Obituari Jalaluddin Rakhmat a.k.a. Kang Jalal (29 Agustus 1949 — 15 Februari 2021)

Jalaluddin Rakhmat a.k.a. Kang Jalal

 

Nong Darol Mahmada melalui pesan pendek beberapa saat lalu mengonfirmasi bahwa Jalaluddin Rakhmat wafat. Konfirmasi wafatnya sosok yang karib disapa Kang Jalal tersebut berawal dari cuitan yang tak sengaja saya baca di Twitter (saya lupa akunnya). Walau tak selalu sreg dengan perspektif Kang Jalal, tentu sebagai sesama muslim, apalagi dengan kapasitas keilmuan dan usia beliau, sudah sepantasnya saya berharap agar Kang Jalal senantiasa mendapat rohmah dan maghfiroh dari Alloh subhanahu wa ta’ala.

 

Wafatnya Kang Jalal mengingatkan saya kepada cuplikan tuturan yang ditulis oleh Pak Djohan Effendi dalam buku Pesan-Pesan Al-Quran. “Hubungan seseorang dengan al-Quran, saya rasa, bagaikan hubungan subjek-objek yang bergerak dan tak pernah berhenti. Bagian dari pergumulan seorang thalif dan shalik, pencari dan pejalan, yang berharap pencarian dan perjalanan hidupnya ditutup oleh hembusan nafas terakhir dengan ucapan laa ilaaha illa Allah.” Cuplikan tersebut dibacakan oleh Kang Jalal dalam Kajian Buku tersebut di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, pada Selasa 25 September 2012 silam. Dalam kajian tersebut Kang Jalal bertandem dengan sosok pendukung Arsenal paling kutu buku, suaminya Lanny Octavia itu.

 

Saya tak kenal dengan Kang Jalal, dalam arti bahwa kami saling mengenal dekat secara pribadi maupun sesekali berinteraksi. Perkenalan saya dengan Kang Jalal lebih banyak secara verbal. Sebutan verbal karena memang saya mengenal beliau melalui kata-kata yang dituliskan maupun diucapkan. Karena itu, obituari ini saya tulis seadanya, berdasarkan keterbatasan mengenai sosok yang saya kenal verbal, tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan, bersifat subjektif, relatif, tidak final, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk ditulis sebagai naskah akademis atau hasil dari sebuah kajian ilmiah.

 

***

 

Kabut yang menggelayut lingkungan saat kecil memaksa Kang Jalal mengalami perpisahan dini dengan ayah. Ayahnya saat itu memiliki gairah tak biasa untuk ‘berjuang menegakkan syari’at Islam’. Gairah tak biasa membuncah meriak sukma inilah yang membuat sang ayah tak ragu meninggalkan keluarga untuk bergabung dengan sesama ‘pejuang’.

 

Kang Jalal pun terpaksa hanya diasuh secara langsung oleh ibunya sejak berusia dua tahun. Dengan telaten sang ibu melantan Kang Jalal supaya menjadi manusia berguna yang mendapat ridha-Nya. Mengantarkan ke sekolah dasar pada pagi hari, ke madrasah pada sore hari, hingga membimbingnya membaca kitab kuning pada malam hari.

 

Kang Jalal memendam impian menjadi pilot sejak kecil. Hanya saja keadaan perekonomian tak begitu mendukung Kang Jalal untuk mewujudkan impiannya ini. Sang ibu, yang melantannya sendirian semenjak dia balita, lebih tertarik agar Kang Jalal kecil mendapat pendidikan kuat dasar-dasar agama sebelum mendalami hal lainnya. Terlebih dia hidup di lingkungan keluarga dan tetangga yang agamis.

 

Sang ibu menitipkan Kang Jalal untuk diasuh oleh Kiai Sidik. Kiai yang memiliki tradisi nahdliyin ini mendidik Kang Jalal sebagaimana santri nahdliyin ketika memula belajarnya di pesantren. Kang Jalal diajari buku Jurumiyyah, buku yang banyak membahas dasar-dasar segala tata bahasa Arab. Dengan kecerdasan mumpuni, dia pun bisa melanjutkan menerima pelajaran dari buku Alfiyyah gubahan Ibnu Malik.

