Di Mana Letak Penting Lembaga Pendidikan?


Di Mana Letak Penting Lembaga Pendidikan?


“Zaman sekarang, gunanya sekolah itu apa?” tanya Setiya Utari dalam satu obrolan akhir 2014 lalu. Tesis yang kami sepakati pada waktu itu ialah, “Sekolah berguna sebagai tempat untuk melatihkan keterampilan.” Diksi ‘melatihkan’ termasuk beberapa kata yang biasa diucapkan oleh Buk Ut—sapaan saya kepadanya—yang kemudian saya lestarikan ke dalam judul skripsi tentang literasi saintifik. Diksi ‘tesis’ disebut di sini karena pada waktu itu saya sedang gandrung kepada pola tesis-antisesis-sintesis yang diungkap oleh Tan Malaka dalam Madilog, sekaligus sebagai pemain Fisika tidak terbiasa menggunakan ‘hipotesis’ laiknya Biologi.

Literasi saintifik yang diperkenalkan oleh Buk Ut kepada saya sejak 4 Februari 2015 silam menjadi fokus riset dan arah pembelajaran yang saya lakukan. Beruntung, Buk Ut menjelaskan dengan bernas kepada saya berdasarkan kerangka kerja PISA 2015, yang mengungkap bahwa domain keterampilan merupakan titik utama literasi saintifik, yang turut dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan konteks.

Pertanyaan ‘zaman sekarang, gunanya sekolah itu apa?’ itu sendiri muncul berdasarkan observasi daring yang dilakukan Buk Ut. Hasil yang disampaikan mengungkap bahwa tidak sedikit orang tanpa latar belakang pendidikan formal bisa berunjuk kerja laiknya lulusan pendidikan formal. Buk Ut menyontohkan orang Surabaya yang berhasil membuat alat (saya lupa rincinya) meski secara formal dirinya tidak pernah kuliah di perguruan tinggi. Namun, orang tersebut menurut tuturan Buk Ut, biasa belajar mandiri dengan membaca secara daring kemudian tekun mempraktikkan secara trial and error.

Sisi ‘biasa belajar mandiri’ membuat saya mengenang Michael Faraday berkat sumbangan gagasan inovatif berupa medan gaya ke dalam pembahasan fisika. Sementara sisi ‘tekun mempraktikkan secara trial and error’ mengingatkan saya kepada Thomas Alva Edison yang berhasil mematenkan temuan bola lampu yang dibuatnya. Namun yang lebih penting ialah, sampai sekarang tampak belum terdapat kajian utuh dan menyeluruh untuk menjawab secara cermat pertanyaan Buk Ut tersebut.

Pertanyaan Buk Ut tersebut kembali saya lempar secara lisan kepada beberapa orang ketika libur sekolah mulai dilakukan dalam rangka perang Bhāratayuddha seri COVID-19 (coronavirus disease 2019) antara beberapa Mammalia (hewan menyusu) melawan SARS-CoV-2 (Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2). Korban lemparan pertanyaan tersebut seperti istri saya Wahyu Eka Saputri sebagai dasar mengejek terkait ‘pembelajaran daring’ dari kampusnya yang tekesan gumuman dan gampang kepincut, Pak Khoirul Umam yang seakan dipaksa untuk memjawab berdasarkan riset kualitatif, Arij Zulfi Mufassaroh yang sedang berusaha ‘lari dari takdir dilahirkan sebagai perempuan’.

Pertanyaan Buk Ut tersebut juga terasa sangat terkait dengan keadaan yang saya alami sendiri. Kalau dalam drama COVID-19 saya turut menjadi pemandu kegiatan harian bagi murid kelas 5A MI NU TBS, untuk kasus lebih umum berupa perhatian kepada tayangan YouTube dari Kiai Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), Ustadzah Halimah (Syarifah Halimah Alaydrus), Prof. Yohanes Surya, serta Prof. Natalia L. Komarova.

