— menikam jejak, mencari akar
Lanny Octavia, yang hari ini memperingati hari lahirnya, mungkin tidak
banyak dikenal oleh khalayak. Dibanding rekannya, Nong Darol Mahmada, maupun
suaminya, Novriantoni Kahar, tampak dirinya kalah dari sisi popularitas. Dari
sisi produktivitas pun demikian. Karya tulis Lanny tidak sebanyak Mbak Nong
maupun Mas Novri. Namun, dari sisi personal Lanny punya kapling permanen dalam
hati saya. Uraian perbedaan kata akhlāq, adab, dan moral yang
disajikan secara rapi dan rinci dalam buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren membuat saya sangat gembira.
Buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren menjadi satu dari dua
rujukan utama saya terkait pesantren. Satunya lagi ialah karya Nurcholis Madjid
(Cak Nur) yang berjudul Bilik-Bilik
Pesantren. Kapling permanen terkait perbedaan akhlāq, adab,
dan moral ialah dilatari oleh nama sapaan saya: Adib.
Atas dasar perilaku mbeling, saya kerap dianggap sebagai orang yang
sikapnya tidak sesuai dengan namanya. Salah satu teman saya yang
kelak menjadi tetangga sejak saya menikah, pernah menulis tersurat melalui
BlackBerry Messengger (BBM) pertengahan 2014 silam, “Kalau Adib, beradab atau
biadab?” Pesan tersebut langsung saya tanggapi bahwa kata adib juga bisa
dimaknai pesastra, tidak harus orang yang beradab.
Nah, sisi makna tidak harus orang yang beradab itulah yang diurai oleh
Lanny secara rapi dan rinci, berdasarkan kajian terhadap kitab kuning, sampai
memberi simpulan berikut:
“Uraian
tentang adab di atas menunjukkan bahwa adab memiliki kecenderung an berbeda
dengan akhlak. Akhlak selaras dengan kata etika (serapan dari kata ethic dalam
bahasa Yunani) dan moral (serapan kata moral dari bahasa Latin), yang artinya adalah
adat dan perilaku moral manusia. Adab tidak menunjukkan pada arti
adat-kebiasaan, insting dan tabiat seperti yang terkandung dalam kata akhlak,
bahkan justru adab mengarah pada persoalan pembelajaran, pendidikan dan
pembiasaan. Ini selaras dengan adab dalam bahasa Persia, yang mengandung arti
ilmu pengetahuan, kultur (tsaqâfah), penjagaan, ketakjuban, cara atau jalan
yang dapat diterima, kebaikan dan konsistensi pada batasan setiap sesuatu.
Sehingga tidak berlebihan kalau di kampus-kampus Islam terdapat fakutas Adab.”
Lebih lanjut, buku Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren memberi dorongan kepada saya
untuk melakukan peniruan. Pembacaan buku tersebut menimbulkan kesan bahwa Lanny
berhasil menghasilkan karya tulis terkait pendidikan yang tidak sekadar jargon
seperti kerap digembar-gemborkan para praktisi maupun pemerhati pendidikan,
melainkan sampai kepada langkah mewujudkan secara konkret. Kebetulan topik yang
digarap ialah pendidikan karakter, frasa yang kerap digaungkan secara luas
tanpa pernah dikaji secara jelas.
Berdasarkan kesan itulah saya berusaha untuk konsisten bermain di topik
literasi saintifik yang sudah mulai menjadi my area sejak 2016 serta
belakangan literasi finansial sejak 2019 dan literasi matematis sejak 2020. Harapan
yang dipendam ialah agar bisa menghasilkan buku tentang pendidikan literasi
saintifik dan finansial laiknya Pendidikan
Karakter Berbasis Tradisi Pesantren. Karena itulah saya jarang
terlibat penggaungan jargon ‘menumbuhkan literasi’ dan sejenisnya, melainkan
lebih tertarik untuk menggarap secara teknis langkah pembelajaran untuk
mencapai literasi saintifik, finansial, dan matematis.
