Kehidupan Perempuan Etnis Tionghoa pada Orde Militeristik

 

Kehidupan Perempuan Etnis Tionghoa pada Orde Militeristik

Kehidupan Perempuan Etnis Tionghoa pada Orde Militeristik: Catatan Kesan Terhadap Novel ‘Dimsum Terakhir’ karya Clara Ng

 

Adib Rifqi Setiawan

Pondok Pesantren Ath-Thullab, Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS)

Jl. KH. Turaichan Adjhuri, No. 24, Kajeksan, 002/002, Kudus, 59314, Indonesia

alobatnic@gmail.com

 

RESUME

Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh gambaran kehidupan perempuan etnis Tionghoa pada Orde Militeristik dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Pendekatan yang dipilih ialah kualitatif kategori desktriptif desain fenomenologi. Data dikumpulkan menggunakan teknik analisis konten kemudian dibuat kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Pemeriksaan keabsahan (validity) data yang diperoleh dilakukan menggunakan teknik semantikserta keandalan (reliability) didapat melalui teknik interrater. Simpulan yang diperoleh ialah: (1) Sinopsis Dimsum Terakhir menegaskan bahwa terdapat konflik yang dialami tokoh perempuan etnis Tionghoa terkait dengan diskriminasi ras dan pertanyaan kesejatian diri; (2) Bentuk diskriminasi dalam ranah domestik, yaitu sikap diskriminasi senioritas, sedangkan ranah publik yaitu ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa, larangan libur imlek bagi keturunan Tionghoa, penolakan pertanggungjawaban kehamilan, pengharusan panggilan nama Cina untuk keturunan Tionghoa, dan kekejaman fisik; (3) Diskriminasi domestik terjadi karena faktor jenis kelamin, posisi, atau urutan anak, sedangkan diskriminasi publik terjadi karena faktor etnis, agama, dan politik; serta (4) Tanggapan tokoh perempuan etnis Tionghoa yang paling dominan adalah menolak dalam bentuk tindakan verbal dan sikap mengkritik tindak diskriminasi. Secara umum luaran yang dihasilkan dapat menjadi bahan kajian tentang sastra, terutama pembahasan terkait feminisme di setiap wilayah Indonesia pada periode waktu tertentu. Ruang lingkup kajian terbatas kepada tindakan diskriminatif masyarakat terhadap etnis Tionghoa yang dituturkan dalam novel.

Kata-kata Kunci: Clara Ng; Dimsum Terakhir; Feminisme; Orde Militeristik; Sastra;

 

 

A.    PENGANTAR

 

Manusia adalah makhluk berperasaan, sehingga rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat (Setiawan, 2018a; 2017a). Ketika ada manusia yang tidak dapat merasakan rasanya sendiri, apalagi rasa manusia lainnya, manusia itu seakan robot. Walaupun memiliki kepandaian (bukan kecendekiaan) melebihi para perancangnya, belum bisa memiliki rasa. Sebagai makhluk berperasaan, berunjuk rasa (expression) merupakan perilaku yang wajar dilakukan. Entah unjuk rasa melalui rupa, nada, gerakan, tulisan, dsb. dst. termasuk bergeming. Salah satu bentuk unjuk rasa tersebut ialah menulis buku sastra.

 

Buku sastra adalah pembeda antara manusia (Homo sapiens) dengan binatang, walau sama-sama hewan (Kingdom Animalia). Kebutuhan manusia tidak hanya berupa sandang, pangan, dan papan. Sebab kalau cuma sekedar sandang, pangan, papan, binatang pun memiliki itu. Binatang tidak perlu sekolah, tapi bisa mencari makan. Binatang pun tidak perlu punya uang banyak untuk bisa membeli baju, yaitu bulu yang bahkan dijadikan busana ekslusif para selebritas. Binatang juga tidak perlu punya uang banyak untuk bisa membangun rumah, tapi binatang bisa membangun sarangnya sendiri. Yang binatang tidak punya adalah buku sastra. Karena itu, kalau ada manusia yang mengira berbudaya tapi tidak membaca buku sastra, maka manusia itu telah mengambil inisiatif menjadi binatang (Sylado, 2006).

 

Sastra adalah sebuah ilmu pengetahuan (science, sains), sama seperti fisika, farmasi, dan fikih (Situmorang, 2017). Karena itu sastra dipelajari secara sistematis di tempat yang disebut “Fakultas Sastra”, dengan tingkat stata mulai sarjana, magister, sampai doktor seperti ilmu pengetahuan lain. Sayangnya, tampak kentara di Indonesia bahwa sastra belum disadari sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang diperlukan kajian sistematis dan lama atas sejarahnya, teorinya, serta jenisnya untuk dapat mengerti karya sastra. Memang banyak terdapat Fakultas Sastra serta lulusannya baik Sarjana/Magister/Doktor Sastra bertebaran di negeri ini, tapi Sastra masih belum dianggap sebagai sebuah ilmu pengetahuan oleh masyarakat, bahkan tragisnya oleh mereka yang menganggap dirinya sastrawan. Dampak fenomena ini ialah ulasan seadanya atas buku sastra diklaim sebagai review maupun krtik sastra.