 

Sebagian kalangan menyebutkan bahwa kecenderungan laki lebih memiliki ikatan intim dengan ibu ketimbang ayah. Entah benar atau tak serta kelindan antara perpisahan dini kang jalal dengan ayah, dia pun nyaris tak memiliki ikatan intim dengan sang ayah. Walau demikian, bukan berarti ayahnya tak memiliki jasa sama sekali selain menjadi ‘penanam’ benih yang kelak lahir menjadi dirinya.

 

Peninggalan ayahnya berupa lemari yang penuh berisi buku-buku berbahasa Arab menjadi jalan perkenalan Kang Jalal dengan karya fenomenal The Great Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din. Berbekal kelihaiannya dalam berbahasa Arab yang sudah dia dapatkan sebelumnya, Kang Jalal bisa menikmati immortal piece ini.

 

Karya ini dengan segara mengguncang sukma hingga membanting pandangannya mengenai dunia. Kang Jalal dengan segera mengenang kehidupannya yang akrab dengan dosa. Sejenak, hal ini membikin Kang Jalal terhentak hingga merasa ‘gila’. Hal ini terjadi ketika dia menjalani masa remajanya.

 

Sesudah menyelesaikan sekolah dasar di kampung halaman, Kang Jalal pindah ke daerah perkotaan di Bandung untuk bersekolah di SMP Muslimin III Bandung. Rasa sebagai ‘anak kampung’ yang hidup bersama ‘anak kota’ membikinnya merasa beda. Rasa beda yang membuat Kang Jalal lebih memilih lebih banyak ‘bertapa’ di perpustakaan negeri lantaran merasa rendah diri.

 

Di perpustakaan ini dia menyelami karya tulis immortal hingga terpaksa belajar bahasa Belanda. Karya tulis yang diselaminya diselaminya lebih banyak berwarna filsafat terutama oleh Spinoza dan Nietzsche. Hingga akhirnya denyut kehidupan membawanya membuka lembaran Ihya’ Ulum al-Din.

 

Rasa rendah diri dan kesibukan di perpustakaan negeri tak merisak aktivitasnya sebagai siswa SMP. Kegiatannya di SMP berhasil diselesaikan hingga lulus dengan catatan bagus. Dia selalu berhasil menjadi juara kelas dan meringankan beban pembiayaan oleh ibunya. Status sebagai juara kelas membuatnya mendapat beasiswa selama SMP. Hanya pada catur wulan pertama saja sang ibu harus merogoh kocek membayar biaya bulanan sekolah.

 

Sebenarnya Kang Jalal nyaris menanggalkan SMP andai takdir seleras kehendak. Hentakan Ihya’ Ulum al-Din sempat membuatnya ingin nyantri di pesantren saja. Sayang saat itu pihak pesantren menolak. Pihak pesantren merasa keberatan menerima Kang Jalal sebagai santrinya lantaran kedatangannya tak diantar oleh orangtua. Penolakan inilah yang ‘mengembalikan’ Kang Jalal ke SMP hingga berhasil diselesaikannya.

 

Sesudah lulus SMP, Kang Jalal melanjutkan sekolahnya ke SMA II Bandung. Tipikal tukang keluyuran, sekolahnya di SMA sempat dia tinggalkan juga. Kali ini dia lebih beruntung dengan bisa singgah di Darul Arqam, Garut, yang dikenal sebagai pusat pengkaderan Muhammadiyah.

 

Walau tak terlampau lama singgah di sana, pengalaman ini turut memberi warna baginya. Kang Jalal dengan semangat kembali ke kampung untuk ‘memberantas penyakit TBC’ (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat) yang memang sedang ­nge-hits saat itu.

 

Dia menyingkirkan bedug masjid kampungnya karena dianggap bid’ah. Dia juga enggan shalat qabliyyah Jum’at. Bukan sekedar enggan, walakin diserta peragaan penolakan yang demonstratif. Kang Jalal sempat bertengkar dengan Uwa’-nya (paman) dan nyaris menjadi bulan-bulanan massa akibat hal ini.