Dalam memandu kegiatan harian (bukan pembelajaran daring), saya biasa menyusun satu set langkah pelaksaan mulai dari membaca, mengamati, bertanya, sampai menjawab pertanyaan. Catatan pelaksaan sejauh ini menunjukkan bahwa kegiatan dapat terlaksana dalam kategori cukup. Meski terdapat beberapa murid yang belum pernah mengumpulkan tugas sama sekali, ada juga yang sampai perlu menelepon untuk bisa berinteraksi. Padahal kegiatan harian tersebut disusun sama seperti alur langkah pembelajaran di sekolah.

Dari sini saya mulai muncul grenengan, “Andai ritme seperti ini bisa konsisten, pembelajaran di sekolah (baik di dalam atau di luar kelas) harus dirancang kembali dengan cara yang berbeda.” Rancangan yang berbeda itu misalnya, tidak sekadar membiasakan murid dengan inquiry, walaikin turut menguatkan murid dalam berkomunikasi.

Untuk kasus lebih umum tersebut hasil yang diperoleh tampak potensial dalam meruntuhkan keberadaan lembaga pendidikan. Gus Baha, dalam tayangan yang saya simak, menyampaikan kajian Tafsir al-Jalalayn surat an-Nur laiknya dilakukan oleh kiai ketika pengajian bandongan kitab kuning di pondok pesantren. Ustadzah Halimah juga serupa, dengan menyampaikan kajian Bidayat al-Hidayah dengan cara serupa seperti Gus Baha, tapi menggunakan Bahasa Indonesia. Yohanes Surya sendiri menyampaikan pembahasan Mekanika Dasar tingkat sekolah menengah berdasarkan buku Fisika Gasing yang ditulisnya. Sementara Natalia L. Komarova menyampaikan pembahasan Kalkulus Integral berdasarkan tuturan Calculus: Early Transcendentals.

Keempat tayangan YouTube tersebut bisa diikuti laiknya ketika orang belajar di sekolah/madrasah, pondok pesantren, maupun kampus universitas. Bahkan tayangan Natalia L. Komarova sendiri merupakan inisiatif dari kampusnya, University of California, Irvine, yang merilis program UCI Open. Inisiatif serupa juga dilakukan oleh Prof. Erica W. Carlson dari Purdue University, yang mengunggah tayangan video perkuliahan Listrik dan Magnet yang saya unggah kembali sebagai arsip di kanal Alobatnic. Di lingkungan pondok pesantren juga muncul inisiatif sejenis demikian, seperti dari Pondok Pesantren Al-Fattah Kudus. Atau pengajian kitab kuning dari Kiai Muhammad Arifin Fanani di MTs NU Banat,

Tentu lembaga pendidikan, terutama yang formal, masih punya ‘kelebihan’, karena ketekunan menyimak tayangan tersebut tidak akan membuat penyimak memperoleh ‘balas imbal’ berupa sertifikat hasil belajar (kertas ijazah) yang antara lain memuat transkrip ‘nilai’. Namun kalau hanya dilihat sisi ini saja, tentu merupakan kelebihan semu—makanya saya tulis dalam tanda kutip—yang mungkin sangat berguna bagi orang yang membutuhkan pengakuan resmi. Lha kalau bagi orang yang tidak merasa penting dengan pengakuan resmi—seperti saya— di mana letak kelebihannya?

Kemarin siang, 5 April 2020, saya menerima surel dari panitia Science and Mathematics International Conference (SMIC) 2020, yang menyampaikan bahwa kolokium pada 8–9 Agustus 2020 akan dilaksanakan dalam bentuk konferensi virtual secara daring. Bentuk ini dipilih seiring perang Bhāratayuddha seri COVID-19. Pelaksanannya ialah dengan menayangkan penyajian langsung (live presentation) dari semua pembicara utama dan pembicara undangan serta menyajikan rekaman sajian para peserta pemakalah.