 

Salah satu penulis yang berupaya dapat menghasilkan buku sastra ialah Clara Ng. Ulasan yang kami lakukan sebelumnya mengurai narasi biografi Clara Ng dengan fokus terhadap kehidupan pribadi, karier kepenulisan, dan gaya penulisan (Setiawan, 2019a; 2019b; 2019c; 2019d; 2019e; 2018b; 2017b). Uraian tersebut memberi informasi bahwa Clara Ng adalah nama pena dari Clara Regina Juana, penulis yang lahir pada 28 Juli 1973 di Jakarta Pusat. Debut kepenulisan Clara Ng dilakukan dengan merilis novel Tujuh Musim Setahun yang dilanjutkan perilisan trilogi Indiana Chronicle. Sejak itu, Clara Ng telah meluncurkan beberapa novel serta sejumlah cerita pendek (termasuk satu antologi), buku anak, dan beberapa koleksi cerita dongeng. Kecenderungan gaya yang dimiliki Clara Ng ialah mengangkat perempuan sebagai karakter utama dalam setiap karyanya. Cerita anak yang ditulis sederhana, bergambar, berkaitan dengan perasaan anak-anak, dan nama-nama karakter dipilih agar mudah diingat, dimaksudkan untuk membuat anak-anak lebih empati.

 

Uraian tersebut memang memberi informasi hampir lengkap tentang Clara Ng sebagai sosok penulis. Namun, uraian yang disampaikan tidak disertai kajian terhadap karya Clara Ng. Padahal karya Clara Ng dapat dipandang istimewa, antara lain ditandai dengan beberapa apresiasi yang diterima. Beberapa apresiasi tersebut antara lain:

1)      Klaim Majalah Tempo bahwa triologi Indiana Chronicle mengawali genre metropop dalam sastra Indonesia;

2)      Penghargaan Adhikarya untuk Buku Anak Terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tahun 2006 untuk Gaya Rambut Pascal serta tahun 2007 untuk Melukis Cinta;

3)      Sambutan baik oleh komunitas LGBT Indonesia terhadap Gerhana Kembar karena Clara Ng sebagai penulis tidak mengaitkan homoseksualitas sebagai isu negatif seperti penggunaan obat-obatan pada 2008;

4)      Pembuatan film berdasarkan cerita pendek berjudul Barbie untuk ditayangkan di festival film LA Lights Indie pada 2010;

5)      Nominasi longlist Penghargaan Sastra Kathulistiwa Literarary Awards untuk Jampi-jampi Varaiya pada 2010;

6)      Beberapa artikel terkait Clara Ng yang diterbitkan di media massa seperti The Jakarta Post, The Jakarta Globe, Kompas.com, dan TEMPO Interaktif dalam rentang waktu 2008-10; serta

7)      Kajian akademik terhadap karya Clara Ng antara lain novel The Un(Reality) Show dan Tujuh Musim Setahun pada 2008.

 

Secara pribadi, kami mengetahui Clara Ng melalui Dimsum Terakhir. Informasi yang diperoleh ketika mengurai narasi biografi Clara Ng ialah novel tersebut dibuat selama proses kehamilan putri kedua penulis, yakni Catrina Ng. Dimsum Terakhir dapat dianggap sebagai buku yang mengikuti kecenderungan gaya Clara Ng, yakni mengangkat perempuan sebagai karakter utama dalam setiap karyanya.

 

Dimsum Terakhir merupakan novel yang mengisahkan tentang kehidupan empat perempuan etnis Tionghoa yang memiliki ragam karakter seperti menolak sisi feminin dengan latar era Orde Militeristik (sebutan kami untuk masa yang biasa disebut Orde Baru, 1966-1998). Dimsum Terakhir juga menyampaikan masalah terkait kehidupan etnis Tionghoa seperti diskriminasi dari masyarakat (pejabat dan rakyat). Dimsum Terakhir menurut kami adalah salah satu karya yang memotret utuh ragam persoalan kehidupan keluarga. Potret masalah dibuat oleh Clara Ng dalam bentuk spektrum yang rinci dari aspek fisik sampai sikap sebagai cara penulis melakukan gugatan terhadap keadaan yang harus diperbaiki dalam kehidupan masyarakat.

 

Kajian akademik terhadap Dimsum Terakhir beberapa dilakukan. Budiman (2011) membahas Dimsum Terakhir untuk menguji berbagai strategi yang digunakan oleh penulis dalam mendefinisikan kembali identitas. Dimsum Terakhir diulas kembali oleh Malagina dan Erowati (2015) untuk menguatkan argumen bahwa identitas merupakan proses yang senantiasa dalam pergulatan menghadapi dinamika renegosiasi dari jaman ke jaman. Taufiq (2014) mengkaji Dimsum Terakhir beserta Student Hijo karya Marco Kartodikromo dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dengan hasil yang menyebutkan bahwa masalah identitas dan proses artikulasi identitas dalam masyarakat multikultural membutuhkan perhatian serius karena masalah identitas terkait erat dengan kewarganegaraan.

 

Penyampaian informasi tersebut menampakkan bahwa masih terdapat ruang elaborasi terhadap Dimsum Terakhir. Ruang elaborasi tersebut terkait diskriminasi perempuan etnis Tionghoa pada Orde Militeritik, antara lain meliputi tanggapan tokoh terhadap diskriminasi yang dialami,beberapa faktor penyebab diskriminasi, serta kaitan antara rasisme dan feminisme yang ditampilkan dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Berdasarkan keadaan tersebut, penelitian ini diarahkan untuk memperoleh gambaran kehidupan perempuan etnis Tionghoa pada Orde Militeristik dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Luaran dari penelitian ini dapat menjadi bahan kajian tentang sastra, terutama pembahasan terkait feminisme di setiap wilayah Indonesia pada periode waktu tertentu, serta alternatif referensi guna memperkaya kajian sastra dan/atau feminisme. Secara khusus penelitian dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap Clara Ng sebagai penulis yang kami kagumi.

