— A
Rain Shine Made in Indonesia
Ki Oza Kioza — A Rain Shine Made in Indonesia
|
Musik adalah
pengungkapan gagasan melalui bunyi yang mengalun secara teratur sehingga enak
untuk disimak (al-Fārābī, 1967, hlm. 47). Pada zaman kuno, terdapat
mitos dari sekelompok masyarakat yang percaya bahwa musik memiliki kekuatan
ajaib untuk menyempurnakan jiwa dan raga
(McNeill, 2000, hlm. 2). Pada zaman now,
terdapat anggapan bahwa musik mempunyai kekuatan untuk mencirikan pandangan
pribadi dan kecenderungan masyarakat
(Prasetyo, 2012).
Menyimak berbagai jenis pertunjukan musik di Indonesia, barangkali dapat dikatakan bahwa tidak ada yang lebih meriah dan meriak dibandingkan dengan dangdut. Hal ini bisa diamati melalui tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam media massa, perbincangan di lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para pengunjung yang menghadiri pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut dapat menarik perhatian banyak kalangan.
Dangdut, di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat, khususnya buat yang sedang dalam kesulitan (Weintraub, 2010, hlm. 145). Larik lirik dangdut yang banyak memuat kisah tentang pergulatan pribadi dalam berjuang di tengah kehidupan sosial yang kadang timpang seakan menjadi penyalur rasa terpendam (David, 2014, hlm. 258). Di sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu (Weintraub, 2006, hlm. 411). Apalagi dangdut terbilang lentur, tak kaku untuk berpadu dengan beragam pengaruh yang tumbuh dalam dunia olah rasa, mulai dari nada ala Timur sampai Barat, tingkat ndeso hingga dunia (Wallach, 2014, hlm. 272-3).
Cibiran terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis penyanyinya semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena baru dalam pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan goyangan erotis sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya terbuka untuk kalangan dewasa belaka (Fitriya, 2018, hlm. 1). Perbedaan tajam mulai terjadi pada dekade 2000-an, ketika goyangan erotis menjadi sajian biasa nyaris di setiap pertunjukan, baik on maupun off air. Masyarakat yang sejak dulu menganggap bahwa goyangan erotis sebagai perbuatan tabu pun mulai bereaksi secara menggebu (Weintraub, 2010, hlm. 164 & 188).
Keadaan sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita) belakangan ini mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan mendapat perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada yang disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal ini memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga menggunakannya sebagai sarana menambang uang. Sayangnya, biduanita juga kerap dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan tanpa peduli kualitas vokal. Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual penampilan badan, masalahnya ialah hal ini dilakukan di pasar yang menjajakan vokal.
Keadaan tersebut disadari sepenuhnya oleh Roza Lailatul Fitria (Arab: رازا ليلة الفطرية), penyanyi kelahiran Tulungagung, Indonesia, yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk ditekuninya. “Sebenarnya basic-nya bukan dangdut sih, tapi emang dapet jalannya di dangdut terus,” paparnya mengenai pilihan menekuni dangdut, “Udah coba di genre pop, tapi emang belum rejeki.”
Menyimak berbagai jenis pertunjukan musik di Indonesia, barangkali dapat dikatakan bahwa tidak ada yang lebih meriah dan meriak dibandingkan dengan dangdut. Hal ini bisa diamati melalui tulisan, tuturan, dan tayangan di beragam media massa, perbincangan di lingkungan pergaulan, maupun membludaknya para pengunjung yang menghadiri pertunjukan tersebut. Sulit dimungkiri bahwa dangdut dapat menarik perhatian banyak kalangan.
Dangdut, di satu sisi, terbilang mudah menjamah manah masyarakat, khususnya buat yang sedang dalam kesulitan (Weintraub, 2010, hlm. 145). Larik lirik dangdut yang banyak memuat kisah tentang pergulatan pribadi dalam berjuang di tengah kehidupan sosial yang kadang timpang seakan menjadi penyalur rasa terpendam (David, 2014, hlm. 258). Di sisi lain, dangdut sering dicibir karena dianggap tidak bermutu (Weintraub, 2006, hlm. 411). Apalagi dangdut terbilang lentur, tak kaku untuk berpadu dengan beragam pengaruh yang tumbuh dalam dunia olah rasa, mulai dari nada ala Timur sampai Barat, tingkat ndeso hingga dunia (Wallach, 2014, hlm. 272-3).
Cibiran terhadap dangdut kian meriak tatkala fenomena goyangan erotis penyanyinya semakin marak. Goyangan erotis sendiri sebenarnya bukan fenomena baru dalam pertunjukan musik dangdut. Keberadaan penyanyi dangdut dengan goyangan erotis sudah muncul sejak dekade 1970-an, tetapi kala itu hanya terbuka untuk kalangan dewasa belaka (Fitriya, 2018, hlm. 1). Perbedaan tajam mulai terjadi pada dekade 2000-an, ketika goyangan erotis menjadi sajian biasa nyaris di setiap pertunjukan, baik on maupun off air. Masyarakat yang sejak dulu menganggap bahwa goyangan erotis sebagai perbuatan tabu pun mulai bereaksi secara menggebu (Weintraub, 2010, hlm. 164 & 188).
Keadaan sejenis demikian membuat penyanyi dangdut perempuan (biduanita) belakangan ini mudah mendapat nilai plus dan minus dalam berkarier. Kemudahan mendapat perhatian dan mencerna larik lirik yang dilantunkan serta alunan nada yang disajikan membuat para biduanita gampang dikenal oleh banyak kalangan. Hal ini memudahkan biduanita untuk meluaskan pergaulan, menambah wawasan, hingga menggunakannya sebagai sarana menambang uang. Sayangnya, biduanita juga kerap dinista karena dianggap hanya menjual penampilan badan tanpa peduli kualitas vokal. Sebenarnya tak ada masalah dalam menjual penampilan badan, masalahnya ialah hal ini dilakukan di pasar yang menjajakan vokal.
