“Saya ingin menjadikan Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi siapa saja,
tidak peduli apa suku, ras dan agamanya. Tidak peduli apakah dia perempuan atau
laki-laki. Tidak peduli status sosial dan ekonominya. Rumah yang sama-sama kita
jaga. Rumah yang selalu sama-sama kita perbaiki hari ke hari.”
Grace Natalie adalah seorang Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), seorang mantan jurnalis, seorang
istri, dan seorang Ibu. Lahir pada 4 Juli 1982, Grace
menyelesaikan sekolah dasar di SD Kristen IPEKA Sunter serta pada 1994. Sekolah
menengahnya diselesaikan di SMAK 3 BPK Penabur, Jakarta. Grace
kemudian mengambil jurusan akuntansi di Institute Bisnis dan Informatika Indonesia.
Pengalaman pertamanya di dunia jurnalistik adalah ketika jaringan SCTV mengadakan
SCTV Goes to Campus, kompetisi untuk mencari mahasiswa yang ingin menjadi jurnalis.
Grace memenangkan kompetisi tingkat provinsi (Jakarta) dan
kemudian mencapai lima besar secara nasional.
Setelah menyelesaikan studinya, Grace
direkrut oleh SCTV dan menjadi presenter pada acara Liputan 6. Pada tahun-tahun
awal sebagai jurnalis televisi, ia meliput kejahatan, politik, bisnis, dan berita
terkini lainnya. Dia mengatakan sulit beradaptasi dengan dunia televisi yang sangat
dinamis dengan jam kerja yang tidak dapat diprediksi. Tapi itu tidak menyurutkan
semangatnya, dan dia perlahan-lahan jatuh cinta dengan dunia jurnalisme. Setelah
setahun, dia pindah ke ANTV dan kemudian ke tvOne.
Pengalaman sebagai jurnalis membuat Grace
dekat dengan isu politik. Kedekatannya ke isu politik berlanjut, tahun 2012, Grace
dipercaya menjadi CEO di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Beberapa
momentum politik penting dilewatinya bersama SMRC, termasuk Pemilihan Legislatif
dan Presiden 2014.
Grace memantapkan diri untuk terjun langsung ke dunia politik dan memimpin PSI karena ingin ‘Rumah Indonesia’ yang akan dihuni oleh kita,
anak-anak kita, saudara kita di masa yang akan datang, adalah Indonesia yang menjadi
rumah damai buat seluruh suku, golongan, agama, ras dan keyakinan. Atas kepemimpinan
Grace selama mendirikan, membangun, serta mengembangkan PSI, dirinya menerima Globe Asia ‘99 Most Powerful Woman 2017’.
Sebagai seorang pemain politik praktis, ucapan dan perbuatan Grace
kerap mendapatkan banyak perhatian. Terakhir, pidato berjudul “Keadilan untuk Semua,
Keadilan untuk Perempuan Indonesia” yang disampaikan oleh Grace
pada 11 Desember 2018 di Surabaya, berhasil memancing wacana terkait perempuan,
khususnya poligami.
Pada Pidato Politik Akhir Tahun itu, Grace
menegaskan bahwa PSI mendukung usulan kenaikan batas usia pernikahan. Dari 16 tahun
menjadi 18 tahun. “Kami akan mendukung kenaikan batas usia pernikahan menjadi 18
tahun. Agar tak ada lagi perempuan putus wajib belajar 12 tahun. Kami sadar, pendidikan
yang rendah akan membuat perempuan sulit mendapat pekerjaan dan rentan jatuh ke
jurang kemiskinan,” kata Grace
di hadapan sekitar 1.000 pengurus, kader, dan simpatisan PSI.
Tak lama berselang, pada hari Kamis 13 Desember 2018, majelis hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan uji materi UU No 1/1974 tentang Perkawinan khususnya
pasal mengenai batas usia pernikahan. Dalam putusannya, majelis hakim MK menyatakan
bahwa batas usia 16 tahun di pasal 7 UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mengikat secara hukum. Pihak eksekutif dan legislatif diberi waktu tiga
tahun untuk mengubah UU Perkawinan. Jika
tiga tahun tidak juga berubah, pasal itu otomatis tidak berlaku.
Grace selaku Ketua Umum PSI yang hadir dalam persidangan mengapresiasi putusan tersebut.
Grace menambahkan bahwa putusan tersebut sudah lebih progresif
dibandingkan putusan uji materi sebelumnya, meskipun ada pemberian waktu maksimal
tiga tahun untuk perubahan.
“Hari ada kemenangan kecil untuk perempuan-perempuan dan anak-anak Indonesia.