 

Karena itu, pertanyaan penelitian yang disusun ialah:

1)      Bagaimana sinopsis cerita yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

2)      Apa bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis Tionghoa yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

3)      Apa faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

4)      Bagaimana tanggapan tokoh perempuan dalam menghadapi diskriminasi yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

 

 

B.     METODE PENELITIAN

 

Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh gambaran kehidupan perempuan etnis Tionghoa pada Orde Militeristik dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bentuk, faktor penyebab, serta tanggapan tokoh perempuan dalam menghadapi diskriminasi yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir. Sehingga, dibutuhkan data berupa ucapan dan tindakan tokoh dalam novel yang dituturkan oleh penulis.

 

Berdasarkan tujuan penelitian dan kebutuhan data, pendekatan yang dipilih ialah kualitatif kategori desktriptif desain fenomenologi (Fraenkel & Wallen, 2009: 442, 446, & 454). Kemudahan pada metode ini ialah tidak diperlukan tindakan untuk mengutak-atik fenomena. Sedangkan kesulitannya yaitu mengutamakan gambaran utuh dari fenomena. Dari penuturan kemudahan dan kesulitan, metode ini dipilih karena kami bermaksud memahami secara menyeluruh dari fenomena yang diteliti berupa novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.

 

Data dikumpulkan menggunakan teknik analisis konten.Data yang diperoleh kemudian dibuat kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Interferensi digunakan untuk membuat penyimpulan terhadap aspek yang mengandung permasalahan yang diteliti berdasarkan deskripsi dari data yang menggunakan analisis kritik sastra feminis.

 

Pemeriksaan keabsahan (validity) data yang diperoleh dilakukan menggunakan teknik semantik untuk melihat keselarasan dan kesinambungan dengan mempertimbangkan konteks wacana berdasarkan tuturan yang disampaikan penulis (Clara Ng) dalam bentuk ucapan dan tindakan tokoh yang terdapat dalam novel (Dimsum Terakhir). Keandalan (reliability) data didapat melalui teknik interrater, dalam bentuk pembacaan berulang terhadap objek penelitian yang dalam setiap tahap dilakukan diskusi dengan rekan sejawat yakni Laila Fariha Zein dari Pendidikan Bahasa Prancis Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (SPs UPI). Pemilihan rekan sejawatdidasari oleh bidang keahlianyang mencakup topik feminisme dan kajian karya sastra.

 

 

C.    HASIL DAN PEMBAHASAN

 

1)      Bagaimana sinopsis cerita yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

 

Empat perempuan kembar dilahirkan dengan keunikan masing-masing. Anas dan Nung Atasana berkesempatan memiliki empat perempuan hebat di samping mereka. Mereka adalah Siska, Indah, Rosi, dan Novera. Siska digambarkan sebagai perempuan kuat, sangat bossy, selalu ingin menjadi nomor satu, berdedikasi tinggi pada pekerjaan, keras kepala, tidak mau mengalah, cepat, rasionable, to the point, dan berpemikiran luas. Indah digambarkan sebagai sosok yang mengejar kesempurnaan, terlalu kaku, sering salah tingkah, selalu gagap bila sedang panik, dan tegas dalam menentukan pilihan yang sulit. Rosi digambarkan sebagai perempuan yang menarik, humoris, santai, tidak suka diatur, memandang hidup dengan ringan, tidak mudah terpengaruh orang lain, dan jujur terhadap apa yang dirasakannya. Novera digambarkan sebagai adik yang paling lembut, pengalah, lebih mudah sakit, menjalani hidup mengalir saja, menikmati segala yang dimilikinya tanpa harus ngoyo untuk mendapatkan sesuatu. Mereka menjalani kehidupan dengan baik, sampai pada suatu waktu mereka diharuskan menjaga ayah mereka yang sedang sakit.

 

Konflik demi konflik mulai dibicarakan. Siska harus menghadapi kliennya di Singapura yang menuntutnya atas tuduhan pelecehan seksual. Siska harus terus menerus memantau perkembangan kasusnya melalui sekretarisnya. Sikap positif yang ditampakkan oleh Siska yaitu dirinya memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaan yang sedang dijalaninya. Indah dihadapkan pada permasalahan kehamilan. Ia berkencan dengan seorang pastor. Pastor tersebut tidak mau bertanggung jawab dengan alasan Tuhan dan ras mereka yang tak sama. Pastor Antonius Jawa, Indah Cina. Tetapi, permasalahan yang dialami Indah dapat dihadapi dengan baik dengan dukungan dari seluruh saudara kembarnya. Rosi harus menjalani hidup sebagai seseorang yang dipandang tak normal. Selain sebagai keturunan Cina, ia juga transgender. Ia merasa berada di tubuh yang salah. Tubuhnya secara biologis adalah perempuan, tetapi ia merasa jiwanya adalah lelaki. Ia bahkan berpacaran dengan perempuan bernama Dharma. Konflik batin tersebut ia alami bertahun-tahun, hingga akhirnya setelah melakukan perenungan yang dalam ia berani mengakui kesejatian dirinya di hadapan semua saudara kembarnya. Novera sebagai bungsu memiliki permasalahan dengan rahimnya. Karena kista yang menjangkit, maka rahim satu-satunya harus diangkat. Ia merasa hidupnya juga ikut diangkat bersama rahimnya. Ia bahkan merasa tidak percaya diri menghadapi hidup ataupun lelaki. Maka dari itu ia beralih pada agama, ia merasa agama menguatkannya kembali dari keterpurukan. Ia tidak merasa butuh menikah. Ia ingin berbakti pada Tuhan yang telah menuntunnya kembali. Ia merasa tidak ada lelaki yang akan bersedia menjadi suaminya. Maka ia berencana akan menjadi biarawati. Ia mendiskusikan hal itu dengan saudara kembarnya, tetapi pada akhirnya ia membatalkan keputusannya dan tetap menjalani hidup dengan lebih semangat lagi.

