekam tindakan, dan mengumpulkan pemikiran Maryam. Dalam konteks
itulah Maryam never ending shaping my mindset. “Euleuh, meni niat”
ungkap Maryam menanggapi Meniti Ilmuwati (Scholaristi). Tentu biar
singkat, ungkapan Maryam pada pada 5 Agustus 2017 pukul 21.03 itu memahat kesan
kuat.
Setelah
mendapat beberapa masukan, antara lain kritik bahwa artikel itu hanya sampai
pada masa Marie Curie (Kimia belum nyempal dari Fisika pada masanya) yang
berarti tidak menjamah jaman now, akhirnya saya memberi tambahan melalui
artikel lain. Kebetulan nama-nama dalam Meniti Ilmuwati (Scholaristi)
itu sosok yang popular dan famous, antara lain Marie Curie, Emma
Willard, dan Emilie du Chatelet. Karena itulah saya perlu menyebutkan nama lain
yang tidak terkesan timpang dengan sosok sebelumnya.
Beruntung
saya menemukan sosok Maryam Mirzakhani, perempuan keturunan Iran yang menekuni
kelimuan matematika. Klop. Kebetulan saya sedang mengajar matematika. Kebetulan
Meniti Ilmuwati (Scholaristi) dimulai Theano, istri Phytagoras, pengasuh
komunitas pengkaji matematika selepas suaminya wafat. Kebetulan perempuan
beragama Islam. Kebetulan namanya juga Maryam. Kebetulan ada kebetulan lainnya.
Kenapa
saya menyebut kebetulan melulu? Karena saya adalah orang yang yakin bahwa
semuanya sudah ditatakan oleh Allāh. Dengan keyakinan seperti ini, saya
menganggap bahwa kebetulan adalah perasaan saat mengalami keadaan yang
sebelumnya tidak pernah menyembul dalam angan. Tidak semua perjuangan yang
dilakukan itu pernah muncul dalam angan. Tak semua angan dapat mewujud sebagai
kenangan.
Kenapa
proses penulisan itu tak lepas dari kebetulan? Karena saya adalah orang yang
tidak pernah berusaha untuk membuat karya tulis. Karya tulis itu sendiri adalah
sebagian cara belajar saya, agar hasil belajar dapat dilihat supaya mendapat
koreksi ketika terjadi kesalahan. Iqlima Hikmawati menyebut kecenderungan
seperti itu dikenal dengan writing to learn. Dalam Ta’līm sendiri
juga terdapat uraian terkait writing to learn agar keseharian diiri
dengan kajian keilmuan. Sekarang keikutsertaan saya dalam seminar dan penulisan
jurnal juga sejenis menulis sebagai cara belajar. Karena itulah saya bahagia
ketika mendapat masukan, apalagi kalau sampai bisa memberi koreksi disertai
menunjukkan letak kesalahan secara presisi. Kadang saya tanggapi dalam bentuk
bantahan, guna meraba seberapa kuat niat memberi sekaligus meminta bonus berupa
tambahan masukan.
Satu
hal yang juga saya yakini, apabila kebetulan dianugerahi oleh Allāh
seabreg selera ragam karya yang beraneka macam, tentunya kita akan paham bahwa
setiap karya adalah sebuah evolusi yang memengaruhi karya generasi sesudahnya.
Dengan demikian, bisa menghindarkan diri dari kecenderungan asal mbacot
menyampaikan perkataan—tertulis maupun lisan. Juga menuntun hati agar tak hobi jumping
start menerobos time machine dalam menafsirkan teks berumur
empatbelas abad.
Contoh
evolusi dalam karya tulis, buku al-Munqidh min al-Dholāl wa al-Maushul ilā
dzi al-‘Izzati wa al-Jalāl karya Muḥammad al-Ghazālī mempengaruhi buku Discours
de la Méthode : Pour Bien Conduire sa Raison, et Chercher la Vérité dans les
Sciences karya René Descartes. Atau artikel Fenomenologi Jilbab dan Antropologi
Jilbab buatan Nasaruddin Umar memengaruhi Kritik atas Jilbab dan Jilbab,
Kewajiban atau Bukan? buatan Nong Darol Mahmada. Evolusi dalam arena karya
musik, antara lain terdapat Julia gubahan The Beatles yang memengaruhi Karen
Don’t Be Sad milik Miley Cyrus. Begitu pula dalam arena karya rupa.
Misalnya lukisan Última Cena karya Leonardo da Vinci memengaruhi musik
video Iridescent punya Linkin Park. Atau film science-fiction action
berjudul The Matrix yang memengaruhi keseluruhan gagasan video musik Come
Back Home dari 2NE1.
Dalam
tradisi ilmiah sendiri menelusuri karya terdahulu yang dikenal sebagai kajian
pustaka (literature review) sangat diperlukan. Dari penelusuran karya
terdahulu dapat memunculkan rasa ingin memuji karya yang dinikmati. Pujian ini
bisa muncul dalam bentuk peniruan. Wajar kalau seumpama didapati beberapa
bagian dalam tulisan saya yang meniru Maryam. Peniruan adalah pujian lestari
paling luhur dan dalam. Namun, kalau terdapat peniruan yang sengaja
disembunyikan untuk mendapat keuntungan jabatan dan finansial, hambok
diberi sanksi agar kapok. Saya itu maling, laa ya’rifu maling illa maling,
ceunah.
Versi
lain artikel ini diterbitkan pada 11 April 2018 di sini.