— catatan
pribadi mengenai penerbitan Majalah SANTRI edisi (10) April 2018
Cuplikan
Majalah SANTRI edisi April 2018, halaman 16-7. [Ilustrasi: Obi Robi'a Al
Aslami (@al_obi)]
Sri
Purwanti tiba-tiba mengubungi saya melalui WhatsApp pada 19 Oktober
2017, sekitar pukul 10.40 GMT+7. Tanpa banyak berungkap kata setelah menyapa,
dirinya segera menembak saya dengan pertanyaan mengenai password akun SANTRI.
Kzl.
SANTRI
yang dimaksud di sini ialah brand dari Badan Semi Otonom (BSO) kepunyaan
komunitas penerima PBSB (Program Beasiswa SANTRI Berprestasi). Amatullah,
manusia naturalisasi asal Planet Bekasi, tentu mengerti latar diksi ini, walau
dia tak pernah mengerti betapa aku mencintainya separuh hati.
Sementara
maksud akun dalam percakapan dengan Purwanti ialah akun perkakas daring (dalam
jaringan, online) untuk mendukung kegiatan SANTRI. Sebutan ‘daring’
rasanya lebih elok buat dipakai ketimbang ‘dunia maya’. Soalnya kalau begini
saya tak perlu susah-susah menyelaraskan pikiran, perkataan, dan perbuatan seumpama
ingin menuntut Purwanti dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
Jawaban
tidak tahu yang saya sampaikan pada Purwanti malah membuka kran percakapan
tertulis yang sangat panjang, berlangsung sekitar 11 jam 33 menit
selang-seling. Maksudnya diselingi kesibukan saya meratapi prestasi Chelsea
Football Club yang kian curam seraya mengenang mantan-mantan azam seperti Petr
Cech, John Terry, Frank Lampard, dan Didier Drogba.
Dalam
percakapan ala ghibah yang sunnah itu, Purwanti menawarkan rubrik
Majalah SANTRI yang masih kosong untuk saya isi. Setelah melalui
perbincangan 4N—ngalor-ngidul-ngulon-ngetan—akhirnya saya memilih rubrik
Teropong, Tokoh, dan Kisah Inspiratif. Kebetulan kesibukan
meratapi Chelsea dan mengenang mantan tak menghadang untuk ikutserta menyumbang
pada Majalah SANTRI tersayang.
Teropong adalah nama rubrik untuk liputan
utama yang kudu ditulis dengan teknik feature. Teknik ini digunakan agar
liputan bukan sekadar menyajikan kabar melainkan memaknai perkara atau
peristiwa, syukur turut menyampaikan gagasan—tersurat dan/atau tersirat. Tokoh
dan Kisan Inspiratif serupa dengan Teropong, tetapi jati diri
kedua rubrik tersebut ialah berpijak pada sosok. Perbedaan Tokoh dan Kisah
Inspiratif hanyalah pada keselarasn dengan tema majalah. Kalau Tokoh
harus selaras, Kisah Inspiratif boleh tidak.
Rubrik
Kisah Inspiratif sendiri adalah cara tim redaksi Majalah SANTRI
mengakali—artinya menggunakan akal untuk mengungkapkan pemikiran. Pemikiran
praktis kala itu untuk mengganti Catatan Pengabdian. Secara pragmatis,
agar pembaca tidak mengesankan bahwa Majalah SANTRI dibuat hanya untuk
keperluan peserta PBSB.
Kalau
dari sisi filosofis, kata ‘abdi’ (Arab: عبد, penghambaan) kurang pantas ketika
dipadukan dengan slogan ‘Beragama dan Berbudaya’ yang diusung Majalah SANTRI.
Kata ‘abdi’ lebih layak diganti dengan ‘khidmat’ (Arab خدمة, pelayanan).
Pengabdian hanya layak dilakukan pada Allah, sementara penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan. Karena itulah Kisah Inspiratif dihadirkan sebagai
metamorfosis Catatan Pengabdian.