 

Keempat tokoh akhirnya kembali menemukan kebersamaan yang telah lama hilang dengan mendampingi ayah mereka yang sedang sakit. Pada mulanya terjadi berbagai kesalahpahaman satu sama lain karena faktor pekerjaan mereka yang tidak dapat ditinggal untuk jangka waktu yang lama. Namun setelah membicarakan dengan kepala dingin, akhirnya mereka bersepakat untuk menjaga dan merawat ayah mereka bersama-sama. Ayah mereka juga meminta mereka untuk segera menikah sebelum menghembuskan napas terakhirnya, sehingga mereak cukup kewalahan untuk menghadapi permintaan ayahnya tersebut. Ironisnya, ayah mereka meninggal seorang diri tepat pada hari pertama Imlek saat semua anak mereka pulang ke rumah untuk merayakan tradisi mereka yang telah dijalankan bertahun-tahun, yaitu memakan dimsum di pagi hari. Ayah mereka pergi dengan tenang, tanpa merepotkan siapapun.

 

Dalam menuturkan karakter dan konflik yang dibangun, keempat tokoh mengalami tindak diskriminasi dari berbagai pihak. Mulai dari ejekan dan hinaan, peraturan pemerintah yang mengekang, bahkan kekejaman fisik . Di antara faktor yang mendominasi adanya bentuk diskriminasi tersebut yang paling mendasar adalah faktor etnis. Terdapat pula aktor lainnya seperti jenis kelamin, faktor agama, dan faktor politik yang juga membuat mereka merasakan diskriminasi di Indonesia.

 

2)      Apa bentuk diskriminasi terhadap perempuan etnis Tionghoa yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

 

Diskriminasi terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir diklasifikasi menjadi dua ranah: domestik dan publik. Bentuk diskriminasi dalam ranah domestik yaitu sikap diskriminasi senioritas, sedangkan ranah publik yaitu ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa, larangan libur imlek bagi keturunan Tionghoa, penolakan pertanggungjawaban kehamilan, pengharusan panggilan nama Cina untuk keturunan Tionghoa, dan kekejaman fisik. Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa bahwa bentuk diskriminasi paling dominan yaitu bentuk diskriminasi publik berupa ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa.

 

Tabel 1. Diskriminasi ranah domestik

Bentuk

Tokoh

Data

Penjelasan

Diskriminasi senioritas

Indah

1, 6, 8

Siska sebagai kakak

mengharuskan Indah yang bertanggung jawab atas kesehatan Nung Atasana karena Indah berada dalam satu kota dengan ayah mereka.

 

 

Tabel 2. Diskriminasi ranah publik

Bentuk

Tokoh

Data

Penjelasan

Ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa

Siska

7, 25, 26

Diskriminasi masyarakat

yang memandang rendah etnis

Tionghoa dan memojokkan

mereka dengan ucapan kejam.

Rosi

2, 3, 4, 25, 26

Novera

20, 21, 22, 23

Larangan libur imlek bagi keturunan Tionghoa

Siska

5

Terdapat aturan negara yang melarang libur pada tahun baru imlek.

Indah

5

Rosi

5

Novera

5, 17, 18, 19

Penolakan pertanggungjawaban kehamilan

Indah

9, 10, 11, 12

Antonius, pastor yang menghamili Indah, menolak bertanggung jawab atas kehamilan Indah karena perbedaan ras.

Pengharusan panggilan nama Cina

untuk keturunanTionghoa

Siska

13, 14, 15, 16

Mereka yang merupakan keturunan

Tionghoa, diharuskan

untuk dipanggil dengan

nama Cina yang

disematkan.

Indah

13, 14, 15, 16

Rosi

13, 14, 15, 16

Novera

13, 14, 15, 16

Kekejaman fisik

Siska

24

Berupaya membela diri atas hinaan yang diterima, tetapi justru mendapat kekejaman fisik yang berujung kepada perkelahian.

Rosi

24

 

Diskriminasi ranah domestik dapat dilihat pada sikap senioritas Siska kepada Indah. Sebagai sulung, ia meminta Indah untuk lebih memperhatikan Nung Atasana (ayah) yang sedang sakit karena Indah berada satu wilayah yang sama dengan ayah mereka. Ia punya harapan yang lebih besar kepada Indah, agar Indah dapat bertanggung jawab terhadap kesehatan ayah mereka terlihat dalam kutipan berikut:

“Kedua, kan kamu yang tinggal di Jakarta. Satu kota denganPapa, naik bajaj juga sampai. Apa salahnya kalau kamu yangmemantau kesehatan Papa?”

(Ng, 2013, hlm. 32).

Kutipan tersebut menampakkan bahwa sikap Siska sangat tidak adil kepada Indah. Dirinya memang berada satu kota dengan ayah, tapi bukan berarti dia yang harus selalu mengurus ayah. Hal ini karena Indah merasa bukanlah satu-satunya putridari ayahnya. Putri ayahnya ada empat, sehingga semua saudaranya juga memiliki tanggung jawab yang sama seperti dirinya.

“Kamu bekerja di Jakarta. Memangnya kenapa sih kalau kamu saja yang mengurus Papa? Papa toh tidak perlu kita berempat untuk mengingatkannya kapan dia makan obat atau kapan harus tidur.”

(Ng, 2013, hlm. 108).

Kutipan tersebut memperjelas diskriminasi seorang kakak terhadap adiknya yang bersikeras bahwa penyakit ayah tidak parah. Karena itu, kakak menginginkan bahwa seharusnya adik yang lebih berkewajiban menjaga dan merawat ayah mereka.