Kesan lain yang saya peroleh ialah Lanny menggunakan referensi kitab kuning
dengan jumlah banyak. Lanny menggunakan kitab kuning bukan hanya karena uraian
yang dikandung mendukung preposisi yang dibangun oleh Lanny, melainkan
sekaligus untuk menunjukkan bahwa kitab kuning termasuk karya tulis yang pantas
diapresiasi secara akademik sampai saat ini. Apresiasi akademik yang saya
maksud ialah bukan sebatas mengungkap kitab kuning itu bagus, melainkan sampai
kepada tingkat menggunakannya gagasan yang disampaikan sebagai rujukan dalam
penulisan akademik seperti jurnal.
Kedua kesan itu saya sampaikan secara lisan ketika menjumpai Novri,
suaminya Lanny, yang kerap saya ganggu ketika bermain di kawasan ibu kota
negara. Karena kedua kesan itupula saya menyebut bahwa Lanny lebih unggul
dibandingkan Mbak Nong dalam ranah pendidikan. Kedua kesan itulah yang
belakangan memberi dorongan untuk melakukan peniruan terhadap cara Lanny
menulis. Bentuk konkret peniruan dapat dilihat dari penggunaan beberapa kitab
kuning dalam jurnal dan artikel saya terkait literasi saintifik, literasi
finansial, dan literasi finansial. Kebetulan Lanny tampak cenderung lebih
nyaman menulis dalam format jurnal akademik ketimbang artikel populer.
Lanny dan Novri termasuk kasus unik dalam perjalanan saya. Masing-masing
termasuk role model saya, yang dikagumi secara terpisah. Maksud terpisah
ialah: atas dasar perilaku dan letak pengaruh yang saling berlainan. Keunikan
keduanya ialah: walau saling berlainan, bisa saling melengkapi.
Kalau Lanny memengaruhi saya dari sisi pelaksanaan gagasan pendidikan ke
dalam praktik pembelajaran serta cara menggunakan rujukan, Novri banyak
memiliki pengaruh dari sisi alihbahasa dan diksi. Memang gara-gara Novri saya
mulai membiasakan diri memakai Tafsir al-Jalālayn dan Ḥāsyiyah al-
Ṣōwī ‘alā Tafsir al-Jalālayn setiap mengutip ayat al-Qur’ān. Namun,
permulaan pembiasaan itu dilatari oleh kepiawaian Novri dalam menguasai bahasa
sumber dan bahasa sasaran ketika mengutip ungkapan bahasa asing.
Uraian yang disajikan ialah gambaran singkat—maunya tapi berkepanjangan
jadinya—mengenai sejumput kapling permanen dalam hati saya yang ditempati oleh
Lanny sekaligus Novri. Saya berharap uraian tersebut dapat menjadi sample
guna menunjukkan bahwa terdapat sisi peniruan dalam karya tulis yang saya
hasilkan. “Imitation is the sincerest form of flattery.” tulis Stephen
William Hawking dalam My Brief
History ketika mengulas tentang penulisan A Brief
History of Time.
Sebagai penulis, saya merasa perlu—bukan sekadar tak ragu dan tak
malu—untuk meniru—bukan menjiplak. Melalui peniruan lah saya dapat melaksanakan
keyakinan untuk ber-madzhab kepada para pendahulu, dalam hal apapun.
Mengumpulkan beragam hal—termasuk gagasan dasar—terkait karya yang akan
dibuat sebagai langkah awal ketika hendak berkarya tentu perilaku wajar.
Misalnya ketika hendak menulis topik terkait pendidikan. Penulisan bisa dimulai
dengan menganalisis analisis orang lain, melihat hasil ijtihād yang
sudah ada.
Walau dimulai dari langkah tersebut, keotentikan karya tetap bisa ada,
misalnya dalam bentuk metode, hasil, pembahasan, maupun simpulan. Kalau membaca
buku Lanny, letak keotentikannya ialah mengulas topik pendidikan karakter
sampai kepada tingkat langkah menerapkan ke dalam pembelajaran. Pada awal
bermain di literasi saintifik, saya sendiri banyak mengadopsi indikator
pembelajaran dari PISA (Programme for International Students Assessment),
sebelum akhirnya bisa menyusun sendiri berdasarkan adaptasi terhadap beberapa
karya, salah satunya dari PISA. Kira-kira sejenis demikian maksudnya.
Dengan melihat ijtihād yang sudah ada, kita bisa memperoleh
inspirasi, memiliki referensi, memberi apresiasi, serta melestarikan genealogi.
