Puan Maharani Ketua Dewan Pelayan Rakyat Republik
Indonesia |
Puan
Maharani Nakshatra Kusyala atau kerap disapa Puan Maharani purna tugas dari
jabatan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan diangkat sebagai ketua
DPR menggantikan Bambang Soesatyo pada 30 September 2019, tepat 5 tahun setelah
Jessica Jung minggat dari Girls’ Generation. Untuk pertama kalinya di
Indonesia, perempuan berhasil menjadi pimpinan DPR.
Karier
politik Puan dimulai pada 2004. Menurut sebuah wawancara dengan majalah Gatra edisi
43/2004 Puan bergabung dalam Mega Center, lembaga pemenangan
Megawati Soekarnoputri dalam Pilpres 2004.
“Kerjaan
saya keliling. Ketemu orang untuk brainstorming,” kata Puan.
Istri
dari pengusaha properti Hapsoro Sukmonohadi ini kemudian bergabung dengan
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai anggota DPP Bidang Luar Negeri
pada tahun 2006. Tiga tahun berikutnya, ia maju sebagai calon anggota DPR dari
Jawa Tengah di bawah panji Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Hanya
dalam waktu 10 tahun, Puan berhasil menduduki kursi pucuk pimpinan DPR.
Perolehan suara PDI-P di tingkat nasional membuat partai kepala banteng itu
berhak mengutus kadernya menjadi Ketua DPR.
Setelah
dilantik, Puan membanggakan dirinya sebagai perempuan pertama yang berhasil
menjadi Ketua DPR. Dua puluh tahun sebelumnya, Megawati juga berhasil mengukir
sejarah dengan menjadi presiden perempuan pertama Indonesia. Uniknya dua posisi
tersebut sama-sama tidak didapat dari proses pemilihan umum.
“Yang
pasti nantinya ini akan pecah telur. Baru ada perempuan pertama setelah 74
tahun Ketua DPR [diisi oleh laki-laki],” kata Puan di Kompleks Parlemen,
Senayan, Selasa (1/10/2019).
Representasi atau Substansi?
Dari
rekam jejak pernyataan publiknya, Puan sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk
perempuan.
“Semangat
Kartini selalu menginspirasi kami meluaskan akses pendidikan dan menekan angka
buta huruf,” ungkap Puan April 2018 dilansir Liputan6.
Puan
turut mendeklarasikan
Gerakan Ibu Bangsa Membaca yang bertujuan mengajak ibu-ibu seluruh Indonesia
semakin giat membaca pada 2018. Salah satu programnya adalah pembacaan kutipan
dari buku-buku tertentu oleh 26 tokoh perempuan yang dikenal publik. Puan adalah
salah satu dari tokoh itu.
Selain
itu, Puan juga membuka Kongres
Wanita Indonesia (Kowani) Fair yang bertujuan memperluas peluang kerja perempuan
di industri kreatif.
“Kowani
sebagai federasi dari 91 organisasi perempuan di Indonesia memiliki peran
strategis dalam pemberdayaan perempuan. Saya sangat mengapresiasi Kowani yang
mengadakan Kowani Fair,” kata Puan saat membuka Kowani Fair 2018 Mei tahun lalu
seperti dicatat Gesuri.id.
Puan
juga sangat mendukung capaian perempuan di lembaga-lembaga negara. Masih dalam
nuansa Hari Kartini, Puan menyatakan apresiasinya jika ada pimpinan lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dari kalangan perempuan.
Tak
lama setelah terpilih menjadi Ketua DPR, Puan merespons sejumlah pertanyaan
wartawan tentang nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Tentu saja itu akan
jadi prioritas Prolegnas ke depan, namun tentu saja mekanisme dan tata cara
akan kami lakukan dalam tata tertib yang akan datang,” kata Puan hari Selasa
(1/10/2019).
Empat
hari sesudahnya, Puan menyatakan posisi ketua DPR yang baru didapatnya sebagai
pencapaian kaum perempuan.
“Saya
ingin membuktikan bahwa perempuan dalam berpolitik juga bisa berprestasi, bisa
sejajar seimbang dengan laki-laki,” kata Puan kepada Antara di
Jakarta, Sabtu (5/10/2019).
Pernyataan-pernyataan
Puan menunjukkan perhatiannya pada isu representasi perempuan di bidang sosial
dan politik. Tapi, adakah rekam jejak perhatian Puan dalam isu-isu perempuan
yang lebih substantif alih-alih representasional? Masalahnya, keterwakilan
perempuan di parlemen atau lembaga negara lainnya belum tentu memajukan
agenda-agenda pro-perempuan.