Pelaksanaan konferensi virtual secara daring memang bukan yang pertama dilakukan dalam ranah konferensi akademik. The Southeast Asian Conference on Education 2020 (SEACE) di MAX Atria at Singapore EXPO, Singapore pada 7–9 Februari 2020 lalu juga membuka fasilitas penyajian virtual secara daring, meski itu diberlakukan bagi peserta yang kesulitan transportasi—misalnya dari luar Singapura. Pelaksanaannya juga dengan menyajikan rekaman sajian peserta pemakalah virtual.

Kolokium yang menjadi sarana pertemuan antar pakar untuk mengomunikasikan kajian terhadap topik tertentu sampai sekarang memang belum banyak yang menayangkan live streaming video pada saat kegiatan maupun rekaman pelaksanaan secara utuh setiap sesi. Termasuk dalam definisi kolokium ialah kegiatan baḥts al-masā’il lī al-dīniyyah yang umumnya dilakukan oleh pakar berlatar Nahdlatul Ulama (NU). Namun bukan berarti tidak ada.

Misalnya penyajian Kiai Sa'īd Aqīl Sirōj tentang Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī yang disampaikan dalam seminar di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, 10710, pada 19 Januari 2018 bisa diakses melalui YouTube. Sajian Kiai Maṣdar Farīd Mas'ūdi ketika launching Buku Putih Syi’ah juga bisa disimak di YouTube. Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin nyaris satu tahun lalu juga menayangkan live streaming video utuh acara baḥts al-masā’il lī al-dīniyyahi dalam rangka haul Kiai Ma’ruf Irsyad. Video Irma Rahma Suwarma, Airin Rachmi Diany, Surotul Ilmiyah, Grace Natalie Louisa, Cania Citta Irlanie, Erica W. Carlson, sampai Lisa Randall ketika mereka menjadi pembicara dalam seminar, pun dapat diakses melalui YouTube.

Keadaan kontemporer tersebut melengkapi keadaan ketika saya nyantri muqīm di Ma’hadul Ulumis Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUS-YQ) pada 2009–2012 silam. Ketika itu, sudah mulai banyak dijual kitab kuning bil ma’na ala pesantren, melengkapi bentuk terbitan sebelumnya yang diberi ma’na gandhul tapi dalam bentuk tidak seperti kitab kuning gundhul, maupun terjemah langsung Arab-Indonesia. Dari sisi pembelajaran, memang memudahkan karena tidak memaksa santri report membolaki-balik kamus, bermain ‘kalkulus’ Ṣorf, sampai menentukan ‘persamaan keadaan’ Naḥw. Namun, justru kemudahan ini menjadi bumerang ketika santri tidak dibiasakan belajar mendalam.

Keadaan seperti itu juga rentan membuat santri yang sebenarnya tidak cakap membaca kitab kuning, bisa beraksi seolah-olah lincah dalam membedah uraian yang disajikan. Pada masa inilah saya menikmati kurikulum MUS-YQ, yang tampak fokus kepada topik Fiqh, dengan penyampaikan melalui multi model pembelajaran: bandongan, sorogan, dan musyāwaroh. Keadaan tersebut diperkuat dengan pengalaman serupa ketika mempelajari Fisika di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Belakangan saya menemukan bahwa multi model seperti saya alami di MUS-YQ dan UPI sudah muncul ketika Richard Phillip Feynman mengajar di California Institute of Technology (Catltech), Pasadena.

Sebaran informasi yang disajikan menunjukkan bahwa pada masa sekarang, kalau pembelajaran di lembaga pendidikan dianggap hanya sebagai tempat memperoleh pengetahuan saja, tentu kehadirannya tak lagi punya makna. Apalagi dalam bermasyarakat, orang tidak lagi memandang latar lembaga pendidikan sebagai sesuatu yang ‘lebih’. Masyarakat sudah memahami bahwa nilai penting seseorang bukan berdasarkan modal yang dimiliki, melainkan karena aksi yang dilakoni.

