Salah satu momen bersama Pak Zaini Sirojan
pada Lebaran 2014 silam
Ahmad Fuad Ria Sahana (Mamad) mengirim pesan pendek melalui WhatsApp pada 11 Juli 2023 pukul 18.56.
“Bos” tuturnya, “Pak Zaeni meninggal
dunia”
Saya yang baru membuka ponsel 27 menit kemudian langsung
menghubungi Mamad melalui telepon.
Buat saya, Pak Zaini adalah The Great One, yang
menata pondasi belajar saya, serta banyak saya tiru dalam mengajar. Beruntung
ketika lebaran 2023 ini, saya masih berkesempatan sowan ke ndalem beliau
bersama istri. Beberapa waktu kemudian, pada Rabu Wage, 23 Dzūlḥijjah 1444 H. /
11 Juli 2023 M. berpindah alam.
•••
Dengan keadaan badan yang masih belum sembuh total dari
kecelakaan mobil, Senin Pahing 7 Rabī'ulākhir 1421 H. / 10 Juli 2000 M. saya
memula bersekolah di MI Thoriqotus Sa’diyyah (pada waktu itu belum diimbuhi MI).
Sejak hari pertama di sana, saya segera berjumpa Pak Zaini Sirojan. Saat itu
beliau sudah lama menjadi guru di sekolah tersebut. Satu perjumpaan yang
kemudian menjadi perlintasan penting bagi saya. Sampai akhirnya beliau
berpindah alam, interaksi kami terus bertahan bahkan beliau masih rajin
membimbing saya. Padahal beliau sudah berpisah dari sekolah dengan saya ketika
pensiun pada Agustus 2003 silam.
Sesudah berpisah dengan Pak Zaini, mendadak saya tumbuh
menjadi bad boy. Perlahan malar saya mulai membikin banyak ulah. Bahkan
saat masih kelas 3 itu, saya tak hanya sekali dipanggil ke kantor, mendapat
peringatan serta bimbingan—mungkin juga ingin dibinasakan tapi eman.
Dalam satu permasalahan serius, ulah yang saya lakukan melibatkan
teman saya. Kami berdua dipanggil seperti biasa saya lakukan sebelumnya. Teman
saya yang saya ajak nakal, sempat menangis di kantor, sedangkan saya tidak.
Dari sini saya mulai ditandai sebagai murid nakal.
•••
Pak Zaini memang bukan guru pertama bagi saya, bahkan
dengan menyempitkan arti guru sekalipun. Setelah orangtua, guru dalam arti
pendidik di lembaga pendidikan, adalah guru TPQ Nurul Ulum. Dalam arti luas,
guru adalah orang yang memengaruhi diri saya, bagaimanapaun hubungan pribadi
saya dengannya. Namun, Pak Zaini adalah The Great One bagi saya.
Kelihaian dalam mendidik kami—saya dan teman-teman—luar
biasa. Siapa pun yang pernah merasakan sentuhan Pak Zaini, rasanya sepakat jika
beliau adalah guru yang hebat. Guru yang bukan hanya mengajarkan pelajaran
sesuai cakupan dan batasan kurikulum, walakin ikut serta memantik keberanian
kami dalam berunjuk rasa.
Saya masih ingat ketika mau pulang, beliau selalu
mengajak murid-murid bernyanyi. Kadang lagu hiburan, tak jarang pula lagu wajib
kebangsaan. Sound track favorit yang menjadi ciri khas beliau adalah lagu Kucingku
Telu. Liriknya sebagai berikut:
kucingku
telu
kabeh
lemu-lemu
seng siji
klawu
seng loro
klabang
meong-meong
tak pakani lonthong
atiku
seneng, koncoku ndomblong
Lagu yang membuat kami, saya dan teman-teman sekelas,
selalu riang ketika pulang sekolah. Kebetulan juga saya suka dengan kucing.
Oleh Fachrul Harri Wibowo (Arul), bagian terakhir diaransir menjadi, “Udelku
bolong”.
Berani berunjuk rasa menjadi satu perkara yang
selayaknya dilatihkan sejak masa balita. Entah berunjuk rasa melalui rupa,
gerakan, alunan nada, hingga paduan kata dan aksara. Melatihkan keberanian
berunjuk rasa sedari dini bisa menamamkan benih yakin diri agar tak merasa
rendah diri ketika terlibat pergaulan dengan lingkungan serta memberi pondasi
rendah hati.
Manusia yang biasa berunjuk rasa memiliki dua sisi
berkelindan itu: yakin diri dan rendah hati. Meski seringkali yakin diri
dilihat sebagai sikap arogans dan rendah hati dinilai sebagai wujud rendah
diri. Keberanian berunjuk rasa senantiasa terus menerus diupayakan tertanam
dalam benak kami—anak asuh Pak Zaini.
Tak peduli saat itu sekolah kami masih dibilang sekolah kampungan
oleh beberapa orang. Apalagi bangunan gedung sekolah masih kalah kelas dengan
tetangga sebelah, SDN 1 Colo. Tak hanya gedung sekolah, pengelolaan pun memang
bisa terbilang kampungan. Selama di kelas satu, setiap hari hanya Pak
Zaini yang mengajar kami, artinya semua pelajaran diampu oleh beliau. Barulah
saat saya kelas 2, Pak Zaini dibantu oleh Pak Kusmin. Pak Kusmin mengajar mata
pelajaran Aqidah & Akhlak setiap Kamis.