Walau
begitu, rupanya Puan belum menunjukkan kepeduliannya pada perempuan kelas
pekerja. Ini tampak dari kabar bahwa pekerja perempuan masih menghadapi
berbagai masalah seperti cuti haid yang tidak diberikan, jam kerja yang
melebihi aturan, dan sistem tenaga kerja outsourcing yang menyebabkan
pemangkasan gaji. Kesetaraan tidak hanya bisa dilihat dari kedudukan politik
saja, tapi dalam kehidupan dan tindakan seluruh lingkup masyarakat yang heterogen.
Kegelisahan
tersebut wajar belaka. Sebagian kalangan memang merayakan keberhasilan
perempuan menduduki posisi yang secara tradisional ditempati laki-laki. Bagi
kalangan lain, perayaan pencapaian semacam itu mengabaikan keberadaan privilese
perempuan-perempuan elite yang memungkinkan mereka duduk di jabatan tinggi.
Dyah Ayu Kartika, peneliti pada Pusat Studi
Agama dan Demokrasi (PUSAD Paramadina), punya pandangan serupa.
“Sejauh
ini setauku Puan tidak pernah benar-benar mewakili feminis ya. Posisinya belum
jelas soal berbagai masalah perempuan. Jika memang feminis, beliau punya waktu
lama untuk menunjukan keberpihakannya di periode kemarin. Nyatanya sikapnya
tidak konkret. Beliau hanya jadi perpanjangan partai saja,” ucap Dyah, Kamis
(3/10/2019).
Keraguan
Diah bertambah setelah melihat Puan tak memiliki ketegasan terkait RUU PKS (Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Bagi Diah, tidak terlihat Puan
akan mendorong fraksi PDI-P untuk menyelesaikan RUU PKS. Padahal RUU PKS sangat
penting untuk perlindungan perempuan yang rentan mengalami kekejaman seksual.
“Apakah
dia mau pasang badan? Nah kalau lihat track record-nya yang cenderung
main aman, rasanya sulit untuk benar-benar mengharapkan dia yang di garda depan
pengesahan RUU PKS,” katanya lagi.
Politikus
PDI-P Eva Kusuma Sundari
punya pendapat berbeda. Menurutnya, Puan paham masalah RUU PKS dan Megawati
sudah memberi tugas kepada fraksi PDI-P di DPR agar menuntaskan pembahasan RUU PKS.
Eva
juga menyadari wajarnya ekspektasi besar para perempuan Indonesia terhadap
kepemimpinan Puan. Anggota DPR periode 2014-2019 ini yakin Puan paham akan hal
itu dan akan mendorong fraksi PDI-P di DPR, sesuai arahan Mega, agar
menyelesaikan pembahasan RUU PKS.
“Jangan
lupa perempuan-perempuan PDI-P sangat responsif gender, ya. Ada Rieke Diah
Pitaloka, ada saya di luar parlemen, dan ada tokoh-tokoh PDI-P yang akan
menggolkan perintah terkait RUU PKS,” kata Eva, Senin (7/10/2019).
Kuota 30 Persen
Meski
sekarang mengepalai 458 laki-laki di DPR, bukan berarti jalan Puan untuk
mengawal agenda pro-perempuan di DPR akan mudah. Salah satu tantangan
terbesarnya adalah seksisme yang kuat dalam budaya politik Indonesia.
Salah
seorang korban dari seksisme tersebut adalah Megawati, ibunda Puan. Dalam dua
pemilu, 1999 dan 2004, beberapa pihak menyatakan keberatannya atas kedudukan
Megawati sebagai capres perempuan.
Buku Mengapa Partai Islam Kalah?
Perjalan Politik Islam dari Pra-Pemilu '99 sampai Pemilihan Presiden (1999)
yang disusun Hamid Basyaib dkk. merekam bagaimana sulitnya Megawati diterima
sebagai pemimpin oleh sejumlah kalangan muslim konservatif.
Dikutip
dalam buku tersebut, antropolog Universitas Boston Robert W. Hefner mengungkap
bahwa Abdurrahman Wahid—yang mendukung Megawati menjadi presiden—menyadari itu.
Oleh sebab itu, Gus Dur mengakomodasi Megawati dari kubu oposisi sebagai wakil
presiden.
"Saya
kira itu benar bahwa ada cukup banyak, walaupun saya kira bukan mayoritas, kiai
NU yang agak keberatan dengan kepemimpinan perempuan. [...] Dalam hal ini saya
menganggap Gus Dur mau mengingatkan, tidak hanya Bu Megawati, tapi para pejuang
PDI-P bahwa mereka harus mengakui, menghadapi, dan akhirnya harus berusaha agar
oposisi bisa dikurangi,” kata Hefner.