Keadaan tersebut disadari sepenuhnya oleh Roza Lailatul Fitria (Arab: رازا ليلة الفطرية), penyanyi kelahiran Tulungagung, Indonesia, yang memilih dangdut sebagai jalan karier untuk ditekuninya. “Sebenarnya basic-nya bukan dangdut sih, tapi emang dapet jalannya di dangdut terus,” paparnya mengenai pilihan menekuni dangdut, “Udah coba di genre pop, tapi emang belum rejeki.”
Oza santai sejenak
menikmati malam
|
Menjadi
penyanyi bukanlah sebuah kebetulan buat Oza, sapaan karibnya. Jalan agar bisa
menjadi penyanyi seakan sudah ditatakan Tuhan. “Dari kecil diarahin jadi
penyanyi sama mamah, karena mamah juga mantan penyanyi,” tuturnya
sambil tersenyum. Mama Oza, Bunda Nurhayati, memang penyanyi, yang
berkarier di arena jazz kemudian dangdut. Sementara Papa Oza juga tak
jauh dari urusan olah vokal. “Dari ayah, juga saudara-saudara, banyak yang qōri’ah
gitu,” jelasnya, “Jadi emang dari mama-papa semuanya ada darah
penyanyi.”
Walau mama mengarahkan, tak ada pemaksaan untuk diikuti Oza. Oza sendiri berpikir kalau arahan tersebut bukanlah ambisi seorang mama, melainkan kepedulian orangtua yang melihat bakat buah hati tak boleh mati. Apalagi mamanya memang penyanyi. Pengalaman mama pun dimanfaatkan oleh Oza untuk belajar olah vokal secara rapi dan rinci sedari dini.
Dukungan sepenuhnya, baik secara psikis, teknis, maupun ekonomis, dirasakan oleh Oza. Wajar jika dirinya gembira melakukannya. Kegembiraan yang turut membahagiakan orangtua tentunya, terutama mama. Oza tak lelah belajar mengolah vokal sesuai jenis suara yang dimiliki agar berpadu apik dengan alunan nada yang mengiringi. Dirinya terus mengelaborasi pita suaranya maupun beragam bunyi alat musik agar kelak bisa menyajikan pertunjukan prima ketika menjadi penyanyi.
Selain memanfaatkan bakat suara dan titian yang ditatakan mama, Oza juga menyadari modal lain yang dimiliki, ialah daya tarik fisik (Hakim, 2010, hlm. 500-1). Wajah cantik dan badan estetik menjadi sisi yang turut digali. Oza mengerti bahwa modal ini sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya (Hakim, 2010, hlm. 500). “Menurut aku kecantikan itu penting, karena dengan kita merawat dan menjaga kecantikan adalah bentuk dari rasa syukur karena diberi nikmat dari Yang Maha Kuasa,” ungkap Oza.
Oza tak ambil pusing terhadap sebagian kalangan yang enggan mengapresiasi modal tersebut (Wolf, 2002, hlm. 14). Dirinya tetap berusaha agar daya tarik fisik turut berperan dalam kariernya, mulai dari olah raga ringan teratur setiap bangun tidur, menjaga pola konsumsi makanan dan minuman, memperhatikan kecocokan riasan wajah, hingga berpikir menentukan busana yang dikenakan.
“Untuk mengencangkan payudara, olahraga tiap bangun tidur, push-up 10-25 kali lah,” tutur Oza saat ditanya soal rutinitas latihan untuk merawat fisik ‘favorit’-nya, “Selalu menyempatkan waktu 15 menit paling enggak untuk olahraga kecil, kayak latihan napas, peregangan biar enggak kaku, karena jujur malas olahraga,” pungkas Oza.
Berbagai usaha yang dilakukan Oza tak sia-sia. Tahun 2007 dirinya mencoba peruntungan dengan mengikuti program acara StarDut di Indosiar. “Umur 13 starDut itu,” kenangnya saat bercerita awal karier, “Kalau sebelumnya ya nyanyi-nyanyi biasa aja gitu,” pungkasnya.
Oza memang gagal menjadi juara StarDut, walakin dia tak sial mengikutinya (Tresnady, 2014). Sejak saat itu dirinya mulai sering tampil dari panggung ke panggung, dengan beragam rasa suka-duka tak istimewa yang dirasakan. Perlahan malar, jam terbang Oza dalam bergoyang semakin membentang.
Oza lalu bergabung dengan CNB Production. CNB Production adalah anak perusahaan CBM Entertainment yang bergelut di segmen dangdut. Melalui CNB Production, dirinya merilis single berjudul Aki-Aki Gila yang ditulis oleh Gebby Vesta (Kioza, 2016; CNB ID, 2014).
Walau mama mengarahkan, tak ada pemaksaan untuk diikuti Oza. Oza sendiri berpikir kalau arahan tersebut bukanlah ambisi seorang mama, melainkan kepedulian orangtua yang melihat bakat buah hati tak boleh mati. Apalagi mamanya memang penyanyi. Pengalaman mama pun dimanfaatkan oleh Oza untuk belajar olah vokal secara rapi dan rinci sedari dini.
Dukungan sepenuhnya, baik secara psikis, teknis, maupun ekonomis, dirasakan oleh Oza. Wajar jika dirinya gembira melakukannya. Kegembiraan yang turut membahagiakan orangtua tentunya, terutama mama. Oza tak lelah belajar mengolah vokal sesuai jenis suara yang dimiliki agar berpadu apik dengan alunan nada yang mengiringi. Dirinya terus mengelaborasi pita suaranya maupun beragam bunyi alat musik agar kelak bisa menyajikan pertunjukan prima ketika menjadi penyanyi.
Selain memanfaatkan bakat suara dan titian yang ditatakan mama, Oza juga menyadari modal lain yang dimiliki, ialah daya tarik fisik (Hakim, 2010, hlm. 500-1). Wajah cantik dan badan estetik menjadi sisi yang turut digali. Oza mengerti bahwa modal ini sama pentingnya dengan modal ekonomi, sosial, dan budaya (Hakim, 2010, hlm. 500). “Menurut aku kecantikan itu penting, karena dengan kita merawat dan menjaga kecantikan adalah bentuk dari rasa syukur karena diberi nikmat dari Yang Maha Kuasa,” ungkap Oza.
