Author : Whasfi Velasufah & Adib Rifqi Setiawan
Abstrak
Penulisan
esai ini dilatari keprihatinan kami dalam menyaksikan berbagai patologi sosial
dan degradasi moral yang terjadi pada generasi penerus bangsa dalam dua
dasawarsa terakhir ini. Diharapkan esai ini dapat memberikan setitik sumbangsih
dalam upaya menyehatkan kehidupan sosial-keagamaan di negeri ini. Beberapa
nilai yang diuraikan menjadi relevan untuk digali dan dikembangkan sebagai
bentuk penguatan nilai-nilai luhur bangsa. Nilai-nilai luhur tersebut pada
gilirannya memberikan kontribusi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang
baik yang dilimpahi maghfirah-Nya (baldatun thayyibatun wa
rabbunghafûr).
Kata-kata Kunci:
Karakter; Nilai; Pendidikan; Pesantren;
A. Pengantar
Penulisan
esai ini dilatari keprihatinan kami dalam menyaksikan berbagai patologi sosial
dan degradasi moral yang terjadi pada generasi penerus bangsa dalam dua
dasawarsa terakhir ini. Diharapkan esai ini dapat memberikan setitik sumbangsih
dalam upaya menyehatkan kehidupan sosial-keagamaan di negeri ini. Dengan cara
memperlihatkan berbagai praktik terbaik pendidikan aktual berbasis karakter di
dunia pesantren, uraian yang disampaikan dapat dijadikan sumber inspirasi bagi
para pembelajar di Tanah Air. Pesantren di sini tidak hanya berfungsi sebagai
perspektif, tapi juga merupakan mozaik tersendiri yang di dalamnya memiliki
daya tarik, baik dari sosok luarnya, keseharinnya, potensi dirinya, isi
pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Tentu saja pesantren dan masyarakat
di dalamnya memiliki tata nilai yang dipelihara dan tidak bisa dilepaskan dari
subjek reproduksi kader-kader bangsa terpelajar yang memberikan kontribusinya
bagi agama, negara, bangsa, dan dunia.
Kekhasan
yang dimiliki oleh pesantren tersebut membuatnya bersifat dinamis, terutama
dalam merespon perubahan sosial di satu sisi, dan kekuatan yang dimilikinya
berupa tradisi dan budaya kehidupan di sisi lain yang secara spesifik tidak
dapat dijumpai di lembaga pendidikan lainnya. Pergumulan sosial yang
berlangsung di dalam pesantren melahirkan capaian dan prestasi, yang menurut
kalangan cerdik-cendekia disebut dengan “tradisionalitas pesantren”. Dengan
bertumpu pada konsep-konsep pendidikan, seperti tarbiyah, ta’lîm, ta’dîb
dan tazkiyah, tradisionalitas tersebut menunjukkan adanya kekuatan
proses transformasi ilmu dan nilai. Model pendidikan di pesantren inilah dalam
banyak hal memiliki keeratan dengan orientasi kesadaran diri, perbaikan
perilaku dan penguatan atas perilaku-perilaku yang mencerahkan. Daya atau
stamina ketiga orientasi pendidikan pesantren tidak ubahnya menjadi ruang
spiritualitas tersendiri baik dalam menerjemahkan teks-teks keislaman dalam
kehidupan kontemporer maupun melahirkan sikap dan perilaku yang akomodatif,
toleran, dan selektif dalam menjumpai modernisasi dengan segala produknya.
Penulisan
ini dianggap strategis. Di samping menjadi referensi dalam penguatan pendidikan
karakter bangsa dan pelatihan-pelatihan yang terkait di dalamnya, juga menjadi
model spesifik pendidikan karakter bangsa yang berbasis pesantren. Latar
belakang akademik para penulis buku yang merupakan alumnus pondok pesantren,
semakin menguatkan keeratan penulisnya dengan dunia pesantren dan tata nilai
yang terus dipelihara.