 

Diskriminasi di ranah publik dapat terlihat pada saat mereka berada di luar rumah. Perlakuan yang seringkali mereka dapatkan yaitu berupa sindiran, ejekan,atau hinaan yang menyudutkan dan membuat mereka gusar karena diperlakukan demikian. Siska dan Rosi harus menerima hukuman karena memukul temannya pada saat upacara bendera. Hal itu sebenarnya mereka lakukan sebagai upaya pembelaan diri saat adik mereka, Novera, diejek dengan kata-kata “amoy” dan “bukan orang Indonesia”. Selain itu, terdapat pula ejekan tetangga tentang keturunan Tionghoa yang tak dipanggil dengan nama Cina mereka, ia beranggapan bahwa keturunan Tionghoa harus dipanggil dengan nama Cina mereka. Terdapat pula perbedaan perlakuan terhadap etnis Tionghoa yang harus selalu merayakan imlek tanpa libur, dan sikap penolakan seorang pastor untuk bertanggungjawab terhadap bayi yang dikandung Indah dengan dalih ras yangberbeda.

 

Diskriminasi dialami oleh keempat tokoh untuk ranah publik, antara lain ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa, kekejaman fisik , serta berbagai aturan dan larangan yang membatasi ruang gerak mereka sebagai salah satu warga Indonesia. Ejekan dan hinaan diterima Siska karena dia memang tidak dapat berbahasa Cina. Meskipun dia sukses di negara tetangga, tetapi dirinya menyadari bahwa kekurangannya sebagai etnis Tionghoa yang justru tidak bisa sama sekali berbahasa Cina. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:

Siska tahu, di belakangnya pasti klien-klien Hongkong itubergosip ria tentang dirinya. Tampang Cina tapi tidak mampuberbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yangtersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia.

(Ng, 2013, hlm. 55).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa memang sebenarnya memang haltersebut wajar terjadi. Etnis Tionghoa di Indonesia kelahiran 1970-an adalah generasi yang sebagian besar telah tidak menguasai bahasa Cina lagi. Generasi ini umumnya jarang menjadi pedagang atau pemilik toko seperti orangtua. Kebanyakan dari mereka juga telah lepas dari ikatan tradisi dan adat istiadat leluhur. Kecinaan mereka lebih hanya karena hubungan darah dengan generasi pendahulu mereka. Etnis Tionghoa generasi ini lebih cenderung melihat diri sebagai “warga negara yang profesional” daripada “keturunan Tionghoa”. Kami belum dapat melakukan kajian lebih lanjut terhadap kecenderungan ini, apakah hanya berlaku untuk etnis Tionghoa di Indonesia, etnis Tionghoa di seluruh dunia, atau setiap etnis di Indonesia. Karena itu, kami menyarankan dilakukan kajian utuh terhadap fenomena tersebut.

 

3)      Apa faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

 

Faktor penyebab diskriminasi tokoh perempuan etnisTionghoa di sini dibedakan dalam dua ranah, ialah domestik dan publik. Faktor penyebab diskriminasi di ranah domestik adalah urutan anak. Sedangkan di ranah publik yaitu faktor etnis, agama, dan politik.

 

Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa faktor penyebab diskriminasi di ranah domestik yaitu jenis kelamin dan urutan anak. Sebagai sosok anak perempuan, mereka diminta untuk taat dan patuh selayaknya anak perempuan. Kepatuhan tersebut berwujud dalam bentuk harus mau memakai rok, bersikap sopan, tidak mudah meluapkan emosi, dan sebagainya. Bentuk diskriminasi karena faktor posisi atau urutan anak dialami oleh Indah yang diharuskan Siska agar lebih memperhatikan ayahnya dengan alasan berada satukota dengan ayah mereka. Indah sebagai adik Siska merasa terdiskriminasi dengan sikap tersebut. Ia merasa tanggung jawab merawat ayah harus mereka pikul bersama-sama. Pada ranah publik, terdapat fakor etnis, agama, dan politik. Faktor etnis menjadi faktor mendasar adanya diskriminasi. Etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia seringkali dijadikan kambing hitam kesalahan. Faktor agama juga dijadikan alasan bagi sebagian orang untuk bersikap diskriminiatif. Salah satunya terlihat pada sikap Antonius yang menolak bertanggungjawab atas kehamilan Indah dengan dalih profesinya sebagai pastor. Selain itu terdapat pula faktor politik berkaitan dengan hukum-hukum tertulis yang menyatakan etnis Tionghoa di Indonesia harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), serta beberapa aturan yang mengikat tentang perayaan imlek pada masa Orde Militeristik. Faktor politik tersebut yang paling banyak mendominasi adanya diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam Dimsum Terakhir.

 

Tabel 3. Faktor diskriminasi ranah domestik

Faktor

Tokoh

Data

Penjelasan

Jenis Kelamin

Siska

29; 30

Sosok perempuan harustunduk kepadaperintah orangtua tanpa boleh membantah.

Indah

34

Rosi

4; 5; 6; 24

Novera

31

Urutan anak

Siska

1; 3

Siskamendominasi pengaturan semua kegiatan di

Rumah yang diarahkan terhadap Indah.

Indah

2; 11; 14

 

Tabel 4. Faktor diskriminasi ranah publik

Faktor

Tokoh

Data

Penjelasan

Etnis

Siska

13

Semua tokoh perempuandalam novel ini mengalamidiskriminasi berupa ejekan atau tindakantidak adil sehingga menyudutkanmereka karena beretnisTionghoa

Indah

16

Rosi

7; 8; 9

Novera

28

Agama

Indah

15; 17; 18; 19

Sikap penolakan didapatkanIndah dan Novera berkaitandengan agama. Antoniusmenolak permintaan Indahuntuk bertanggung jawabterhadap bayinya, sedangkanNovera ditentangkeluarga saat ingin menjadiKatholik.

