Masdar
Farid Mas’udi termasuk salah satu kiai yang produktif menulis dengan watak tulisan
yang sangat provokatif. Provokasi Masdar, bagusnya, dituangkan dalam bentuk buku
yang utuh. Provokasi Masdar dalam konteks terus merangsang pembaca untuk berpikir
ulang mengenai konsepsi-konsepsi pemahaman agama yang terlihat sudah mapan telah
ia lakukan sejak dalam gagasan.
Dalam
pendahuluan buku kontroversialnya yang bertajuk Pajak itu Zakat:
Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat (2005), Masdar membuka
bukunya dengan satu tarikan kalimat panjang yang menghentak:
“Dengan dibangun dan dikukuhkannya
benteng-benteng bertahan mazhab dalam Islam yang dimulai sekitar abad ke-3 H (Abad
Ke-9 M), secara perlahan umat mengalami kemandekan dalam pemikiran [...] Semua ajaran
itu, tahap demi tahap, dianggap sudah selesai secara konsepsional. Tugas umat Islam
di kemudian hari tinggal mengenali konsep-konsep tersebut, menghafalkan sebisanya
dan di atas segalanya mengamalkannya setepat mungkin menurut tata cara yang diajarkannya
(hlm. 7).”
Masdar
memang selalu provokatif sejak tarikan paragraf pertama. Sikap yang demikian ia
ambil sebagai konsekuensi atas kritik tajam pada kejumudan pemikiran yang dirasakannya
sebagai ancaman nyata bagi perkembangan ajaran Islam. Maka, jalan yang harus dilakukan
adalah mendobrak pemahaman lama yang dianggap sudah selesai dan paripurna.
Selain
memiliki kutub statis (jãnibus tsãbit), yang jumlahnya sangat sedikit dan
terdiri dari hal-hal prinsip, Islam juga memiliki kutub dinamis (jãnibul mutaghayyir)
yang memiliki spektrum dan wilayah yang jauh lebih luas. Pada kutub dinamis inilah
Masdar mendendangkan pemikirannya.
Akibat
dari pemahaman yang menganggap bahwa Islam tidak memiliki watak dinamis dan cenderung
menganggap semua sudah selesai itu, Masdar melancarkan kritik tajam bahwa pemahaman
yang seperti itu akan melahirkan ortodoksi dan mistifikasi ajaran yang jumud dan
cenderung dogmatis, kaku dan tidak responsif terhadap perkembangan zaman.
“Setiap keinginan yang menjurus
pada pemikiran ulang konsepsi-konsepsi keagamaan segera dicurigai, dan selalu diusahakan
untuk dihindari. Ada dua trik sekurang-kurangnya untuk mengelak dari kemungkinan
semacam itu. Pertama, dengan menciptakan mitos seolah-olah keinginan seperti itu
hanya bisa dipenuhi oleh kualitas keulamaan yang tidak lagi dilahirkan di muka bumi
ini. Ini terlihat antara lain dengan mempersempit kemungkinan atau menakut-nakuti
orang yang ingin memasuki wilayah ijtihad. Kedua, pemikiran ulang seperti
itu selalu saja didiskreditkan sebagai tidak perlu dan hanya akan membuat stabilitas
keberagamaan umat mengalami kekacauan (hlm. 8).”
Demikianlah
Masdar Farid Mas’udi, lelaki kelahiran Purwokerto, 18 September 1954 ini mendedahkan
pikirannya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang menjalani kehidupan sehari-hari dengan
penuh kebersahajaan.
Banyak
yang salah sangka di balik kritik tajam dan pikiran kontroversialnya itu, Masdar
kerap dianggap sebagai sarjana muslim didikan Barat atau pernah menggondol gelar
kesarjanaan dari universitas-universitas luar negeri. Senyatanya, Masdar memang
tidak pernah mengenyam bangku perkuliahan di Barat.
Setalah
digodok oleh dua sosok kiai karismatik: Kiai Chudlori Tegalrejo dan Kiai Ali Maksum
Krapyak, Masdar melanjutkan pengembaraan keilmuannya di Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Pada 1997, Masdar menamatkan studi jenjang master bidang Filsafat
di Universitas Indonesia.
Sebagai
Intelektual cum organisatoris di lingkungan Nahdlatul Ulama, Masdar malang
melintang di pelbagai pos jabatan. Untuk menyebut beberapa yang cukup strategis
seperti Ketua I PB PMII 1983-1985, Anggota kelompok G dan tim 24 yang menggagas
kembalinya NU ke Khittah 1926, Anggota Tim Tujuh Khittah NU 1926, Katib Awal Syuriah
PBNU 1999-2003, dan pada 2004 ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian Ketua Umum
PBNU selama K.H. Hasyim Muzadi menjadi cawapres. Masdar juga pernah menjabat Direktur
P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Saat ini, ia menduduki jabatan
sebagai Rais Syuriah PBNU periode 2015-2010.