B. Beberapa Nilai dalam Pesantren
Pesantren
dalam banyak hal secara sosiologis dapat dikategorikan sebagai subkultur dalam
masyarakat karena ciri-cirinya yang unik, seperti adanya cara hidup yang
dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti secara hierarki kekuasaan
tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Di kalangan cerdik-cendekia muslim,
pesantren telah dikenal sebagai subkultur. Meski dalam kenyataan nya ciri-ciri
umum sebagai sebuah subkultur tidak terpenuhi. Dalam penelitian ini, pesantren
sebagai sebuah subkultur merujuk pada ciri-ciri minimalis yang antara lain;
pesantren merupakan lembaga yang berbeda dari pola kehidupan umum di tengah
masyarakat Indonesia, adanya proses pembentukan nilai-nilai tersendiri dengan
segala simbolnya dan adanya sistem hierarki yang ditaati (Wahid, 2001, hlm.
135; Wahid, 1995, hlm. 39-60).
Sebagai
sebuah sistem kehidupan yang unik, pesantren memiliki pola kehidupan yang
berbeda dari pola kehidupan masyarakat pada umumnya. Pola kehidupan di
pesantren terbentuk secara alamiah melalui proses penanaman nilai-nilai lengkap
dengan simbol-simbolnya, adanya daya tarik ke luar, serta berkembangnya suatu
proses pengaruh-mempengaruhi dengan ma syarakat di luarnya. Sebagaimana dapat
diperlihatkan dari gambaran lahiriahnya, simbol fisik pesantren yang terdiri
atas masjid, pondok, dan rumah tinggal kiai, memperlihatkan pola kehidupan yang
khas sebagai komunitas beragama yang beranggotakan para santri dengan kiai
sebagai pemimpin utamanya (Muhtadi, 2004, hlm. 82).
Dalam
perjalanannya, lembaga pesantren selalu mengalami dinamika yang tidak pernah
berhenti, sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi. Usia pondok pesantren
telah mencapai 300-400 tahun yang lalu, ketika untuk kali pertama didirikan
oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi (w. 12 Rabiul
Awwal 822 H/8 April 1419). Beliau mendirikan pondok pesantren di Jawa pada tahun
1399 M untuk menyebarkan Islam (Bull, 1997, hlm. 60).
Sebagai
sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam
tradisional, pesantren telah membentuk suatu subkultur yang secara
sosio-antropologis bisa dikatakan sebagai masyarakat pesantren. Hal ini
diperlihatkan pada dua fungsi utama yang dimiliki pesantren, yakni sebagai
lembaga pendidikan yang meniscayakan sebuah sistem pendidikan dan pola
belajar-mengajar yang khas ala pesantren. Di samping itu, pesantren
berfungsi juga sebagai lembaga dakwah, yang senantiasa melakukan internalisasi
nilai-nilai Islam di tengah masyarakat pesantren sendiri dan masyarakat umum.
Martin van Bruinessen menyebut tradisi pondok pesantren sebagai salah satu
tradisi agung (great tradition) di Indonesia dalam bidang pengajaran
Islam di Indonesia yang bertujuan untuk mentransmisikan Islam tradisional (van
Bruinessen, 1995, hlm. 17).
Sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, pesantren memiliki
tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain.
Bila dicermati, ragam keilmuan pesantren dapat diurai menggunakan kerangka
al-Ghozālī, yang menyebut bahwa ilmu bisa diklasifikasik menjadi dua macam,
yaitu ilmu syar’iyah dan ‘aqliyah (intelektual). Ilmu syariah
meliputi al-tauhîd, al-lugah, al-tafsîr, al-hadîts,
musthalah al-hadîts, al-fiqh, ushûl al-fiqh dan al-akhlâq.
Sementara itu ilmu ‘aqliyah meliputi matematika, aritmatika, geometri,
astronomi, logika, musik, fisika, kimia, kedokteran, metreologi, dan ilmu gaib
(al-Ghozālī, 2005, hlm. 21-38).
