“I'm
kind of shocked I'm winning a fashion award when I'm naked most of the time,” ucap Kim Kardashian dalam acara penerimaan ‘CFDA
Fashion Awards’ di Brooklyn Museum pada 4 Juni 2018 lalu. Ucapan Kim cukup
beralasan, karena dirinya memang lekat dengan kesan sebagai sosok yang ‘naked
most of the time’. Namun, apresiasi sebagai ‘Influencer Award’ tersebut
diberikan juga beralasan, berdasarkan fakta
bahwa Kim merupakan sosok yang memiliki pengaruh serta memberi dampak terhadap
industri fesyen
Ungkapan
Kim tersebut muncul ketika saya membaca berita di SuaraMerdeka.com
tentang tanggapan salah satu sekolah dasar terhadap hasil penilaian PISA 2018. Tanggapan
yang dilakukan ialah dengan melakukan kegiatan GeLiSa (Gerakan Literasi
Bersama), yang gambaran umumnya mengajak murid membaca buku bersama. Damn
it! Tampak bahwa sekolah tersebut gagal paham terhadap literasi.
Kalau
memang berupaya menanggapi hasil penilaian PISA 2018, mestinya perlu mengerti
dulu makna literasi dari PISA. Dalam kerangka kerja PISA 2018 bagian Literasi Finansial sudah
ditulis dengan lugas, “PISA memahami literasi sebagai kapasitas siswa untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pelajaran utama dan untuk
menganalisis, bernalar, dan berkomunikasi secara efektif saat mereka
mengajukan, memecahkan, dan menafsirkan masalah dalam berbagai situasi.”
Berdasarkan
uraian tersebut, tampak kentara bahwa penilaian PISA berfokus terhadap
kemampuan murid untuk menggunakan pengalaman terlibat pembelajaran ke dalam
keseharian, bukan menilai tingkat ketekunan membaca.
“I'm
kind of shocked I'm reading that news when I'm doing research on literacy most
of the time,”
kira-kira sejenis demikian ungkapan yang muncul ketika saya membaca berita
tersebut. Sejak kali pertama menerima saran dari Buk Setiya Utari untuk bermain
di literasi saintifik pada 4 Februari 2015 silam sampai debut menerbitkan
jurnal literasi finansial pada 6 Desember 2019 kemarin, makna literasi yang
saya sampaikan selalu selaras dengan kerangka kerja PISA—yang memang merupakan
salah satu rujukan utama—tidak pernah sekalipun memaknai literasi sebagai ‘gerakan
meningkatkan ketekunan membaca’.
Ketika
membicarakan literasi, saya sering teringat dengan penggalan penafsiran ‘Abd
al-Roḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī terhadap al-Taubat ayat 122 yang
disampaikan dalam Tafsīr al-Jalālayn berikut:
وَلَمَّا
وُبِّخُوا عَلَى التَّخَلُّف وَأَرْسَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَرِيَّة نَفَرُوا جَمِيعًا فَنَزَلَ {وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا} إلَى الْغَزْو {كَافَّة فَلَوْلَا} فَهَلَّا {نَفَرَ مِنْ كُلّ فِرْقَة} قَبِيلَة {مِنْهُمْ طَائِفَة} جَمَاعَة وَمَكَثَ الْبَاقُونَ {لِيَتَفَقَّهُوا} أَيْ الْمَاكِثُونَ {فِي الدِّين وَلِيُنْذِرُوا قَوْمهمْ إذَا رَجَعُوا
إلَيْهِمْ} مِنْ الْغَزْو بِتَعْلِيمِهِمْ مَا تَعَلَّمُوهُ مِنْ
الْأَحْكَام {لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ} عِقَاب
اللَّه بِامْتِثَالِ أَمْره ونهيه قال بن عَبَّاس فَهَذِهِ مَخْصُوصَة
بِالسَّرَايَا وَاَلَّتِي قَبْلهَا بِالنَّهْيِ عَنْ تَخَلُّف وَاحِد فِيمَا إذَا
خَرَجَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم
Terdapat
kesan tersendiri tentang nilai penting literasi sebagai arah pembelajaran
ketika ayat tersebut saya kutip. Sebelum disalahpahami, kembali perlu
disampaikan bahwa kata ‘literasi’ yang saya maksud bukan berarti ‘gerakan
meningkatkan ketekunan membaca’, melainkan bermakna ‘kemampuan menerapkan
pengalaman terlibat pembelajaran ke dalam keseharian’. Makna tersebut
mencerminkan fakta bahwa masyarakat menilai kualitas individu bukan sekadar
karena apa yang mereka ketahui, tetapi lebih didasarkan kepada bagaimana
individu itu dapat berbuat dengan apa yang mereka ketahui. saya sangat
malas membaca.
