“Kalau kita membicarakan tentang pendidikan, buat saya, yang terpenting dalam sebuah pendidikan itu adalah pencapaian nilai karakter, bagaimana membentuk karakter ini menjadi karakter yang baik.” tutur ibu Ikak dalam video Cara Membentuk Karakter Anak. Dalam video tersebut, beliau mengurai nilai penting pendidikan karakter serta menceritakan pengalaman beliau dalam membentuk karakter putri dan putra beliau. Melalui uraian yang dituturkan, beliau tidak memungkiri bahwa kurikulum di Indonesia sudah dirancang dengan memasukkan nilai karakter, tapi beliau juga menyadari bahwa rancangan tersebut mungkin belum bisa dilaksanakan sepenuhnya sesuai rencana. Lebih lanjut, dari cerita tersebut, dapat diperoleh 9 cara membentuk karakter menurut Ibu Ikak: bersikap konsisten, memberikan pendidikan keagamaan, pembiasaan yang baik, menjadi role model, tidak memanjakan anak, melakukan hal kecil, membiasakan berbagi, bersikap tegas, serta menanamkan secara berkelanjutan.
Ketika
kita membicarakan pendidikan karakter, ada banyak istilah terkait yang tampak
muradif, antara lain akhlak, adab, moral, dan nilai. Wacana pendidikan karakter
mulai ramai dibicarakan kembali pada dua dekade belakangan ini. Salah satu
tokoh yang kerap disebut adalah Thomas Lickona melalui karyanya, The Return
of Character Education (1993), yang menyadarkan dunia pendidikan di Amerika
tentang perlunya pendidikan karakter untuk mencapai cita-cita pendidikan. Menurutnya,
program pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter ini berangkat dari
keprihatinan atas kondisi moral masyarakat Amerika. Pembentukan karakter ini
didasarkan pada kebutuhan untuk menciptakan komunitas yang memiliki moral
kemanusiaan, disiplin moral, demokratis, mengutamakan kerjasama dan
penyelesaian masalah, dan mendorong agar nilai-nilai itu dipraktikkan di luar
kelas. Dalam konteks Indonesia, character building telah dikembangkan
sejak negeri ini berdiri, di mana presiden RI pertama Ir. Soekarno mengemukakan
gagasan tentang pentingnya pembentukan karakter bangsa. Ketika itu, nilai-nilai
yang diutamakan adalah penghargaan atas kemerdekaan, kedaulatan, dan
kepercayaan pada kekuatan sendiri atau berdikari. Mengingat pembentukan
karakter bersifat kontekstual, maka ia bisa berubah sesuai maksud dan
tujuannya, dengan berbasis selalu pada nilai-nilai (values).
Secara
umum, karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri
sendiri, sesama manusia, dan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Karakter dibangun berlandasankan penghayatan
terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap baik. Misalnya, terkait dengan
kehidupan pribadi maupun berbangsa bernegara, terdapat nilai-nilai universal
Islam seperti toleransi (tasâmuh), musyawarah (syûrâ), gotong
royong (ta’âwun), kejujuran (amânah) dan lainnya.
Lalu
apa perbedaan antara akhlak, adab, moral dan nilai dengan pendidikan karakter?