 

Merasa ‘dakwah memberantas TBC’ gagal, dia pun kembali ke Bandung. Kang Jalal lalu bergabung dengan kelompok diskusi yang berafiliasi dengan Persatuan Islam (Persis). Kelompok diskusi ini menyebut mereka sebagai Rijalul Ghad yang berarti Pemimpin Masa Depan.

 

Hanya saja Kang Jalal merasa mengecewakan ibunya jika tak berhasil menyelesaikan sekolahnya. Hal inilah membuatnya kembali ke SMA dan menanggalkan keikutsertaannya di kelompok diskusi yang sempat mempesonanya. Seperti ketika SMP, dia pun berhasil menjalani kegiatan sekolah hingga dinyatakan lulus dengan catatan bagus.

 

Tak ingin memberatkan ibunya sekaligus berusaha membahagiakan, Kang Jalal memilih mencari perguruan tinggi yang bisa di-sambi bekerja. Keinginan Kang Jalal kali ini mendapat restoe boemi. Dia bisa diterima masuk perkuliahan Fakultas Publisistik (kini Ilmu Komunikasi) di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung.

 

Di perguruan tinggi itu dia bisa mengikuti kuliah sekaligus bekerja tanpa saling merisak satu sama lain. Kuliahnya yang berlangsung sore hari meluangkan pagi harinya untuk mencari ma’isyah. Kang Jalal tak mau ada waktu terbuang percuma. Sembari kuliah di Unpad, dia juga mengikuti pendidikan guru SLP jurusan Bahasa Inggris.

 

Sayang, lagi dan lagi pendidikan formal kembali terganjal. Kali ini pernikahannya dengan Euis Kartini sempat membuat bangku kuliah dia tinggal. Hanya saja masih ada hasrat kuat untuk menyelesaikan kuliah dalam jiwa Kang Jalal. Hingga kemudian dia pun kembali ke perkuliahan setelah kehidupan keluarga dan rumah tangga berhasil ditegakkan.

 

Keberhasilan menyelesaikan kuliah menguatkan perannya dalam dunia akademik dengan menjadi dosen. Perannya sebagai dosen inilah yang kemudian membuatnya berkesempatan menambah pengalaman dengan ikut belajar formal di Iowa State University, USA. Kang Jalal mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi di sini dengan bekal beasiswa fulbright. Kegiatan perkuliahan di-sambi-nya dengan bermain perpustakaan. Tak perlu waktu lama, dia pun berhasil lulus dengan perolehan 4.0 grade point average. Hal ini memberikan sematan magna cum laude padanya serta berkesempatan menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.

 

Lulus dari Iowa dilanjutkan kembali ke tanah air dengan tetap ikut serta berperan dalam dunia akademik. Kang Jalal mulai merancang kembali kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin yang dikuasainya, hingga menulis buku. Buku Psikologi Komunikasi berhasil diterbitkan sebagai jalan mula menulis buku yang diterbitkan masal.

 

Buku Psikologi Komunikasi yang diterbitkan pada 1985 menjadi buku psikologi komunikasi pertama di Indonesia. Meski dirancang sebagai buku teknis perkuliahan, buku ini menggunakan gaya tutur populer hingga mudah dinikmati oleh selain pelajar perguruan tinggi. Tak heran jika buku ini termasuk best seller serta rujukan utama di kancahnya.

 

Melalui buku ini Kang Jalal menyampaikan pesan bahwa pemahaman dan perbaikan komunikasi yang dilakukan dapat membuat kualitas hidup dan interaksi kita dengan sesama manusia meningkat. Kang Jalal menguraikan pesannya ini rapi dan rinci dengan beragam tinjauan ilmiah dari sisi komunikasi dan psikologi.

 

Tak hanya menjadi pengajar di kandangnya di Unpad, dia juga menjadi pengajar kelana ke beragam tempat. Salah satunya adalah menjadi pengajar kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN (kini UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dari sini laki kelahiran 29 Agustus 1949 tertarik mencari titik temu agama dan sains.