Oza tak ambil pusing terhadap sebagian kalangan yang enggan mengapresiasi modal tersebut (Wolf, 2002, hlm. 14). Dirinya tetap berusaha agar daya tarik fisik turut berperan dalam kariernya, mulai dari olah raga ringan teratur setiap bangun tidur, menjaga pola konsumsi makanan dan minuman, memperhatikan kecocokan riasan wajah, hingga berpikir menentukan busana yang dikenakan.
“Untuk mengencangkan payudara, olahraga tiap bangun tidur, push-up 10-25 kali lah,” tutur Oza saat ditanya soal rutinitas latihan untuk merawat fisik ‘favorit’-nya, “Selalu menyempatkan waktu 15 menit paling enggak untuk olahraga kecil, kayak latihan napas, peregangan biar enggak kaku, karena jujur malas olahraga,” pungkas Oza.
Berbagai usaha yang dilakukan Oza tak sia-sia. Tahun 2007 dirinya mencoba peruntungan dengan mengikuti program acara StarDut di Indosiar. “Umur 13 starDut itu,” kenangnya saat bercerita awal karier, “Kalau sebelumnya ya nyanyi-nyanyi biasa aja gitu,” pungkasnya.
Oza memang gagal menjadi juara StarDut, walakin dia tak sial mengikutinya (Tresnady, 2014). Sejak saat itu dirinya mulai sering tampil dari panggung ke panggung, dengan beragam rasa suka-duka tak istimewa yang dirasakan. Perlahan malar, jam terbang Oza dalam bergoyang semakin membentang.
Oza lalu bergabung dengan CNB Production. CNB Production adalah anak perusahaan CBM Entertainment yang bergelut di segmen dangdut. Melalui CNB Production, dirinya merilis single berjudul Aki-Aki Gila yang ditulis oleh Gebby Vesta (Kioza, 2016; CNB ID, 2014).
Single rilisan 24 Juni 2015 tersebut berkisah tentang lelaki
berumur yang perilakunya kerap menggoda setiap berjumpa perempuan cantik. Aki-Aki
Gila terbilang kurang laris di pasaran, walakin memiliki kapling permanen
dalam hati Oza. Dari single ini pula Oza mendapat gagasan menggunakan
kata ‘Kioza’ sebagai nama panggungnya.
Mulanya Oza iseng saja mengganti ‘Oza’ menjadi ‘Ozaki’ pada 11 Mei 2014 sekitar pukul 19:00, agar terasa lebih fresh. “Jadi sebenarnya dulu namanya Ozaki, karena first single aku judulnya Aki-Aki Gila,” ungkap Oza bercerita, “Jadi itu gabungan dari Oza dan ‘Aki-Aki Gila’ jadi Ozaki, gitu. Tapi karena Ozaki itu salah satu brand terkenal di Jepang, jadi ganti Oza Kioza gitu,” tutupnya sambil tertawa.
Oza tepat, Ozaki sudah terlanjur menjadi brand terkenal di Jepang. Selain menjadi nama toko dan restoran, nama Ozaki juga menjamur sebagai nama sosok terkenal, mulai Mashashi Ozaki (pegolf), Yutaka Ozaki (pemusik), Yoshima Ozaki (pelari), Yukihiro Ozaki (peneliti), Munaharu Ozaki (pebisnis), bahkan baru-baru ini Risa Ozaki (petenis).
Menggunakan kata ‘Ozaki’ sebagai nama panggung justru merupakan keputusan fatal. Pasalnya hal ini memaksa Oza untuk berusaha lebih keras agar namanya tak tenggelam oleh Ozaki-Ozaki yang lain. Mengubah ‘Ozaki’ menjadi ‘Kioza’, yang diputuskan pada 27 Juni 2014 sekitar pukul 07:30, merupakan keputusan brilian. Bisa menjadi nama baru yang fresh sekaligus sebagai cara mengapresiasi single perdana penanda perubahan penting dalam berkarier.
Sesudah diubah menjadi Kioza, perempuan kelahiran 4 Maret 1994 sempat mendapat pengalaman lucu. Gara-gara nama tersebut, dirinya disangka model dewasa asal Jepang. Sangkaan yang memberi Oza tawaran photoshoot dengan bayaran yang fantastis asal dirinya harus tampil vulgar dan menantang. “Mungkin karena Maria Ozawa juga pernah main film di Indonesia kali yah,” tukas Oza.
Tanpa berpikir lama, Oza segera menampik tawaran menggiurkan tersebut. “Karena bagi aku sendiri popularitas dapat diraih dengan berbagai cara halal,” tuturnya menjelaskan, “Kalau fotonya masih menggunakan busana dan hanya bergaya sebatas kewajaran mungkin aku mau. Seksi itu kan bukan harus buka bukaan, tergantung sudut mana kita bisa menilai, apalagi kalau aku harus foto sampai telanjang kayaknya aku memilih untuk berfikir seribu kali,” tandasnya serius.
Oza berusaha untuk menjadi penyanyi yang pantas dikagumi. Memang dirinya kadang tampil tak jauh berbeda dengan biduanita, dengan menyajikan goyangan menawan dalam balutan busana menggoda. Walakin penampilan Oza tak sampai senonoh, apalagi vulgar dan jorok!
Sebagai penyanyi dangdut, Oza memiliki visi agar penampilannya bisa membantu mengubah kesan cemar yang kerap diterima oleh dangdut. “Tidak semua artis dangdut harus menyuguhkan goyang erotis baru diterima masyarakat. Buktinya Rita Sugiarto, Erie Suzan, Ike Nurjanah, Iis Dahlia, mereka artis senior yang eksis hingga saat ini tampil begitu sempurna suara yang merdu tanpa harus bergoyang erotis,” tandas Oza, “Kalau bukan kita yang mempertahankan musik asli Indonesia siapa lagi coba?”
Sebagai penyanyi dangdut, Oza adalah salah satu pemusik Indonesia yang ikut serta dalam acara ASEAN Plus Music and Culinary Festival di Vientiane, Laos pada 12-13 November 2016 (KBRI Vientiane, 2016). Selain Oza, Andra and the BackBone dan Rebelsuns juga ambil bagian. Mengenakan gaun hitam dengan sentuhan batik, Oza naik ke atas panggung mulai pada 12 November 2016 pukul 19.00 waktu setempat (Safira, 2016).