Dibandingkan
dengan sistem pendidikan lain, pesantren merupakan sebuah kultur yang unik.
Keunikannya itu setidaknya ditunjukkan oleh pola kepemimpinan yang berdiri
sendiri, literatur universal yang telah dipelihara selama berabad-abad dan
sistem nilai yang berbeda terpisah dari sistem nilai yang dianut oleh
masyarakat di luar pesantren (Wahid, 1988, hlm. 266). Proses belajar
mengajarnya dilakukan melalui struktur, metode dan literatur tradisional, baik
berupa pendidikan formal di sekolah manupun madrasah dengan jenjang yang
bertingkat, ataupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam
bentuk weton atau sorogan. Ciri utama dari pengajaran tradisional
ini adalah cara pemberian ajarannya yang ditekankan pada penangkapan harfiah
atas suatu kitab.
Meskipun
demikian, dalam perkembangan mutakhir, banyak pesantren yang telah membuka
sistem pendidikan sekolah atau madrasah yang berarti pola kepemimpinannya
melibatkan pihak luar dan literaturnya mengalami perubahan. Jika pondok
pesantren tradisional yang semula dikenal sebagai lembaga pendidikan yang tidak
mengenal sistem klasikal, tetapi lambat laun mengadopsi model pendidikan
klasikal. Di beberapa pondok pesantren, bentuk-bentuk klasikal dimulai dari
tingkat madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Ada pula menggunakan model Tabaqat
Ula, Wustha, dan ‘Ulya. Di samping itu, ada pula yang
mengambil sistem kemadrasahan dengan pola klasikal berdasarkan kurikulum.
Perubahan-perubahan
tersebut dilakukan dalam rangka menyesuaikan kurikulum yang berlaku dan juga
penyerapan inspirasi nilai-nilai dari masyarakat guna memenuhi tuntutan zaman
dalam waktu yang bersamaan. Ketiga unsur keunikan tersebut masih tetap melekat
di pesantren. Hal ini juga tentu menunjukkan inklusivitas dan keluwesan pondok
pesantren dalam menyikapi arus perubahan dari luar. Di samping itu mampu
menjadi katalisator dalam merespon tantangan dan perubahan yang terjadi di
sekitarnya, terutama ketika berhadapan dengan modernisasi sistem pendidikan,
baik yang berasal dari sistem pendidikan nasional maupun produk globalisasi.
Dalam
konteks Indonesia, pesantren sebagai sub-kultur dipahami bahwa di dalamnya
memiliki tatanan nilai serta nilai sentralnya tersendiri. Secara sosiologis,
keunikannya sendiri dapat dilihat pada beberapa aspek, yaitu cara hidup yang
dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hierarki kekuasaan
internal tersendiri yang ditaati sepenuhnya (Wahid, 1983, hlm. 39).
Kepemimpinan pesantren yang diperankan oleh para kiai dan nyai menempatkan
keduanya sebagai posisi penting dalam pemeliharaan nilai-nilai. Bahkan perannya
dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan keseharian berupa transformasi
nilai antara para santri dan masyarakat di luar pesantren.
Berbekal
penguasaan kitab kuning yang kontekstual dan literatur kontemporer lainnya,
masyarakat pesantren melakukan akulturasi budaya lokal dengan tata nilai
pesantren. Pesan keagamaan dapat tersampaikan dengan strategi pemanfaatan
medium lokalitas. Di samping itu, dalam konteks kekinian banyak dijumpai juga
penyelenggaraan pendidikan pesantren yang telah memanfaatkan tekonologi media
sebagai infrastruktur pendidikan yang penting. Hal ini tentu saja mencerminkan
adanya dialog yang berlangsung antara pesantren dan masyarakatnya dengan
modernisasi sebagai dampak dari globalisasi.
