Intro: kata “riset” lebih dipilih daripada “penelitian”,
atas dasar akronim nama non-panggilan saya, “Rifqi Setiawan”, bukan karena alasan lain yang
lebih ilmiah.
Awal Januari 2020 nanti, artikel saya tentang kaitan pembelajaran
‘tematik’ dengan literasi saintifik akan diterbitkan oleh Jurnal Basicedu.
Artikel tersebut merupakan publikasi pertama saya sejak come back home ke MI NU
TBS sekaligus debut memandu pembelajaran ‘tematik’. Artikel tersebut juga
menjadi kelanjutan riset saya dalam literasi saintifik yang dimulai sejak
skripsi beberapa tahun lalu, sekaligus debut bermain di pendidikan tingkat
dasar. Gambaran singkat teknis pelaksanaan pembelajaran tersebut saya tulis
terpisah melalui artikel yang diterbitkan melalui Qureta.com dan SantriMilenial.net.
Awal Januari 2020 pula, pendidikan literasi finansial
melalui pembelajaran fiqh mu’āmalāt akan saya laksanakan. Pelaksanaan ini guna
menyambung ungkapan, “The
implementation of this program is not carreid out yet.” Ungkapan
ini adalah kalimat terakhir abstak artikel Pembelajaran
Fiqh Mu’āmalāt Berorientasi Literasi Finansial yang
saya tulis bersama Mita Puspaningrum dan Khoirul Umam. Walau banyak kekacauan
dalam penulisan dan kekagetan ketika diterbitkan, artikel tersebut justru
sangat cepat mendapat banyak perhatian. Paduan diksi “fiqh mu’āmalāt” dan
“literasi finansial” tampak memiliki daya gugah kepada pemirsa—yang belum tentu
menjadi pembaca.
Kedua hal tersebut adalah contoh publikasi riset yang
saya lakukan selama memandu pembelajaran. Kedua hal tersebut juga menjadi
bentuk konkret grenengan
saya terkait publikasi riset, baik dalam bentuk jurnal maupun prosiding.
Buat saya, riset dilakukan untuk memperjelas masalah yang
dialami, syukur kalau dapat menemukan solusi, lebih lagi bisa mencegah masalah
terulang kembali. Tujuan saya melakukan riset memang seperti itu: memperjelas
masalah. Kalau masalah sudah jelas, saya baru dapat bergerak untuk berupaya
mencari solusi, baik untuk mengatasi dan/atau mencegah kembali. Karena tujuan
saya melakukan riset untuk memperjelas masalah yang dialami, publikasi dalam
bentuk jurnal maupun prosiding hanyalah efek samping. Jadi buat saya, publikasi
bukan tujuan utama riset. Makanya saya kerap bilang bahwa jurnal dan prosiding
saya adalah curhat tertulis serta keterlibatan di kolokium merupakan bentuk
curhat lisan. Ini bukan ungkapan guyonan,
memang faktanya seperti itu.
Dengan pijakan tersebut, ketika
melakukan riset, saya mendapat dua hasil sekaligus: masalah jelas dan menambah
publikasi. Sayang, pijakan seperti itu tidak dimengerti oleh sebagian orang. Lebih
disayangkan lagi ialah banyak orang yang melakukan riset hanya untuk menambah
publikasi saja! Ketika riset dilakukan atas dasar tujuan untuk menambah
publikasi, luaran yang diperoleh hanya satu: publikasi. Sementara masalah yang
dialami tidak dapat teratasi.
Itulah gagasan pokok yang ingin
saya angkat agak serius, dengan mengajak Faliqul Jannah Firdausi, ketika hendak
mengulas prestasi literasi (matematis dan saintifik) siswa Indonesia
berdasarkan penilaian PISA. Sayang sampai sekarang gagasan pokok tersebut masih
belum dapat kami urai secara rapi dan rinci dalam sebuah artikel. Padahal hanya
dengan membaca sebentar saja, bahan untuk menyusun kalimat penjelas terhadap
gagasan pokok itu sudah sangat banyak—kebetulan Indonesia mengalami masalah inflasi
publikasi.
Karena bertujuan untuk
memperjelas masalah yang dialami, ada beberapa riset yang sengaja tidak saya
terbitkan. Misalnya riset tentang keadaan Pondok Pesantren
Ath-Thullab, yang metodenya disusun secara sistematis
sepenuhnya oleh Kiai Hasan Fauzi. Ada juga riset terkait langkah meningkatkan
kedisiplinan santri, yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan Ikvy
Bariqlana Ahmad dan Muhammad Roi Bagus Hasanuddin. Riset bersama Muhammad
Fahmil Huda terkait pengembangan program pembelajaran yang selaras dengan visi
dan misi pondok pesantren juga tidak saya terbitkan. Banyak obrolan saya dengan
Khoirul Umam yang, andai mau, dapat diterbitkan dalam bentuk jurnal.