Delapan buah lagu dilantunkan Oza: Sakitnya Tuh di Sini, Madu dan Racun, Mencari Pokemon, Flashlight, Faded, Someone Like You, Sempurna (duet dengan Andra and the BackBone) dan terakhir Yen Sabai Sao Na yang merupakan salah satu lagu terkenal dari Laos (KBRI Vientiane, 2016; Safira, 2016). Selain duet dengan Oza, Andra and the BackBone membawakan empat buah lagu lain: Main Hati, Hitamku, It's My Life, dan Musnah. Sedangkan Rebelsuns membawakan lima buah lagu: Save Your Breath, World Number Two, Portland, Things We Did, dan Sugar.
Visi yang diusung Oza mendapat tantangan serius ketika Pamela Safitri memilihnya sebagai partner duet baru dalam Duo Serigala. Patahnya hubungan personal Pamela Safitri dengan Ovi Sovianti merembet pada kerjasama profesional keduanya (Shidqiyyah, 2016). Pamela yang terpaksa berpisah dengan Ovi pun segera mencari pengganti. Setelah sempat berduet sekali dengan Cupi Cupita, Pamela akhirnya memilih Oza. Faktor pertemanan tak disangkal oleh Pamela dalam pemilihan ini. “Enggak audisi, udah kenal, teman lama,” papar Pamela.
Mulanya Oza iseng saja mengganti ‘Oza’ menjadi ‘Ozaki’ pada 11 Mei 2014 sekitar pukul 19:00, agar terasa lebih fresh. “Jadi sebenarnya dulu namanya Ozaki, karena first single aku judulnya Aki-Aki Gila,” ungkap Oza bercerita, “Jadi itu gabungan dari Oza dan ‘Aki-Aki Gila’ jadi Ozaki, gitu. Tapi karena Ozaki itu salah satu brand terkenal di Jepang, jadi ganti Oza Kioza gitu,” tutupnya sambil tertawa.
Oza tepat, Ozaki sudah terlanjur menjadi brand terkenal di Jepang. Selain menjadi nama toko dan restoran, nama Ozaki juga menjamur sebagai nama sosok terkenal, mulai Mashashi Ozaki (pegolf), Yutaka Ozaki (pemusik), Yoshima Ozaki (pelari), Yukihiro Ozaki (peneliti), Munaharu Ozaki (pebisnis), bahkan baru-baru ini Risa Ozaki (petenis).
Menggunakan kata ‘Ozaki’ sebagai nama panggung justru merupakan keputusan fatal. Pasalnya hal ini memaksa Oza untuk berusaha lebih keras agar namanya tak tenggelam oleh Ozaki-Ozaki yang lain. Mengubah ‘Ozaki’ menjadi ‘Kioza’, yang diputuskan pada 27 Juni 2014 sekitar pukul 07:30, merupakan keputusan brilian. Bisa menjadi nama baru yang fresh sekaligus sebagai cara mengapresiasi single perdana penanda perubahan penting dalam berkarier.
Sesudah diubah menjadi Kioza, perempuan kelahiran 4 Maret 1994 sempat mendapat pengalaman lucu. Gara-gara nama tersebut, dirinya disangka model dewasa asal Jepang. Sangkaan yang memberi Oza tawaran photoshoot dengan bayaran yang fantastis asal dirinya harus tampil vulgar dan menantang. “Mungkin karena Maria Ozawa juga pernah main film di Indonesia kali yah,” tukas Oza.
Tanpa berpikir lama, Oza segera menampik tawaran menggiurkan tersebut. “Karena bagi aku sendiri popularitas dapat diraih dengan berbagai cara halal,” tuturnya menjelaskan, “Kalau fotonya masih menggunakan busana dan hanya bergaya sebatas kewajaran mungkin aku mau. Seksi itu kan bukan harus buka bukaan, tergantung sudut mana kita bisa menilai, apalagi kalau aku harus foto sampai telanjang kayaknya aku memilih untuk berfikir seribu kali,” tandasnya serius.
Oza berusaha untuk menjadi penyanyi yang pantas dikagumi. Memang dirinya kadang tampil tak jauh berbeda dengan biduanita, dengan menyajikan goyangan menawan dalam balutan busana menggoda. Walakin penampilan Oza tak sampai senonoh, apalagi vulgar dan jorok!
Sebagai penyanyi dangdut, Oza memiliki visi agar penampilannya bisa membantu mengubah kesan cemar yang kerap diterima oleh dangdut. “Tidak semua artis dangdut harus menyuguhkan goyang erotis baru diterima masyarakat. Buktinya Rita Sugiarto, Erie Suzan, Ike Nurjanah, Iis Dahlia, mereka artis senior yang eksis hingga saat ini tampil begitu sempurna suara yang merdu tanpa harus bergoyang erotis,” tandas Oza, “Kalau bukan kita yang mempertahankan musik asli Indonesia siapa lagi coba?”
Sebagai penyanyi dangdut, Oza adalah salah satu pemusik Indonesia yang ikut serta dalam acara ASEAN Plus Music and Culinary Festival di Vientiane, Laos pada 12-13 November 2016 (KBRI Vientiane, 2016). Selain Oza, Andra and the BackBone dan Rebelsuns juga ambil bagian. Mengenakan gaun hitam dengan sentuhan batik, Oza naik ke atas panggung mulai pada 12 November 2016 pukul 19.00 waktu setempat (Safira, 2016).
Delapan buah lagu dilantunkan Oza: Sakitnya Tuh di Sini, Madu dan Racun, Mencari Pokemon, Flashlight, Faded, Someone Like You, Sempurna (duet dengan Andra and the BackBone) dan terakhir Yen Sabai Sao Na yang merupakan salah satu lagu terkenal dari Laos (KBRI Vientiane, 2016; Safira, 2016). Selain duet dengan Oza, Andra and the BackBone membawakan empat buah lagu lain: Main Hati, Hitamku, It's My Life, dan Musnah. Sedangkan Rebelsuns membawakan lima buah lagu: Save Your Breath, World Number Two, Portland, Things We Did, dan Sugar.