Walau
demikian, potret penting terletak pada pemeliharaan dan transformasi nilai di
pesantren itu sendiri. Dua karakter nilai yang dapat diapresiasi misalnya yaitu
kemandirian dan cara hidup kolektif. Sebagai lembaga asli produk Nusantara,
pesantren menunjukkan ciri khas “gotong royong” yang merupakan bagian dari
tradisi masyarakat Indonesia. Pesantren, dengan cara hidupnya yang bersifat
kolektif, merupakan salah satu perwujudan semangat dan tradisi gotong royong
yang terdapat di masyarakat pedesaan. Nilai-nilai keagamaan seperti al-ukhuwwah
(persaudaraan), al-ta’âwun (tolong menolong atau koperasi), al-ittihâd
(persatuan), thalab al-‘ilm (menuntut ilmu), al-ikhlâs (ikhlas), al-jihâd
(perjuangan), al-thâ’ah (patuh kepada Tuhan, Rasul, ulama atau kiai
sebagai pewaris Nabi, dan kepada mereka yang diakui sebagai pemimpin), ikut
mendukung eksistensi pondok pesantren (Raharjo, 1983, hlm. 9).
Nilai-nilai
di atas tentu saja lahir tidaklah dalam kondisi yang tunggal, melainkan melalui
proses panjang dan melampaui beberapa tahapan. Nilai-nilai yang dipilih dan
ditetapkan menjadi karakter dan identitas peradaban atau kultur tersebut muncul
mengalami seleksi alam, di mana kesadaran kolektif akan memilih nilai yang
baik, signifikan dan relevan bagi eksistensi peradaban atau kultur itu sendiri.
Dalam ungkapan Muhammad Abid al-Jabiri, nilai tersebut disebut dengan “al-qîmah
al-markaziyyah” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan nilai sentral
(Al-Jabiri, 2001, hlm. 21).
Terdapat
banyak faktor yang memengaruhi lahirnya nilai-nilai sentral tersebut, seperti
situasi dan kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Nilai yang menguat
kemudian dianggap sebagai nilai sentral, dan nilai-nilai yang kurang
mendapatkan momentumnya sebagai nilai cabang. Menguat dan melemahnya nilai yang
disebabkan oleh dinamika sosial tersebut juga bisa diakibatkan oleh ‘krisis
nilai’ (‘azmah al-qîmah). Misalnya, krisis ekonomi dan menjamurnya
korupsi, disebabkan adanya krisis nilai kejujuran atau amanah. Jika krisis
kejujuran memunculkan kecurangan dan manipulasi, maka krisis toleransi
menimbulkan kekerasan dan anarki, dan begitu seterusnya. Semua nilai itu
bagaikan pohon yang dari akar, batang, ranting dan dahannya saling
kait-mengait. Karenanya, nilai sentral tak terwujud tanpa adanya nilai-nilai
cabang, seperti nilai toleransi yang tidak akan terwujud tanpa nilai
penghormatan, penghargaan, rendah hati, kesabaran dan seterusnya.
Selain
itu, interaksi antar peradaban atau kultur meniscayakan adanya silang budaya
yang berwujud pengayaan sekaligus pergesekan antarnilai yang dibawa setiap
peradaban. Nalar etika atau akhlak Islam, misalnya, dibangun berdasarkan nilai
berbagai peradaban, seperti khazanah Arab berupa harga diri (al-murû`ah),
khazanah Persia yang bernuansa kepatuhan, khazanah Yunani yang rasional,
khazanah sufistik yang bernuansa nihilisme (fanâ), dan khazanah Islami
yang berasal dari al-Quran dan hadis (Al-Jabiri, 2001, hlm. 26-27). Nalar etika
tersebut diadopsi oleh pesantren melalui khazanah kitab kuning, dan
diadaptasikan dengan kebijakan lokal (local wisdom) dan kesadaran
kolektif masyarakat Nusantara. Naik turunnya suatu nilai yang diakibatkan dari
dinamika sosial dan interaksi antar peradaban tercermin dalam nilai-nilai
pesantren yang bersifat dinamis dari masa ke masa.