Karena
namanya ‘kisah’, isinya pun berupa cerita. Tim redaksi Majalah SANTRI
menyadari bahwa cerita adalah sarana menyampaikan pemikiran yang enak dipakai.
Hal ini karena cerita bisa disampaikan secara akrab, jauh dari kesan mengancam
pikiran, beda dengan cara lain seperti propaganda.
‘Inspiratif’
menjadi sifat dari ‘kisah’ itu, sehingga maknanya ialah kisah yang memberi
inspirasi. Inspirasi bisa menyangkut pengalaman berhasil, baik berhasil
mewujudkan angan menjadi kenangan maupun berhasil mengatasi kegagalan, ataupun
keunikan, bisa perbuatan atau gagasan. Sosok dalam Kisah Inspiratif pun
disampaikan sebagai tawaran anutan.
Sebenarnya
saat saya kirimkan naskah yang akhirnya dimuat di Teropong halaman 25-6,
tak ada dugaan bakal masuk ke rubrik itu. Saya sendiri awalnya menduga bakal
dimasukkan ke rubrik Kolom. Meski namanya ‘kolom’, rubrik tersebut
berisi feature, yang ulasannya tidak terkait tema. Itulah mungkin alasan
yang dipakai oleh tim redaksi, sehingga naskah berjudul Busana tersebut
dimasukkan ke dalam rubrik Teropong.
Memang
Teropong seharusnya ditulis oleh tim redaksi, dan catatan bahwa saya
yang mengisinya meninggalkan sejumput cela. Mengapa? Karena biar tidak ada
status mantan tim redaksi di Majalah SANTRI, terdapat fakta bahwa saya
telah kabur pada 22 Januari 2016 ketika terdampar di keruhnya satu sisi dunia.
Untung cukup kabur dan merusak kestabilan SANTRI laiknya Ari Lasso pada DEWA19
atau Park Bom terhadap 2NE1, tidak sampai bunuh diri seperti ChesterBe.
Naskah
berjudul Busana sendiri bukanlah catatan baru. Bahkan itulah naskah yang
dulu saya kirim sebagai tanggung jawab meng-iya-kan tawaran Amatullah untuk
ikutan mengisi Majalah SANTRI. Sayang tak ada tanggapan lanjutan.
Naskah
itu kemudian mengendap di komputer jinjing (laptop) saya. Lama nian
mengendapnya. Pilihan untuk menyimpan naskah secara daring saling mem-backup
di Google Sync (dulu Google Drive), Box Syn, dan Mega
Syn ternyata berguna. Pilihan ini adalah buah pembelajaran yang saya alami
saat aktif di Majalah SANTRI, walau kala itu produknya ialah Dropbox.
Berguna karena laptop saya belakangan rusak.
Tawaran
Amatullah yang saya iyain pada 5 Desember 2016 itu bukan karena
menguasai topiknya. Tidak pula karena saya ingin berkarya melalui catatan yang
terbit sebagai artikel. Alasannya hanyalah sepele: kebetulan kala itu saya
sedang mencari letak pengaruh Queen terhadap 2NE1. Pencarian saya didasari
ungkapan CL (Lee Chaelin). Kok bisa-bisanya leader grup perempuan asal
Korea Selatan itu mengaku grupnya terpengaruh oleh Queen.
Baru
saya sadari letak pengaruh itu ialah pada fesyen yang diusung, sama-sama
andogini wujud gagasan psikolog elok bernama Sandra Bern. Ini saya tahu dari
Ahmad Dhani Prasetyo, penggemar berat Queen sejak umur 12 tahun, sama dengan
umur Surotul Ilmiyah saat mulai menjadi penulis profesional. Surotul Ilmiyah
adalah Pemimpin Umum (PU) SANTRI pada 1 Desember 2012-7 Februari 2015.
