I find that teaching and the students
keep life going, and I would never accept any position in which somebody has
invented a happy situation for me where I don’t have to teach. Never.
Salah satu pengalaman yang paling saya syukuri ialah
diberi kesempatan terlibat secara aktif dalam dunia pendidikan. Bahasa
sederhanya menjadi guru. Dari sisi genetik, setidaknya 15 generasi ke atas,
semuanya tidak ada yang meninggalkan peran tersebut, meski setiap generasi
memiliki pekerjaan yang berbeda, seperti bertani, berdagang, dan ngojek.
Dari sisi akademik, kebetulan saya secara formal menyelesaikan strata satu di
bidang pendidikan. Kebetulan lain ialah saya memiliki beberapa kegemaran yang cenderung
lebih selaras dengan dunia pendidikan ketimbang bidang lain, seperti membaca,
menulis, dan mengobrol.
Ketika saya mengajar di kelas, saya memperoleh
kesempatan memikirkan hal-hal dasar yang dianggap sudah diketahui dengan baik.
Hal-hal ini menyenangkan dan menggembirakan. Tidak ada salahnya untuk
memikirkan hal-hal itu lagi. Apakah ada cara yang lebih baik untuk
menyajikannya? Apakah ada masalah baru yang terkait dengan hal-hal itu? Apakah
ada pemikiran baru yang dapat dibuat tentang hal-hal itu?
Hal-hal dasar mudah untuk dipikirkan—jika kita tidak
dapat memikirkan pemikiran baru, tidak ada salahnya dilakukan, apa yang kita pikirkan
sebelumnya cukup baik untuk kelas. Jika kita memikirkan sesuatu yang baru, kita
bisa agak senang memiliki cara baru untuk melihatnya.
Pertanyaan murid seringkali menjadi sumber pemikiran
baru, yang lazimnya saya tindaklanjuti menjadi penelitian baru. Mereka sering
mengajukan pertanyaan mendalam yang kadang saya pikirkan dan kemudian menyerah untuk
sementara waktu, anggap saja begitu. Tidak ada salahnya saya memikirkan hal-hal
mendasar itu lagi dan melihat apakah saya bisa melangkah lebih jauh sekarang.
Para siswa mungkin tidak dapat melihat hal yang ingin saya jawab, atau seluk-beluk
yang ingin saya pikirkan, tetapi mereka mengingatkan saya akan masalah dengan
mengajukan pertanyaan di sekitar masalah itu. Tidak mudah untuk mengingatkan
diri sendiri tentang hal-hal ini.
Fabian Khairi Yarif Anha misalnya, pernah mengajukan
pertanyaan, “Mengapa anak MI harus belajar Bahasa Inggris?” Pada waktu itu, ia sudah
memperhitungkan beberapa kemungkinan seperti peluang hidup di lingkungan yang memaksa
orang-orangnya harus menggunakan bahasa Inggris. Abdi Jaelani Wicaksono, contoh
lain, pernah eyel-eyelan dengan saya beberapa kali melalui chat
WhatsApp, soal aspek pendidikan dari beberapa kegiatan non-kurikuler, seperti vaksin,
ziarah, dan classmeeting. Interaksi dengan kedua anak brilian itu juga
kerap memberi beberapa gagasan yang tak jarang bisa langsung saya lakukan.