Novera

12

Politik

Siska

10;25

Terdapat aturanyang mengekang etnis Tionghoa, pengharusankepemilikan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia),dan hukum tertulislain sebagai penyebab sikapdiskriminatif masyarakatterhadap etnis Tionghoa.

 

Indah

10; 15; 32; 33

 

Rosi

10; 25

 

Novera

10; 25; 26; 27

 

Seorang anak berjenis kelamin perempuan kerap dituntut untuk bertindak dengan perilaku yang dibangun oleh masyarakat patriarkal dalam bentuk sikap lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Hal itulah yang tersirat dari pernyataan Anas saat menghadapi anaknya yang sedang bertengkar, seperti dalam kutipan berikut:

“MAMA! MAMA!” teriak Novera panik. “ROSI DANSISKA BERANTEM!” Telinga Anas meruncing seketika. Diadatang tergopoh-gopoh dari depan. “STOP! BERHENTI! ROSI!SISKA! ANAK PEREMPUAN NGGAK BOLEH BERANTEM!STOP!”

Buk! Krak! Rosi menjambak rambut Siska yang panjang.Brak!

“Aw!” BUK-BUK-BUK! “BIARIN!” Siska balas menendangperut Rosi. BUK! Bret! “SAYA BUKAN ANAK—“ Kaus Rosirobek di bagian lengan. “— PEREMPUAN!”

(Ng, 2013, hlm. 47).

Kutipan tersebut menunjukkan konstruksi perempuan dalam masyarakat patriarkal diharuskan untuk menurut dan tidak membantah perintah orangtua.

“Bego apanya? Memangnya bego kalau aku ingin menyenangkan papaku?”

“Ini benar-benar budaya patriarki! Cewek yangterpaksa harus menyenangkan hati lelaki.”

(Ng, 2013, hlm. 193).

Kutipan tersebut menujukkan sikap Rosi terhadap permintaan ayahnya yang meminta semua anaknya segera menikah. Terlihat bahwa Rosi merasa memang sudah seharusnya ia menuruti perintah ayahnya untuk segera menikah. Namun, ia juga menahan kesal karena masyarakat patriarkal menuntutnya agar menyenangkan hati lelaki, meskipun ia sadar dalam hal ini adalah ayahnya sendiri. Pada dasarnya budaya patriarkal memang dianut oleh warga etnis Tionghoa. Posisi dan kedudukan perempuan dalam keluarga juga sering tidakdianggap.

 

4)      Bagaimana tanggapan tokoh perempuan dalam menghadapi diskriminasi yang disampaikan oleh Clara Ng dalam novel Dimsum Terakhir?

 

Tabel 5 menunjukkan bahwa tanggapan tokoh perempuan etnis Tionghoa lebih banyak menolak terhadap diskriminasi. Penolakan tersebut berupa mengkritisi secara verbal terhadap diskriminasi hak, etnis, dan jenis kelamin.

 

Tabel 5. Tanggapan terhadap diskriminasi

Tanggapan

Tokoh

Frekuensi

Penjelasan

Menolak

Siska

12

Mengkritisi secara verbal terhadap diskriminasi hak, etnis, dan jenis kelamin.

Indah

2

Rosi

9

Novera

2

Menerima

Siska

4

Menunjukkan sikap menerima diskriminasihak, etnis, maupun jenis kelamin.

 

Indah

6

 

Rosi

5

 

Novera

3

 

Penolakan diskriminasi hak dan etnis tampak pada sikap pemukulanSiska terhadap teman adiknya yang menghina dengan ejekan “amoy”, dan sikap pembelaan diri Rosi dengan perkataan ketika ia dihina dengan sebutan “Cina”. Penolakan diskriminasi jenis kelamin terlihat pada acuh Rosi dengan aturan yang telah ditetapkan masyarakat mengenai jenis kelamin dan sikap pembelaan Siska saat menerima fitnah dari relasi bisnisnya.

 

Bentuk penolakan ditunjukkan Siskamelalui sikap mengritisi pendapat pernikahan yang seharusnya dilakukan oleh perempuan tampak dalam kutipan berikut:

“Honey, itu pandangan kolot zaman purba yangmengharuskan perempuan menikah. Seakan-akan kesuksesan perempuan diukur dari kemampuannya menemukan lelaki yang tepat. Mr. Right. Ih, ribet banget. Itu bukan visi masa depanku. Aku tidak mau memasang terget soal pernikahan karena menikah bukanlah target hidup. Jika aku tidak memasang target menikah, siapapun─termasuk Papa─tidak dapat menentukan target itu terhadap hidup pribadiku”

(Ng, 2013, hlm. 149).

Siska menganggap bahwa  pernikahan adalah pandangan kolot yang akan mengekangperempuan untuk beraktivitas, sehingga menikah bukanlah menjadi targetkehidupannya. Siska mengritisi aturan yang dicanangkan masyarakat luas. Siska merasa dirinya adalah gadis yang mandiri. Bisa bertahan hidup bahkan tanpa lelaki.

Siska tidak butuh lelaki. Dia juga tidak butuh hubungan atau ikatan. Dia tidak butuh pacar, apalagi suami. Siska gadis yang dapat memenuhi keinginannya sendiri dengan kemampuan yang dimilikinya.

(Ng, 2013, hlm. 89).

Sikap Siska yang tidak mengikat diri pada satu lelaki didasari oleh latarbelakangnya yang dulu sempat menjadi korban keegoisan lelaki yang menjadi tunangannya. Sikap tersebut ia tunjukkan sebagai pengukuhan dirinya bahwa i ajuga dapat bertindak sebagaimana lelaki yang pernah menyakitinya. Karena itu, dapat dipahami pemikiran Siska yang cukup tegas untuk mengritisi pendapat atau pandangan yang berbeda dari sudut pandangnya.

