Jalaluddin Rakhmat a.k.a. Kang Jalal
Nong Darol Mahmada
melalui pesan pendek beberapa saat lalu mengonfirmasi bahwa Jalaluddin Rakhmat wafat.
Konfirmasi wafatnya sosok yang karib disapa Kang Jalal tersebut berawal dari cuitan
yang tak sengaja saya baca di Twitter (saya lupa akunnya). Walau tak selalu sreg
dengan perspektif Kang Jalal, tentu sebagai sesama muslim, apalagi dengan kapasitas
keilmuan dan usia beliau, sudah sepantasnya saya berharap agar Kang Jalal senantiasa
mendapat rohmah dan maghfiroh dari Alloh subhanahu wa ta’ala.
Wafatnya Kang
Jalal mengingatkan saya kepada cuplikan tuturan yang ditulis oleh Pak Djohan Effendi
dalam buku Pesan-Pesan Al-Quran. “Hubungan seseorang dengan al-Quran, saya
rasa, bagaikan hubungan subjek-objek yang bergerak dan tak pernah berhenti. Bagian
dari pergumulan seorang thalif dan shalik, pencari dan pejalan, yang berharap pencarian
dan perjalanan hidupnya ditutup oleh hembusan nafas terakhir dengan ucapan laa ilaaha
illa Allah.” Cuplikan tersebut dibacakan oleh Kang Jalal dalam Kajian Buku tersebut
di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, pada Selasa 25 September 2012 silam. Dalam kajian
tersebut Kang Jalal bertandem dengan sosok pendukung Arsenal paling kutu buku, suaminya
Lanny Octavia itu.
Saya tak kenal
dengan Kang Jalal, dalam arti bahwa kami saling mengenal dekat secara pribadi maupun
sesekali berinteraksi. Perkenalan saya dengan Kang Jalal lebih banyak secara verbal.
Sebutan verbal karena memang saya mengenal beliau melalui kata-kata yang dituliskan
maupun diucapkan. Karena itu, obituari ini saya tulis seadanya, berdasarkan keterbatasan
mengenai sosok yang saya kenal verbal, tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan,
bersifat subjektif, relatif, tidak final, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk
ditulis sebagai naskah akademis atau hasil dari sebuah kajian ilmiah.
***
Kabut yang menggelayut
lingkungan saat kecil memaksa Kang Jalal mengalami perpisahan dini dengan ayah.
Ayahnya saat itu memiliki gairah tak biasa untuk ‘berjuang menegakkan syari’at Islam’.
Gairah tak biasa membuncah meriak sukma inilah yang membuat sang ayah tak ragu meninggalkan
keluarga untuk bergabung dengan sesama ‘pejuang’.
Kang Jalal pun
terpaksa hanya diasuh secara langsung oleh ibunya sejak berusia dua tahun. Dengan
telaten sang ibu melantan Kang Jalal supaya menjadi manusia berguna yang mendapat
ridha-Nya. Mengantarkan ke sekolah dasar pada pagi hari, ke madrasah pada
sore hari, hingga membimbingnya membaca kitab kuning pada malam hari.
Kang Jalal memendam
impian menjadi pilot sejak kecil. Hanya saja keadaan perekonomian tak begitu mendukung
Kang Jalal untuk mewujudkan impiannya ini. Sang ibu, yang melantannya sendirian
semenjak dia balita, lebih tertarik agar Kang Jalal kecil mendapat pendidikan kuat
dasar-dasar agama sebelum mendalami hal lainnya. Terlebih dia hidup di lingkungan
keluarga dan tetangga yang agamis.
Sang ibu menitipkan
Kang Jalal untuk diasuh oleh Kiai Sidik. Kiai yang memiliki tradisi nahdliyin
ini mendidik Kang Jalal sebagaimana santri nahdliyin ketika memula belajarnya
di pesantren. Kang Jalal diajari buku Jurumiyyah, buku yang banyak membahas
dasar-dasar segala tata bahasa Arab. Dengan kecerdasan mumpuni, dia pun bisa melanjutkan
menerima pelajaran dari buku Alfiyyah gubahan Ibnu Malik.