Fesyen
memang bermakna luas, bukan sekadar busana saja. Namun saya hanya bisa menulis
tentang busana. Gerak hati alias mood ketika menulis sedang ke arah busana,
bukan fesyen pada umumnya. Jadilah busana saja yang berhasil dihadirkan sebagai
ulasan dalam Busana.
By
the way, kadang saya
cemburu pada kata ‘fesyen’ yang diserap dari Bahasa Inggris ‘fashion’
dan ditulis berdasarkan pelafalan orang Indonesia. Nasib kata ini lebih mujur
ketimbang ‘force’ yang dalam Bahasa Indonesia disajikan dengan kata
‘gaya’.
Masalahnya
ialah ‘gaya’ yang berasal dari ‘force’ merupakan konsep fisika dengan
sejarah panjang. Namun, kerap disalahartikan dengan gaya sebagai padanan
‘fesyen’. Walau secara pribadi saya menulisnya ‘forsa’, tetap saja kudu
menyertakan penjelasan bahwa yang dimaksud ialah ‘force’ atau ‘gaya’
yang disimbolkan F (ditulis tebal) atau F ⃗ (tidak tebal tapi ada tanda panah di
atasnya).
Butuh
usaha keras sekuat Ufiq Faishol Ahlif, pewarta Majalah SANTRI pada
2010-2, yang mengampanyekan ‘kelestarian energi’ sebagai pengganti ‘kekekalan
energi’ atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejauh pengamatan terhadap santri/pelajar
di Pondok Pesantren Ath-Thullab Kudus, Ufiq tampak berhasil. Sedangkan saya
kosok balinya, gagal total. Padahal Ufiq dan saya sama-sama Chelsea. Semangkin
Kzl.
Kata ‘fashion’
memang sengaja saya tulis ‘fesyen’. Hal ini sempat saya sampaikan pada
Amatullah selaku editor (dalam arti penyunting, bukan redaktur) Majalah
SANTRI. Memang tak perlu terlampau patuh begitu saja pada aturan penulisan
dan tesaurus bahasa. Namun, kadang kesalahan menulis ‘fashion’ tanpa
dimiringkan berbuah anggapan kalau penulisnya kurang pengetahuan dan/atau
penyuntingnya tak punya kepedulian.
Itulah
gunanya paduan papan ketik (keyboard) ‘CTRL’ dan ‘F’ dalam penerbitan Majalah
SANTRI kali ini. Saya yakin editor, sakjane, banyak berususan
untuk mengganti ‘fashion’ (tidak miring) menjadi ‘fashion’ (miring) atau
diubah ke dalam bentuk ‘fesyen’.
Saya
sendiri bukannya memang tahu sejak awal, malah baru sadar ketika mencari
rujukan buat penulisan naskah. Rujukan kala itu ialah memoar Anne Avantie karya
Alberthine Endah. Anne Avantie adalah perancang busana favorit alm. Yuli
Rahmawati, penghibur kesukaan saya yang dikenal dengan nama Jupe. Dari memoar
itulah saya menemukan semua kata ‘fashion’ ditulis ‘fesyen’. Rujukan
lain yang saya pakai ialah buku Jilbab karya Muhammad Quraish Shihab,
penggemar Real Madrid yang dikenal luas melalui Tafsir Al Mishbah.
Selain
rujukan berbentuk tulisan, ada juga rujukan berbentuk lisan yang dipakai.
Rujukan lisan tersebut ialah ucapan Eny Rochmawati Octaviani, “Kalau kita
tampil rapi, itu berarti menghormati orang lain,” sebuah perkataan yang
menyembul di tengah penantian jagung bakar di Warung Keboen Iboe, Kudus pada 9
Juli 2016 selepas adzan Dhuhur wilayah GMT+7 dilantunkan. Bahkan rujukan lisan
itulah gagasan utama yang diusung melalui naskah berjudul Busana.