Dalam
konteks sejarah Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan dan sekaligus
menjadi pusat perubahan masyarakat melalui kegiatan penyebaran agama, terutama
era prakolonial. Demikian halnya, ketika memasuki era koloniali sasi
bangsa-bangsa Eropa yang menguasai daerah-daerah di Nusantara, pesantren
menjadi pusat perlawanan terhadap kekuasaan penjajah. Potret sejarah lainnya
dapat disimak misalnya, jika di masa 1959-1965 pesantren disebut sebagai “alat
revolusi”, maka sesudah itu hingga zaman Orde Baru pesantren dianggap sebagai
“potensi pembangunan” (Rahardjo, 1983, hlm. 10). Periodesasi sejarah pesantren
ini memperlihatkan peran pesantren dalam memelihara dan memperjuangkan nilai
cinta Tanah Air. Dalam istilah modern, nilai ini seringkali diartikan dengan
nasionalisme. Nilai yang dikembangkan pesantren dalam merespon dinamika sosial
kebangsaan, membuktikan bahwa ia tidak mengasingkan diri dari persoalan di luar
dirinya.
Nilai-nilai
lainnya yang dikembangkan pesantren yaitu kemandirian, kerjasama, cinta Tanah
Air, kejujuran, kasih-sayang, penghargaan, kesungguhan, rendah hati, tanggung
jawab, kepedulian, kesabaran, kedamaian, musyawarah, toleransi dan kesetaraan.
Pesantren kemudian dipandang berhasil membentuk karakter positif pada para
siswa didik (santri) karena menerapkan pendidikan yang holistik, berupa tarbiyah
(pembelajaran) yang meliputi ta’lîm (pengajaran) dan ta’dîb
(pembentukan karakter atau pendisiplinan).
C. Penutup
Beberapa
nilai yang telah diuraikan di atas menjadi relevan untuk digali dan
dikembangkan sebagai bentuk penguatan nilai-nilai luhur bangsa. Beberapa nilai
pesantren yang mulai terabaikan, layak dihidupkan kembali untuk khalayak luas.
Misalnya, nilai gotong royong di tengah masyarakat yang kini cenderung
materialistis, atau nilai toleransi di tengah masyarakat yang kini cenderung
alergi dan anti terhadap kelompok yang berbeda. Nilai-nilai luhur tersebut pada
gilirannya memberikan kontribusi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang
baik yang dilimpahi maghfirah-Nya (baldatun thayyibatun wa
rabbunghafûr).
Pendidikan
karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan memiliki teori yang memadai
tentang makna karakter yang baik itu dan cara menanamkan nilai itu. Pembentukan
karakter yang berbasis nilai-nilai kepesantrenan dipahami secara luas agar
mencakup aspek kognitif, afektif dan perilaku moralitas/psikomotorik. Dalam
bahasa agama, karakter yang baik yang berbasis nilai-nilai itu terdiri dari
“mengetahui apa itu baik dan buruk” (amar ma’ruf nahi munkar),
“menginginkan yang baik”, (himmah) dan “melakukan yang baik” (amal
shâlih).
Agar
nilai-nilai ini dapat diterapkan, maka lembaga pendidikan seperti
universitas/institut, madrasah, sekolah atau pesantren harus membantu anak
didik memahami nilai-nilai inti, mengadopsi atau mempraktikkannya untuk diri
mereka sendiri, dan kemudian bertindak dalam kehidupan mereka sendiri. Dalam
pendidikan di pesantren disebut ta’lîm (pengajaran) dan ta’dîb
(pembiasaan dengan kesadaran). Orang bisa menjadi sangat cerdas tentang hal-hal
yang baik dan buruk untuk kehidupannya, namun dapat tetap memilih yang salah.
Contoh paling sederhana adalah tentang cara membuang sampah. Pendidikan moral
tidak hanya mengutamakan aspek kognitif dan pengembangan intelektual, tapi juga
membutuhkan dimensi emosional/spiritual yang berfungsi sebagai jembatan antara
penilaian dan tindakan. Sisi emosional/spiritual mencakup setidaknya
kualitas-kualitas nurani (merasa kewajiban untuk melakukan untuk menjadi
benar), harga diri, empati, mencintai, pengendalian diri dan kerendahan hati.