Menurut Imam al-Jurjani, akhlak adalah bangunan jiwa yang bersumber darinya
perilaku spontan tanpa didahului pemikiran, berupa perilaku baik (akhlak yang
baik) ataupun perilaku buruk (akhlak yang tercela).[1] Al-Jurjani cenderung
mengartikan akhlak sebagai kekokohan jiwa yang ada di dalam diri manusia, yang
mendorong manusia berbuat baik atau buruk. Jadi, perilaku manusia didorong dari
dalam jiwanya. Akal pikiran dan hati nurani yang jernih mendorong perilaku yang
elok, sementara nafsu mendorong perilaku nista. Akhlak menjadi terpuji atau
tercela tergantung pada benturan dan tarik-ulur berbagai naluri dalam
pergulatan batin manusia. Seseorang yang berbudi luhur adalah yang sanggup
memenangkan budi pekerti luhur dan menekan serta mengalahkan nalurinya yang
nista. Yang kedua adalah akhlak yang diperoleh melalui usaha manusia (muktasabah).[2] Pendidikan dan
pembelajaran berbasis karakter adalah proses usaha membentuk agar akhlak
manusia menjadi baik. “..., bagaimana membentuk karakter ini menjadi karakter
yang baik.” kalau mengikuti tuturan ibu Ikak dalam video tersebut. Tujuan akhir
pendidikan akhlak dalam pandangan para ulama Islam klasik adalah terbentuknya
karakter positif dalam perilaku manusia. Namun dalam praktiknya, pendidikan
akhlak cenderung kepada pengajaran baik dan buruk secara normatif seperti
halnya pendidikan moral. Meningkatnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja
menunjukkan bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga pendidikan belumlah optimal.
Jika
‘akhlak’ dan kata-kata yang seakar dengannya (al-khuluq) terdapat dalam
al-Quran, kata ‘adab’ tidak terdapat dalam al-Quran dan mengandung makna yang
berbeda-beda. Adab dalam peradaban Arab pertama kali digunakan dalam
makna kesusastraan, yang terkait dengan keindahan bahasa. Makna adab
berubah menjadi pengajaran melalui periwayatan puisi, dongeng, hadis Nabi, dan
kisah peradaban masa pra-Islam. Adab diartikan sebagai pembelajaran dan mu`addib
sebagai pendidik, tidak hanya di bidang hadis dan agama, tapi juga mencakup
puisi, linguistik, pidato, dongeng, dan kesusastraan pada umumnya.[3] Kata adab mulai digunakan
dalam makna akhlak pada masa dinasti Umayyah. Dalam karyanya Kalîlah wa
Dimnah, Ibn al-Muqaffa’ menulis kisah mengenai empat ulama yang dikumpulkan
oleh raja. Sang raja berkata, “Silakan masing-masing berbicara tentang fondasi
dasar adab (dalam arti akhlak).” Ulama pertama berkata, “Sahabat ilmu yang
paling utama adalah sikap diam.” Ulama kedua berkata, “Yang paling bermanfaat
bagi manusia adalah ia mengetahui kadar kemampuan akalnya.” Ulama ketiga
bekata, “Yang paling bermanfaat bagi manusia adalah tidak berbicara tentang hal
yang sia-sia.” Ulama keempat berkata, “Yang paling bernilai bagi manusia adalah
rasa menerima (legowo) atas ketentuan yang sudah ditetapkan.”[4] Ibn al-Muqaffa’ juga
menulis buku tentang akhlak berjudul al-Adab al-Kabîr dan al-Adab
al-Shaghîr. Adab dalam konteks ini tidak hanya mencakup akhlak, tapi juga
pengetahuan yang mengokohkan akhlak seperti misalnya seni, kreasi, hikmah,
nasihat, puisi, kisah, serta kata-kata mutiara yang secara langsung atau tidak
langsung mendorong manusia untuk berakhlak terpuji (makârim al-akhlâq).
Menurut
al-Jabiri, Ibn al-Muqaffa’ menggunakan kata adab dalam karya-karyanya
tersebut mengandung tiga arti yang saling melengkapi dan saling terkait satu
dengan lainnya serta mengusung satu hal yaitu etika paripurna: 1). Adab
dalam arti akhlak. Yang dimaksudkan adalah sifat-sifat terpuji, tindakan atau perilaku-perilaku
(sulûk) yang terpuji dan mulia yang ditumbuh-kembangkan oleh sang pelaku
dalam aktivitasnya setelah berpikir; 2). Sesuatu yang berusaha mengusung sebuah
akhlak paripurna, yaitu teks-teks yang diriwayatkan atau teks-teks tertulis
yang mewariskan pengetahuan akhlak mulia dan cara berhias diri dengannya; 3). Seni
atau ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana mem perindah bahasa dan tutur kata.
