Jurnal Lokal Go International?

 

Rosé reading book [Source: BLACKPINK Welcoming Collection Photobook]


Beberapa waktu lalu, 3 Mei 2021 pukul 07.03 GMT+7, Pak Muhamad Parhan mengirimkan kabar bahwa beliau sedang merintis jurnal baru, Religio Education. Menurut rencana saat ini, jurnal Religio Education diharapkan sudah bisa diindeks oleh Scopus pada 2023. Sebagai tanggapan, saya langsung membuat akun di situs jurnal jurnal Religio Education sekaligus mengajukan naskah, Six Main Principles for Quality Learning Based on Ta’līm al-Muta’allim Ṭorīq Al-Ta’allum. Kebetulan naskah lawas tersebut yang belum pernah diterbitkan secara resmi.

 

Pak Muhamad Parhan segera menanggapi dalam bentuk tawaran: diterbitkan pada edisi debut Mei 2021 atau edisi selanjutnya November 2021. Perbedaan keduanya, tentu saja, terletak pada waktu penerbitan, serta—berdasarkan penjelasan beliau—kalau diterbitkan pada Mei 2021, baru ber-ISSN saja, sedangkan kalau November sudah ber-ISSN + bisa diindeks oleh SINTA.

 

Mendapat kesempatan memilih, saya lebih memilih untuk diterbitkan pada edisi perdana saja. Pertama, karena saya tidak peduli dengan pengindeksan—selama penerbit bukan termasuk jurnal abu-abu, saya tak keberatan terlibat di bagian perintisan. Kedua, waktu penerbitan sangat terkait dengan peluang pengutipan. Ketiga, karena faktor non-ilmiah berupa bulan Romaḍōn. Kebetulan Ta’līm al-Muta’allim Ṭorīq al-Ta’allum saya kaji pada Romaḍōn tahun lalu, bersamaan dengan Gōyat al-Taqrīb dan artikel akademik individu karya Fadhilaturrahmi.

 

Saya tak merasa sia-sia diterbitkan pada edisi perdana, walau cuma ber-ISSN saja, tanpa bisa diindeks oleh SINTA. Lebih lanjut, saya juga tak merasa sia-sia menerbitkan artikel melalui penerbit jurnal dari Indonesia (atau bisa disebut jurnal lokal). Ini saya lakukan untuk membantu para pengelola jurnal lokal, seperti Pak Achmad Samsudin di Wahana Pendidikan Fisika (WaPFi) dan Bu Fadhilaturrahmi di BasicEdu dan Edukatif.

 

Mengelola jurnal ilmiah lokal tidaklah mudah. Apalagi untuk meningkatkan kualitasnya. Inilah problem intrinsik dari sebuah jurnal lokal. Penyebab pertama (atau malah utama) tentu common sense: Jika teringat tentang dikau peneliti berhasil mendapatkan penemuan penting di bidangnya, ia akan lebih memilih mengirimkan hasilnya ke jurnal internasional ketimbang jurnal lokal. Ini karena kalau diterima untuk diterbitkan di jurnal internasional tersebut, apresiasi yang diperoleh dari kolega, komunitas profesi, maupun institusi lebih elok ketimbang ketika diterbitkan di jurnal lokal. Nas, kosok balinya, jika memang masih bisa mulutpun berbicara penemuan yang didapatkan tidak terlalu spektakuler, peneliti akan lenih memilih mengirimkan hasilnya ke jurnal lokal ketimbang jurnal internasional. Efek domino dari tradisi ini ialah: jurnal lokal akan senantiasa merana karena menerbitkan hasil penemuan yang tidak terlalu penting, sehingga jurnal tersebut akan sangat miskin kutipan (citation) dari jurnal lain atau bahkan dari jurnal itu sendiri, sampai akhirnya jurnal lokal menjadi tidak memiliki faktor dampak (Impact Factor; IF). Hal sebalikya terjadi di jurnal kelas internasional.

 

Mengubah sebuah jurnal lokal menjadi jurnal internasional jelas sangat sulit karena harus memutus tradisi tersebut serta melompati jurang perbedaan yang sangat lebar. Namun, sekali saja jurnal tadi diyakini oleh para ilmuwan di bidangnya sebagai habitat alami tempat diskusi ilmiah formal dan tertulis dilakukan, maka jurnal tadi berhasil melompati jurang perbedaan antara jurnal lokal dan internasional. Tampaknya, jurnal himpunan profesilah yang memiliki peluang untuk melakukan hal ini karena para anggota himpunan dapat sepakat menjadikan jurnal tertentu sebagai jurnal standar mereka. Jika himpunan profesi ini berskala regional, maka peluang akan semakin besar. Apalagi jika berskala internasional.