Sebagian kalangan
menyebutkan bahwa kecenderungan laki lebih memiliki ikatan intim dengan ibu ketimbang
ayah. Entah benar atau tak serta kelindan antara perpisahan dini kang jalal dengan
ayah, dia pun nyaris tak memiliki ikatan intim dengan sang ayah. Walau demikian,
bukan berarti ayahnya tak memiliki jasa sama sekali selain menjadi ‘penanam’ benih
yang kelak lahir menjadi dirinya.
Peninggalan ayahnya
berupa lemari yang penuh berisi buku-buku berbahasa Arab menjadi jalan perkenalan
Kang Jalal dengan karya fenomenal The Great Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din. Berbekal kelihaiannya dalam berbahasa Arab yang sudah dia dapatkan
sebelumnya, Kang Jalal bisa menikmati immortal piece ini.
Karya ini dengan
segara mengguncang sukma hingga membanting pandangannya mengenai dunia. Kang Jalal
dengan segera mengenang kehidupannya yang akrab dengan dosa. Sejenak, hal ini membikin
Kang Jalal terhentak hingga merasa ‘gila’. Hal ini terjadi ketika dia menjalani
masa remajanya.
Sesudah menyelesaikan
sekolah dasar di kampung halaman, Kang Jalal pindah ke daerah perkotaan di Bandung
untuk bersekolah di SMP Muslimin III Bandung. Rasa sebagai ‘anak kampung’ yang hidup
bersama ‘anak kota’ membikinnya merasa beda. Rasa beda yang membuat Kang Jalal lebih
memilih lebih banyak ‘bertapa’ di perpustakaan negeri lantaran merasa rendah diri.
Di perpustakaan
ini dia menyelami karya tulis immortal hingga terpaksa belajar bahasa Belanda.
Karya tulis yang diselaminya diselaminya lebih banyak berwarna filsafat terutama
oleh Spinoza dan Nietzsche. Hingga akhirnya denyut kehidupan membawanya membuka
lembaran Ihya’ Ulum al-Din.
Rasa rendah diri
dan kesibukan di perpustakaan negeri tak merisak aktivitasnya sebagai siswa SMP.
Kegiatannya di SMP berhasil diselesaikan hingga lulus dengan catatan bagus. Dia
selalu berhasil menjadi juara kelas dan meringankan beban pembiayaan oleh ibunya.
Status sebagai juara kelas membuatnya mendapat beasiswa selama SMP. Hanya pada catur
wulan pertama saja sang ibu harus merogoh kocek membayar biaya bulanan sekolah.
Sebenarnya Kang
Jalal nyaris menanggalkan SMP andai takdir seleras kehendak. Hentakan Ihya’ Ulum
al-Din sempat membuatnya ingin nyantri di pesantren saja. Sayang saat
itu pihak pesantren menolak. Pihak pesantren merasa keberatan menerima Kang Jalal
sebagai santrinya lantaran kedatangannya tak diantar oleh orangtua. Penolakan inilah
yang ‘mengembalikan’ Kang Jalal ke SMP hingga berhasil diselesaikannya.
Sesudah lulus
SMP, Kang Jalal melanjutkan sekolahnya ke SMA II Bandung. Tipikal tukang keluyuran,
sekolahnya di SMA sempat dia tinggalkan juga. Kali ini dia lebih beruntung dengan
bisa singgah di Darul Arqam, Garut, yang dikenal sebagai pusat pengkaderan Muhammadiyah.
Walau tak terlampau
lama singgah di sana, pengalaman ini turut memberi warna baginya. Kang Jalal dengan
semangat kembali ke kampung untuk ‘memberantas penyakit TBC’ (Takhayul, Bid’ah,
dan Churafat) yang memang sedang nge-hits saat itu.
Dia menyingkirkan
bedug masjid kampungnya karena dianggap bid’ah. Dia juga enggan shalat qabliyyah
Jum’at. Bukan sekedar enggan, walakin diserta peragaan penolakan yang demonstratif.
Kang Jalal sempat bertengkar dengan Uwa’-nya (paman) dan nyaris menjadi bulan-bulanan
massa akibat hal ini.
