— serial trinfinity (3/3)
Sesudah berpisah dalam ruang dengan Pak Arifin saya sangat beruntung dengan
segera berjumpa Buk Setiya Utari. The iron lady ini memiliki instuisi tajam
hadir untuk mewarnai sisi lain yang belum dielaborasi sebelumnya. Itulah yang membikin
Buk Utari masuk linikala yang ada nama Pak Zaini Sirojoan dan Pak Muhammad Arifin
Fanani.
Debut pertemuan saya dengan Buk Utari terjadi pada 10 Agustus 2012 ketika saya
ikut acara buka bersama dosen dan staf Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI (Selanjutnya
Pendidikan Fisika). Saya ikut bersama Maryam Musfiroh, Uwais Al Qorni Akbar, Adi
Lukman Ghofir, Sherly Yulidarti, dan Lailul Munjidah setelah diajak oleh Pak Agus
Jauhari.
Harusnya debut pertemuan kami lebih awal karena beliau memiliki jadwal mengisi
matrikulasi. Sayang saat itu beliau sedang berhalangan. Masa-masa matrikulasi lebih
banyak memberikan peran psikis alih-alih teknis. Secara pribadi, saya menikmati
masa-masa ketika bisa memulai interaksi intim dengan Maryam, Uwais, Adi, dan Sherly
plus Lailul.
Bisa dibilang, pada masa-masa itulah saya berupaya memahami mereka secara pribadi
dan ragam batasan kami dalam berinteraksi. Hingga akhirnya ketika perkuliahan dimulai,
kami jarang bercengkerama lama-lama, walau sejak Maret 2013 cukup rajin berkumpul
di awal dan akhir semester meski saya terpaksa absen dalam perjumpaan resmi terakhir
ketika nenek saya berada pada penghujung umur.
Dalam debut pertemuan tersebut, Buk Utari memberikan pernyataan yang membuat
saya ingin segera membuktikan.
“Tak ada dosen di UPI yang lebih ramah pada mahasiswanya selain di Fisika,”
ungkap beliau ketika saya sedang berfoto bersama Pak Agus Jauhari.
“Iya tah Buk?” tanya saya sembari menunjukkan raut wajah penasaran.
“Coba cari saja,” begitu jawabnya.
Belakangan saya membuktikan bahwa ungkapan Buk Utari memang tepat. Dosen di
Pendidikan Fisika memang ramah dan profesional. Mereka bisa terlibat interaksi intim
dengan tetap semadyana (objective) dalam bekerja.
Dosen di Pendidikan Fisika bisa hebat sebagai individu dan sebagai bagian tim
yang padu. Suasana yang dibangun sejak lama terus bisa dilantan dalam waktu panjang.
Suasana hangat seperti ini bisa memberikan kenyamanan sendiri bagi orang yang baru
bergabung, entah sebagai pengajar, staf, maupun pelajar di sini. Tidak mudah membangun
suasana interaksi intim yang sama-sama memahami batasan dalam kebersamaan.
Buk Utari dan saya bertemu lagi untuk keempat kalinya pada 04 Oktober 2012 dalam
acara kumpul PA (pembimbing akademik), kumpul perdana antara dosen PA dan anak asuhnya.
Pertemuan ini terjadi setelah beberapa hari sebelumnya saya ‘memperkenalkan’ diri
sebagai anak asuh. Oleh Buk Utari, saya diminta untuk mengumpulkan teman-teman satu
PA dan segera mengadakan pertemuan perdana sebagai ajang perkenalan.
Pada masa itu, hanya Buk Utari, dosen PA untuk angkatan saya, yang mengadakan
pertemuan ini. Hal ini berdampak sangat bagus bagi perjalanan kami—anak asuh beliau—selama
perkuliahan. Buk Utari memiliki sederet kesibukan yang memaksa tak selalu bisa bertemu
anak asuhnya setiap saat. Pertemuan perdana PA ini juga menjadi ajang pemberian
sederet pesan dari Buk Utari kepada anak asuh beliau.
Kalau dirunut, pertemuan perdana PA itu sebagai pertemuan keempat. Pasalnya
sebelumnya beliau menjadi pengisi acara ketika masa orientasi kampus (Moka) yang
menjadi pertemuan kedua kami, serta pertemuan ketiga terjadi pada saat saya ‘memperkenalkan’
diri.
“Kita harus bersyukur telah diberi kesempatan menimba ilmu di UPI, terutama
yang mendapatkan beasiswa. Untuk itu, sebagai bukti dari rasa bersyukur itu, kita
harus bekerja keras, memanfaatkan yang ada untuk mengeruk ilmu yang ada di UPI ini.
Tak boleh malas. Dengan begitu, kesempatan yang didapatkan tak terbuang sia-sia.”
Salah satu pesan yang diisampaikan pada 04 Oktober 2012 di Laboaratorium Fisika
Lanjutan I dalam acara kumpul perdana dengan anak asuh akademik tersebut bisa mengakar
meski dirasa sebagai klise. Barangkali karena diberikan dari hati oleh orang yang
sudah membiasakan bersikap seperti itu, jadi bisa sampai ke hati penerimanya dan
mengendap.
Dalam pertemuan perdana PA itu, beliau langsung tampil keras dan agresif. Beliau,
yang juga menjadi ketua program studi Pendidikan Fisika, berkata kepada anak asuhnya
apa yang dituntut departemen dari kami.