Walau selalu bertemu seorang guru setiap hari, kelihaian
Pak Zaini dalam mengambil hati membuat kami semua tak pernah bosan terhadap
beliau, justru kami merindukan selalu. Saya dan teman-teman merasakan kesedihan
yang mendalam ketika beliau pergi dari sekolah kami. Tepatnya saat Agustus
2003, awal-awal saya kelas 3. Setelah kepergian Pak Zaini, beliau sempat datang
ke sekolah, bukan untuk mengajar tentunya. Pada saat itu, saya dan teman-teman
langsung berhamburan ke luar kelas dan meneriakkan nama-namanya.
•••
Pak Zaini dengan telaten menuntun kami belajar membaca,
menulis, dan berhitung mulai dari nol. Sebagian besar dari kami ketika masuk
sekolah memang benar-benar buta huruf, buta angka, juga buta tata krama. Pak
Zaini tak hanya membuat kami melek huruf dan angka tetapi juga memompa semangat
belajar kami. Juga memberikan teladan tata krama dan sikap yang laras.
Ketelatenan membuat beliau sangat keras dalam menghukum
kami. Sedikit saja kami berbuat melanggar aturan, akan kena cambuk dari beliau.
Cambuk dari bambu yang telah di buat sedemikian rupa ini sangat sakit jika
dihentakkan pada kami. Sebagai murid mbeling pun saya tak pernah absen
mendapat sentuhan cambuknya.
Disiplin tingkat tinggi beliau tegakkan. Tak hanya
memberi contoh datang, pulang, dan istirahat tepat waktu, juga dengan menghukum
yang telat. Hukuman bagi yang telat, berdiri di depan kelas. Ketika mendapatkan
hukuman, kami selalu merasa malu. Maklum, anak-anak, ketika ada teman yang dihukum,
yang lain menertawakan. Merasa malu saat melakukan perbuatan tabu itulah
hukuman paling berat sebenarnya.
Pak Zaini memang guru yang tangguh. Beliau masih sanggup
jalan kaki ketika pulang dari mengajar, kalau tak dijemput sang anak. Padahal
jarak rumah beliau dan sekolah sangat jauh, dua kali lipat dari jarak sekolah
dan rumah saya. Pada saat itu juga, beliau sudah sangat tua.
•••
Salah satu kenangan tak terlupakan bersama Pak Zaini
adalah ketika pulang sekolah pada hari Ahad saat saya kelas 2. Masih bisa
diingat karena jam masuknya jam 10 pagi dan pulang jam 1 siang. Gedung sekolah
tak memadai sehingga ada empat kelas yang harus berbagi ruangan. Satu ruangan
untuk kelas 1 dan kelas 2, masing-masing dibagi dua sesi. Satu ruangan lagi
untuk kelas 3 dan 4, dengan sesi yang sama tetapi disekat triplek (kayu lapis)
sebagai pemisah.
Karena sekolah saya liburnya hari Jumu’ah, hari Ahad
kami tetap masuk. Pada hari-hari tertentu, jalanan di tempat saya macet. Sebagai
tempat wisata yang memiliki daya tarik religi dan alam, terminal parkir dan
jalan menuju ke sana kurang lebar. Otomatis kalau sedang ramai, kendaraan tak
tertampung di terminal hingga tumpah ke jalanan. Karena ramai juga, Bapak tak
sempat menjemput saya. Selain sedang ngojeg juga sulit untuk bisa lewat.
Ibuk yang jualan di rumah pun tak bisa menjemput.
Seperti biasa, akhirnya jalan kaki pulang ke rumah.
Keadaan jalan yang tak memungkinkan juga membuat Pak Zaini tak dijemput sang
anak. Teman jalan kaki ketika pulang adalah Sisca Rahmawati (Sisca). Sayang
Sisca pulang lebih dulu. Akhirnya saya dan Pak Zaini jalan kaki bersama.
Dalam perjalanan pulang itu, sangat saya rasakan kasih
sayang beliau terhadap saya. Tentu bukan hanya terhadap diri saya, tetapi
terhadap semua murid beliau. Kebetulan saja hari itu adalah saya yang bersama
beliau. Dari sekolah, beliau terus menuntun tangan kanan saya. Posisi jalan
kami, Pak Zaini lebih dekat ke arah jalan. Posisi ini untuk melindungi dari
himpitan orang yang lewat. Badan mungil saya dituntun erat-erat, erat sekali
hingga sulit melepaskan diri.
Beberapa menit dari sekolah, rumah saya semakin dekat.
Tanpa bilang ba-bi-bu, saya nyelenong saja melepaskan tangan dari Pak Zaini.