Uraian
singkat tentang makna ‘literasi’ yang saya maksud ini penting disampaikan,
karena belakangan ini—terutama sejak perilisan hasil penilaian PISA 2018—kerap
saya dengar jargon ‘literasi’ yang sebagian besar arahnya berupa ‘banyak
membaca’, bukan sebagai ajakan untuk ‘mengamalkan bacaan’. Lebih khusus,
‘literasi’ yang menjadi tempat utama saya bermain ialah ‘literasi saintifik’.
Walau kata saintifik semakna dengan kata ilmiah, saya lebih suka menggunakan
‘literasi saintifik’ ketimbang ‘literasi ilmiah’. Soalnya kalau ‘literasi
saintifik’ itu bisa disingkat menjadi LiSa, kayak member BLACKPINK muhajirot
asal Thailand itu. Sedangkan ‘literasi ilmiah’ disingkat menjadi LI mengingatkan
warga Kudus tentang masa lalu the legend of Gribig City.
Karena
fokus kepada ‘literasi saintifik’, dalam pembelajaran murid biasa dituntut untuk
dapat mengekstrapolasi konten pembelajaran ke dalam ragam keadaan, bukan
sebatas mereproduksi pengetahuan. Mengekstrapolasi berarti mewajibkan saya sebagai
pemandu pembelajaran untuk membekali konsep dasar terhadap murid, bukan dengan
cara memberi soal yang tampak terkait keseharian, tapi konsep dasarnya tidak
pernah dibekalkan. Ini penipuan umat namanya, pembohongan public
istilahnya.
Karena
murid dituntut, mereka juga harus dituntun melalui kegiatan untuk memenuhi tuntutan
tersebut. Lalu bagaimana melakukan pembelajaran berorientasi literasi?
Berdasarkan pengalaman yang sangat sedikit sebagai pemandu pembelajaran dalam
menemani anak-anak belajar serta melakukan riset literasi saintifik
curhat di konferensi maupun menulis diary di jurnal tentang keadaan saat
memandu pembelajaran, berikut ini saya sampaikan contoh langkah operasional
melakukan pembelajaran berorientasi literasi.
Dalam
pembahasan ini, kegiatan yang dipakai ialah ‘membuat kapal otok-otok’. Topik
utama terkait kegiatan ini ialah ‘energi panas’. Kegiatan ‘membuat kapal
otok-otok’ dipilih karena kebetulan pembelajaran tematik untuk Tema 6 membahas
beberapa topik, antara lain Teks Eksplanasi (Bahasa Indonesia), Kondisi
Geografis Indonesia dan Kegiatan Ekonomi (Ilmu Pengetahuan Sosial), Termodinamika
(Ilmu Pengetahuan Alam), serta Karya Seni Rupa Daerah (Seni Budaya dan
PraKarya). Tingkat kerumitan konsep dapat disesuaikan dengan mood dan
daya serap siswa (bukan jenjang kelas dan tingkat kecerdasan).
Untuk
mendukung pembelajaran ini, perlengkapan yang perlu disediakan ialah: (1) kaleng
bekas air minum Pocary Sweet ukuran 320 ml kemasan; (2) lem Alteco
sianoakrilat; (3) sedotan yang dapat dilipat; (4) lilin; (5) korek api; (6) kardus
bekas susu Ultra Milk ukuran 250 ml Ultra High Temperature (UHT);
(6) air; serta (7) ember. Perlengkapan lain yang perlu disiapkan ialah demonstrasi
proses pembuatan, yang dapat berupa video seperti ‘yang diunggah melalui akun
YouTube FivA ini maupun
pertunjukan live oleh di depan kelas ketika pembelajaran.