Karena itu, kita juga tak perlu repot memulai dari nol kayak di SPBU, bisa melestarikan
kesinambungan garis keilmuan, serta memberi peluang untuk menemukan bagian
tertentu yang belum dibahas oleh pendahulu. Sehingga kita sekaligus bisa
mengerti letak karya yang dihasilkan dalam peta kawasan keilmuan. Melalui
pengertian inilah sikap humble bisa dibiasakan, meski sisi arrogant
yang mungkin lebih gemar ditampakkan.
Contoh dari perilaku ini misalnya ketika James Clerk Maxwell membaca Experimental
Researches on Electricity karya Michael Faraday. Melalui buku
inilah Faraday memberi inovasi dalam bidang listrik-magnet berupa gagasan medan
forsa. Selama beberapa waktu antara masa Isaac Newton dan Faraday,
fisikawan-fisikawati mengalami masa bingung beregu. Letak kebingungan ialah
memecahkan misteri hukum listrik-magnet yang tampak menunjukkan bahwa forsa
bekerja melintas ruang kosong antar benda yang saling berinteraksi. Faraday
yakin bahwa agar benda bisa bergerak, sesuatu harus bersentuhan dengan benda
itu. Karena itu, dirinya membayangkan ruang antara muatan listrik dan magnet
berisi tabung tak kasat mata yang secara fisik mendorong dan menarik. Tabung
inilah yang disebut sebagai medan forsa.
Cara menjelaskan hal ini kepada anak umur 10 tahun ialah menempatkan kaca
bening di atas magnet batang, kemudian menyebar serbuk besi atau debu di atas
kaca bening itu. Dengan beberapa ketukan untuk mengalahkan besar forsa gesekan,
serbuk bergerak seolah disentuh oleh kekuatan tak kasat mata guna mengatur diri
membentuk pola lengkungan yang menjangkau dari satu kutub magnet ke kutub lain.
Pola inilah yang merupakan peta forsa magnet tak kasat mata yang memenuhi
ruang.
Sayangnya, Faraday termasuk faqīr matematika, kayak saya. Dirinya
kerap kesusahan, kurang berminat, sekaligus sedikit mempelajari matematika.
Karena itulah buku Experimental
Researches on Electricity terasa cerita verbal ketika dibaca
pakar matematika seperti Maxwell. Melalui analisis terhadap analisis Faraday,
Maxwell yakin bahwa cara yang dipakai Faraday untuk memahami fenomena alam
dapat disebut metode matematis, meskipun tidak diperlihatkan dalam bentuk
simbol matematika konvensional.
Itulah yang mendorong Maxwell menulis A Treatise on Electricity and
Magnetism, yang kali pertama memunculkan empat persamaan
diferensial parsial. Persamaan yang dikenal sebagai Persamaan Maxwell ini
menjadi satu set persamaan matematis tentang forsa listrik dan magnet
sebagai wujud entitas yang sama: listrik-magnet atau elektromagnetik.
Melalui persamaan tersebut, Maxwell menunjukkan bahwa medan elektromagnetik
bisa merambat melalui ruang sebagai gelombang. Kecepatan gelombang itu diatur
oleh satu angka yang muncul di persamaannya, yang dia hitung berdasarkan data
eksperimen beberapa tahun sebelumnya. Maxwell kaget ketika mendapati kecepatan
gelombang yang dihitungnya sama dengan kecepatan cahaya, yang ketika itu sudah
diketahui berdasarkan eksperimen.
Uraian tersebut menunjukkan dengan kentara bahwa gara-gara melihat hasil ijtihād
Faraday, Maxwell justru memiliki hasil ijtihād sendiri berupa penemuan
bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Wajar kalau Maxwell menulis
saran agar karya Faraday juga dibaca dengan tuturan berikut:
“I have
confined myself almost entirely to the mathematical treatment of the subject,
but I would recommend the student, after he has learned, experimentally if
possible, what are the phenomena to be observed, to read carefully Faraday's
Experimental Researches in Electricity. He will there find a strictly
contemporary historical account of some of the greatest electrical discoveries
and investigations, carried on in an order and succession which could hardly
have been improved if the results had been known from the first, and expressed
in the language of a man who devoted much of his attention to the methods of
accurately describing scientific operations and their results. It is of great
advantage to the student of any subject to read the original memoirs on that
subject, for science is always most completely assimilated when the description
of the phenomena, and the elementary parts of the theory of each subject, will
be found in the earlier chapters of each of the four Parts into which this
treatise is divided. The student will find in these chapters enough to give him
an elementary acquaintance with the whole science.”