Gagasannya
kira-kira begini, “Busana itu bisa memiliki dampak psikis, terhadap pengenanya
maupun penglihatnya.” Tata, sapaan saya pada Eny, memang tak menyebutkan secara
gamblang. Namun, kalau ucapannya dikaitkan dengan fenomena busana hakim saat
sedang sidang, rasanya tidak salah juga. Kadang, “...busana tertentu sengaja
dikenakan untuk menimbulkan kesan tertentu.” seperti tertulis dalam naskah yang
saya kirimkan ke Majalah SANTRI.
Karena
saya menganggap Tata memiliki pemikiran terkait busana, sosoknya saya tawarkan
untuk diulas dalam rubrik Tokoh. Pemikiran lain yang menyembul dari
ucapan Tata terkait jilbab, busana yang lekat dengan tradisi agama Yahudi,
Kristen, dan Islam. Tata menyebut kalau jilbab bukanlah dipakai sebagai penambah,
malah menjadi sarana penutup kecantikan perempuan.
Dari
sisi Majalah SANTRI, Tata memenuhi kriteria. Sebagai sosok yang dulu
menjadi model, penari, public speaker, dan pengajar serta
belakangan perawat, syarat terlibat dalam kegiatan sosial sudah terpenuhi. Juga
terdapat pemikiran yang bisa digali darinya, walau tidak muncul dalam bentuk
karya tulis.
Dari
sisi pribadi, saya suka pemikiran tersebut. Pemikiran tersebut seakan mengajak
agar penggunaan jilbab kembali pada khitthoh-nya. Fenomena yang ramai
pada jaman now ialah kecenderungan menganggap bahwa jilbab sebagai
penambah kecantikan perempuan. Misalnya, dapat kita jumpai pada ungkapan
sejenis, “Kamu lebih bersinar dengan pake jilbab.” atau “Jilbab bisa membuatku cantik..”.
Padahal
kalau mau menelisik kajian jilbab sejak zaman kuno, terutama menyangkut runtutan
sejarahnya, pemikiran yang terucap secara lisan tersebut malah dikuatkan
alih-alih diruntuhkan. Kajian tersebut bisa dilihat antara lain melalui buku Jilbab,
yang sudah disebutkan di awal.
Saya
sendiri tahu buku Jilbab dari Zuhairi Misrawi melalui SMS (short
messaging service) pada 2013 silam (tanggal dan bulan bisa di-nego).
Waktu itu saya meminta saran buku tentang jilbab, dan dia menyarankan buku itu.
Zuhairi adalah pemateri dalam acara pembuka rapat kerja SANTRI di Wisma 9
Semarang pada 15-7 Februari 2013.
Kalau
tak ada waktu untuk membaca buku karena sibuk dengan keseharian, bisa juga
membaca artikel Kritik Atas Jilbab karya Nong Darol Mahmada yang terbit
melalui IslamLib.com. Artikel itu belakangan ditulis kembali dengan
judul Jilbab, Kewajiban atau Bukan?, dengan beberapa perubahan berskala
kecil untuk diterbitkan melalui DW.com. Keduanya saya tampilkan melalui
blog pribadi Kirana Azalea, sebagai cara tabarrukan pada Mbak
Nong, sapaan saya pada penulisnya.
Sebuah
pemikiran pasti dipengaruhi oleh keyakinan, penalaran, dan perasaan. Ketiganya
tak bisa berdiri sendiri, melainkan berpadu saling mewarnai. Sebuah pemikiran
tidak sekadar butuh keyakinan yang kuat dan penalaran yang tepat, melainkan
juga disertai perasaan yang terlibat.
Tidak
elok pemikiran diungkapkan kalau ruang rasa masih dipenuhi rasa dhemen-sengit
(suka-benci) terhadap sesuatu. Kita memang boleh memihak, namun jangan sampai
keberbihakan menyebabkan enggan bersikap semadyana (Arab: عدل, Inggris: objective, sepak bola: fair play). Sisi
perasaan inilah bagian pembuka rubrik Tokoh yang diisi oleh Tata.