 

Rekaman perkuliahan kemudian dikumpulkan untuk disusun kembali menjadi buku. Buku ini disunting serta disarikan kembali oleh sahabatnya, Haidar Baqir, dan diterbitkan dengan judul Islam Alternatif. Buku ini dibagi menjadi lima bagian utama sebagai pemandu pokok bahasan. Pertama tentang Islam sebagai kasih tanpa pilih kasih. Kedua Islam sebagai pembebas mustadh’afin. Ketiga Islam sebagai pemandu pembinaan lingkungan. Keempat kelindan Islam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Serta kelima Islam mazhab Syiah.

 

Istilah mustadh’afin merupakan istilah paling digemari Kang Jalal sebagai penggambar orang-orang yang terpinggirkan. Istilah ini serupa maknanya dengan istilah proletar yang disuka Tan Malaka maupun istilah marhaen yang digubah Sukarno.

 

Selain menyibukkan diri dengan urusan akademik, Kang Jalal juga menyibukkan dirinya dengan urusan lingkungan. Dia rajin membina jama’ah di masjid-masjid dan menyapa kaum mustadh’afin di beragam tempat. Selain itu dia pun rajin menulis catatan singkat untuk diterbitkan melalui berbagai media massa. Catatan Kang Jalal banyak menghiasi lembaran-lembaran Tempo, Gala, Kompas, Pikiran Rakyat, Panji Masyarakat, Jawa Pos, hingga Berita Buana.

 

Seperti sebelumnya dilakukan dalam Islam Alternatif, kali ini catatan-catatan tersebut kemudian dikumpulkan. Kumpulan catatan ini dibukukan dengan judul Islam Aktual yang diterbitkan pada tahun 1991. Sebagai kumpulan catatan yang ditulis untuk media massa, seluruh pembahasan tak bisa utuh. Setiap catatan yang disajikan memiliki bahasan singkat namun cukup bagus sebagai pemantik semangat.

 

Kang Jalal, pada masa itu, sudah dikenal kritis, baik dalam menyampaikan secara lisan maupun melalui karya tulis. Dia tak ragu mengkritik kelaliman yang dilakukan berbagai pihak, termasuk oleh aparat negara dan ‘aparat’ agama. Hal ini membuatnya kerap berurusan dengan aparat militer hingga berakhir dengan kehilangan pekerjaan sebagai pekerja negara di perguruan tinggi.

 

Kehilangan pekerjaan tak menghentikan langkahnya mengisi keseharian. Kang Jalal tak mati meski dipaksa berhenti. Malah hal ini menjadi pemicu semangatnya untuk terus berkelana meraih ridha-Nya.

 

Kang Jalal sendiri kala itu mulai menggilai dunia mysticism (tasawuf maupun ‘irfân). Ketertarikan ini bermula ketika dia bersama sahabatnya, Haidar Baqir dan Endang Saefuddin Anshory, diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan di Kolombia pada tahun 1984. Melalui pertemuan ini Kang Jalal berjumpa dengan ‘ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam serta karisma yang terpancarkan. Kang Jalal merasa beruntung mendapat hadiah banyak buku dari mereka yang banyak membahas mengenai mysticism.

 

Kekaguman tak pernah sirna menggelayut dalam sukma. Kang Jalal mulai larut dalam karya tulis ulama asal Iran, seperti Imam Khomeini dan Murtadha Muthahari. Kang Jalal melihat dan merasa bahwa pemahaman intelektual serta kualitas moral mereka luar biasa mengagumkan. Dia menyebut Imam Khomeini sebagai pejuang tangguh dan sufi besar yang kehadirannya sanggup melantan muruah bangsanya sekaligus menciutkan nyali pembenci bangsanya. Murtadha Muthahari adalah sosok yang dikaguminya sebagai role model keterbukaaan dengan liyan.