Pembentukan
karakter mengacu pada tiga kualitas moral, yaitu: kompetensi (keterampilan
seperti mendengarkan, berkomunikasi dan bekerja sama), kehendak atau keinginan
yang memobilisasi penilaian kita dan energi, dan kebiasaan moral (sebuah
disposisi batin yang dapat diandalkan untuk merespon situasi dalam cara yang
secara moral baik). Oleh karena itu, pendidikan karakter jauh lebih kompleks
daripada mengajar matematika atau membaca. Ia meniscayakan pengembangan
kepribadian serta pengembangan keterampilan. Hal ini setidaknya merujuk pada
adanya tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter yaitu mengetahui kebaikan (knowing
the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu
seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian maka
pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia
menuju standar-standar baku tentang sifat-sifat baik. Upaya ini juga memberi
jalan untuk menghargai persepsi dan nilai-nilai pribadi yang ditampilkan di
sekolah. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi
praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup
perkembangan sosial siswa.
Dalam
pelaksanaan pembelajarannya, dapat diterapkan metode pendidikan berbasis
pengalaman (experiential learning). Metode ini dipilih agar seorang
siswa/santri dapat menghidupkan sebuah nilai dan pada akhirnya memiliki
karakter yang baik, maka mereka tidak hanya perlu diberi tahu tentang nilai
itu, tetapi harus diajak mengalami dan berefleksi.
Experiential
learning adalah
suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun
pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalamannya
secara langsung. Karena itu, metode ini akan bermakna tatkala pembelajar
berperan serta dalam melakukan kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis
kegiatan tersebut. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya
dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal
ini, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator
untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses
pembelajaran.
Pada experiential
learning, langkah menantang bagi guru adalah memikirkan atau merancang
aktivitas pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri peserta,
baik individu maupun kelompok. Kegiatan pembelajaran harus (fardhu ‘ayn)
berfokus pada peserta belajar (student-centered learning). Dengan
demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus mereka lakukan, apa yang
harus kita katakan atau sampaikan harus sedetail mungkin kita rancang dengan
baik. Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran lain yang dibutuhkan
juga harus benar-benar telah tersedia dan siap untuk digunakan.
Metode
experiential learning tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan
konsep-konsep saja, namun juga memberikan pengalaman nyata yang akan membangun
keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan
mengakomodasi dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil
penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Di
antara kegiatan pembelajaran dalam metode experiential learning yaitu
mendengarkan musik yang terbukti secara empiris dapat meningkatkan kecerdasan
karena iramanya menenangkan pikiran yang merupakan pusat pengendalian tubuh
(Rakhmat, 2010, hlm. 214). Penelitian
menunjukkan bahwa musik dapat membuat anak-anak lebih tenang, dan karena itu,
lebih cerdas. Minat terhadap musik sebagai stimulan otak berasal dari
pengamatan pada bayi-bayi prematur yang berkembang lebih baik ketika
diperdengarkan kepadanya musik klasik. Penelitian di sekolah telah menunjukkan
bahwa perhatian dan prestasi murid meningkat ketika mendengarkan musik klasik
sebagai musik latarbelakang. Para ilmuan musik berteori bahwa musik
’mengorganisaikan’ pola-pola neuron di seluruh otak, terutama pola-pola yang
berkaitan dengan pemikiran kreatif. Para dokter berteori bahwa musik mempunyai
efek menenangkan dan merangsang keluarnya hormon endorfin.
Beberapa
kegiatanyang dapat diterapkan dalam pembelajaran antara lain:
1) Membaca
deskripsi sebuah nilai.
