Nong Darol Mahmada ketika
menceritakan perjalanan hidup
dalam perjumpaan pada
10 April 2017 di Century Park Hotel Jakarta Indonesia
|
Nong
Darol Mahmada tampak menanggapi secara positif naskah awal yang saya kirim
melalui pesan WhatsApp selepas ‘Isyā’ pada 18 Oktober 2019.
Naskah awal terkait literasi finansial (finacial literacy) dan fiqh
mu’āmalāt tersebut saya kirimkan kepada Mbak Nong agar mengetahui bahwa
nama beliau sedang di-ghibah-in di paper.
Paper tersebut saya tulis dengan cara meniru
Richard Phillips Feynman ketika menulis The Principle of Least Action in
Quantum Mechanics. Kalau Feynman memulai penulisan dengan menyebut nama Max
Karl Ernst Ludwig Planck, nama Mbak Nong saya pakai sebagai kata pertama yang
ditulis. Beruntung Mbak Nong menanggapi positif, alih-alih marah atau cuek. Saya
memang merasa takut kalau perbuatan saya membuat Mbak Nong marah.
Mbak
Nong saya kutip, walau mungkin banyak pihak tidak memasukkan nama beliau
sebagai pakar fiqh karena alasan pribadi. Penyampaian Mbak Nong tentang ruang
lingkup fiqh pada 30 Juli 2001 memberi dorongan awal kepada saya untuk
lebih jauh mempelajari the center of Islamic studies ini. Alhasil,
permintaan nyantri yang saya sampaikan kepada orangtua pada 2005
dituruti empat tahun berikutnya. Luar biasa rasanya nyantri di pondok
pesantren asuhan Pak Muhammad Arifin Fanani, yang merupakan pakar fiqh.
Sayangnya,
ketika saya kuliah strata satu di program studi pendidikan fisika, kelanjutan
pembelajaran fiqh terasa mandeg. Dampaknya sampai sekarang saya masih
tetap tak memiliki dasar fiqh yang kuat. Padahal penyampaian Mbak Nong
yang saya kutip memberi makna tersirat bahwa dampak sosial ketika pembelajaran fiqh
beres antara lain membuat warga negara Indonesia yang didominasi oleh pemeluk
Islam tak akan upyek ribut beregu terhadap persoalan remeh.
Persoalan
remeh yang saya maksud seperti: Kalau bertujuan untuk menghindarkan lelaki dari
potensi berahi, mengapa bagian yang ditutup oleh jilbab adalah rambut bukan
bibir perempuan? Bagaimana hukumnya saya (lelaki) berjabat tangan kemudian
mencium tangan Mbak Nong (perempuan)? Atau mengapa penyebutan selesai belajar
dapat dikatakan menistakan al-Qur’ān?
Dengan
tidak upyek ribut beregu terhadap persoalan remeh seperti itu, warga
negara Indonesia dapat ikutserta dalam pengembangan ilmu alam (natural
science) tingkat dasar. Pengembangan ilmu alam tingkat dasar tersebut
berguna secara praktis ketika timbul keinginan mengembangkan teknologi secara
serius.
Sampai
19 Oktober 2019 ini, Indonesia nyaris tak pernah serius dalam mengembangkan
teknologi. Upaya yang dilakukan terasa seperti jargon dan gaya-gayaan saja.
Contohnya: mengembangkan mobil listrik, sedangkan sumber utama listrik PLN
masih berupa fosil. Di mana letak kebenaran bahwa pengembangan mobil listrik
itu untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam terbatas?
Beruntung,
setelah lulus kuliah saya kembali bermukim di pondok pesantren. Hal ini membuat
kesempatan belajar fiqh lebih terbuka ketimbang saat kuliah strata satu
dulu. Kuliah itu sendiri memberi manfaat berarti karena dari situ saya dapat
mengerti langkah mewujudkan gagasan menjadi—sebut saja—kenyataan.
Salah
satu gagasan itu ialah impian Mbak Nong sejak berusia sama seperti saya
sekarang. Impian tersebut beliau berupa mewujudkan fiqh yang
pro-perempuan. Hanya saja saya sebagai murid Mbak Nong kesulitan untuk hal itu.
Selain sisi fiqh lemah, pembahasan topik perempuan juga kerap saya
lakukan di atas dasar women’s studies yang goyah. Alih-alih mewujudkan
impian ‘guru yang menyapih’, justru saya mungkin membuat upaya yang dilakukan
menjadi berantakan.
Kesadaran
terhadap kesulitan itu menanamkan benih untuk beralih ke topik lain, yang masih
dikaitkan dengan fiqh. Setelah beberapa waktu lalu mengaitkan qowā’id
fiqh dengan ilmu lingkungan (environmental science), sekarang saya
mulai menjamah surgamu literasi finansial. Saya yakin dengan arahan,
dorongan, bimbingan, serta bantuan teknis dari Mbak Nong, upaya mewujudkan literasi
finansial pelajar melalui pembelajaran fiqh mu’āmalāt dapat berhasil.