Menggugat Kemapanan
Selain
provokatif dalam tulisan, gagasan-gagasan Masdar dinilai kontroversial. Masdar pernah
mewacanakan, lebih tepatnya menggugat, agar pelaksanaan ibadah haji diperpanjang.
Ia melihat bahwa adanya tragedi kemanusiaan dan penumpukan jemaah haji dari tahun
ke tahun membutuhkan jalan keluar yang konkret.
Solusi
yang ditawarkan Masdar adalah merujuk kalimat al-hajju asyhurum ma’lumãt
(ibadah haji dilaksanakan di beberapa bulan yang diketahui: Syawwal, Dzulqa’dah,
Dzulhijjah), maka jalan keluarnya bisa ditempuh dengan cara memperpanjang durasi
atau waktu pelaksanaan ibadah haji.
Publik
dibuat geger oleh pemikiran ini. Kalangan tradisionalis, juga mereka yang sangat
konservatif, menilai pikiran itu adalah pikiran nakal yang tidak berdasar pada ajaran
agama yang telah diajarkan dan diterima umat Islam selama ini.
Masdar
juga membuat geger publik ketika mengeluarkan pendapat bahwa pajak dan zakat itu
sama. Zakat dan pajak itu ibarat ruh dan badan. Zakat spirit atau ruhnya, sementara
pajak adalah badan, fisik atau bentuk konkretnya.
Masdar
mengatakan, “sebagai bagian dari ajaran agama untuk kehidupan sosial, zakat pada
dasarnya adalah konsep etik atau moral, sementara wujud institusional atau kelembagaannya
adalah pajak yang ada dalam kewenangan negara.”
Banyak
kalangan merasa terusik dengan pemikiran ini. Bahkan yang menyedihkan, tidak sedikit
yang memilih untuk menutup pintu diskusi. Mereka memilih untuk menuduh dan menghakimi
bahwa produk pemikiran seperti ini adalah keluar dari tradisi yang diajarkan ulama
terdahulu.
Namun,
bukan Masdar jika tidak bergeming. Ia membiarkan, bahkan pada konteks tertentu malah
menikmati, buah pemikirannya diperbincangkan, didiskusikan, dan bahkan diperdebatkan.
Ini bukti, terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, bahwa ada naluri dan gairah-gairah
diskusi yang sebetulnya diam-diam hidup di kalangan kesarjanaan Islam atau di NU
khususnya, meski sporadis dan cenderung malu-malu.
Upaya
Masdar untuk membongkar pemahaman-pemahaman yang dianggap mapan barangkali sejalan
dengan gagasan Al-Qarrafi, ahli hukum Mesir dari abad ke-13, bahwa ”al-jumûd
‘alã al-manqûlãt abadan dalãlun fid din wa jahlun bi maqãsidihi”, pembacaan-pembacaan
teks keagamaan yang bersifat statis nir-penafsiran yang progresif adalah kesesatan
abadi dalam beragama.
Namun,
tentu ia menyadari bahwa pembongkaran atas pemahaman-pemahaman yang dianggap mapan
tersebut harus menggunakan metodologi yang tepat, dan tampaknya dalam konteks ini
Masdar menjadikan maslahah
sebagai basis metodologis sumber gagasan-gagasannya.
Basis
metodologi itu sejalan dengan adagium ushul fikih: ”idzã wujida nahs fatsamma
masslahah, waidzã wujidal maslahah fatsamma shar’ullãh. Jika ditemukan sebuah
teks, maka di sanalah ada kemaslahatan; sebaliknya jika ditemukan kebaikan, maka
di sanalah hukum (syariat) Allah”. Dengan bingkai kaidah ini, bagi Masdar, penafsiran
ajaran agama Islam menjadi dua langkah lebih dinamis dan progresif, tidak jumud
dan stagnan.
Pensyarah Konstitusi
Komitmen
kebangsaan Masdar, sebagaimana lazimnya komitmen kebangsaan yang diajarkan dalam
tradisi Nahdlatul Ulama, dituangkan dalam sebuah karya monumental Syarah Konstitusi
UUD 1945 Dalam Perspektif Islam (2010). Buku ini memberikan
syarah (komentar)
berupa dalil-dalil naqli
untuk semua ketentuan yang ada di dalam UUD 1945:
“Dengan syarah ini ditunjukkan
bahwa nilai-nilai dan aturan dasar konstitusi tidaklah bertentangan dengan substansi
nilai keislaman. Oleh sebab itu tantangannya bukanlah sebagaimana memperjuangkan
formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsekuen (hlm.
viii).”
Kiai
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU 1999-2014, saat mengomentari buku tersebut
mengatakan bahwa ada semacam kebutuhan mutlak akan bagaimana nilai dasar dan konsep
utama di dalam UUD 1945 mampu diterima masyarakat, dan khususnya umat Islam. Gagasan
dan inisiatif brilian Masdar untuk memberikan syarah pada UUD 1945 mampu meretas benang keraguan
dan juga sikap setengah hati umat Islam yang acap ditemukan di pelbagai belahan
Indonesia.
K.Rb.Lg.070642.190121.22:02