 

Penerimaan terhadap diskriminasi tampak pada sikap keluarga Nung yang tetap patuh mengikuti aturan negara pada masa Orde Militeristik. Aturan tersebut berupa pengharusan untuk masuk sekolah pada hari imlek dan sikap patuh saat Siska dan Rosi harus menerima hukuman yang sebenarnya mendiskriminasi mereka. Selain itu tampak pada sikap acuh Siska saat mengetahui bahwa ada ejekan mengenai dirinya yang tidak bisa berbahasa Cina. Siska tidak mengelak atau membantah karena hal tersebut memang faktanya begitu.

 

Indah menerima tindak diskriminasi haknya dalam bentuk keputusan mempertahankan janin yang dikandungnya untuk menunjukkan bahwa ia tetap kuat dan dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Penerimaan ini dilakukan meskipun Indah tidak diakui dan haknya sebagai perempuan diabaikan, seperti dalam kutipan berikut:

Tiga bulan kemudian, dikelilingi saudara-saudarinya, dia melahirkan seorang anak lelaki yang sehat. Tiga kilogram, limapuluh dua sentimeter. Wajahnya mirip Indah, tapi senyumnya senyum Antonius. Ini pertanda bagus. Anak lelaki harus mirip ibunya agar tidak ciong. Indah menamai anak lelakinya Ariel.

(Ng, 2013, hlm. 354).

Kutipan tersebut menyampaikan bahwa Indah mengalami diskriminiasi sosial sebagai akibat tersosialiasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib. Indah akhirnya memutuskan untuk menerima kodratnya sebagai perempuan yang harus hamil dan melahirkan, serta dituntut untuk kuat menghadapi diskriminasi Antonius terhadap dirinya. Indah memberikan respons menerima sikap diskriminasi tersebut karena sosok Antonius merupakan lelaki yang tidak bisa diharapkan, seperti dalam kutipan berikut:

Survei membuktikan bahwa Antonius tidak akan bersedia bertanggung jawab dengan menikahi Indah. Jadi buat apa capek-capek mengumbar ludah di depan lelaki yang super-religius itu? Indah ogah. Sori ya, dia tidak mau. Tidak bersedia.

(Ng, 2013, hlm. 232).

Tampak bahwa salah sikap penerimaan didasari oleh unsur politik yang banyak dianut pada masa Orde Militeristik serta fakta dan kebenaran yang berlaku di wilayah itu pada saat itu.

 

 

Kalau menggunakan pandangan feminisme terlihat bahwa para tokoh perempuan etnis Tionghoa cenderung menolak diskriminasi. Hal itu dapat disimpulkan berdasarkan sikap tokoh perempuan etnis Tionghoa yang sebagian besar melawan ‘aturan umum’ dalam masyarakat dan mengritisi tindak diskriminasi yang dialami. Tokoh perempuan etnis Tionghoa tersebut ingin membuktikan bahwa identitas seseorang tidak dapat dinilai berdasarkan etnis, ras, atau agama saja. Bentuk penolakan para tokoh perempuan etnis Tionghoa menyikapi diskriminasi yang dialami dengan pembelaan diri berupa tuturan verbal dan tindakan dalam rangka memperjuangkan hak-haknya baik sebagai warga negara maupun sebagai perempuan etnis Tionghoa.

 

 

D.    PENUTUP

 

Dapat dikatakan bahwa Clara Ng berusaha menyampaikan perasaan tertindas dari perempuan etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir. Penyampaian tersebut menjadi bentuk medan perjuangan ClaraNg dalam menyuarakan tindak diskriminasi masyarakat terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya perempuan. Sebagai individuyang berdiri sendiri, seseorang tidak dapat memilih personalitas diri, seperti hari lahir, orangtua yang melahirkan, dan etnis tertentu. Karena itu, tidak seharusnya seseorang didiskriminasi karen aaturan yang ditetapkan hanya menguntungkan kelompok tertentu dan/atau merugikan kelompok selainnya.

 

Uraian yang dituturkan memberi simpulan berupa:

1)      Sinopsis Dimsum Terakhir menegaskan bahwa terdapat konflik yang dialami tokoh perempuan etnis Tionghoa terkait dengan diskriminasi ras dan pertanyaan kesejatian diri. Konflik tersebut memunculkan sikap yang dilakukan tokoh untuk mempertahankan eksistensi sebagai seorang etnis Tionghoa berjenis kelamin perempuan.

2)      Bentuk diskriminasi yang dialami tokoh perempuan etnis Tionghoa terdapat dalam dua ranah, domestik dan publik. Bentuk diskriminasi dalam ranah domestik, yaitu sikap diskriminasi senioritas, sedangkan ranah publik yaitu ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa, larangan libur imlek bagi keturunan Tionghoa, penolakan pertanggungjawaban kehamilan, pengharusan panggilan nama Cina untuk keturunan Tionghoa, dan kekejaman fisik . Bentuk diskriminasi yang paling dominan yaitu bentuk ejekan dan hinaan yang ditujukan pada keempat tokoh.

3)      Faktor penyebab diskriminasi terhadap tokoh perempuan etnis Tionghoa terjadi ini dibedakan dalam dua bentuk, yaitu ranah domestik dan ranah publik. Diskriminasi domestik terjadi karena faktor jenis kelamin, posisi, atau urutan anak. Sedangkan diskriminasi publik terjadi karena faktor etnis, agama, dan politik. Faktor diskriminasi paling dominan yaitu faktor politik, yang mengekang etnis Tionghoa pada masa Orde Militeristik.