Adab tak ubahnya sebagai seni berbahasa dan bertutur kata.[5]
Al-Mawardi
mendefinisikan adab dengan pengertian yang lebih universal. Dia
mengatakan, “Adab adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dapat mengeluarkan
dari segenap kesalahan dan kekeliruan secara umum meliputi kesalahan ucapan,
perkataan, perilaku, tindakan dan moral”. Dia membagi adab ke dalam dua bagian,
yaitu adab al-dunyâ dan adab al-dîn. Adab al-dunyâ
menurutnya terbagi menjadi dua, yaitu: (a). Etika sosial yang berkaitan dengan
ketertiban dan pengaturan kenegaraan, kebangsaan, etika publik, politik dan
segenap persoalan yang bersifat kolektif di ranah sosial, dan; (b). Etika
individu yang menempatkan masing-masing warga negara bertanggung jawab dalam
memperbaiki perilaku dan menampakkan kebaikan personal. Sedangkan adab
al-dîn, yaitu etika dalam standar aturan-aturan syariat, seperti perintah
dan larangan, hukum halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain.[6]
Dikotomi
pembagian adab ke dalam dua bagian, yaitu adab al-dunyâ dan adab
al-dîn, senada dengan para filsuf Islam klasik yang membagi adab menjadi
dua, yaitu adab al-siyâsah dan adab al-syar’îyyah. Adab
al-syar’îyyah adalah segenap aturan dan ketentuan agama. Adab dalam
syariah oleh kalangan ahli fikih klasik lebih diidentikkan dengan penyempurnaan
terhadap aturan-aturan agama, seperti persoalan shalat bagi lelaki dalam aturannya
selama aurat telah tertutupi dari lutut sampai pusar maka shalatnya sah meski
anggota tubuh lain dibiarkan terbuka. Meski shalatnya sah, akan tetapi dianggap
tidak beradab atau tidak menggunakan adab, kurang sempurna. Dengan menggunakan
adab, ibadah seseorang dapat menjadi sempurna, layak, serta pantas. Sehingga
shalat bagi lelaki yang menggunakan adab, dalam konteks Indonesia, dengan
menutup anggota badan selain aurat seperti mengenakan pakaian, sarung, dan
kopiah. Di negeri-negeri Arab, menggunakan pakaian tradisional mereka yaitu
jubah. Sehingga adab digunakan dan diangkat oleh kalangan sufi sebagai doktrin
yang signifikan, seperti adab al-‘ibadah, adab al-suhbab, dan
lain-lain, yang bertujuan untuk menyempurnakan aturan-aturan yang ditetapkan
oleh fikih atau syariat. Muncullah jargon, “Man tafaqqaha bilâ tashawwuf fa
tafassaqa.” Barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia akan
menjadi fasik. Sedangkan adab al-siyâsah adalah segenap aturan yang
berurusan dengan kemakmuran umat manusia, memajukan bumi, dan pengaturan
hubungan sosial antarsesama.
Uraian
tentang adab di atas menunjukkan bahwa adab memiliki kecenderung an berbeda
dengan akhlak. Akhlak selaras dengan kata etika (serapan dari kata ethic
dalam bahasa Yunani) dan moral (serapan kata moral dari bahasa Latin),
yang artinya adalah adat dan perilaku moral manusia. Adab tidak menunjukkan
pada arti adat-kebiasaan, insting dan tabiat seperti yang terkandung dalam kata
akhlak, bahkan justru adab mengarah kepada persoalan pembelajaran, pendidikan
dan pembiasaan. Ini selaras dengan adab dalam bahasa Persia, yang mengandung
arti ilmu pengetahuan, kultur (tsaqâfah), penjagaan, ketakjuban, cara
atau jalan yang dapat diterima, kebaikan dan konsistensi pada batasan setiap
sesuatu.[7] Sehingga tidak berlebihan
kalau di kampus-kampus Islam terdapat fakutas Adab.