“Manusia adalah makhluk berperasaan,” begitu tulisannya.
Kalimat
itu, ialah “Manusia adalah makhluk berperasaan,” bukan karya saya, tetapi mengutip
buku Rahwana Putih karya Sri Teddy Rusdy, sahabat Dhani yang sama-sama
menggilai Queen. Ini perlu diperjelas, agar tak terjadi kesalahan fatal.
Misalnya, menduga gubahan saya atau terjadi plagiasi yang lepas dari pengamatan
tim redaksi Majalah SANTRI. Tim redaksi tahu lah, makanya dibiarkan
tanpa perlu diubah.
Perujukan
itu sendiri adalah wujud kesepakatan saya dengan pemikiran Mbak Sri, sapaan
akrab Cak Nun (Muhammad Ainun Najib, Emha Ainun Najib) pada Sri Teddy Rusdy,
sosok yang ditulis oleh Sri Purwanti bersama Malikatul Ma’munah dan Iqbal
Syauqi di Majalah SANTRI edisi Februari 2015. Buat saya, perasaan dapat
menjadi pijakan dalam menentukan pilihan terkait beragam hal.
Tentu
saja saya membatasi keberlakukan itu. Batasnnya ialah untuk keperluan diri
sendiri. Perasaan tidak boleh menjadi pijakan kalau dipakai untuk urusan
bersama. Untuk urusan bersama, kita perlu kesepatakan tanpa pemaksaan. Itulah
pentingnya kemampuan dan kemauan berkomunikasi, secara lisan maupun tulisan,
agar perasaan bisa diungkapkan, supaya terkaan dapat ditetapkan. Di situ pula
gunanya metode ilmiah, agar sesuatu bisa diuji bersama, supaya dapat dirunut
oleh siapa saja.
Secara
tersirat, melalui sebutan bahwa jilbab bukanlah dipakai sebagai penambah,
malah menjadi sarana penutup kecantikan perempuan, Tata terlihat memandang
aspek kecantikan sebagai sisi penting yang perlu diperhatikan.
Pandangan Tata dapat dikuatkan dengan kajian dalam buku Perempuan karya
Quraish maupun Erotic Capital karya Catherine Hakim. Kedua karya tulis
tersebut rasanya melawan The Beauty Myth karya Naomi Wolf sekaligus
melengkapi The Forms of Capital karya Pierre Bordeau.
Pandangan
bahwa kecantikan sebagai sisi penting menjadi dasar pemilihan Rosa Amalia Iqony,
yang saya tawarkan sebagai pengisi Kisah Inspiratif. Selain mengisi
rubrik, Rosa juga ditawarkan menjadi penghias sampul depan majalah. Dua tawaran
diterima tim redaksi dan disambut baik oleh Rosa. Rosa memang cantik, dan
kecantikannya memang menjadi alasan kesatu, bahkan boleh disebut satu-satunya.
Buat
saya, Rosa adalah salah satu perempuan yang berhasil memanfaatkan aspek
kecantikan untuk mewujudkan angan menjadi kenangan. Karier sebagai model
menjadi bukti sisi ini. Memang Rosa termasuk cerdas secara akademik juga:
sekolah menengahnya akselerasi, kuliah strata satunya lulus tujuh semester.
Namun, tanpa kecerdasan memanfaatkan kecantikan yang dimiliki, apakah karier modelling-nya
dapat seperti sekarang?
Tidak
perlu ragu, apalagi merasa bersalah ketika memanfaatkan kecantikan. Pula tak
perlu membutakan mata bahwa kecantikan turut berperan dalam keseharian. Tak
sedikit peristiwa menunjukkan bahwa orang yang memanfaatkan kecantikan dapat
meraih keuntungan, misalnya Maria Sharapova, Lim Yoona, dan Venice Min.