Merasa ‘dakwah
memberantas TBC’ gagal, dia pun kembali ke Bandung. Kang Jalal lalu bergabung dengan
kelompok diskusi yang berafiliasi dengan Persatuan Islam (Persis). Kelompok diskusi
ini menyebut mereka sebagai Rijalul Ghad yang berarti Pemimpin Masa Depan.
Hanya saja Kang
Jalal merasa mengecewakan ibunya jika tak berhasil menyelesaikan sekolahnya. Hal
inilah membuatnya kembali ke SMA dan menanggalkan keikutsertaannya di kelompok diskusi
yang sempat mempesonanya. Seperti ketika SMP, dia pun berhasil menjalani kegiatan
sekolah hingga dinyatakan lulus dengan catatan bagus.
Tak ingin memberatkan
ibunya sekaligus berusaha membahagiakan, Kang Jalal memilih mencari perguruan tinggi
yang bisa di-sambi bekerja. Keinginan Kang Jalal kali ini mendapat restoe
boemi. Dia bisa diterima masuk perkuliahan Fakultas Publisistik (kini Ilmu Komunikasi)
di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung.
Di perguruan
tinggi itu dia bisa mengikuti kuliah sekaligus bekerja tanpa saling merisak satu
sama lain. Kuliahnya yang berlangsung sore hari meluangkan pagi harinya untuk mencari
ma’isyah. Kang Jalal tak mau ada waktu terbuang percuma. Sembari kuliah di
Unpad, dia juga mengikuti pendidikan guru SLP jurusan Bahasa Inggris.
Sayang, lagi
dan lagi pendidikan formal kembali terganjal. Kali ini pernikahannya dengan Euis
Kartini sempat membuat bangku kuliah dia tinggal. Hanya saja masih ada hasrat kuat
untuk menyelesaikan kuliah dalam jiwa Kang Jalal. Hingga kemudian dia pun kembali
ke perkuliahan setelah kehidupan keluarga dan rumah tangga berhasil ditegakkan.
Keberhasilan
menyelesaikan kuliah menguatkan perannya dalam dunia akademik dengan menjadi dosen.
Perannya sebagai dosen inilah yang kemudian membuatnya berkesempatan menambah pengalaman
dengan ikut belajar formal di Iowa State University, USA. Kang Jalal mengambil kuliah
Komunikasi dan Psikologi di sini dengan bekal beasiswa fulbright. Kegiatan
perkuliahan di-sambi-nya dengan bermain perpustakaan. Tak perlu waktu lama,
dia pun berhasil lulus dengan perolehan 4.0 grade point average. Hal ini
memberikan sematan magna cum laude padanya serta berkesempatan menjadi anggota
Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.
Lulus dari Iowa
dilanjutkan kembali ke tanah air dengan tetap ikut serta berperan dalam dunia akademik.
Kang Jalal mulai merancang kembali kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam
berbagai disiplin yang dikuasainya, hingga menulis buku. Buku Psikologi Komunikasi
berhasil diterbitkan sebagai jalan mula menulis buku yang diterbitkan masal.
Buku Psikologi
Komunikasi yang diterbitkan pada 1985 menjadi buku psikologi komunikasi pertama
di Indonesia. Meski dirancang sebagai buku teknis perkuliahan, buku ini menggunakan
gaya tutur populer hingga mudah dinikmati oleh selain pelajar perguruan tinggi.
Tak heran jika buku ini termasuk best seller serta rujukan utama di kancahnya.
Melalui buku
ini Kang Jalal menyampaikan pesan bahwa pemahaman dan perbaikan komunikasi yang
dilakukan dapat membuat kualitas hidup dan interaksi kita dengan sesama manusia
meningkat. Kang Jalal menguraikan pesannya ini rapi dan rinci dengan beragam tinjauan
ilmiah dari sisi komunikasi dan psikologi.
Tak hanya menjadi
pengajar di kandangnya di Unpad, dia juga menjadi pengajar kelana ke beragam tempat.
Salah satunya adalah menjadi pengajar kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN
(kini UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dari sini laki kelahiran 29 Agustus 1949
tertarik mencari titik temu agama dan sains.