 

Masalah kembali muncul: bagaimana dengan jurnal yang meliput beberapa atau bahkan banyak bidang ilmu? Contoh jurnal ini ialah Edukatif dan bahkan Religio Education sendiri, yang meski sudah memiliki ruang lingkup jelas, tapi batasan keilmuan kurang tegas. Masalah ini tentu sulit dicari jawabannya. Namun tidak mustahil. Jurnal Nature dan Science merupakan jurnal gado-gado di bidang sains. Kasus jurnal-jurnal Nature dan Science mungkin tidak dapat dipakai sebagai bahan pelajaran dalam mengubah sebuah jurnal menjadi jurnal internasional. Namun, beberapa jurnal yang dikelola secara ‘bisnis’, mulai dari kemunculannya hingga memperoleh faktor dampak dapat dijadikan sebagai pelajaran.

 

Kalau dicermati, terlihat paling sedikit ada dua usaha signifikan yang telah dilakukan jurnal tersebut. Pertama, jurnal-jurnal tersebut sangat memperhatikan aspek sistem daring (online). Sistem daring membuat semua proses yang diperlukan, mulai dari pengiriman naskah, proses peninjauan, penyuntingan, serta penerbitan, menjadi sangat efisien. Selain itu, jurnal dapat diakses dari seluruh manca negara, dari Timur hingga Barat, dari kutub Utara hingga kutub Selatan. Kedua, seluruh pengelola jurnal ‘bekerja keras’, mempromosikan jurnal ke mana saja. Hal kedua ini juga sangat ditunjang oleh akses internet, hubungan baik ke tokoh-tokoh bidang ilmu ataupun himpunan profesi, serta media sosial yang senantiasa update harian.

 

Jadi, tidak heran jika kita sering menjumpai undangan untuk ‘menulis makalah’ di kotak pos (mailbox) kita dari berbagai jurnal yang tidak kita kenal. Bahkan, undangan untuk menjadi peninjau (reviewer atau referee) ataupun menjadi anggota dewan editor juga tidak mustahil kita terima. Jurnal-jurnal ini sudah melakukan studi yang memperlihatkan bahwa mereka tidak dapat bergantung pada uang dari pelanggan jurnal, namun mereka dapat hidup dari para penulis makalah. Makalah-makalah diterbitkan dengan cara open system, dapat diunduh para pembaca secara gratis. Biaya yang muncul dibebankan pada penulis makalah. Tentu saja jurnal Makara tidak harus melakukan hal ini karena jika penulis harus membayar mahal, mungkin akan muncul pertanyaan tentang kualitas dan reliabilitas jurnal.

 

Karena Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menerapkan sistem akreditasi pada jurnal lokal di Indonesia, maka aspek inipun tidak boleh dilupakan. Jurnal yang terakreditasi tentu saja sangat menguntungkan penulis makalah, terutama bagi staf pengajar di Indonesia karena memiliki poin penilaian cukup tinggi dalam hal kenaikan pangkat. Dengan demikian, jurnsl lokal juga perlu berusaha untuk meningkatkan nilai akreditasi yang telah diperoleh selama ini. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, meski karena sifat jurnal yang agak multi disiplin sangat sulit untuk meraih nilai A. Namun, aspek keinternasionalan jurnal tetap merupakan hal terpenting.

 

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk internasionalisasi jurnal ini. Pertama adalah mengundang para tokoh-tokoh ilmuwan dunia yang terkait untuk menulis hasil penelitian mereka atau review di bidang mereka. Tentu saja hal ini tidak mudah, namun jika berhasil, dampaknya akan sangat terasa terutama dalam hal kutipan (citation). Langkah kedua adalah menggunakan peninjau regional hingga internasional. Langah ini tentu akan meningkatkan reputasi jurnal di mata para peneliti, meski harus diimbangi juga dengan upaya peningkatan kualitas naskah yang masuk. Akhirnya, para pengelola jurnal pun (editor) harus bekerja keras mempromosikan jurnal, meski kita sadar bahwa para pengelola ini sudah bekerja secara sukarela tanpa pamrih. Promosi dapat dilakukan di konferensi-konferensi, pameran pendidikan dan penelitian, melalui surat elektronik langsung ke para peneliti, media sosial, atau dengan cara iklan konvensional.

 

ΛLΟBΑΤИIƆ, a huge fans of BLΛƆKPIИK

 

K.Sn.Lg.280942.090521.22:47