Perilaku meniru juga didukung oleh informasi pustaka yang menunjukkan bahwa
tak selamanya peniruan membuat satu karya begitu saja tenggelam, bahkan bisa
menjelma sebagai karya azam.
Contoh paling bagus ditunjukkan oleh Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn ‘Abdillāh
al-Ṭō’ī yang lebih dikenal dengan nama ibn Mālik. Dalam pengantar karyanya
kumpulan 1002 bait mengenai tata bahasa berjudul al-Khulāṣoh al-Alfiyyah,
penulis asal Jaén, Spanyol ini menyebut bahwa karya lebih bagus ketimbang karya
Yaḥya ibn ‘Abdi al-Mu’ṭī al-Zawāwī yang berjudul al-Durrot
al-Alfiyyah:
فائقة ألفيّة ابن معطي
Dari sisi penyajian, al-Khulāṣoh
al-Alfiyyah karya ibn Mālik memang unggul karena hanya
menggunakan baḥr rojaz yang berpola: mustaf’ilun-mustaf’ilun-mustaf’ilun.
Sedangkan al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī disajikan menggunakan dua pola,
yakni baḥr rojaz serta sarī’ yang berpola: mustaf’ilun-mustaf’ilun-fā’ilun.
Untuk sisi ini, ketika dilantunkan al-Khulāṣoh
al-Alfiyyah karya ibn Mālik lebih nyaman dibanding al-Alfiyyah
ibn Mu’ṭī.
Dari sisi jumlah bait, al-Khulāṣoh
al-Alfiyyah karya ibn Mālik 19 bait lebih sedikit dibanding al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī. Dengan jumlah 1002 bait,
al-Alfiyyah ibn Mālik lebih dekat dengan angka 1000 dibandingkan 1021 bait
al-Alfiyyah ibn Mu’ṭī. Rasio selisih yang tak seberapa, tapi perlu diapresiasi
juga. Bahkan, andai tidak terdapat 2 bait yang menyinggung al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī, ibn Mālik berhasil menulis alfiyyah
literally di al-Khulāṣoh
al-Alfiyyah karya ibn Mālik.
Walau begitu, ibn Mālik tak lupa bahwa karya al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī diterbitkan lebih dahulu:
وهو بسبق حائز تفضيلا
Ungkapan inilah yang menunjukkan bahwa ibn Mālik meniru ibn Mu’ṭī dalam
membuat karya tulis, tapi peniruan tersebut lebih azam dibanding karya yang
ditiru. Dengan demikian, head to head antara ibn Mālik dan ibn Mu’ṭī di Naḥwu
pun terhindar dari priority dispute ala-ala Newton dan Gottfried Wilhem
Leibniz di Matematika, Albert Einstein, David Hilbert, dan Jules Henri Poincaré
di Fisika, atau Charles Robert Darwin, Alfred Russel Wallace, dan Patrick
Matthew di Biologi.
Lagipula al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī tidak mengungguli al-Khulāṣoh al-Alfiyyah
karya ibn Mālik secara mutlak. Misalnya dalam urutan penyajian topik, perbedaan
madzhab Baṣroh dan Kūfah dalam masalah kata asal apakah fi’il mādhī atau
maṣdar, serta kecenderungan i’rōb untuk ism dan binā’
untuk fi’il, menurut pandangan orang awam seperti saya, al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī lebih unggul dibanding al-Khulāṣoh al-Alfiyyah
karya ibn Mālik. Wajar pula kalau ibn Mālik tetap merasa perlu untuk memuji al-Durrot
al-Alfiyyah karya ibn Mu’ṭī:
مستوجب ثنائي الجميلا
Malah dari pola penyajian, kalau memang ibn Mālik ingin tampak mengungguli
ibn Mu’ṭī, mestinya dirinya menggunakan baḥr selain rojaz dan sarī’.
Bisa baḥr yang lebih populer seperti ṭowīl, basīṭ, kāmil,
atau wāfir agar terasa lebih merakyat. Atau bisa juga menggunakan baḥr
yang jarang dipakai seperti muḍōri’, muqtaḍob, atau mutadārik
supaya terasa limited edition.
