— serial trinfinity (1/3)
Keberadaan guru selalu menjadi fondasi dalam kegiatan belajar saya. Selalu harus
ada guru meski tidak secara formal. Saya perlu ada pembimbing yang menguasai bidangnya
dan cocok dengan diri saya serta bisa menjadi pendidik pribadi saya. Dalam linikala
perjalanan saya, ada Ada tiga guru yang paling berpengaruh, ialah Pak Zaini
Sirojan, Pak Muhammad Arifin Fanani, serta Ibu Setiya Utari.
Pak Zaini adalah guru pertama saya di MI NU Thoriqotus Sa’diyyah, Pak Arifin
adalah pengasuh pesantren MUS-YQ tempat saya nyantri, sementara Bu Utari
adalah pembimbing akademik ketika saya kuliah di Pendidikan Fisika UPI. Ketiganya
memiliki keselarasan meski masing-masing memiliki satu sisi yang lebih tampak di
permukaan.
Pak Zaini, Pak Arifin, dan Bu Utari buat ada adalah guru yang lengkap. Mereka
guru yang lengkap karena dari mereka saya pernah mendapatkan pujian, teguran, sanjungan,
hingga kemarahan. Walakin mereka saya sebut lengkap karena senantiasa bisa menempatkan
sesuatu secara semadyana (objective).
Pak Zaini bisa dibilang menjadi peletak pondasi kegiatan belajar yang saya jalani.
Memang sebelum masuk sekolah formal, saya sudah lebih dulu dipersiapkan oleh orangtua
dengan belajar membaca, menulis, dan berhitung serta sudah belajar di TPQ (Taman
Pendidikan Alquran). Hanya saja, baru ketika berjumpa dengan Pak Zaini kegiatan
belajar mulai tertata rapi dan rinci.
Memiliki catatan sebagai pemula tak akan bisa dipecahkan oleh siapapun selamanya.
Abū ʻAbd Allāh Djamāl Al-Dīn Muhammad [ابو عبدالله جمال
الدين محمد بن عبدالله بن محمد بن عبدالله بن مالك الطائي الجياني النحوي] (1204-1274)
yang lebih dikenal sebaga Ibn Mālik [ابن مالك]
mengungkapkan dengan kentara.
Dalam pengantar karyanya kumpulan 1002 bait mengenai tata bahasa berjudul al-Khulāsa
al-alfiyya Ibn Mālik [الخلاصة ألفية ابن مالك],
Ibn Mālik menyebut bahwa unjuk rasanya lebih bagus ketimbang kumpulan bait dengan
judul serupa gubahan Ibn Mu’thy.
Pernyataan sejenis demikian memang menunjukkan sikap arogan, menyatakan sesuatu
dengan semestinya. Pasalnya secara teknis Ibn Mālik memang tepat. Pola bait [بحر] yang dipakai dalam gubahannya sama semuanya,
tak seperti gubahan Ibn Mu’thy yang menggunakan dua pola secara selang-seling. Oleh
karena itu lebih enak dilantunkan.
Selain dari pola penuturan, pembahasan yang diulas pun lebih luas dan dalam
melalui penyampaian ringkas. Tanpa penguasaan terhadap bidangnya, sulit untuk bisa
menghasilkan karya genius seperti ini. Hanya saja, Ibn Mālik tetap mengapresiasi
gubahan Ibn Mu’thy dengan menyebutnya lebih utama lantaran digubah dan diterbitkan
lebih awal.
Secara tersirat, Ibn Mālik juga memuji Ibn Mu’thy lantaran cara yang digunakan
ditiru dari pendahulu. Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling luhur dan dalam.
Tak perlu ragu maupun malu dalam meniru. Tak selamanya peniruan membuat satu karya
begitu saja tenggelam bahkan bisa menjelma sebagai karya azam.
Mengumpulkan beragam hal terkait bentuk karya yang akan dibuat sebagai langkah
awal ketika hendak berkarya tentu wajar-wajar saja. Misalnya ketika hendak menulis
topik terkait pendidikan. Penulisan bisa dimulai dengan menganalisis analisis orang
lain, melihat hasil ijtihād [اجتهاد]
yang sudah ada.
