Matematika
tidak termasuk ilmu alam dari pandangan fisika dan pendidik fisika. Fakta ini
muncul karena pengujian proposisi matematika dilakukan menggunakan alur
penalaran (reasoning) tanpa harus mempertimbangkan informasi hasil peramalan
(experiment) dan/atau pengamatan (observation). Fakta tersebut
perlu disampaikan paling dulu sebagai titik tolak uraian selanjutnya. Melalui
penyampaian tersebut, diharapkan kita bisa sepakat untuk tidak selalu sepakat.
Sulit
dimungkiri bahwa sepanjang linikala peradaban manusia sekitar 2603 terakhir fisika
dan matematika memiliki hubungan intim. Secara umum keintiman antara keduanya
digambarkan bahwa matematika adalah alat yang diperlukan oleh fisika, sementara
di sisi lain fisika adalah sumber inspirasi dan wawasan mewah dalam matematika.
Pertimbangan
bahwa matematika adalah bahasa alam dapat ditemukan dari gagasan para pengikut
Phytagoras yang meyakini bahwa bilangan mengatur alam, yang disampaikan kembali
dua alaf kemudian oleh Galileo Galilei dengan ungkapan bahwa buku alam ditulis
dalam bahasa matematika.
Tak
lama selepas Galileo Galiei wafat, Isaac Newton meletakkan dasar pembangunan
konsep matematika baru berupa kalkulus yang dilatari oleh kebutuhan fisika
terkait permasalahan dinamika. Pada masa ini, perbedaan fisika dan matematika
sangat kecil bahkan cenderung tidak jelas. Sebagai contoh, Isaac Newton
menganggap bahwa geometri adalah salah satu cabang mekanika.
Hubungan
sangat intim yang membuat fisika dan matematika laiknya kesatuan tersebut terus
berlanjut pada masa berikutnya. Penemuan bilangan khayal √(-1) yang dilatari
oleh masalah kelistrikan serta pengembangan mekanika relativistik yang dipicu
oleh geometri lengkung (non-Euclid) adalah beberapa contoh.
Contoh
paling luar biawak, tentu saja, perumusan masalah beberapa hukum fisika
terkait elektromagnetisme ke dalam 4 buah (dirinci menjadi 12) persamaan oleh James
Clerk Maxwell—dibantu istrinya yang bernama Katherine Mary Dewar. Pada masa
ini, mulai muncul slogan bahwa matematika adalah ratunya ilmu alam, yang digelorakan
oleh Johann Carl Friedrich Gauß untuk modusin Marie-Sophie Germain. Entah
kenapa belakangan ujug-ujug muncul slogan tandingan berupa fisika adalah rajanya
ilmu alam.
Informasi
historis tersebut membuat anggapan bahwa fisika dan matematika sebagai entitas
yang sama sulit disirnakan. Bahkan dalam perkembangan berikutnya, matematika
turut bertanggung jawab terhadap perpecahan (firqoh) internal fisika
terbelah ke dalam kelompok teoretis dan eksperimentalis.
Kasus
terheboh terkait perpecahan internal fisika—seperti diketahui oleh banyak orang—adalah
teori string. Perpecahan dipicu oleh perbedaan informasi eksperimen dengan
rumusan teoretis yang membuat beberapa orang mulai mengecam kegilaan terhadap
‘ratu’ seraya mengungit persoalan ‘era perceraian panjang’ antara fisika dan
matematika.
Walau
demikian, perkembangan matematika dan fisika yang sebelum Werner Karl Heisenberg
menulis paper yang itu pada 1925 dapat berjalan beriringan. Hal ini membuat
beberapa pakar matematika yang tertarik dalam pendidikan matematika menyarankan
agar pembelajaran matematika dilakukan dengan langkah kegiatan yang lebih dekat
dengan fisika.
Sayang,
saran dari pakar matematika bertepuk sebelas tangan dari pihak fisika. Banyak pihak
fisika justru bersikap kosok bali, dengan memperingatkan bahwa pembelajaran fisika
tak perlu dilakukan dengan langkah kegiatan secara matematis.
Berdasarkan
uraian embuh itu, saya mulai penasaran dengan kepastian hubungan fisika
dan matematika. Letak penasaran secara khusus dimulai dari pembelajaran aktual
di Indonesia. Secara pribadi, saya mengalami kendala dalam memandu pembelajaran
fisika di tingkat menengah.