Peserta didik diajak untuk membaca arti sebuah nilai tertentu;
2) Bermain peran. Peserta didik bermain peran secara
individu, berpasangan, maupun berkelompok;
3) Bernyanyi. Peserta didik diajak untuk
menyanyikan lagu yang mengandung nilai-nilai yang hendak dihidupkan;
4) Berbagi
refleksi. Peserta
didik merefleksikan situasi tertentu yang dihadapi, menuliskannya, dan
membagikannya kepada peserta didik lain;
5) Curah
pendapat. Peserta
didik saling memberikan pandangan terhadap kasus-kasus tertentu, dengan
menuliskannya pada metaplan dan menyampaikannya dalam sesi diskusi;
6) Membaca teks
kitab kuning.
Peserta didik membaca teks kitab kuning dan diajak membuat terjemahan dan
analisis kata dan tata bahasa;
7) Membaca puisi
dan artikel. Peserta
didik membaca puisi dan artikel atau kisah tentang nilai;
8) Berkarya
kreatif. Peserta
didik diajak untuk menulis syair, puisi, ataupun membuat gambar, pamflet dan
karya kreatif lainnya terkait dengan nilai-nilai yang hendak dihidupkan;
9) Berbagi
pengalaman. Peserta
didik diajak untuk berbagi pengalaman nyata terkait dengan menghidupkan nilai
dalam kehidupan pribadi mereka
Dengan
mempertimbangkan uraian yang disampaikan, esai ini diharapkan dapat diterima di
kalangan pesantren dan masyarakat. Terlebih penulisannya sangat memerhatikan
keakraban pendekatan kebahasaan, tema dan psikologi masyarakat sasaran. Namun
demikian, dari aspek penyusunan dan pemaparan, esai ini dikemas dengan
pemaparan yang bisa diterima oleh berbagai kalangan, karena buku ini
diperuntukkan bagi komunitas pesantren sekaligus non-pesantren. Esai ini tidak
hanya difokuskan pada ‘santri/siswa sebagai bagian dari pesantren/sekolah’,
tetapi juga pada ‘santri/siswa sebagai bagian dari masyarakat’—menghidupkan
nilai di masyarakat. Sebuah proses transformasi nilai dari pesantren/sekolah ke
masyarakat umum. Karena itu, kami tidak menulis terlalu normatif, melainkan
praktis dan disampaikan dengan bahasa yang jelas dan yang lebih ‘mengajak’, serta
yang bisa menantang pola pikir para santri/pelajar. Pesan-pesan yang
disajikannya bisa sampai kepada para santri dan non-santri sehingga bisa
menginspirasi kesadaran mereka.
Referensi
al-Ghozālī, Abū Ḥāmid Muḥammad.
(2005). Iḥyā ‘ulumū al-dīn. Beirut: Dār Ibn al-Ḥazm.
Bull, Ronald Alan Lukens.
(1997). A Peacceful Jihad: Javanese Education and Religion Identity
Construction. Michigan: Arizona State University.
Muhammad Abid al-Jabiri. (2001). al-‘Aqlu al-Akhlâqîy
al-‘Arobiy. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah.
Muhtadi, Asep Saeful.
(2004). Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikiran Politik
Radikal dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES.
Rahardjo, M. Dawam. (1983). Pesantren dan Pembaharuan.
Jurnal LP3ES. Jakarta: LP3ES.
Rakhmat, Jalaluddin. (2010). Belajar Cerdas: Belajar
Berbasis Otak. Bandung: Kaifa Learning.
van Bruinessen, Martin.
(1995). Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman.
(1983). Pesantren Sebagai Subkultur. Jurnal Pesantren dan Pembaharuan.
Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman.
(1988). Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan. Dalam Muntaha Azhari
(peny.) & Sonhaji Saleh (penj.), Dinamika Pesantren: Kumpulan Makalah
Seminar Internasional “The Role of Pesantren in Community Development in
Indonesia. Jakarta: P3M.
Wahid, Abdurrahman.
(1995). Pesantren sebagai Subkultur. Dalam Dawan Raharjo (peny.), Pesantren
dan Pembaruan. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman.
(2001). Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara.