Perempuan


Park Bom, Lee Chae-lin, dan Park San-da-ra. [Koleksi Pribadi]

Park Bom, Lee Chae-lin, dan Park San-da-ra. [Koleksi Pribadi]

Periode 26 Maret 2019 – 25 Maret 2020 mungkin menjadi masa paling cemerlang buat saya dalam kegiatan akademik berupa pembelajaran dan penelitian. Belum lagi dengan kepastian pernikahan bersama Wahyu Eka Saputri—yang secara pribadi dapat saya ajak ala-ala Katherine Mary dan James Clerk Maxwell maupun Maria Salomea dan Pierre Curie, kesepakatan lisan yang belum ditindaklanjuti bersama Fenny Roshayanti agar menjadi pembimbing akademik kalau melanjutkan strata dua—seiring peluang melanjutkan diri sebagai academic advisee Setiya Utari tampak tak ada, serta kelanjutan interaksi intim dengan para sahabat lekat—secara individual maupun grup.

Dalam hal pembelajaran, saya memperoleh pengalaman memandu pembelajaran lintas disiplin ilmu antar tingkat pendidikan. Satu pengalaman yang sangat bermakna buat saya. Banyak orang menguasai ragam disiplin ilmu, tapi tidak punya pengalaman memandu pembelajaran multi disipliner. Tidak sedikit juga orang yang punya rekam jejak memandu pembelajaran beberapa disiplin ilmu, tapi tak punya dasar kuat dalam sebagian bidang tersebut. Saya tidak masuk keduanya. Mau masuk ke salah satu himpunan itu bagaimana coba kalau fakta bahwa umur terlibat pembelajaran belum genap 3 musim berdasarkan indeks prestasi kumulatif (IPK) 2,90 ketika lulus strata satu? Namun, tidak ada alasan kabur dari rasa syukur. Berapa orang yang bisa bermain di arena kitab kuning kajian keislaman sekaligus textbook natural science?

Dalam hal penelitian, 7 dari 8 jurnal yang sudah saya hasilkan diterbitkan pada periode ini. Itu belum termasuk beberapa papers kolokium yang sebagian diterbitkan menjadi prosiding, artikel preprint untuk mengamankan gagasan dari priority dispute, serta beberapa artikel populer. Baiknya, 2 dari 7 jurnal tersebut diterbitkan bersama orang lain, yakni Arij Zulfi Mufassaroh serta Mita Puspaningrum dan Khoirul Umam. Beberapa artikel preprint juga diterbitkan dalam bentuk kolaborasi, antara lain role model saya Syarofis Siayah.

Satu hal yang konyol juga terjadi ketika Kompas.com menanyai saya terkait polusi cahaya, yang gara-gara dalam suasana fokus terhadap biologi, jawaban yang disampaikan antara lain menyinggung dampak terhadap reproduksi grup spesies Glowworm. Sebagai bentuk tindak lanjut, saya kemudian menulis artikel singkat tentang polusi cahaya, guna men-syarh-i tanggapan terhadap Kompas.com. Artikel tersebut menunjukkan pengaruh kuat Judhistira Aria Utama dan Lina Aviyanti terhadap saya dalam bidang astronomi.

Dengan rekam jejak seperti itu, beberapa orang memuji juga mencaci saya bahwa bla bla bla blackpink. Pujian dan cacian buat saya tidak penting, yang saya butuhkan adalah bantuan teknis. Misalnya: daripada memuji saya ketika meriset struktur kurikulum, mending dibantu mengoreksi uraian dalam tabel yang disusun. Atau ketimbang mencaci diri saya, lebih elok kalau menyampaikan kesalahan secara gamblang. Tak bisa dimungkiri bahwa sebagian orang mungkin merasa sungkan ketika harus menyampaikan kesalahan secara gamblang. Namun saya justru lebih nyaman seperti ini. Bahkan kerap saya ungkap secara langsung kepada beberapa orang, agar tak perlu sungkan apalagi merasa bersalah ketika menyampaikan kesalahan saya. Dengan cara sejenis demikian, pujian dan cacian dapat diarahkan menjadi perilaku yang menunjukkan kepedulian.

Kepedulian mungkin salah satu hal yang paling saya kenang ketika menjadi academic advisee Setiya Utari. Bentuk kepedulian yang tampak seperti memilihkan textbook, antara lain fisika karya Douglas C. Giancoli dan metode riset karya Fraenkel & Wallen, menyediakan waktu interaksi sesuai masa terbaik mood saya yakni sore hari, serta menyarankan fokus utama topik riset jangka panjang dimulai dari skripsi. Karena kepedulian itulah nama Setiya Utari terasa lekat dalam kenangan saya. Malah saya yakin bahwa pondasi kuat hubungan akademik antara guru dan murid ialah dalam kepedulian, bukan kecerdasan.

Kepedulian pula yang saya rasakan selama mendapat kesempatan bersahabat dengan Ofis. Seandainya tak ada proses kebetulan ketika kami mulai berinteraksi melalui pesan pendek kemudian telepon pada Mei 2012, mungkin saya tidak akan berkesempatan memiliki sahabat paling inspiratif. Apalagi sebelum mengenal Ofis secara pribadi, saya termasuk orang yang mengaguminya sebagai seorang diri, bukan faktor tertentu seperti keluarga maupun jenis kelamin. Karena dasarnya saja sudah mengagumi itulah, ucapan spontan Ofis banyak yang saya ingat—bahkan sengaja diingat secara rinci. Beruntung Ofis memberi kesempatan kepada saya untuk dapat berinteraksi secara pribadi pada Mei 2012. Banyak perjalanan Ofis selanjutnya yang memberi keteladanan, pengaruh, maupun semangat kepada saya, sekaligus mendapati sisi manusiawi sang idola yang ternyata bisa menangis. Kalau ada kesempatan, Ofis menjadi salah satu idola yang rekaman kebersamaan akan saya tulis.

Menulis sosok tertentu—khususnya yang dikagumi—termasuk salah satu hal yang biasa buat saya. Dulu pada periode umur ke-21 tahun, saya malah sampai hobi menulis kebersamaan dengan beberapa orang, Ofis salah satu ‘korban’ yang ditulis. Kalau ditarik lebih dalam dan luas, ‘spesialisasi’ penulisan populer saya ialah menulis feature sosok, khusunya perempuan. Nong Darol Mahmada adalah salah satu contoh feature sosok yang saya tulis, dengan judul Guru yang Menyapih. Sayang sampai sekarang saya justru belum pernah menulis feature Surotul Ilmiyah.

Surotul Ilmiyah lah orang yang kali pertama mendidik saya dalam penulisan. Lebih dari itu, Ilmy juga mentor saya dalam kepemimpinan dan teladan sebagai pelajar. Kadang saya flashback ke masa lalu, bagaimana seandainya Ilmy tidak mengajak saya bergabung dengan timnya di BSO Santri? Apa yang terjadi kalau Ilmy tidak pernah menuruti permintaan saya menjadi editor, menunjuk saya sebagai pelaksana tugasnya, lalu mendukung saya melanjutkan perannya? Selama bersama Ilmy di BSO Santri itulah, Ilmy mendidik saya secara teknis terkait penulisan. Sampai akhirnya menunjukkan bahwa saya lebih bagus ketika bermain dalam penulisan feature sosok. Ketika diberi tugas memandu pembelajaran penulisan karya tulis, alur pendidikan Ilmy itulah yang saya pakai sebagai bahan penyusun silabus.

Sampai tahun 2018, saya masih hobi menulis feature sosok, terutama perempuan.

Bersambung....

K.Rb.Lg.110741.050220.02:34