Rekaman perkuliahan
kemudian dikumpulkan untuk disusun kembali menjadi buku. Buku ini disunting serta
disarikan kembali oleh sahabatnya, Haidar Baqir, dan diterbitkan dengan judul Islam
Alternatif. Buku ini dibagi menjadi lima bagian utama sebagai pemandu pokok
bahasan. Pertama tentang Islam sebagai kasih tanpa pilih kasih. Kedua
Islam sebagai pembebas mustadh’afin. Ketiga Islam sebagai pemandu
pembinaan lingkungan. Keempat kelindan Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Serta kelima Islam mazhab Syiah.
Istilah mustadh’afin
merupakan istilah paling digemari Kang Jalal sebagai penggambar orang-orang yang
terpinggirkan. Istilah ini serupa maknanya dengan istilah proletar yang disuka
Tan Malaka maupun istilah marhaen yang digubah Sukarno.
Selain menyibukkan
diri dengan urusan akademik, Kang Jalal juga menyibukkan dirinya dengan urusan lingkungan.
Dia rajin membina jama’ah di masjid-masjid dan menyapa kaum mustadh’afin
di beragam tempat. Selain itu dia pun rajin menulis catatan singkat untuk diterbitkan
melalui berbagai media massa. Catatan Kang Jalal banyak menghiasi lembaran-lembaran
Tempo, Gala, Kompas, Pikiran Rakyat, Panji Masyarakat,
Jawa Pos, hingga Berita Buana.
Seperti sebelumnya
dilakukan dalam Islam Alternatif, kali ini catatan-catatan tersebut kemudian
dikumpulkan. Kumpulan catatan ini dibukukan dengan judul Islam Aktual yang
diterbitkan pada tahun 1991. Sebagai kumpulan catatan yang ditulis untuk media massa,
seluruh pembahasan tak bisa utuh. Setiap catatan yang disajikan memiliki bahasan
singkat namun cukup bagus sebagai pemantik semangat.
Kang Jalal, pada
masa itu, sudah dikenal kritis, baik dalam menyampaikan secara lisan maupun melalui
karya tulis. Dia tak ragu mengkritik kelaliman yang dilakukan berbagai pihak, termasuk
oleh aparat negara dan ‘aparat’ agama. Hal ini membuatnya kerap berurusan dengan
aparat militer hingga berakhir dengan kehilangan pekerjaan sebagai pekerja negara
di perguruan tinggi.
Kehilangan pekerjaan
tak menghentikan langkahnya mengisi keseharian. Kang Jalal tak mati meski dipaksa
berhenti. Malah hal ini menjadi pemicu semangatnya untuk terus berkelana meraih
ridha-Nya.
Kang Jalal sendiri
kala itu mulai menggilai dunia mysticism (tasawuf maupun ‘irfân).
Ketertarikan ini bermula ketika dia bersama sahabatnya, Haidar Baqir dan Endang
Saefuddin Anshory, diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan di Kolombia pada
tahun 1984. Melalui pertemuan ini Kang Jalal berjumpa dengan ‘ulama asal
Iran yang memiliki pemahaman mendalam serta karisma yang terpancarkan. Kang Jalal
merasa beruntung mendapat hadiah banyak buku dari mereka yang banyak membahas mengenai
mysticism.
Kekaguman tak
pernah sirna menggelayut dalam sukma. Kang Jalal mulai larut dalam karya tulis ulama
asal Iran, seperti Imam Khomeini dan Murtadha Muthahari. Kang Jalal melihat dan
merasa bahwa pemahaman intelektual serta kualitas moral mereka luar biasa mengagumkan.
Dia menyebut Imam Khomeini sebagai pejuang tangguh dan sufi besar yang kehadirannya
sanggup melantan muruah bangsanya sekaligus menciutkan nyali pembenci bangsanya.
Murtadha Muthahari adalah sosok yang dikaguminya sebagai role model keterbukaaan
dengan liyan.