Misalnya
ketika membahas mekanika (klasik), siswa diminta untuk membaca data hasil
eksperimen gerakan sebuah kereta balok di lintasan lurus datar dan miring.
Siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik untuk tahap merencanakan kemudian
melakukan eksperimen serta menyajikan data dalam bentuk tabel serta grafik
jarak terhadap waktu. Namun, siswa kesulitan mengubah grafik tersebut menjadi
kelajuan terhadap waktu serta percepatan terhadap waktu.
Lebih
lanjut, siswa juga mengalami kesulitan untuk menemukan koefisien arah (nilai
kemiringan garis atau gradien) dari data yang didapatkan. Pengalaman tersebut
membuat saya menyampaikan saran agar konsep matematika yang diperlukan dalam
pembelajaran fisika harus sudah dikuasai oleh siswa sebelum kegiatan dimulai
menyalahkan guru matematika ketika siswa tidak bisa fisika.
Pengalaman
lain kami peroleh sebagai pengamat tak terlibat, yang menemukan bahwa soal
fisika topik mekanika (klasik) di Kabupaten Kudus, dibuat dengan indikator
‘menghitung’ nilai tertentu dari besaran fisika berdasarkan datum. Ishhh.
Padahal untuk topik mekanika klasik tingkat menengah, masih memungkinkan
dilakukan dengan indikator ‘mengukur’ atau ‘menentukan’ nilai berdasarkan data.
Sebagai
pengamat terlibat dalam pembelajaran biologi sendiri, saya menemukan bahwa
banyak siswa yang berhasil dalam menyampaikan alur reproduksi bakteri Eschericia
coli, tapi kesulitan ketika membaca grafik pertumbuhan terhadap waktu. Lebih
lanjut, ketika dilakukan wawancara informal, siswa cenderung tidak menyukai
fisika karena kendala matematis yang dialami.
Sementara
ketika di pondok pesantren, saya mengalami kesulitan dalam menghubungkan volume
bak mandi, debit air, dan efek doppler ketika berusaha membuat model untuk
memprediksi waktu mengisi bak mandi pondok pesantren Ath-Thullab. Supaya ketika
males menguras bak mandi didasari data empiris. Sajkane begitu.
Melalui
beberapa pengalaman tersebut, saya bisa saja mengklaim bahwa matematika
bersifat parasit terhadap fisika. Namun, anggapan tersebut tidak berlaku
mutlak. Misalnya untuk pembahasan topik energi potensial, saya malah menemukan
bahwa hubungan fisika dan matematika lebih bersifat mutual.
Lebih
lanjut, dalam beberapa kasus ketika konsep matematika yang dibahas nyaris
bersamaan dengan fisika, sifat interaksi antar keduanya boleh dikatakan
komensalisme atau saling melengkapi. Biasanya sifat komensalisme muncul karena
siswa merasa lebih mudah menangkap konsep matematika ketika dihadapkan kepada
kasus empiris maupun lebih enjoy tatkala konsep fisika dirangkum secara
matematis.
Berdasarkan
informasi yang disampaikan, mengapa tidak dilakukan riset khusus untuk
mengidentifikasi beberapa hubungan antara fisika dan matematika dalam kegiatan
pembelajaran aktual? Misalnya melalui analisis Permendikbud Tahun 2016 nomor
024, ruang lingkup ulasan dibatasi untuk tingkat menengah dengan alasan bahwa
siswa dapat melihat secara kentara aspek matematika dalam pembelajaran fisika
atau ilmu pengetahuan alam (IPA) secara umum.
Luaran
riset tersebut diharapkan dapat menjadi bahan kajian ulang konten matematika
dalam kurikulum dan secara khusus dapat dipakai untuk menentukan arah pelajaran
matematika peminatan di tingkat menengah atas. Kajian ulang dan penentuan arah
tersebut dapat dipakai sebagai langkah untuk mengurangi beban kognitif siswa
dan kesulitan guru dalam mengelola pembelajaran.
Jangan
kasih tahu Jeffa sama Faliqul, nanti saya dibilang kurang gawean lagi. Padahal
emang gitu sih.