Dari sisi kemauan dan kemampuan meniru karya pendahulu saja saya sudah tak
bisa kabur dari bersyukur kepada Allōh maupun makhluq Allōh. Kiai Muhammad
Arifin Fanani, salah satu guru paling berpengaruh kepada saya, kerap mengutip
ungkapan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ
Salah satu bentuk bersyukur kepada kelompok an-nās ialah menggunakan
karya yang telah dihasilkan untuk dasar pembuatan karya baru. Atau dengan tuturan
lain, membuahkan kemauan dan kemampuan meniru karya para pendahulu. Karena
memang dalam membuahkan kemauan dan kemampuan meniru itu, faktanya Allōh terasa
memberi sesuatu kepada saya disertai guru untuk mengerti sesuatu itu.
Misalnya Allōh memberi saya rasa penasaran terhadap penggunaan fi’il
muḍōri’ untuk kata ‘aql dalam al-Qur’ān seiring tidak ada satupun
kata ‘aql dalam al-Qur’ān disajikan menggunakan ism. Dalam upaya
untuk mengerti penggunaan itu, saya sempat menanyakan kepada Syarofis Siayah
dengan data meyakinkan. Mbak Ofis pun mengucapkan bahwa kata ‘aql dalam
al-Qur’ān disampaikan menggunakan fi’il bukan ism mengandung
pesan tersirat agar ‘aql itu di-pekerja-kan, bukan di-benda-kan. Mbuh
kesambet apa Mbak Ofis waktu itu bisa spontan mengucapkan kalimat bagus
kayak gitu.
Lebih lanjut Mbak Ofis kemudian meminta saya mengelaborasi perbedaan fi’il
muḍōri’ dengan fi’il māḍī. Perbedaan keduanya ialah fi’il muḍōri’
memiliki makna dinamis, sedangkan fi’il māḍī memiliki makna statis.
Sehingga ucapan Mbak Ofis pun kemudian diimbuhi, agar di-pekerja-kan terus
menerus.
Dari situ saja Mbak Ofis sekaligus mendorong saya untuk menemukan pesan
tersirat dalam al-Qur’ān yang dituturkan menggunakan fi’il muḍōri’.
Selain itu, ketika saya menyampaikan hal ini kepada Pak Khoirul Umam, dirinya
menyebut bahwa arti literal kata عَقَلَ يَعْقِلُ
عَقْلًا ialah
‘mengikat’. Tindaklanjut penyampaian Pak Umam tersebut menunjukkan bahwa kata ‘aql
termasuk kerja transitif. Dengan dasar serampangan ini, bisa saja saya minta
bimbingan Uda Fadhli Lukman untuk mengungkap pesan tersirat menggunakan metode
tafsir sastrawi.
Satu hal lain yang juga saya syukuri ialah dapat menikmati seabreg selera
ragam karya yang beraneka macam. Kalau punya banyak selera lintas ragam karya,
tentunya kita akan paham bahwa setiap karya adalah sebuah evolusi yang
memengaruhi karya generasi sesudahnya. Dengan demikian, bisa menghindarkan diri
dari kecenderungan asal ngoceh menyampaikan perkataan—tertulis maupun
lisan. Juga menuntun hati agar tak hobi jumping start menerobos time
machine dalam menafsirkan teks berumur empatbelas abad.
Contoh evolusi dalam karya tulis, buku Iḥyā’ ‘Ulumi al-Dīn karya Abū
Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī mempengaruhi al-Ghunyah li Ṭōlibī Ṭoriqi al-Haq
karya Abū Muḥammad 'Abdul al-Qōdir ibn Mūsā al-Jaylanī. Atau karya lain
al-Ghozālī berjudul al-Munqidh min al-Dholāl wa al-Mauṣul ilā dzi al-‘Izzati
wa al-Jalāl mempengaruhi buku Discours de la Méthode: Pour Bien Conduire
sa Raison, et Chercher la Vérité dans les Sciences karya René Descartes.
Artikel Fenomenologi Jilbab dan Antropologi Jilbab buatan Nasaruddin
Umar juga memengaruhi Kritik atas Jilbab dan Jilbab, Kewajiban atau Bukan?
buatan Nong Darol Mahmada.