Alhasil, kehilangan
satu sisi keseharian sebagai pekerja negara justru membuka pintu baginya untuk kembali
berkelana. Kali ini Qum, Iran, menjadi pilihan. Kang Jalal ingin mendalami mysticism
sekaligus menjalani kehidupan di lingkungan yang dekat dengan para mullah
ini.
Pengelanaan Kang
Jalal di Iran dilanjutkan ke negeri kanguru, Australia. Kali ini dia melanjutkan
pendidikan formalnya di perguruan tinggi dengan mengikuti perkuliahan Hubungan Internasional
di ANU. Dari sinilah dia memperoleh sematan doktornya.
Keberuntungan
menyerta dirinya sesudah mendapat semat doktor. Fakultas Imu Komunikasi menyapanya
untuk kembali pulang. Tanpa merasa terluka oleh rekaman menyebalkan sebelumnya,
dia pun kembali mengajar di sana. Dengan pengalaman yang kian bertambah, Kang Jalal
kian tegap melebarkan sayap menjamah berbagai ranah. Dia mengajar di beberapa perguruan
tinggi lain dalam bidang Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, hingga Metode Penelitian.
Hasil pengelanaan di Iran membuatnya dipercaya membina Mysticism di Islamic
College for Advanced Studies (ICAS), Paramadina University, yang didirikan pada
tahun 2002 oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), Haidar Bagir, Muwahidi, serta dia sendiri.
Tak hanya mencurahkan
pengalaman untuk para remaja akhir, Kang Jalal juga peduli dengan mereka yang masih
memula masa remaja. Hal ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah menengah.
SMP Plus Muthahhari
yang terletak di Cicalengka Bandung, menjadi rwujud kepeduliannya pada pendidikan
para remaja. Sebagai laki yang pernah merasakan keadaan perekomian yang sulit, Kang
Jalal mengkhususkan sekolah ini untuk pelajar dari keluarga miskin. Pelajar di sekolah
ini tak dibebani biaya pendidikan.
Sejak didirikan,
Kang Jalal memendam hasrat kuat untuk melihat SMP yang namanya tabarrukan
pada sang teladan ini berdiri kukuh di seluruh belahan Indonesia, syukur-syukur
menjamah Nusantara. Dia tak ingin anak-anak dari keluarga miskin kehilangan kesempatan
mendapat pendidikan berkualitas. Sebagai pelanjut SMP ini, turut serta didirikan
pula jenjang berikutnya SMA.
Kini Kang Jalal
sudah bisa melihat kehidupannya penuh berkat walau semula seperti misykat
kecil tak terlihat. Sosok yang sempat mengalami pubertas agama dan kepongahan intelektual
ini menjelma menjadi sosok penebar kasih tanpa pilih kasih. Pengalaman pubertas
agama dan kepongahan intelektual dia tuangkan melalui beragam karya tulisnya, antara
lain Dahulukan Akhlak di Atas Fikih.
Melalui buku
yang diterbitkan pada 2002 ini Kang Jalal mengukapkan isi hati penuh simpati dan
empati kepada kita semua agar tak bertikai karena perbedaan pemahaman dan penerapan
fikih yang diyakini. Kesetiaan berlebihan pada fikih tak hanya menjauhkan manusia
dari kehidupan bersama, walakin juga bisa menyebabkan manusia ‘menyembah’ fikihnya.
Sebagai hasil
olah pikir terhadap sebagian firman Allah dalam Alquran, tak selayaknya manusia
bertikai akibat perbedaan fikih yang diyakininya ini. Terlebih rasulullah
Muhammad shallallahu’alaihi wa alihi wasallam menyampaikan bahwa dia diutus
untuk menyempurnakan Akhlak.
Firman Allah
serta ucapan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah memang tak salah. Walakin bagaimana
dengan penafsiran kita terhadap itu semua? Bukankah kita semua adalah ciptaan-Nya
yang mendapat kesempatan menjadi umat Persembahan dari Surga penebar cinta
yang Bukan Cinta Manusia Biasa?
Jogodipo
Tepat 6
tahun umur pernikahan Surotul Ilmiyah & Ari Hardi
K.Sl.Po.040742.150221.19:36
— ΛRS,
penggemar berat NDM.
Infografis Kang Jalal [Sumber: tirto.id]