Lalu
apa itu moral dan pendidikan moral?
Pendidikan
moral (moral education) digunakan untuk mengajarkan etika, dan cenderung
pada penyampaian nilai benar atau salah. Mengingat basis nilai moral pada
umumnya mengacu kepada moral agama, masalah mendasar dari pendidikan moral
adalah karena ajaran agama bersifat subjektif mengikat kepada yang meyakininya.
Secara subtansi, nilai-nilai itu sering dipersempit kepada perilaku yang hanya
di permukaan tanpa ada cara untuk memberi makna atas perilaku itu. Karenanya,
nilai moral sering sangat artifisial. Penerapan nilai-nilai itu ke dalam
kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Bahkan
pendidikan moral cenderung sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan
ranah afektif dan psikomotorik siswa. Namun demikian, terminologi ini bisa
dikatakan sebagai terminologi tertua dalam menyebut pendidikan yang bertujuan
mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Pendidikan
karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan
sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah melainkan menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi
paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pembedaan ini karena moral
dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang
terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang
langsung dirangsang oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa
tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai kritik terhadap pendidikan
moral selama ini. Itulah karenanya, istilah yang dipakai ibu Ikak yakni “membentuk
karakter” lebih mengena ketimbang “membentuk moral”. Istilah ini pula yang ramai
dibicarakan sekarang ini, yakni pendidikan karakter (character education)
bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial,
keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Berbeda
dengan penjelasan tentang karakter, akhlak, adab dan moral, istilah nilai
memiliki sejarah kata yang lebih modern. Dalam bahasa Prancis, nilai yaitu valuer
dan value dalam bahasa Inggris. Sedangkan valuer merupakan bahasa
serapan dari bahasa Latin yang mengandung arti “pemberani dalam berperang”, yang
seakar kata dengan valere dan valor, yang kemudian
bertransformasi makna menjadi nilai.[8] Values dalam bahasa
Arab diartikan dengan qîmah (nilai). Awalnya qîmah diartikan
sebagai nilai bagi barang yang layak dijual-belikan. Semakin bernilai satu
barang maka harganya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kurang bernilai
atau bernilai rendah satu barang maka harganya pun semakin rendah.
Di
Eropa, sudah berabad-abad lamanya value diartikan sebagai nilai barang
yang layak dijual-belikan. Value sebagai nilai dalam pengertian ekonomi
dan nilai tukar uang/moneter. Sebagaimana di dunia Islam, qîmah (nilai)
pun hanya sebatas dalam pengertian ekonomi. Lalu nilai (value) dalam
pengertian etika, moral dan segenap perilaku manusia yang baik, baru muncul
pada paruh kedua abad ke-19 M. Awal mula kemunculan nilai dalam arti substansi
etika perilaku manusia yaitu bagi seseorang yang berperilaku bagus dan baik
sesuai dengan standar kebaikan universal menurut masyarakatnya. Value
akhirnya diartikan sebagai nilai ideal, baik, benar dan indah bagi manusia. Dalam
perkembangan selanjutnya, nilai (value) dalam arti ideal, baik, benar
dan indah itu terjadi dinamisasi bukan hanya satu nilai bagi salah seorang
individu saja, bahkan akhirnya masuk ke dalam wilayah etika, keindahan dan
kesalihan sosial. Sampai pada satu rumusan nilai-nilai luhur yang dapat
diterima baik secara individu atau kolektif yang disebut dengan echelle des
valeurs, sebentuk sistem nilai-nilai bagi masyarakat yang direfleksikan.
Penggunaan
istilah value (nilai) dalam doktrin Islam cenderung tidak berhubungan
dengan akhlak atau adab. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, istilah nilai selaras
dengan arti fadhâ`il (kata plural fadhîlah atau al-fadhl/keutamaan).[9] Sebab fadhâ`il itu
merupakan substansi atau esensi dari akhlak dan adab. Fadhâ`il dalam
arti sesuatu yang mendapatkan prioritas utama. Bahkan tarbiyah, ta’lim
dan ta’dib juga berorientasi pada mencari keutamaan (fadhâ`il).