4)      Tanggapan tokoh perempuan etnis Tionghoa terhadap diskriminasi terlihat dalam dua bentuk, yaitu respon menolak dan menerima. Respon yang paling dominan adalah respon dalam menolak tindak diskriminasi. Bentuk dari sikap penolakan tersebut berupa tindakan verbal dan sikap mengkritik tindak diskriminasi.

 

Secara umum luaran yang dihasilkan dapat menjadi bahan kajian tentang sastra, terutama pembahasan terkait feminisme di setiap wilayah Indonesia pada periode waktu tertentu. Diperlukan kesadaran bahwa karya sastra memberi kontribusi berbagai nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, khususnya perempuan. Dengan berpijak kepada kesadaran tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tawaran bacaan dalam menganalisis bentuk diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Tionghoa, serta dalam hubungannya antara lelaki dan perempuan dalam masyarakat.

 

Penelitian ini tidak boleh dianggap final, karena membuka ruang elaborasi lanjutan. Ruang lingkup kajian yang dilakukan hanya terbatas kepada tindakan diskriminatif masyarakat terhadap etnis Tionghoa yang dituturkan dalam novel. Karena itu, perlu elaborasi lanjutan menggunakan pendekatan lain, seperti kritik sastra feminisme, ras, atau atau etnis. Elaborasi lain dapat dilakukan dengan membahas aspek seperti kebudayaan dan hukum dalam etnis Tionghoa, aspek psikologis tokoh perempuan etnis Tionghoa, hubungan sosial tokoh perempuan etnis Tionghoa dengan non-etnis Tionghoa, atau berkaitan dengan sistem hubungan kekerabatan etnis Tionghoaantar anggota keluarga yang terdapat dalam Dimsum Terakhir karya Clara Ng.

 

 

UCAPAN TERIMA KASIH

 

Adib Rifqi Setiawan a.k.a. Alobatnic mengucapkan terima kasih kepada Clara Regina Juana a.k.a. Clara Ng, Nong Darol Mahmada, serta Grace Natalie Louisa yang memberikan dorongan psikis serta Laila Fariha Zein atas arahan dan bimbingan teknis selama proses penelitian.

 

 

REFERENSI

 

Budiman, Manneke. (2011). Ethnicity and the performance of identity. Wacana, 13(2): 233-55. URL: http://wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/22/18

Fraenkel, Jack R. & Wallen, Norman E. (2009). How to design and evaluate research in education (7th ed.). McGraw-HillCompanies. URL: https://archive.org/details/methodology-alobatnic-libraries

Malagina, Agni, dan Erowati, Rosida. (2015). Fiksi transkultural sebagai fenomena budaya diaspora: kajian pada karya bunga roos dari tjikembang (1927) dan dimsun terakhir (2006). Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(1): 1-18. URL: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/dialektika/article/download/2197/pdf

Ng, Clara. (2013, 18 Juli). Dimsum terakhir. Gramedia Pustaka Utama.

Setiawan, Adib Rifqi. (2019a, 28 Juli). Biografi clara ng perempuan penulis asal indonesia. INA-Rxiv. DOI: https://dx.doi.org/10.31227/osf.io/nyrgq

Setiawan, Adib Rifqi. (2019b, 28 Juli). Biografi clara ng perempuan penulis asal indonesia. PsyArXiv. DOI: https://dx.doi.org/10.31234/osf.io/yk8sx

Setiawan, Adib Rifqi. (2019c, 24 April). Clara ng: un bref voyage d'une femme remarquable pour notre temps. Open Science Framework. DOI: https://dx.doi.org/10.31219/osf.io/tn93q

Setiawan, Adib Rifqi. (2019d, April 24). Clara ng: a brief journey of a remarkable female for our time. LIS Scholarship Archive. DOI: https://dx.doi.org/10.31229/osf.io/ktrhm

Setiawan, Adib Rifqi. (2019e, April 24). Bercerita cerita clara. Open Science Framework. DOI: https://dx.doi.org/10.31219/osf.io/4jhkt

Setiawan, Adib Rifqi. (2017, 15 Februari). Butcah chuniez: puzzle persinggungan perjalanan dengan eny rochmwati octaviani. Alobatnic.blogspot.com. URL: https://alobatnic.blogspot.com/2017/02/thata.html

Setiawan, Adib Rifqi. (2017b, 31 Desember). Clara ng: an author for our time. AdibRS.blogspot.com. URL: https://adibrs.blogspot.com/2017/12/clara-ng.html

Setiawan, Adib Rifqi. (2018a, 10 April). Eny rochmawati octaviani. Majalah SANTRI, VIII: 18-21. URL: https://issuu.com/majalahsantri/docs/majalah_santri_8/17

Setiawan, Adib Rifqi. (2018b, 15 Januari). Clara Ng — an author for our time. Alobatnic.blogspot.com. URL: http://alobatnic.blogspot.com/2018/01/clara-ng.html

Situmorang, Saut. (2017, 6 Desember). Sastraku Sayang Sastraku Malang. Jurnal Boemi Poetra. URL: https://boemipoetra.wordpress.com/2017/12/06/sastraku-sayang-sastraku-malang-2/amp/

Sylado, Remy. (2006). Novel Pangeran Diponegoro: menggagas ratu adil: 210-1. Tiga Serangkai. URL: https://books.google.co.id/books?id=xYbmcy6MFMsC&lpg=PT211&ots=9x9D8Wil3n&dq=remy%20sylado%20sastra%20membedakan%20manusia%20dengan%20hewan&hl=id&pg=PT210#v=onepage&q&f=false

Taufiq, Akhmad. (2014). Multicultural literature: the identity construction in indonesian novels. Humaniora UGM, 26(1): 22-31. URL: http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t%21@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_816089267522.pdf