 

Alhasil, kehilangan satu sisi keseharian sebagai pekerja negara justru membuka pintu baginya untuk kembali berkelana. Kali ini Qum, Iran, menjadi pilihan. Kang Jalal ingin mendalami mysticism sekaligus menjalani kehidupan di lingkungan yang dekat dengan para mullah ini.

 

Pengelanaan Kang Jalal di Iran dilanjutkan ke negeri kanguru, Australia. Kali ini dia melanjutkan pendidikan formalnya di perguruan tinggi dengan mengikuti perkuliahan Hubungan Internasional di ANU. Dari sinilah dia memperoleh sematan doktornya.

 

Keberuntungan menyerta dirinya sesudah mendapat semat doktor. Fakultas Imu Komunikasi menyapanya untuk kembali pulang. Tanpa merasa terluka oleh rekaman menyebalkan sebelumnya, dia pun kembali mengajar di sana. Dengan pengalaman yang kian bertambah, Kang Jalal kian tegap melebarkan sayap menjamah berbagai ranah. Dia mengajar di beberapa perguruan tinggi lain dalam bidang Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu, hingga Metode Penelitian. Hasil pengelanaan di Iran membuatnya dipercaya membina Mysticism di Islamic College for Advanced Studies (ICAS), Paramadina University, yang didirikan pada tahun 2002 oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), Haidar Bagir, Muwahidi, serta dia sendiri.

 

Tak hanya mencurahkan pengalaman untuk para remaja akhir, Kang Jalal juga peduli dengan mereka yang masih memula masa remaja. Hal ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah menengah.

 

SMP Plus Muthahhari yang terletak di Cicalengka Bandung, menjadi rwujud kepeduliannya pada pendidikan para remaja. Sebagai laki yang pernah merasakan keadaan perekomian yang sulit, Kang Jalal mengkhususkan sekolah ini untuk pelajar dari keluarga miskin. Pelajar di sekolah ini tak dibebani biaya pendidikan.

 

Sejak didirikan, Kang Jalal memendam hasrat kuat untuk melihat SMP yang namanya tabarrukan pada sang teladan ini berdiri kukuh di seluruh belahan Indonesia, syukur-syukur menjamah Nusantara. Dia tak ingin anak-anak dari keluarga miskin kehilangan kesempatan mendapat pendidikan berkualitas. Sebagai pelanjut SMP ini, turut serta didirikan pula jenjang berikutnya SMA.

 

Kini Kang Jalal sudah bisa melihat kehidupannya penuh berkat walau semula seperti misykat kecil tak terlihat. Sosok yang sempat mengalami pubertas agama dan kepongahan intelektual ini menjelma menjadi sosok penebar kasih tanpa pilih kasih. Pengalaman pubertas agama dan kepongahan intelektual dia tuangkan melalui beragam karya tulisnya, antara lain Dahulukan Akhlak di Atas Fikih.

 

Melalui buku yang diterbitkan pada 2002 ini Kang Jalal mengukapkan isi hati penuh simpati dan empati kepada kita semua agar tak bertikai karena perbedaan pemahaman dan penerapan fikih yang diyakini. Kesetiaan berlebihan pada fikih tak hanya menjauhkan manusia dari kehidupan bersama, walakin juga bisa menyebabkan manusia ‘menyembah’ fikihnya.

 

Sebagai hasil olah pikir terhadap sebagian firman Allah dalam Alquran, tak selayaknya manusia bertikai akibat perbedaan fikih yang diyakininya ini. Terlebih rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wa alihi wasallam menyampaikan bahwa dia diutus untuk menyempurnakan Akhlak.

 

Firman Allah serta ucapan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah memang tak salah. Walakin bagaimana dengan penafsiran kita terhadap itu semua? Bukankah kita semua adalah ciptaan-Nya yang mendapat kesempatan menjadi umat Persembahan dari Surga penebar cinta yang Bukan Cinta Manusia Biasa?

 

 

Jogodipo

Tepat 6 tahun umur pernikahan Surotul Ilmiyah & Ari Hardi

K.Sl.Po.040742.150221.19:36

 

— ΛRS, penggemar berat NDM.


Infografis Kang Jalal [Sumber: tirto.id]