Visi yang diusung Oza mendapat tantangan serius ketika Pamela Safitri memilihnya sebagai partner duet baru dalam Duo Serigala. Patahnya hubungan personal Pamela Safitri dengan Ovi Sovianti merembet pada kerjasama profesional keduanya (Shidqiyyah, 2016). Pamela yang terpaksa berpisah dengan Ovi pun segera mencari pengganti. Setelah sempat berduet sekali dengan Cupi Cupita, Pamela akhirnya memilih Oza. Faktor pertemanan tak disangkal oleh Pamela dalam pemilihan ini. “Enggak audisi, udah kenal, teman lama,” papar Pamela.
Oza makan siang bersama
Pamela Safitri di sela rutinitas
|
“Berawal
dari saling curhat, saling berbagi cerita suka, duka, tangis dan tawa... kita ga
pernah nyangka kita bakal jadi partner duet seperti
sekarang,” ungkap Oza tentang personal friendship dan professional
partnership dengan Pamela, “Tapi semoga persabahatan kita menjadi
pondasi yang kuat untuk perjuangan kita di depan, yang pasti akan banyak
rintangan dan ga mudah... selalu bersyukur tetap semangat dan selalu
menjadi manusia yang berpikir positif... karena yang terjadi nanti tergantung
dari apa yang kita yakini saat ini! Semoga kita bisa selalu saling
mengingatkan...”
Jelas kesempatan tersebut merupakan tantangan tersendiri buat Oza. Duo Serigala terlanjur dikenal dengan goyangan erotis, sedangkan Oza berusaha agar dangdut tak banyak menyajikan pemberi visual pleasure tersebut. Melalui serangkaian obrolan, didapatilah kesepakatan keduanya untuk mengusung konsep baru dalam manggung.
Dua Serigala ‘jilid dua’ mengusung konsep baru, dengan tetap menyajikan goyangan walakin lebih mengutamakan kualitas vokal. “Goyangan tetap ada, tapi sekarang kita lebih fokus ke musik dan suara,” terang Pamela. Oza sendiri tak menyangka bakal bekerja sama dengan Pamela mengibarkan nama Duo Serigala. “Enggak pernah kepikiran bakal jadi partner, karena dulu cuman bantuin aja,” tandasnya.
Pamela tak sekadar bicara saja. Sejak diisi oleh duet Pamela-Oza yang dimulai pada 24 Mei 2017, penampilan Duo Serigala berubah, dari yang semula hanya mengutamakan goyangan menjadi turut memperhatikan lantunan. Karena kecenderungan pribadi, dalam praktiknya Oza lebih sering bersuara sementara goyangan disajikan oleh Pamela.
Paduan penampilan seperti itu menunjukkan bahwa Pamela berkomitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama. Namun yang lebih penting ialah Oza hadir bukan sebatas menemami Pamela, walakin ikutserta mewarnai Duo Serigala. Bahkan saking kuatnya warna yang diberikan Oza, banyak penikmat musik berharap agar Oza fokus bersolo karier saja tanpa terlibat dengan Duo Serigala.
Sayang buat para Oza Kilova (sebutan Oza untuk para pemujanya), Oza belum tampak mengabulkan sepenuhnya harapan para pemujanya ini. Tak perlu kecewa dengan pilihan tersebut. Toh Oza berusaha mengabulkan sebagian harapan pemujanya, dengan menggarap saluran YouTube pribadinya ‘OchaFitria’. “Di YouTube itu cover-nya dari request gitu,” akunya.
Beberapa lagu seperti Havana (Camila Cabello) dan Konco Mesra (Nella Kharisma) yang dilantunkan olehnya berhasil menampilkan kebolehan Oza dalam bervokal ria. Dengan menggunakan kamar tidurnya sebagai latar rekaman, Oza berhasil memukau pendengar, juga pemirsa. Satu bukti bahwa kemampuan vokal Oza memang istimewa.
Oza memang istimewa: vokalnya, fisiknya, usahanya, maupun gagasannya. Pun karier yang dijalani, terbilang cemerlang. Wajar kalau dia banyak disuka, banyak pula yang ingin meminang. Hanya saja untuk urusan asmara, Oza belum menunjukkan tanda-tanda ingin menikah maupun segera memiliki keturunan.
Banyak lelaki mendekati untuk merebut hati dan memiliki diri Oza seutuhnya, belum satupun yang diterima sebagai mitra berkeluarga dan berumah tangga. Oza mengaku belum mau memikirkan urusan asmara dan lebih memilih fokus meniti karier dan membahagiakan orangtua. “Kalau laki kan semuanya begitu. Laki kalau enggak mau tapi ceweknya mau, ya ayo aja. Toh enggak ada ruginya buat laki-laki,” ujar Oza menanggapi pertanyaan seputar asmara.
Oza adalah salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression) dengan cara yang bisa dilakukannya (Darwin, 1872, hlm. 10). Keberanian berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya dilatih sejak masa balita. Keberanian berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan penuh yakin diri (confident) (Stajkovic, 2006, hlm. 1209). Yakin diri menjadi pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati (humility) (Davis, dkk., 2011, hlm. 225). Manusia yang piawai berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri.
Jelas kesempatan tersebut merupakan tantangan tersendiri buat Oza. Duo Serigala terlanjur dikenal dengan goyangan erotis, sedangkan Oza berusaha agar dangdut tak banyak menyajikan pemberi visual pleasure tersebut. Melalui serangkaian obrolan, didapatilah kesepakatan keduanya untuk mengusung konsep baru dalam manggung.
Dua Serigala ‘jilid dua’ mengusung konsep baru, dengan tetap menyajikan goyangan walakin lebih mengutamakan kualitas vokal. “Goyangan tetap ada, tapi sekarang kita lebih fokus ke musik dan suara,” terang Pamela. Oza sendiri tak menyangka bakal bekerja sama dengan Pamela mengibarkan nama Duo Serigala. “Enggak pernah kepikiran bakal jadi partner, karena dulu cuman bantuin aja,” tandasnya.
Pamela tak sekadar bicara saja. Sejak diisi oleh duet Pamela-Oza yang dimulai pada 24 Mei 2017, penampilan Duo Serigala berubah, dari yang semula hanya mengutamakan goyangan menjadi turut memperhatikan lantunan. Karena kecenderungan pribadi, dalam praktiknya Oza lebih sering bersuara sementara goyangan disajikan oleh Pamela.