Tak
terbatas pada perempuan, lelaki juga demikian. Misalnya The Beatles dan Real
Madrid. Sulit memungkiri fakta bahwa keberhasilan The Beatles mengungguli Queen
dari sisi popularity disebabkan oleh ketampanan. Wajar kalau Florentino
Perez, presiden Real Madrid, memasukkan aspek ketampanan sebagai pertimbangan
rekrutan utama.
Melalui
rubrik Kisah Inspiratif, saya hendak menggemuruhkan hal ini, mulanya.
Sayangnya, saya gagal menyajikan profil diri Rosa lebih rinci. Rosa tak
berkenan untuk diminta informasi dirinya lebih rinci. Alhasil profil yang
disajikan hanya memuat informasi tentang nama lengkap, tenggal lahir, asal
tempat, program studi yang ditekuni, dan manajemen model yang menanungi.
Ketimpangan
antara profil dari dan kesan terhadap Rosa dalam Kisah Inspiratif
halaman 46 terlalu kentara. Karena itulah, saya cukup legowo ketika
sejumlah 500-an kata yang membahas kecantikan tidak disertakan di rubrik itu.
Sejumlah 500-an kata tersebut berisi ulasan yang menegaskan bahwa kecantikan
perlu diperhatikan untuk dimanfaatkan.
Ulasan
kecantikan tersebut akhirnya diterbitkan pertama kali untuk membahas
pemanfaatan payudara oleh Duo Serigala melalui artikel berjudul Breast
Capital. Artikel itu adalah bagian lanjutan mengenai Roza Lailatul Fitria,
penyanyi dengan nama panggung Oza Kioza yang sekarang mewarnai Duo Serigala. Oza
penting buat saya, karena berhasil mengembalikan semangat menulis yang sempat
terkikis.
Tak
ada angan untuk meletakkan ulasan kecantikan tersebut dalam pembahasan terkait
Roza, awalnya. Ulasan itu memang sedianya dibuat untuk Rosa. Tapi tak apalah,
Roza dan Rosa sama-sama perempuan Jawa Timur yang pernah disapa Ocha, beda
Malang dan Pasuruan doang.
Dengan
tetap memperhatikan beberapa cela yang terdapat pada bagian saya dalam Majalah
SANTRI edisi April 2018, penerbitan kali ini perlu diapresiasi semadyana. Majalah
SANTRI ternyata masih dapat terbit kembali.
Majalah
SANTRI tak sekadar
terbit, namun digarap dengan perjuangan. Ada materi dan energi yang dikeluarkan
dengan penuh ketulusan. Hal ini menjadi upaya rekan-rekan tim redaksi Majalah
SANTRI untuk turut mengatasi kecenderungan asal mbacot di tengah
wabah informasi, yang kadang tak berarti.
Cara
mengatasi kecenderungan itu dengan menghadirkan karya tulis bermutu. Mungkin
penulis yang ikut serta menerbitkan karya tulisnya melalui Majalah SANTRI
tak memiliki nama besar. Tapi, apakah nama besar penting dalam dunia penulisan?
Bukankah nama besar justru berbahaya kalau mengalahkan kekuatan tulisan
(Piliang, 2012). Karena itulah, senjata utama yang dimiliki Majalah SANTRI
bukanlah nama, melainkan karya. Karya tulis yang dipadupadankan dengan tata
rupa untuk menghibur pembaca.
Selamat
and salamat untuk Majalah SANTRI! Salam ‘Beragama dan Berbudaya’!