Itu awal yang bagus. Salah satu bagian utama dalam hubungan guru dan siswa adalah
bahwa guru harus membuat siswa bertanggung jawab atas tindakannya, kesalahannya,
tingkat penampilan, dan hasilnya. Kita semua ada pada zaman yang mementingkan hasil.
Hasil yang maksimal dan konsisten bisa diperoleh melalui proses yang dibiasakan.
Di luar urusan akademik, Buk Utari adalah sosok yang tenang. Beliau rajin menyapa
dan kami bisa bercakap-cakap mengenai banyak hal. Beliau orang yang ramah. Tetapi,
kalau sudah menyangkut urusan akademik –pada masa-masa perkuliahan– beliau benar-benar
beda.
Saya selalu dapat mengerti posisi Buk Utari. Saya dapat mengerti perubahan drastis
pada diri beliau begitu “kick off” kuliah dimulai. Sebagai pendidik, beliau
ingin anak-anak didiknya tidak menjadi orang biasa. Terlebih bagi saya yang notabene
menjadi anak asuh beliau.
Buk Utari tidak akan membuat anak didiknya bersantai-santai. Beliau akan memarahi
kami kalau prestasi kami turun. Beliau selalu ingin anak-anak didiknya tampil maksimal
dengan terus menjaga semangat kemauan. Ketika kemauan sudah ada, pasti hasilnya
maksimal. Kalau tidak maksimal, kemauan belum ada atau kalau diklaim sudah ada hanya
nonsense.
Ketika berbicara dengan saya yang prestasinya tak sesuai harapan, boleh jadi
beliau berkata: “Itu tadi sampah,” tetapi, beliau melanjutkan dengan, “untuk ukuran
orang seperti kamu.” Lanjutannya ini berfungsi untuk membantu saya bangun sesudah
pukulan awal. Teguran, lalu diimbangi dengan sanjungan. “Kenapa kamu berbuat seperti
itu? Kamu bisa lebih baik.”
Buk Utari rajin mengembangkan penguasaan terhadap bidangnya. Tidak masuk akal
apabila anak asuh diberi kesempatan berkata kepada diri sendiri, “Guru tidak mengerti
apa yang saya katakan.” Jika siswa kehilangan kepercayaan kepada pengetahuan gurunya,
maka mereka pun akan kehilangan kepercayaan kepada guru. Penguasaan terhadap bidang
yang digeluti harus selalu dijaga dan dikembangkan sepanjang waktu.
Dari sudut pandang saya, Buk Utari orang yang konsisten menjaga tujuan awal
kami di Pendidikan Fisika: kuliah. Beliau tidak pernah melarang anak didiknya mencari
minat di luar. Ketika masih kuliah dulu beliau juga aktif di organisasi himpunan.
Tetapi kewajiban kami adalah kuliah, tak ada keraguan soal itu.
Kita boleh saja memiliki minat di luar: saya suka membaca buku selain Fisika
dan menulis serta nonton 2NE1, Josua aktif di organisasi dan ngobrolin
Manchester United, satu dua teman saya suka aktif dalam kegiatan pengembangan bakat.
Tetapi jangan sampai minat di luar itu mengganggu kuliah kita.
Tujuan utama, yang juga menjadi kewajiban saya di Pendidikan Fisika adalah kuliah.
Mau tidak mau harus saya jalani semaksimal mungkin. Untuk minat di luar, sifatnya
hanya ke-sunnah-an saja, boleh ditanggalkan terutama ketika sudah menghambat
kewajiban.
Buk Utari memang seorang dengan energi, keberanian, dan darah yang panas, dengan
naluri tajam pada pendidikan ilmu alam dan strateginya. Beliau menjadi orang yang
banyak berpengaruh pada saya sejak kami memulai kebersamaan kami. Buk Utari mengambil
alih banyak tanggung jawab untuk memastikan bahwa diri saya tetap penuh semangat.
Saya tidak bisa mengesampingkan bantuan semacam itu dari beliau.
Saya butuh kepercayaan diri, sedikit keberanian. Buk Utari tak pernah takut
apapun, beliau orang yang perkasa. Beliau bisa diajak memandang beragam sisi permasalahan.
Beliau tidak hanya mempertimbangkan dirinya, tetapi juga ada yang lain. Dan itu
bagus untuk saya. Contoh bagusnya adalah ketika beliau memberikan buku teks standar
tentang fisika untuk perguruan tinggi.
Ada banyak buku standar yang ditawarkan, tetapi kalau pada saya, Buk Utari lebih
menyarankan buku fisika yang ditulis Douglas Giancoli. Meski saya lebih sering melihat
Buk Utari memakai buku fisika yang ditulis oleh penulis lain.
Menguasai satu buku standar adalah langkah awal dalam belajar. Semua buku fisika
isinya sama saja, yang beda adalah pendekatannya. Buku yang ditulis Giancoli menggunakan
pendekatan konseptual yang cenderung memakai operasi matematika sederhana. Saya
nyaman menggunakan buku ini.
Buku yang ditulis Giancoli juga menggunakan bahasa yang sederhana dan enak dibaca.
Pendekatan dan bahasa yang tak cocok sering berdampak pada rasa bosan yang muncul.
Dan Buk Utari—entah bagaimana caranya—senantiasa menghindari dua perkara ini, yang
membuat pertemuan dengannya tak pernah membosankan.
Serial Trinfinity
[2] Pak Muhammad Arifin Fanani
[3] Buk Setiya Utari