Ketika
kita membahas pelaksanaan pendidikan karakter, tidak sulit untuk membangun
kerangka kerja (framework) tentang apa karakter yang baik itu dan
bagaimana nilai-nilai itu diterapkan. Kerangka tersebut perlu dikaji secara
luas agar mencakup aspek kognitif, afektif, dan perilaku moralitas/psikomotorik.
Dalam bahasa agama, karakter yang baik yang berbasis nilai-nilai itu terdiri
dari “mengetahui apa itu baik dan buruk” (amar ma’ruf nahi munkar), “menginginkan
yang baik”, (himmah) dan “melakukan yang baik” (amal shâlih).
Agar
nilai-nilai ini dapat diterapkan, maka lembaga pendidikan seperti
universitas/institut, madrasah, sekolah, atau pesantren harus membantu murid
memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau mempraktikkannya untuk diri mereka
sendiri, dan kemudian bertindak dalam kehidupan mereka sendiri. Dalam
pendidikan di pesantren disebut ta’lîm (pengajaran) dan ta’dîb
(pembiasaan dengan kesadaran). Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal
yang baik dan buruk untuk kehidupannya, tapi dapat tetap memilih yang salah. Contoh
paling sederhana adalah tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral tidak
hanya mengutamakan aspek kognitif dan pengembangan intelektual, tapi juga
membutuhkan dimensi emosional/spiritual yang berfungsi sebagai jembatan antara
penilaian dan tindakan. Sisi emosional/spiritual mencakup setidaknya
kualitas-kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi
benar), harga diri, empati, mencintai, pengendalian diri dan kerendahan hati.
Pembentukan
karakter mengacu kepada tiga kualitas moral, yaitu: kompetensi (keterampilan
seperti mendengarkan, berkomunikasi dan bekerja sama), kehendak atau keinginan
yang memobilisasi penilaian kita dan energi, dan kebiasaan moral (sebuah
disposisi batin yang dapat diandalkan untuk merespon situasi dalam cara yang
secara moral baik). Oleh karena itu, pendidikan karakter jauh lebih kompleks
daripada mengajar matematika atau membaca. Ia meniscayakan pengembangan
kepribadian serta pengembangan keterampilan. Hal ini setidaknya merujuk pada
adanya tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter yaitu mengetahui kebaikan (knowing
the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka
pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia
menuju standar-standar baku tentang sifat-sifat baik. Upaya ini juga memberi
jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di
sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah kepada tujuan-tujuan etika, tetapi
praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup
perkembangan sosial siswa.
K.Sn.Wg.080244.050922.01:46
[1] Al-Syarif Ali ibn Muhammad
al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rîfât, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. III,
1988, hal. 101
[2] Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn
Habib al-Mawardi, Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafr fî Akhlâq al Mulûk wa
Siyâsah al-Mulûk (ed. Ridwan al-Sayyid), Dar al-Ulum al-Arabiyah, 1987,
hal. 101-106
[3] Muhammad Abid al-Gabiri, al-‘Aql al-Akhlâqîy
al-‘Arabîy, ibid., hal. 42-43
[4] Ibn al-Muqaffa’, Kalilah wa
Dimnah (ed. Muhammad al-Murshi), Cairo, 1912, hal.86
[5] Al-Gabiri, hal. 45
[6] Al-Mawardi, Adab al-Dunyâ wa
al-Dîn.
[7] Al-Tahanuwi, Kasyf Isthilâhât
al-Funûn wa al-‘Ulûm, hal. 127
[8] Muhammad Abid al-Gabiri, al-‘Aql
al-Akhlâqiy al-‘Arabîy, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabi yah,
cet. I, 2001, hal. 55
[9] Muhammad Abid al-Gabiri, al-‘Aql
al-Akhlâqîy al-‘Arabîy, ibid., hal. 54-55