Paduan penampilan seperti itu menunjukkan bahwa Pamela berkomitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat bersama. Namun yang lebih penting ialah Oza hadir bukan sebatas menemami Pamela, walakin ikutserta mewarnai Duo Serigala. Bahkan saking kuatnya warna yang diberikan Oza, banyak penikmat musik berharap agar Oza fokus bersolo karier saja tanpa terlibat dengan Duo Serigala.
Sayang buat para Oza Kilova (sebutan Oza untuk para pemujanya), Oza belum tampak mengabulkan sepenuhnya harapan para pemujanya ini. Tak perlu kecewa dengan pilihan tersebut. Toh Oza berusaha mengabulkan sebagian harapan pemujanya, dengan menggarap saluran YouTube pribadinya ‘OchaFitria’. “Di YouTube itu cover-nya dari request gitu,” akunya.
Beberapa lagu seperti Havana (Camila Cabello) dan Konco Mesra (Nella Kharisma) yang dilantunkan olehnya berhasil menampilkan kebolehan Oza dalam bervokal ria. Dengan menggunakan kamar tidurnya sebagai latar rekaman, Oza berhasil memukau pendengar, juga pemirsa. Satu bukti bahwa kemampuan vokal Oza memang istimewa.
Oza memang istimewa: vokalnya, fisiknya, usahanya, maupun gagasannya. Pun karier yang dijalani, terbilang cemerlang. Wajar kalau dia banyak disuka, banyak pula yang ingin meminang. Hanya saja untuk urusan asmara, Oza belum menunjukkan tanda-tanda ingin menikah maupun segera memiliki keturunan.
Banyak lelaki mendekati untuk merebut hati dan memiliki diri Oza seutuhnya, belum satupun yang diterima sebagai mitra berkeluarga dan berumah tangga. Oza mengaku belum mau memikirkan urusan asmara dan lebih memilih fokus meniti karier dan membahagiakan orangtua. “Kalau laki kan semuanya begitu. Laki kalau enggak mau tapi ceweknya mau, ya ayo aja. Toh enggak ada ruginya buat laki-laki,” ujar Oza menanggapi pertanyaan seputar asmara.
Oza adalah salah satu manusia yang berani berunjuk rasa (expression) dengan cara yang bisa dilakukannya (Darwin, 1872, hlm. 10). Keberanian berunjuk rasa menjadi satu hal yang memang selayaknya dilatih sejak masa balita. Keberanian berunjuk rasa memberi semangat agar tak ragu mengungkapkan perasaan dengan penuh yakin diri (confident) (Stajkovic, 2006, hlm. 1209). Yakin diri menjadi pondasi penting dalam membentuk jiwa yang rendah hati (humility) (Davis, dkk., 2011, hlm. 225). Manusia yang piawai berunjuk rasa memiliki dua sisi berkelindan ini: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri dilihat sebagai arogansi dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah diri.
Duo Serigala saat
tampil di Pasar Krendetan Purworejo pada Rabu 28 Februari 2018
|
Walau unjuk
rasanya menggembirakan rasa maupun melepas lara manusia lainnya, Oza tetaplah
manusia biasa. Oza butuh makan, minum, maupun tidur, juga bisa berpeluh lelah,
berkeluh kesah, berkeruh amarah, merasa bad mood, minder, dsb. dst.
laiknya manusia pada umumnya.
Kepiawaian Oza dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam menjalani keseharian laiknya manusia biasa. Oza sendiri juga mengagumi manusia lainnya, seperti Erie Suzan dan Jessie J. “Kalau dangdut aku suka Erie Suzan, hehehe,” ungkap Oza ketika ditanya siapa role model-nya, “Kalau penyanyi internasionalnya suka banget sama Jessie J,” pungkasnya.
Sepanjang menjalani keseharian, Oza tak pernah meminta dikagumi. Dirinya hanya berusaha melakukan perbuatan yang selaras nurani. Walakin dari sini, banyak orang yang kemudian mengagumi Oza. Tak sedikit pula yang menjadikan perempuan kelahiran Sabtu Pon ini sebagai panutan untuk dianut.
Oza sendiri tak memikirkan hal tersebut. Dikagumi atau tidak, menjadi panutan atau bukan, tak menjadi pijakan Oza. Oza hanya berusaha untuk terus tetap mentas, tanpa mencari pencapaian, tanpa lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksesannya adalah tak lelah berjuang mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh… mengayuh… mengayuh perjalanan… saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You say God give me a choice…” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race (Queen, 1978).
Oza tak lelah berjuang bukan semata memuaskan hasratnya, tidak juga sekadar menggembirakan mama maupun papanya. Namun, untuk memberi motivasi dan inspirasi buat sesama manusia biasa, khususnya anak-anak yang merasakan perih dan pedihnya menerima perpisahan mama dan papa. “Orangtua aku divorce dan aku ke sana ke mari hidupnya,” tutur Oza berkisah.
Mama dan papa Oza memilih mengakhiri ikatan suami-istri mereka ketika Oza masih balita, tepatnya saat berumur 3 tahun. Oza kemudian ikut mamanya pindah ke Nongkojajar, Tutur, Kabupaten Pasuruan, kemudian ke Purwodadi, Blimbing, Kota Malang ketika masuk umur sekolah dasar.
“Tulungagung numpang lahir, hahah,” kenang Oza, “Numpang lahir terus ke Nongkojajar, Pasuruan itu 3 tahunnya, terus ke Malang.” Di Malang, Oza menjalani kegiatan pendidikan formalnya dari tingkat dasar sampai menengah. “SD di Purwodadi 1 Malang, SMP 6 Malang, SMA 9 Malang,” kata Oza.
Ketika menjadi pelajar, Oza merupakan salah satu siswi berprestasi. Karena prestasinya pula Oza tak menyelesaikan sekolahnya di SMA. “Jadi aku ga sampai lulus SMA karena kelas 2 SMA aku udah langsung tes kuliah di Inti College Jakarta jurusan bisnis dan alhamdulillah masuk,” cerita Oza, “Tapi karena sempet ada kenakalan remaja jadi aku ga lanjutin,” pungkasnya.