Misalnya, boleh saja ada orang yang bangga bahwa dirinya lulusan S2 atau bahkan S3 dari perguruan tinggi populer. Namun, ketika orang tersebut tak mampu turut memberi alternatif solusi dalam mengatasi masalah dan/atau menjadi pendorong mengembangkan potensi agar tambah maṣlaḥah, di mana nilai kehadiran orang itu dalam masyarakat? Atau mungkin ada orang yang bahagia dirinya hafal 30 juz al-Qur’ān sekaligus menguasai kitab kuning kajian keislaman, tapi kalau kebahagiannya gagal membuat masyarakat turut bahagia karena kehadirannya, apa gunanya orang tersebut sebagai makhluk sosial?

Tesis yang dulu saya sepakati dengan Buk Ut bahwa sekolah (atau secara umum semua lembaga pendidikan) berguna sebagai tempat untuk melatihkan keterampilan, memperoleh fakta bahwa murid kelas 5A bisa melaksanakan inquiry hanya dengan dipandu melalui WhatsApp. Malah ketika saya mencoba menggulirkan pertanyaan kepada grup WhatsApp ‘Pensiunan Malaikat’ yang berisi rekan-rekan kelas IX Pondok Pesantren Ath-Thullab Kudus tahun ini, mereka juga bisa diajak membahas pertanyaan tersebut ala pembelajaran kitab kuning model musyāwaroh.

Dengan demikian, kalau dari kehadiran tayangan video dan terbitan terjemahan mengurangi makna lembaga pendidikan sebagai tempat memperoleh pengetahuan saja, kegiatan harian yang dilakukan kelas 5A MI NU TBS menunjukkan bahwa model inquiry yang merupakan adopsi tahap kerja ilmiah serta alur metode ilmiah yang dipakai dalam pembelajaran kitab kuning model musyāwaroh yang dilakukan melalui grup WhatsApp ‘Pensiunan Malaikat’, makna lembaga pendidikan sebagai tempat melatihkan keterampilan juga mulai kurang eksklusif.

Dalam keadaan seperti ini, lembaga pendidikan yang punya format full time seperti pondok pesantren dan madrasah/sekolah berasrama, mungkin masih punya makna eksklusif berupa membiasakan sikap. Apalagi walau pembiasaan sikap ini seringkali hanya sekadar jargon tanpa disertai indikator rinci yang dilaksanakan secara rapi, setidaknya terdapat fakta ketika santri atau murid tinggal di pondok pesantren atau madrasah/sekolah berasrama, mereka berupaya untuk menyesuaikan diri, berlatih mandiri, sampai terbiasa berkomunikasi. Namun, ada juga potensi sisi ini sirna, terutama ketika masyarakat sudah terbentuk secara baik.

Kalau seperti itu, di mana letak penting lembaga pendidikan?

Sebagai tambahan, dengan niat al-taḥadduts bi al-ni’mat Allōh ta’ālā (karena mengungkapkan niat secara tersurat ḥukm-nya sunnah), sejak meninggalkan UPI, saya tidak pernah kuliah. Malah kalau diperpanjang, sejak lulus dari MA NU TBS dan boyong dari MUS-YQ, saya juga tampak tidak pernah nyantri muqīm lagi. Namun bukan berarti saya berhenti belajar. Sampai sekarang saya selalu bimbingan kepada Syarofis Si’ayah, Buk Ut, Surotul Ilmiyah, Nong Darol Mahmada, Arij Zulfi Mufassaroh, sesekali ikut pengajian bandongan di Pondok Pesantren Ath-Thullab, menyimak kajian utuh-sistematis-fokus di YouTube, bertanya kepada pakar terkait ketika mengalami masalah tertentu, bahkan masih sempat konsisten menerbitkan artikel akademik—yang umumnya mendadak berhenti ketika seseorang lulus S2 atau S3.

K.Sn.Pa.120841.060420.01:29

Di Mana Letak Penting Lembaga Pendidikan?