Kami mengapresiasi putusan majelis hakim MK. Apresiasi juga kami sampaikan ke para
pemohon uji materi. Para pemohon telah menyuarakan aspirasi banyak perempuan dan
anak di Indonesia.” Ucap Grace
di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Grace menambahkan bahwa putusan tersebut sudah lebih progresif dibandingkan putusan
uji materi sebelumnya, meskipun ada pemberian waktu maksimal tiga tahun untuk perubahan.
Sepintas memang tiga tahun itu terkesan lama. “Tapi mengingat 4 bulan lagi pemilu
sebenarnya tidak terlalu lama. Tinggal publik yang harus kritis untuk memilih partai-partai
yang memang peduli pada anak dan perempuan,” tandas Grace.
Lebih lanjut, Grace
menilai bahwa putusan majelis hakim MK ini semakin mengkonfirmasi dan selaras dengan
perjuangan PSI yang dinyatakan dalam Pidato Akhir Tahun Grace
pada 11 Desember di Surabaya. “Putusan MK ini menjadi bahan bakar tambahan untuk
PSI. Karena bola dikembalikan ke legislatif. Kalau kami masuk parlemen, PSI akan
mendesak supaya perbaikan UU Perkawinan dipercepat, tidak perlu sampai tiga tahun,”
ujar penggemar Chelsea tersebut.
Tak hanya berjuang secara yuridis, Grace
juga menguatkan perjuangan melalui sisi akademis. Memanfaatkan momentperingatan
Maulud Rasulullah Muhammad, PSI dengan mengambil tema “Misi Kenabian dalam Memuliakan Perempuan”.
Tak tanggung-tanggung, ‘Pendekar Perempuan’ yang juga merupakan Imam Besar Masjid
Istiqlal, Jakarta, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar diundang untuk menyampaikan ceramah.
Di hadapan para pengurus, kader dan simpatisan PSI yang hadir, Kiai Nasar menekankan bahwa selama ini perempuan
masih jadi objek ketidakadilan. Kiai karismatik itu pun ikut mencermati masalah
praktik poligami yang sering jadi sumber ketidakadilan yang dialami oleh perempuan
dan anak-anak. Ini sejalan dengan hasil kajian dari Komnas HAM, Komnas Perempuan
dan LBH APIK, yang diungkap beberapa waktu lalu.
“Memang seperti hasil kajian-kajian sebelumnya, harus diakui praktik poligami
selama ini, jadi sebab atas banyak kasus perceraian, kekerasan terhadap perempuan,
ekonomi ambruk, dan anak-anak jadi korban penelantaran,” ujar Kiai Nasar nya di
basecamp DPP PSI, Senin 17 Desember 2018, “Islam hadir untuk meredam pernikahan
tanpa batas. Dibatasi jadi 3 atau 4 istri saja, syaratnya harus adil. Tapi ayat
lain mengunci, dikatakan bahwa laki-laki tidak akan bisa adil secara kualitatif
atau menyangkut perasaan. Jadi logikanya apa? Ya, jangan poligami,” lanjutnya.
Lebih jauh, penulis buku Ketika Fikih Membela Perempuan itu juga menyinggung
peran Rasululllah Muhammad dalam mengangkat derajat kaum perempuan pada masa itu,
ketika perempuan berada dalam subordinat laki-laki dan kerap mendapatkan perlakuan
diskriminatif. “Bahwa Nabi Muhammad yang pertama kali menghentikan tradisi mengekstradisi
perempuan yang sedang menstruasi. Dulu perempuan tidak boleh di-akikah, hanya laki-laki.
Islam, lewat Nabi Muhammad, memulai akikah bagi kaum perempuan,” lanjutnya.
Kiai Nasar juga menegaskan bahwa Islam turut berperan dalam memperkenalkan dan
mengizinkan perempuan berkiprah di ranah publik. “Aisyah, istri nabi juga ikut berperang,
ikut merawat, sebelumnya tidak boleh. Perempuan juga boleh menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Saya ingin mengatakan begini, berhentilah mendeskreditkan perempuan atas nama ayat,”
tegas pria kelahiran Ujung Bone, Sulawesi Selatan ini.
Terakhir, sebagai seorang cerdik-cendekia (ulama/scholar), Kiai Nasar menitipkan
pesan kepada caleg-caleg PSI yang akan maju di Pemilu 2019. “Seandainya nanti ada
kejutan, apa yang diinginkan di Pemilu 2019 tercapai, saya titipkan harapan, untuk
adinda-adinda yang bersih dari kontaminasi pikiran masa lampau yang destruktif,
peliharalah pikiran jernihnya untuk menatap masa depan,” ujar Kiai Nasar yang disambut
tepuk tangan para hadirin.