Tak masalah Oza meninggalkan bangku kuliah. Setiap orang sudah memiliki jalannya sendiri, walau masih misteri, tak bisa dilihat secara pasti, “Life is a mystery, everyone must stand alone,” lantun Madonna dalam Like a Pray (Madonna, 1989).
Lagipula lembaga pendidikan belum maksimal dalam melatih keberanian berunjuk rasa, khususnya selaras dengan potensi yang dimiliki. “Kalau jaman aku sih, kayaknya standar-standar aja tuh pendidikannya,” terang Oza, “Kayaknya guru kurang mendukung yang gimana-gimana kalau kita mau berekspresi.”
Perjalanan yang dilakoni Oza adalah duet awet ikhtiar dan takdir. Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan cemar dan rajin mencibir. Meski demikian, Oza tak langsir ungkapan nyinyir yang dialamatkan padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik tiada akhir, Oza terus tetap mengalir.
Kisah Oza yang tak lelah mengayuh misteri teranyam azam. Teranyam sebagai motivasi dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang Pencipta Semesta Raya dengan rasa riang. Oza terlahir sebagai penghibur, yang sanggup membuat orang lain gembira meski dia sendiri tak selalu merasakannya.
Sanjungan yang diterima tak membuat Oza melayang. Begitu juga cibiran tak membuat dirinya tumbang. Oza tetaplah Oza, yang kehadirannya selalu dirindukan, namanya dielu-elukan. Dan, dia tetaplah perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti sepenuhnya meski dapat dinikmati seutuhnya. Oza ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu hati.
Kepiawaian Oza dalam berunjuk rasa dengan berbagai cara tetap disertai pembawaan diri dalam menjalani keseharian laiknya manusia biasa. Oza sendiri juga mengagumi manusia lainnya, seperti Erie Suzan dan Jessie J. “Kalau dangdut aku suka Erie Suzan, hehehe,” ungkap Oza ketika ditanya siapa role model-nya, “Kalau penyanyi internasionalnya suka banget sama Jessie J,” pungkasnya.
Sepanjang menjalani keseharian, Oza tak pernah meminta dikagumi. Dirinya hanya berusaha melakukan perbuatan yang selaras nurani. Walakin dari sini, banyak orang yang kemudian mengagumi Oza. Tak sedikit pula yang menjadikan perempuan kelahiran Sabtu Pon ini sebagai panutan untuk dianut.
Oza sendiri tak memikirkan hal tersebut. Dikagumi atau tidak, menjadi panutan atau bukan, tak menjadi pijakan Oza. Oza hanya berusaha untuk terus tetap mentas, tanpa mencari pencapaian, tanpa lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusannya, yang merupakan kesuksesannya adalah tak lelah berjuang mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh… mengayuh… mengayuh perjalanan… saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan… “You say God give me a choice…” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race (Queen, 1978).
Oza tak lelah berjuang bukan semata memuaskan hasratnya, tidak juga sekadar menggembirakan mama maupun papanya. Namun, untuk memberi motivasi dan inspirasi buat sesama manusia biasa, khususnya anak-anak yang merasakan perih dan pedihnya menerima perpisahan mama dan papa. “Orangtua aku divorce dan aku ke sana ke mari hidupnya,” tutur Oza berkisah.
Mama dan papa Oza memilih mengakhiri ikatan suami-istri mereka ketika Oza masih balita, tepatnya saat berumur 3 tahun. Oza kemudian ikut mamanya pindah ke Nongkojajar, Tutur, Kabupaten Pasuruan, kemudian ke Purwodadi, Blimbing, Kota Malang ketika masuk umur sekolah dasar.
“Tulungagung numpang lahir, hahah,” kenang Oza, “Numpang lahir terus ke Nongkojajar, Pasuruan itu 3 tahunnya, terus ke Malang.” Di Malang, Oza menjalani kegiatan pendidikan formalnya dari tingkat dasar sampai menengah. “SD di Purwodadi 1 Malang, SMP 6 Malang, SMA 9 Malang,” kata Oza.
Ketika menjadi pelajar, Oza merupakan salah satu siswi berprestasi. Karena prestasinya pula Oza tak menyelesaikan sekolahnya di SMA. “Jadi aku ga sampai lulus SMA karena kelas 2 SMA aku udah langsung tes kuliah di Inti College Jakarta jurusan bisnis dan alhamdulillah masuk,” cerita Oza, “Tapi karena sempet ada kenakalan remaja jadi aku ga lanjutin,” pungkasnya.
Tak masalah Oza meninggalkan bangku kuliah. Setiap orang sudah memiliki jalannya sendiri, walau masih misteri, tak bisa dilihat secara pasti, “Life is a mystery, everyone must stand alone,” lantun Madonna dalam Like a Pray (Madonna, 1989).
Lagipula lembaga pendidikan belum maksimal dalam melatih keberanian berunjuk rasa, khususnya selaras dengan potensi yang dimiliki. “Kalau jaman aku sih, kayaknya standar-standar aja tuh pendidikannya,” terang Oza, “Kayaknya guru kurang mendukung yang gimana-gimana kalau kita mau berekspresi.”
Perjalanan yang dilakoni Oza adalah duet awet ikhtiar dan takdir. Sebagian orang boleh saja memandangnya dengan cemar dan rajin mencibir. Meski demikian, Oza tak langsir ungkapan nyinyir yang dialamatkan padanya dari para tukang pandir. Biarpun sebagian orang sirik tiada akhir, Oza terus tetap mengalir.
Kisah Oza yang tak lelah mengayuh misteri teranyam azam. Teranyam sebagai motivasi dan inspirasi agar tetap meniti tatanan dari Sang Pencipta Semesta Raya dengan rasa riang. Oza terlahir sebagai penghibur, yang sanggup membuat orang lain gembira meski dia sendiri tak selalu merasakannya.
Sanjungan yang diterima tak membuat Oza melayang. Begitu juga cibiran tak membuat dirinya tumbang. Oza tetaplah Oza, yang kehadirannya selalu dirindukan, namanya dielu-elukan. Dan, dia tetaplah perempuan, yang selalu sulit untuk dimengerti sepenuhnya meski dapat dinikmati seutuhnya. Oza ketika dilihat itu fisik, ketika dinikmati itu hati.