Tanpa pamitan, saya langsung menyeberang jalan karena sudah sangat dekat dengan
rumah dan tak perlu dituntun lagi. Sempat berpisah ini di depan rumahnya Bu
Tri, guru SDN 2 Colo. Hanya beberapa puluh meter dari rumah dan sudah masuk
wilayah satu RT dengan rumah saya. Sudah wajar bukan kalau saya memisahkan
diri?
Kaget saya tiba-tiba lepas dari genggaman tangan beliau,
Pak Zaini berteriak-teriak memanggil saya. Beliau kebingungan mencari saya,
bocah mungil di tengah himpitan banyak orang. Saya yang mendengar teriakan nama
saya langsung menjawab seruan beliau. Pak Zaini kemudian berhenti sejenak
setelah melihat saya memandang ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangan.
Kemudian beliau yang saat itu terpisah beberapa langkah
dengan saya, mempercepat laju kaki mendekati saya dan meraih tangan saya
kembali. Pegangan kali ini semakin erat sambil sedikit marah karena tanpa
seijin beliau saya memisahkan diri sendiri. Tak ada kata-kata membantah yang
keluar dari mulut saya. Tak enak mungkin, takut dimarahi juga barangkali.
Saya merasa beliau marah karena kawatir terhadap
keselamatan saya. Tangan saya tetap dipegang erat hingga akhirnya sampai di
depan rumah Pak Wiyono, beberapa meter dari tempat berpisah tadi. Dari itu
kemudian saya dilepas untuk melanjutkan jalan beberapa meter sebelum sampai
rumah. Setelah dilepas pun Pak Zaini masih terus memandangi saya, mungkin untuk
memastikan saya selamat. Saya bisa tahu hal ini karena masih mencuri pandang
menoleh ke belakang.
•••
Secara pribadi, belum pernah menemui guru lain seperti
Pak Zaini. Guru yang benar-benar mendidik muridnya dengan penuh kasih sayang
dan kesabaran. Hukuman sabetan dari bambu yang Pak Zaini lakukan memang bisa
disebut kekerasan tetapi tak bisa disebut kekejaman. Saya tak pernah merasa
bermasalah dengan sikap keras, yang tak saya suka adalah kejam. Orang bisa saja
keras tanpa kejam sepertihalnya orang bisa kejam tanpa tampak keras. Selagi
tidak melukai nurani dan tak membikin muruah menjadi rendah, untuk apa dianggap
masalah?
Lagipula, Pak Zaini bisa memukul dengan keras tetapi tak
membuat cedera. Juga tak pernah memukul bagian kepala dan bagian vital lainnya.
Masih berada pada wilayah yang aman. Kemarahan Pak Zaini tak pernah membuat
saya membencinya, karena Pak Zaini hanya marah ketika saya berbuat salah. Toh
Pak Zaini tak jarang memberikan pujian pada saya ketika saya selesai mencatat
lebih dulu daripada teman-teman serta anugerah daya ingat berlipat
yang membikin saya tak mudah lupa.
Outcomes hasil olahan Pak Zaini benar-benar
berkualitas. Sekalipun kehidupan murid beliau biasa-biasa saja, paling tidak
Pak Zaini telah membuat murid beliau mengenal dirinya sendiri. Wajar kalau
setiap lebaran bersama teman-teman, saya selalu mengunjunginya.
Saat sudah berusia menuju kepala tiga, memang ada
sumbatan untuk mendapat irisan waktu. Apalagi saat awal lebaran, agenda pribadi
sudah begitu padat. Kita harus memaklum segala perubahan yang merupakan
keniscayaan. Meskipun sudah tua dan tak mengajar lagi di madrasah, tetapi
obrolan pada hari lebaran bukan obrolan basi. Obrolan tak hanya seputar
kelanjutan kehidupan saya tetapi sambil diselingi pendapat beliau terhadap
beberapa hal, khususnya pendidikan.
Pada 2015 silam, beliau masih berharap saya
menyelesaikan kuliah S1 Pendidikan Fisika dan segera melanjutkan kuliah sampai
jenjang S3. Namun, saya urung melanjutkan kuliah jenjang S2 karena ada beberapa
hal. Namun, keteladanan Pak Zaini yang masih ikut ngaji setiap hari,
membuat saya tak kehilangan semangat untuk terus belajar. Saat ini, saya secara
nonformal berada dalam bimbingan Buk Fenny Roshayanti & Buk Fadhilaturrahmi.
Pak Zaini termasuk perokok berat, Djarum Super rokoknya.
Beliau sejak 8 tahun lalu saja berhenti menikmati rokok. Pada waktu itupun,
beliau bercerita tanpa ada garansi berhenti seterusnya. Walau begitu, beliau
santun saat merokok. Beliau tak merokok di sembarang tempat sehingga tak
merisaukan liyan dan lingkungan.
Berkesempatan mendapat sentuhan Pak Zaini adalah satu
keberuntungan tersendiri bagi saya. Beliau termasuk ke dalam jajaran utama
pembawa Kirana bagi saya. Dalam temaram, beliau lebih cepat dan mudah teringat.
Ingatan yang segera membikin saya tak kabur dari rasa syukur.
•••
Jogodipo
Rabu Wage
23 Dzūlḥijjah 1444 H.
11 Juli 2023 M.
20:10