Evolusi dalam arena karya musik, antara lain terdapat Julia gubahan
The Beatles yang memengaruhi Jealousy karya Queen, kemudian memengaruhi Kosong
buatan DEWA dan Karen Don’t Be Sad milik Miley Cyrus. Begitu pula dalam
arena karya rupa. Misalnya lukisan Última Cena karya Leonardo da Vinci
memengaruhi detik ke-145 sampai ke-147 dari musik video Iridescent punya
Linkin Park. Atau beberapa ragam karya, seperti Man Down karya rilisan
Rihanna, film science-fiction action berjudul The Matrix, serta
koreografi dari Seo Taiji yang memengaruhi gagasan alunan nada, video musik, dan
koreografi Come Back Home dari 2NE1.
Wajar kalau dalam karya tulis yang saya hasilkan, terdapat peniruan banyak
ragam karya maupun informasi lain yang pernah saya peroleh. Misalnya kebiasaan
menulis feature sosok perempuan, seperti Mbak Nong, Oza Kioza, Venice
Min, maupun Ibu Nasichatul Ummah. Kebiasaan itu didasari keinginan meniru Nuzhat
al-Julasāʼ fī Asyʻār al-Nisāʼ, buku antologi penyair perempuan, karya Jalāl
al-Dīn ‘Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī. Kebetulan cerdik-cendekia yang
sangat produktif dalam karya tulis ini merupakan role model utama saya dalam
penulisan.
Apalagi karakter al-Suyūṭī yang confident yang menyajikan karya
tulis, lebih mudah saya tiru ketimbang sok rendah hati. Ungkapan seperti
disajikan dalam buku al-Asybāh wa al-Nadzōir, al-Suyūṭī menulis bahwa
bukunya merupakan rangkuman ilmu sepanjang masa confidently:
وَأَنْتَ إذَا تَأَمَّلْتَ كِتَابِي هَذَا عَلِمْتَ أَنَّهُ
نُخْبَةُ عُمْرٍ، وَزُبْدَةُ دَهْرٍ، حَوَى مِنْ الْمَبَاحِثِ الْمُهِمَّاتِ، وَأَعَانَ
عِنْدَ نُزُولِ الْمُلِمَّاتِ، وَأَنَارَ مُشْكِلَاتِ الْمَسَائِلِ الْمُدْلَهِمَّاتِ،
Atau dalam Itmām al-Dirōyah li Qurrō’ al-Nuqōyah, penulis kelahiran
1 Rojab 849 H. / 3 Oktober 1445 M. ini mengungkap bahwa pelajar yang memiliki
buku tersebut tidak membutuhkan buku lain:
وأودعت فِي طي ألفاظها مَا نشره النَّاس فِي الْكتب الْكِبَار
بِحَيْثُ لَا يحْتَاج الطَّالِب مَعهَا إِلَى غَيرهَا وَلَا يحرم الفطن المتأمل لدقائقها
من خَيرهَا
Dalam bagian terakhir Tafsir al-Jalālayn yang ditulisnya pun,
al-Suyūṭī mengungkapkan cerita yang menunjukkan sisi kepercayaan dirinya.
Buat saya, peniruan adalah pujian lestari paling luhur dan dalam. Peniruan
dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai dari menulis sampai berperilaku. Maulidia
Octavia a.k.a. Via Vallen mungkin tidak tampak melakukan peniruan apapun dalam
menulis lirik lagu, tapi dalam berperilaku ketika melantunkan lagu, cara Via
Vallen menyanyi tampak kentara sangat dipengaruhi oleh Amy Lynn Hartzler.
Karena itulah saya kerap menyayangkan ketika orang yang membaca karya saya,
tidak menemukan sisi peniruan yang dilakukan. Pun timbul rasa kecewa berat
ketika orang melihat peniruan yang saya lakukan, tidak dilihat sebagai bentuk
menunjukkan sumber inspirasi, memiliki referensi, memberi apresiasi, serta
melestarikan genealogi. Sebagai informasi, judul artikel ini, Dari Peniruan
ke Peniruan adalah bentuk peniruan judul karya Tan Malaka, Dari Penjara ke
Penjara, serta subjudul menikam jejak, mencari akar saya tiru dari judul
artikel Indra Jaya Piliang penggemar Kim Hee-ae.
K.Rb.Wg.080344.041022.20:44.