Riset yang saya lakukan tersebut
sebenarnya merupakan kelanjutan tradisi pondok pesantren sekaligus selaras
dengan keadaan yang terjadi di developed country. Pondok pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan, tidak hanya melakukan pembelajaran saja,
melainkan terlibat khidmah ilmiah kepada masyarakat. Ini bisa dilihat ketika
orang datang membawa masalah untuk disampaikan kepada kiai. Kiai diminta tolong
untuk memecahkan masalah tersebut. Ketika kiai memecahkan masalah, di situlah
riset dilakukan. Ada identifikasi masalah, ada kajian pustaka, ada analisis
informasi, ada penyimpulan. Contohnya ketika Kiai Muhammad Arifin Fanani
menyampaikan persoalan mahar maupun Kiai Muhammad Ulil Albab Arwani menuturkan
masalah belajar al-Qur’an secara daring (online).
Contoh konkret serupa dapat
ditemukan di developed country, ketika perguruan tinggi melakukan
khidmah ilmiah kepada masyarakat, baik masyarakat umum maupun pelaku industri.
Pengalaman yang dialami oleh Richard Phillip Feynman misalnya.
Para tentara datang membawa masalah yang dihadapi kepada Dick Feynman. Mereka
meminta Dick Feynman memecahkan masalah terkait energi nuklir. Dick Feynman
bersama kolega di perguruan tinggi melakukan riset untuk memenuhi permintaan
itu tanpa memikirkan publikasi. Namun, ketika Dick Feynman wa ashabihi
bisa memberi solusi, mereka memiliki bahan untuk diterbitkan. Hasilnya, para
tentara mendapatkan solusi dari masalah yang sedang dihadapi sementara
perguruan tinggi menambah publikasi.
Karena itulah saya kerap
menyayangkan gagal paham yang dialami oleh sebagian orang terkait publikasi
riset. Publikasi riset dapat bermacam bentuknya. Bisa berupa jurnal, prosiding,
poster, novel, cerita pendek, audio, video, dan seabgreg representasi informasi
lainnya. Contoh paling jelas ialah novel Dimsum Terakhir
karya Clara Regina Juana as known as Clara Ng. Ketika saya melakukan operasi
matematika sederhana (berupa integral lipat tiga dengan variabel tebakan)
terhadap novel tersebut, hasilnya muncul dalam bentuk preprint jurnal
berjudul Kehidupan Perempuan Etnis Tionghoa pada Orde
Militeristik.
Kegagal pahaman pula yang membuat
orang tidak ngeuh tentang jurnal dan kolokium. Jurnal adalah laporan
tertulis dari riset yang dilakukan. Sementara kolokium adalah pertemuan untuk
mengomunikasikan riset yang dilakukan. Keduanya dapat dianalogikan seperti
BlackPink merilis lagu. Ketika BlackPink merilis Kill this Love, itu serupa
dengan saat kita menerbitkan jurnal. Sementara padanan untuk kolokium terjadi
tatkala BlackPink menampilkan Kill this Love di acara
Coachella.
Berdasarkan tuturan embuh
tersebut, artikel ilmiah (jurnal atau prosiding) tidak lebih dari laporan riset
yang dilakukan. Laporan tersebut ditulis dalam bentuk singkat dan padat dengan
mengikuti kaidah yang telah disepakati oleh komunitas bidang riset terkait.
Tidak lebih dari itu. Tentu saja jika ada pelaporan, harus ada yang menerima
dan memeriksa laporan tersebut. Pemeriksa tentu kolega sejawat dan sebidang
yang sangat paham makna hasil riset tersebut.
Karena laporan ini bersifat ilmiah,
uraian di dalamnya haruslah dapat disanggah secara universal, menembus
kungkungan negara, bahasa, dan budaya. Inilah tujuan dari publikasi riset,
terutama internasional. Hasil riset yang dilaporkan pada akhirnya harus diakui
oleh semua anggota komunitas global sebagai temuan dari si pelapor.
Pemakaian jurnal atau prosiding
sebagai laporan hasil riset kepada masyarakat, khususnya komunitas ilmiah,
sudah menjadi cara baku sejak zaman Sunan Kalijaga berinovasi wayang dulu.
Boleh dikatakan, proses ini sudah menjadi bagian integral dari kegiatan ilmiah,
bahkan sudah menghasilkan produk sampingan berupa faktor dampak, indeks-h,
indeks-i10, dan sebagainya, yang bertujuan mengukur seberapa pentingnya laporan
riset tadi.
Ketika kegiatan riset didanai
oleh individu atau lembaga, tentu perlu pertanggung jawaban dana riset. Cara
yang paling praktis memeriksa tentu saja dengan melihat hasil pemeriksaan
kolega sejawat peneliti, yaitu berhasil di penerbitan di jurnal standar
komunitasnya. Sekali lagi, karena uraian bersifat universal, maka komunitasnya
harus global. Kalau didanai oleh masyarakat (misalnya melalui pajak),
masyarakat yang relatif awam terhadap riset tersebut juga berhak bertanya
apakah dana yang mereka bayar melalui pajak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Kalau luaran riset adalah barang yang dapat langsung dilempar ke industri atau
paten, tentu saja pertanyaan tentang manfaat segera terjawab. Namun, bagaimana
dengan produk berupa simulasi, metode, teori, ataupun ideologi baru yang boleh
jadi di negara ber-flower ini hanya segelintir Homo sapiens yang
mengerti makna pentingnya? Nah, kalau hasil riset sudah dimuat di jurnal
internasional, redaktur jurnal tersebut sudah mengambil alih tugas menjawab
pertanyaan ini.