Walau dimulai dari langkah tersebut, keaslian unjuk rasa (orisinalitas) tetap
bisa dimunculkan dalam bentuk cara (metode) maupun kesimpulan yang dihasilkan. Dengan
melihat ijtihād yang sudah ada, selain bisa memberi inspirasi, juga tak perlu
repot-repot memulai dari nol. Kita bisa menemukan bagian-bagian tertentu yang belum
dibahas oleh pendahulu.
Dalam linikala fisika, nama Hans Christian Ørsted terus dikenang karena dia
menjadi pelopor bertemunya listrik dan magnet dalam satu bagian pembahasan. Sebelum
Ørsted memadukan listrik dan magnet, banyak perajin fisika menyangka listrik dan
magnet adalah dua perkara berbeda yang tidak saling berkaitan—apalagi dikaitkan.
Sangkaan tersebut dimentahkan oleh Ørsted dengan menyatakan bahwa listrik dan
magnet saling berhubungan. Alhasil perkembangan fisika berjalan mengesankan karena
listrik dan magnet tidak lagi berjalan dalam jalur yang terpisah namun beriringan.
Andaikan Ørsted tak menilik linikala perkembangan listrik dan magnet, sulit dipastikan
kalau dia menjadi pelopor dalam perkembangan fisika.
Kajian ilmu alam bagian pembahasan jagad raya juga demikian. Bagian yang turut
dijamah oleh Brian Harold May tersebut terbilang mengalami perkembangan sinting.
Perkembangan sinting bisa disimak enak melalui Space Odyssey, yang dipandu
oleh Neil deGrasse Tyson, walau wajahnya tidak ganteng.
Stephen William Hawking yang berperan penting dalam kajian ini juga mulai menggelorakan
kembali dengan melihat ijtihād yang sudah ada. Hawking menggelorakan kembali
ijtihād Galileo Galilei yang sudah mangkrak terlalu lama. Sekitar
tiga abad ijtihād mengenai jagad raya dalam tinjauan fisika dibiarkan poco-poco
begitu saja.
Tiga abad tampak terlalu lama, namun tak lebih lama dibanding saat Galileo Magnifico
menggelorakan kembali ijtihād ini. Ijtihād yang mulanya dicetuskan
oleh Aristarchus (Ἀρίσταρχος) berdasarkan hasil pengamatan (data) tampak sudah mati.
Baru sekitar dua milenium kemudian ijtihād ini mulai kembali menggelora.
Sayang Galileo harus mendapat perlakuan kejam lantaran dianggap menistakan agama.
Pandangan terhadap agama kadang-kadang menjadi penghambat dalam membangun lingkungan.
Mungkin karena banyak yang menganggap bahwa pengkajian dan pengajian adalah dua
perkara berbeda yang tak bisa dipadukan. Anggapan yang tak jarang menjadi pemantik
untuk saling menista antar sesama manusia. Rasa sama sebagai manusia telah luntur
tergusur oleh lekatnya anggapan yang terlalu diyakini kebenarannya.
Pada titik ekstrim, sebagian orang memang cenderung menggilai pengajian sembari
menganggap pengkajian adalah pekerjaan sia-sia yang bisa mengikis al-īmān
[الإيمان]. Kosok bali dengan sebagian lainnya yang rajin
melakukan pengkajian sembari menyebut pengajian hanyalah pekerjaan sia-sia yang
tak akan memberikan perkembangan lingkungan. Sebagian lainnya lebih memilih menantikan
tanggal penggajian.
Buat saya, pengkajian dan pengajian memang berbeda, hanya saja keduanya bisa
saling berpadu tanpa perlu beradu. Pengkajian yang berasal dari kata dasar ‘kaji’
dilakukan untuk meneliti beragam perkara maupun peristiwa secara ilmiah untuk memperbaiki
keseharian bersama. Sementara pengajian yang berasal dari kata dasar ‘aji’ dilakukan
untuk memperbaiki martabat [مـرتـبـة]
(jika dikaitkan interaksi dengan semesta) atau derajat [درجة] (jika dikaitkan interaksi dengan Sang Pencipta).
Manusia memiliki sisi sosial [الناس],
yang berkewajiban ikut serta dalam segala upaya untuk membangun kebersamaan lingkungan.
Manusia juga memiliki sisi personal [الإنسان dan البشر], yang martabat dan derajatnya
perlu untuk terus ditingkatkan. Martabat dan derajat yang tinggi akan memberi kemudahan
dalam ikut serta membangun lingkungan.
Serial Trinfinity
[2] Pak Muhammad Arifin Fanani
[3] Buk Setiya Utari