Sebagai tambahan, berikut adalah petikan Tanya-Jawab terkait penolakan PSI terhadap poligami. Melalui Tanya-Jawab ini, diharapkan masyarakat
dapat mencerna dengan utuh gagasan yang dimau oleh Grace
secara pribadi maupun PSI sebagai partai, agar tidak keliru menanggapi.
T: “Mengapa PSI mengangkat masalah poligami?”
J: “PSI adalah parpol yang peduli pada keadilan, khususnya kalangan
perempuan yang sampai kini masih banyak mengalami diskriminasi. Riset LBH APIK tentang
poligami menyimpulkan bahwa pada umumnya, praktik poligami menyebabkan ketidakadilan:
perempuan yang disakiti dan anak yang ditelantarkan. Poligami menimbulkan ketidakharmonisan
dan menyebabkan perceraian. PSI berpandangan, keadilan harus ditegakkan dari rumah, dari keluarga.
Karena keluarga yang setara adalah prasyarat penting bagi tegaknya keadilan dalam
skala lebih besar di masyarakat dan negara. PSI tak ingin menempatkan perempuan lebih tinggi, yang kami perjuangkan
adalah KESETARAAN antara laki-laki dengan perempuan.”
T: “Benarkah PSI melarang poligami?”
J; “Benar. Untuk itu PSI memulai dari diri sendiri terkait pelarangan poligami bagi
Pengurus, Caleg dan kader PSI. Kami telah membuat aturan bagi Pengurus dan Caleg PSI tidak boleh poligami. Dalam Peraturan Organisasi Bab I Pasal
5 Poin 2.c. Yang disahkan dengan kontrak tertulis. Kami juga setuju dengan KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)–sosok yang setia monogami sampai akhir hayatnya–bahwa pelarangan
poligami dimulai dari budaya. Kultur anti-poligami telah kami mulai dari dalam.
Selanjutnya PSI ingin mendorong pelarangan poligami melalui revisi atas UU
Perkawinan tahun 1974. Larangan ini diberlakukan KHUSUS untuk pejabat publik di
Eksekutif, Yudikatif, Legislatif dan Aparatur Sipil Negara, karena pejabat publik
bekerja, terikat kontrak dan digaji oleh negara yang keuangannya berasal dari pajak
seluruh warga negara. Kami meyakini, negara seharusnya tidak terlibat — secara langsung
maupun tidak langsung — melanggengkan ketidakadilan yang muncul akibat praktik poligami.
Lebih dari itu pejabat publik dan ASN dituntut menjadi tauladan bagi masyarakat
umum.”
T: “Bukankah ada paham agama yang memperbolehkan poligami, apakah PSI tidak takut disebut menentang agama?”
J: “PSI tidak mau masuk pada perdebatan teologis. Kami menghormati
perbedaan pandangan keagamaan baik yang pro dan kontra poligami. Biarlah hal itu
menjadi diskusi dalam pemikiran keagamaan dan perbedaan budaya dalam masyarakat.
Fokus PSI melihat poligami sebagian masalah sosial dan isu keadilan perempuan.
Banyak lembaga perempuan dan hak asasi manusia, khususnya Komnas Perempuan yang
menegaskan bahwa dalam praktiknya poligami menimbulkan ketidakadilan pada perempuan
dan menjadi salah satu penyebab keluarga tidak harmonis. Bagi kami memberikan perlindungan
pada perempuan dan anak-anak dalam keluarga yang harmonis menjadi tujuan utama demi
masa depan bangsa ini.”
T: “Apakah pelarangan poligami tidak melanggar HAM?”
J: “Tidak! Karena poligami malah melanggar hak asasi perempuan yang salah satunya
bebas dari diskriminasi, pelecehan dan kekerasan. Pelarangan ini justru untuk melindungi
hak asasi perempuan agar terbebas dari diskriminasi dan ketidakadilan.”
T: “Mengapa PSI mendorong usia pernikahan perempuan 18 tahun? Bukankah
di UU Perkawinan Usia 16 tahun?”
J: “PSI berpatokan pada UU Perlindungan Anak dan UU HAM yang menyebutkan
usia anak adalah di bawah 18 tahun. PSI menentang pernikahan anak. PSI mendorong revisi UU Perkawinan tahun 1974 agar usia pernikahan
perempuan 18 tahun. Permintaan PSI ini lebih moderat dibandingkan ada yang ingin
menaikkan usia pernikahan perempuan ke 20-21 tahun.”
Berikut Pidato Politik Akhir Tahun 2018 Grace
Natalie Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia:
“Keadilan Untuk Semua, Keadilan Untuk Perempuan Indonesia”