Lima
tahun kemudian, seksisme itu masih melekat. Saat pilpres 2004, muncul fatwa haram
memilih pemimpin perempuan.
Dalam
Nahdlatul Ulama: dinamika
ideologi dan politik kenegaraan (2010), nahdliyin yang kini
menjadi politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Mohammad Guntur Romli
mencatat fatwa ini dikeluarkan dari ulama-ulama yang mendukung pencalonan
Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, yang saat itu maju sebagai cawapres Wiranto.
“Fatwa
ulama sepuh NU di Pasuruan (3/6/2004) yang mengharamkan presiden perempuan
menjadi "bola panas" yang bergulir liar. Menurut ulama NU yang
mengeluarkan, fatwa itu berlandaskan pertimbangan fiqih, bukan politik. [...]
Fatwa itu tetap bersifat politis karena turun saat dimulainya kampanye dan
menohok calon presiden tertentu [Megawati],” catat suami Nong Darol Mahmada ini.
Untuk
mewakili perempuan, negara sebenarnya pernah membuat UU tahun 2003 tentang
Pemilu yang mengharuskan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam
pencalonan anggota legislatif. Dengan begini, tiap tiga orang yang dicalonkan
partai, harus ada satu perempuan.
Seiring
waktu, aturan ini tidak dilaksanakan secara konsisten. Pada 2017, batasan 30
persen kembali digunakan. Siapapun yang tidak memenuhi kriteria 30 persen
keterwakilan perempuan akan dicoret dari pemilihan umum.
Faktanya,
aturan tidak berdampak seperti yang diharapkan—jika tak bisa dikatakan sia-sia
belaka. Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPR sebanyak
44 orang atau 8,8 persen. Proporsi ini meningkat menjadi 65 orang pada pemilu
2004 atau mendapatkan porsi sebesar 11,82 persen di DPR. Sedang pada pemilu
2009, keterwakilan perempuan sebesar 17,86 persen atau setara dengan 99 orang.
Sayangnya,
pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR turun menjadi
sebanyak 97 orang atau 17,32 persen dari total anggota DPR RI yang berjumlah
560 orang. Peneliti Formappi Lucius Karus berpandangan politikus perempuan
periode tersebut gagal membawa kepentingan perempuan di parlemen.
“Contoh
nyata misalnya di proses pembahasan RKUHP dan RUU PKS. Banyak isu terkait hak
perempuan dalam RUU-RUU tersebut yang mestinya menjadi medan ujian bagi
politisi perempuan parlemen dalam membuktikan komitmen mereka sebagai politisi
perempuan sekaligus representasi perempuan Indonesia umumnya,” kata Lucius
seperti dilansir Kompas
(3/10/2019).
Di
periode 2019-2024, keterwakilan perempuan mencapai angka tertinggi. Dari 575
anggota DPR yang dilantik, ada 117 orang perempuan di sana. Namun tetap saja
jumlah ini tak mencapai angka keterwakilan 30 persen di DPR.
Meski
penting, keterwakilan perempuan di DPR bukan satu-satunya faktor yang menjamin
lahirnya produk-produk hukum yang pro-perempuan. Dalam pelantikan anggota DPR
tersebut, yang menjadi sorotan justru promosi poligami.
Pada
hari pelantikan itu, wakil dari Partai Nasdem bernama Fadil Muzakki Syah alias
Lora Fadil membawa tiga istrinya dan mengambil foto bersama. Dengan bangga Lora
menyebut foto bersama ketiga istrinya sebagai promosi poligami,
yang sudah sejak lama dipandang bermasalah oleh aktivis perempuan Indonesia.
“PSI
tidak mau masuk pada perdebatan teologis. Kami menghormati perbedaan pandangan
keagamaan baik yang pro dan kontra poligami. Biarlah hal itu menjadi diskusi
dalam pemikiran keagamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat. Fokus PSI
melihat poligami sebagian masalah sosial dan isu keadilan perempuan. Banyak
lembaga perempuan dan hak asasi manusia, khususnya Komnas Perempuan yang
menegaskan bahwa dalam praktiknya poligami menimbulkan ketidakadilan pada
perempuan dan menjadi salah satu penyebab keluarga tidak harmonis. Bagi kami
memberikan perlindungan pada perempuan dan anak-anak dalam keluarga yang
harmonis menjadi tujuan utama demi masa depan bangsa ini.” ujar Ketua Umum PSI
Grace Natalie Louisa, Desember 2018 lalu.
Beberapa
wujud ketidakadilan yang disebabkan poligami, kata Grace, adalah perempuan
tidak dinafkahi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga penelantaran anak.
K.Jm.Pa.040241.041019.23:45