Berbekal
perlengkapan tersebut, murid diminta untuk membuat kapal otok-otok. Agar proses
dapat terarah dan memudahkan evaluasi pembelajaran, baiknya disediakan lembar
kerja siswa (LKS) seperti ini. Kalaupun
mepet, masih ada papan dan alat tulis untuk menuliskan alur pembelajaran. Perlu
diperhatikan bahwa karena tujuan pembelajaran ini ialah untuk membekali kompetensi
literasi saintifik kepada murid bukan ajang pelatihan buruh industri kapal
otok-otok, tidak ada keharusan bahwa produk yang dihasilkan sesuai harapan. Pun
tidak perlu bingung setelah selesai kapalnya mau diapakan: dibuang saja.
Pertama,
sebelum membuat kapal otok-otok, murid perlu dibiasakan untuk menulis rencana. Pembiasaan
ini memudahkan murid dalam mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan. Dalam
menulis rencana, beberapa hal perlu dibahas ialah:
1) Kegunaan setiap alat dan bahan
yang disiapkan
2) Sketsa alat yang diharapkan
3) Langkah pembuatan yang perlu
dilakukan
4) Hal yang perlu diperhatikan ketika
menguji kapal yang dibuat
Ketika
murid diminta untuk menyampaikan ‘kegunaan setiap alat dan bahan yang disiapkan’,
mereka sedang dibekali kompetensi ‘mengingat pengetahuan ilmiah yang sesuai’.
Ini merupakan kompetensi dasar yang menjadi gerbang menjamah surgamu
literasi saintifik. Hasil perbandingan pengolahan data dari kelas saya pada
semester ganjil ini dengan riset lain menunjukkan bahwa terdapat korelasi kuat
terkait tingkat penguasaan konsep ilmiah dengan kompetensi literasi saintifik.
Selanjutnya,
ketika mereka membuat ‘sketsa alat yang diharapkan’, murid dalam kondisi sedang
diinjeksi untuk ‘mengidentifikasi, menggunakan, dan menghasilkan model dan
representasi yang jelas’. Melalui tahap ini murid diharapkan dapat menggunakan
model ilmiah standar untuk membangun representasi sederhana untuk fenomena keseharian,
kemudian menggunakan representasi ini untuk membuat prediksi.
Kemampuan
membuat prediksi banyak bergantung dengan kompetensi ‘menentukan variabel
penyelidikan’, yang dibekalkan ketika murid ditanya tentang ‘hal yang perlu
diperhatikan ketika menguji kapal yang dibuat’. Untuk dapat menguji prediksi, diperlukan
kompetensi ‘mengusulkan cara mengeksplorasi secara ilmiah terhadap pertanyaan
yang diberikan’.
Kedua
kompetensi tersebut ini diperlukan untuk mengevaluasi laporan temuan dan
investigasi ilmiah secara kritis. Ini bergantung pada kemampuan untuk
membedakan pertanyaan ilmiah dari bentuk penyelidikan lain, atau dengan kata
lain, untuk mengenali pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah.
Kedua,
setelah membuat kapal otok-otok, murid diajak untuk membahas bersama produk
yang dihasilkan. Dalam pembahasan ini, perwakilan kelas dapat diminta untuk
menunjukkan hasil kerjanya. Bisa juga dipilih 2 murid ekstrim, yakni yang
hasilnya paling bagus dan paling buruk. Ketika menampilkan produk kapal
otok-otok tersebut, beberapa hal perlu dibahas ialah:
5) Penyebab kapal dapat berjalan atau
tidak dapat berjalan
6) Bentuk perubahan yang dialami oleh
air dalam ‘tangki kapal’
7) Cara panas mengalir ketika kapal
berjalan
8) Ilustrasi aliran panas yang
terjadi ketika kapal berjalan
Ketika
‘penyebab kapal dapat berjalan atau tidak dapat berjalan’ dibahas, murid sedang
dibekali kompetensi ‘mengidentifikasi asumsi, bukti, dan penalaran dalam bacaan’.
Bacaan yang diperlukan ialah terkait kondisi benda padat ketika dicemplungkan
ke dalam benda cair serta forsa dorong yang berasal dari uap air hasil
pemanasan oleh lilin.