Kudus
[lihat]
16
Rajab 2018
Tepat
6 tahun setelah muwadda’ah sebagai santri PP MUS-YQ, 16 Rajab 2012. [lihat]
Tepat
1 tahun setelah wisuda sebagai scholar UPI, 16 Rajab 2017. [lihat]
Materi Promosi Majalah SANTRI edisi April 2018. [Ilustrasi: Obi Robi'a Al Aslami (@al_obi)]
|
Referensi
Adib Rifqi
Setiawan. (2017). Godly nationalism :
tribute to santri scholar press. Kirana Azalea, 10 Desember. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018a). Ki oza kioza: a rain shine made in indonesia. Alobatnic,
1 Maret. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018b). Breast capital: konsep baru duo serigala, modal erotis, dan
payudara perempuan. Alobatnic, 1 Maret. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018c). Eny rochmawati octaviani : memberikan hiburan, menyuntikkan
harapan. Majalah SANTRI, April 2018, hlm. 15-8. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018d). Busana : pelaras raga, pemantas jiwa. Majalah SANTRI,
April 2018, hlm. 25-6. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018e). Rosa amalia iqony : paduan yakin diri dan rendah hati. Majalah SANTRI, April 2018, hlm. 46. [daring: lihat]
Adib Rifqi
Setiawan. (2018f). Risalah ilmiyah. Alobatnic, 1 Arpil. [daring: lihat]
Burhan
Sodiq. (2014). Engkau lebih cantik dengan jilbab: untaian motivasi bagi
wanita yang ingin menutup auratnya : dilengkapi kesaksian para jilbaber,
hlm. 122-34 & 172-6. Niaga Swadaya. [daring: lihat]
Catherine Hakim.
(2010). Erotic capital. Dalam European Sociological Review, 26(5),
hlm. 499-518. [daring: lihat]
Dhani Ahmad
Prasetyo. (2005). Fine art’s maestro. Rolling Stone Indonesia, 8 Desember.
[luring: arsip]
Indra J. Piliang.
(2012). Menulis. Catatan Harian, 8 Juni. [luring: arsip]
Jack R.
Fraenkel, dkk. (2012). How to design and evaluate research in education —
8th ed, hlm. 5-7. [luring: unduh]
Jalaluddin Rakhmat.
(2007). Psikologi komunikasi – cetakan keduapuluhemapat, hlm. 12-6.
Remaja Rosdakarya. [luring]
Kominfo. (2016).
Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tanggal 25 november 2016: perubahan atas
undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
informasi transaksi-elektronik. Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. [daring: lihat]
M. Quraish Shihab.
(2011). Perempuan – cetakan vii, hlm. 61-80. Lentera Hati. [luring]
M. Quraish Shihab.
(2012). Jilbab, pakaian wanita muslimah: pandangan ulama masa lalu dan
cendikiawan kontemporer -- cetakan vi, hlm. 33-40. Lentera Hati. [daring: lihat]
M. Quraish Shihab.
(2-12). Tafsir al-mishbah : pesan, kesan, dan keserasian al-qur’an – volume
4 cetakan v, hlm. 65-71. Lentera Hati. [luring]
Mauluddin Anwar,
dkk. (2015). Cahaya, cinta, dan canda m. quraish shihab – cetakan ii,
hlm. 77-80 & 281-8. Lentera Hati. [luring]
Naomi Wolf. (2002). The beauty myth: how
images of beauty are used againts women, hlm. 9-19. New York City: Morrow.
[luring: unduh]
Nong Darol Mahmada.
(2003). Kritik atas jilbab. IslamLib.com, 17 April. [daring: lihat]
Nong Darol Mahmada.
(2016). Jilbab, kewajiban atau bukan?. Deutsche Welle, 11 Juli. [daring:
lihat]
Sri Teddy
Rusdy. (2013). Rahwana putih: sang kegelapan pemeram keagungan cinta.
Yayasan Kertagama. [luring]
Surotul Ilmiyah.
(2017). Seni pertunjukan wayang: mengenal sejarah., tokoh dan unsur
pertunjukan wayang, hlm. 287-9. Tangerang Selatan: Dapur Bukumu. [luring]
K.Sl.Po.160739.50.020418.17:47
K.Sl.Po.160739.50.030418.11:39