Oza ketika dilihat
itu fisik, ketika dinikmati itu hati.
|
— Biodata
Nama
Lengkap : Roza Lailatul Fitria
Nama
Panggilan : Rosa Fitria, Ocha Fitria, Oza
Nama
Panggung : Oza Kioza
Tempat
Lahir : Tulungagung, Indonesia.
Tanggal
Lahir : Sabtu Pon, 22 Ramaḍān 1414 H./4 Maret 1994 M.
— Education
SDN 1
Purwodadi, Blimbing, Kota Malang (selesai)
SMPN
6 Malang, Klojen, Kota Malang (selesai)
SMAN 9
Malang, Kota Malang (tidak diselesaikan)
INTI
College Indonesia, Kebon Jeruk, Kota Jakarta Barat, jurusan Bisnis (tidak
diselesaikan)
— Discography
—
as the main vocalist
(2015-06-24)
Aki Aki Gila [lihat]
(2015-08-17)
Berdansa [lihat]
(2016-11-18)
10 11 [lihat]
(2016-11-24)
Cinta Tak Terbatas Waktu [lihat]
(2017-03-13)
Godain Aku [lihat]
(2017-03-13)
Asal Kau Bahagia [lihat]
(2017-04-28)
Lungset [lihat]
(2017-04-28)
Masihkah Ada [lihat]
(2017-04-28)
Ojo Nguber Welase [lihat]
(2017-11-06)
Lele Diwedangi [lihat]
(2017-12-13)
Sahabat Penghianat [lihat]
—
as the lead vocalist of Duo Serigala
(2017-05-23)
Kost Kostan [lihat]
— Social Media
Facebook
: Oza Kioza [kunjungi]
Facebook : OZA KIOZA [kunjungi]
Instagram
: @ozakiozaduoserigala [kunjungi]
Twitter
: @OZA_KIOZA [kunjungi]
YouTube:
OchaFitria [kunjungi]
K.Sn.Pa.100639.250218.23:51
Acknowledgement
“Terima
kasih kepada Roza Lailatul Fitria a.k.a. Oza Kioza yang telah berkenan untuk
berbagi cerita tentang dirinya.”
References
Cerita yang disampaikan melalui pesan langsung Instagram oleh Oza
Kioza (@ozakiozaduoserigala) dalam obrolan dengan Alobatnic (@alobatnic).
—
Bibliography
al-Fārābī, Abū Naṣr Muḥammad ibn
Muḥammad. (1967). Kitāb al-mūsīqī al-kabīr. Kairo:Dār al-kātib al-ʻarabī
li-al-ṭibāʻa wa-al-našr. [luring: arsip]
Darwin, Charles Robert. (1872). The
expression of the emotions in man and animals. London: John Murray.
[luring: arsip]
David, B. (2014). Seductive pleasures,
eluding subjectivities: some thoughts on dangdut’s ambiguous identity. Sonic
modernities in the Malay world: A history of popular music, social distinction
and novel lifestyles (1930s–2000s), hlm. 249-268. [luring: arsip]
Davis, Don E., dkk. (2011). Relational
humility: conceptualizing and measuring humility as a personality judgment. Journal
of Personality Assessment, 93(3), hlm. 225-234. [luring: arsip]
Fitriya, Alvi. (2018). Hubungan kuasa komunikasi panggung penyanyi dangdut.
Interaksi Online, 6(1), hlm. 1-9. [luring: arsip]
Hakim, Catherine. (2010). Erotic
capital. European sociological review, 26(5), hlm. 499-518. [luring: arsip]
KBRI Vientiane. (2016). Asean plus
music and culinary festival: promosi budaya indonesia dan asean plus di
vientiane, laos. KBRI Vientiane, 23 November. [daring: lihat]
McNeill, Rhoderick J. (2000). Sejarah
musik: musik awal sejak masa yunani kuno sampai akhir masa barok, tahun 0-1760.
Jakarta Pusat: Gunung Mulia. [luring: arsip]
Prasetyo, Dhani Ahmad. (2012). Musik
yang paling benar. AhmadDhani.com, 11 April. [daring: lihat]
Safira, Maya. (2016). Musik dangdut
dan pop indonesia meriahkan pembukaan asean plus music and culinary festival. detikFood,
13 November. [daring: lihat]
Shidqiyyah, Septika. (2016). Yuk intip
perjalanan karier duo serigala, penuh sensasi sejak awal. Brilio, 5 Mei.
[daring: lihat]
Stajkovic, Alexander D.
(2006). Development of a core confidence-higher order construct. Journal of
Applied Psychology, 91(6), hlm. 1208-1224. [luring: arsip]
Tresnady, Tomi. (2014). Kisah decha
stardut yang meninggal di usia 22 tahun. OkeZone Celebrity, 16 Januari.
[daring: lihat]
Wallach, J. (2014). Notes on dangdut
music, popular nationalism, and indonesian islam. Sonic modernities in the
Malay world: A history of popular music, social distinction and novel
lifestyles (1930s–2000s), hlm. 271-289. [luring: arsip]
Weintraub, Andrew N. (2006). Dangdut
soul: who are ‘the people’in indonesian popular music?. Asian Journal of
Communication, 16(4), hlm. 411-431. [luring: arsip]
Weintraub, Andrew N. (2010). Dangdut
stories: a social and musical history of indonesia's most popular music. Oxford:
Oxford University Press. [luring: arsip]
Wolf, Naomi. (2002). The beauty
myth: how images of beauty are used againts women. New York City: Morrow.
[daring: lihat]
—
Discography
Kioza, Oza. (2016). Aki aki gila
- single. Jakarta Utara: CBM Entertainment, 17 November. [daring: lihat]
Madonna. (1989). Like a prayer.
Dalam Like a Prayer. Burbank: Warner Bros, 3 Maret. [daring: lihat]
Queen. (1978). Bicycle race. Dalam
Jazz. London: Electric and Musical Industries, 13 Oktober. [daring: lihat]
—
Videography
CNB ID. (2014). Oza kioza - aki aki
gila (official music video). YouTube CNB ID, 27 November. [daring: lihat]