Dalam
tahap tersebut murid juga dapat dilatih untuk menyajikan eksplanasi, secara
lisan maupun tertulis, terkait topik yang dibahas. Rincian eksplanasi tersebut
dapat mengarah kepada penjelasan tentang ‘bentuk perubahan yang dialami oleh
air dalam tangki kapal’ sebagai cara membekali murid untuk ‘menerapkan pengetahuan
ilmiah yang sesuai’.
Penjelasan
(eksplanasi) tersebut dapat disajikan dalam bentuk gambar, sehingga meminta
murid untuk membuat ‘ilustrasi aliran panas yang terjadi ketika kapal berjalan’.
Karena itu, murid juga belajar untuk ‘membuat gambar’, yang selaras dengan indikator
kompetensi literasi saintifik ialah ‘menyajikan informasi menggunakan beragam
representasi yang sesuai’. Berdasarkan ilustrasi aliran panas tersebut, murid
juga dapat diminta untuk menjelaskan ‘cara panas mengalir ketika kapal berjalan’,
sebagai indikator kompetensi ‘menganalisis informasi dari setiap representasi’
yang dibekalkan selama pembelajaran.
Ketiga,
sebagai penutup, murid dapat diajak untuk mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan,
berdasarkan rencana yang telah dituliskan. Dalam evaluasi ini, beberapa hal bisa
dibahas ialah:
9) Pelaksanaan langkah yang
direncanakan
10) Manfaat pemahaman yang didapatkan
dari kegiatan ini
Ketika
murid diajak membahas ‘pelaksanaan langkah yang direncanakan’, kompetensi yang
dibekalkan kepada mereka ialah ‘mengevaluasi cara mengeksplorasi secara ilmiah
terhadap pertanyaan yang diberikan’. Secara sederhana, setiap pernyataan harus
didukung dengan alasan. Misalnya ketika murid menyampaikan bahwa rencana
mengelem sedotan tidak dilakukan, hal ini perlu diberi alasan: karena lupa, tidak
sempat, kesulitan, atau sedotannya cukup ditekuk saja.
Selanjutnya,
mereka juga perlu memiliki kompetensi ‘menjelaskan manfaat pengetahuan ilmiah
bagi masyarakat’ yang dibekalkan ketika membahas ‘manfaat pemahaman yang
didapatkan dari kegiatan ini’. Fokusnya kepada ‘manfaat pemahaman’, bukan ‘manfaat
konsep yang dibahas’. Karena itu, pertanyaan yang dapat dipakai untuk
merangsang pikiran murid seperti, “Berdasarkan pemahaman yang didapatkan dari
kegiatan membuat kapal otok-otok bagaimana penjelasan cara (a) menerbangkan balon
udara dan (b) meluncurkan roket ke angkasa?”, bukan, “Apa manfaat panas dalam
keseharian?”
Uraian
sekilas yang disajikan ialah contoh langkah pembelajaran berorientasi literasi
yang dapat diterapkan kepada murid kelas V tingkat dasar (SD/MI). Alokasi waktu
sebanyak 80 menit cukup untuk menerapkan langkah tersebut. Jawaban murid terhadap
setiap pertanyaan LKS dapat dipakai untuk memperoleh profil literasi setiap
murid untuk setiap indikator kompetensi literasi saintifik. Alur pembelajaran
seperti itu dapat dilakukan di setiap kegiatan pembelajaran, sehingga murid terbiasa
sejak dini. Bukan sekadar melakukan riset tanpa ada upaya tindak lanjut berupa
penerapan berkelanjutan dalam pembelajaran. Kalimat terakhir ini yang perlu
diperhatikan lebih seirus, terutama oleh periset literasi.
Uraian
sekilas yang disajikan tersebut sekaligus menjadi pengejawantahan makna ‘literasi’
yang saya maksud. Berdasarkan makna bahwa kata ‘literasi’ yang saya maksud bermakna
‘kemampuan menerapkan pengalaman terlibat pembelajaran ke dalam keseharian’,
kita dapat membaca secara ilmiah buku yang tampak tak memiliki nilai ilmiah, misalnya
buku JUPE: My Uncut Story
karya Yuli Rahmawati,atau mengulas secara ilmiah perjalanan karier Oza Kioza.
Sekian
dulu.
K.Sn.Kl.190441.151219.23:43