Literasi
finansial yang saya sebut di sini bermakna kemampuan menafsirkan dokumen finansial
sebagai bahan membuat keputusan yang memperhitungkan konsekuensi jangka
panjang. Misalnya memahami implikasi peminjaman ke bank terhadap kondisi finansial
diri sendiri.
Pada
zaman quantum biology ini, generasi mudah sangat memungkinkan
menghadapi situasi ketika mereka perlu menetapkan prioritas pengeluaran finansial,
menyadari ragam penipuan baru, mengetahui bahwa beberapa barang yang ingin
mereka beli akan menimbulkan biaya berkelanjutan, serta waspada terhadap penawaran
produk tertentu.
Sebagai
pelajar pondok pesantren, mestinya keputusan finansial juga didasari oleh fiqh.
Apalagi textbook klasik fiqh, yakni kitab kuning yang ditulis
sebelum Max Planck membuka fisika kuantum sudah banyak memuat uraian
mengesankan terkait persoalan finansial, yang secara umum diulas di topik mu’āmalāt.
Topik
mu’āmalāt terbilang asyik untuk orang yang biasa berpikir analitik.
Paling tidak terdapat empat karakteristik (sesuai jumlah member
BLΛƆKPIИK) yang menjadi kunci keasyikan ini. Keempat alasan tersebut sekaligus
memiliki karakteristik yang berlawanan dengan topik ibādāt.
Pertama,
sumber utama syarī’āt yakni
al-Qur’ān dan al-Ḥadīts hanya memberi pijakan bersifat
umum, tidak seperti ibādāt yang punya aturan secara rinci.
Kedua, dalam mu’āmalāt, setiap tindakan diperbolehkan kecuali dinyatakan
sebagai larangan oleh sumber utama syarī’āt. Ketiga, fatwā terkait mu’āmalāt
dapat diputuskan berdasarkan pendapat yang paling tepat (al-aysar).
Keempat, putusan hukum sangat didasarkan pada penalaran rasional (‘illat
‘aqliyyat).
Berdasarkan
empat karakteristik itu, tampak wajar kalau topik mu’āmalāt mulai
diajarkan di tingkat menengah awal (SMP/MTs). Pasalnya pembahasan harus
disertai dasar kematangan kognitif pelajar. Tak mengapa kalau beberapa bagian
dari topik mu’āmalāt, seperti perdagangan, diajarkan di tingkat dasr
(SD/MI). Namun, buat saya, sampai pelajar berumur 10 tahun, baiknya lebih
menekankan kepada ibādāt saja secara utuh, termasuk aspek etika.
Walau
fiqh mu’āmalāt membuka ruang untuk berpikir analitik, rasanya uraian
yang disampaikan dalam textbook klasik seperti Fatḥ al-Qorīb al-Mujīb,
Fatḥ al-Mu’īn, I'ānatu al-Ṭōlibīn, dan Nihāyatu al-Zayn
tak akan mengalami perubahan berarti. Pekerjaan yang perlu dilakukan saat ini
mungkin menyelaraskan istilah dalam kitab kuning dengan istilah finansial yang
berlaku pada masa sekarang.
Misalnya
apakah bunga bank konvensional termasuk dalam istilah ribā atau tidak,
seperti diurai oleh masa Mun’im Sirry di Geo Times beberapa waktu lalu.
Semua bentuk ribā dilarang oleh sumber utama syarī’āt secara
tegas, tapi status bunga
peminjaman atau kredit pembelian termasuk ribā atau bukan tidak jelas.
Lalu
apakah pembelajaran cukup seperti itu? Apakah cukup sekadar menumpuk
pengetahuan fiqh mu’āmalāt yang mendalam melalui pembelajaran? Buat
saya, selain aspek pengetahuan, aspek keterampilan juga perlu ditekankan secara
setara. Selain menumpuk pengetahuan, pembelajaran juga perlu dijadikan sarana
untuk memupuk keterampilan. Malah kalau diminta memilih hanya satu saja dari
keduanya, saya lebih mengutamakan keterampilan ketimbang pengetahuan.
Keterampilan
yang saya maksud bukan terbatas kepada hands-on, tapi termasuk sekaligus
lebih menekankan minds-on. Ungkapan ini perlu disampaikan karena
berulang kali saya menghadapi anggapan bahwa keterampilan hanya berupa hands-on.
Anggapan tersebut, antara lain, membuat model pembelajaran project-based
learning harus memunculkan produk dalam bentuk barang. Produk dalam bentuk
panduan operasional melakukan sesuatu tampak tak dianggap. Pinkan Mambo kali
tak dianggap.
Dari
sisi keterampilan itulah literasi finansial dapat berpadu dengan fiqh mu’āmalāt.
Atau dengan ungkapan lain: fiqh mu’āmalāt muncul untuk memperkaya
perspektif konten literasi finansial, sementara perspektif proses literasi
finansial dipakai agar pengamalan fiqh mu’āmalāt bisa tepat guna, yang
keduanya memiliki ragam konteks mulai personal, lokal, nasional, sampai global.
Dalam
praktik pembelajaran, upaya tersebut dapat diwujudkan dengan multi-model
pembelajaran: bandongan (ceramah atau lecture) untuk memberi
uraian secara utuh terkait dasar topik fiqh mu’āmalāt tertentu; sorogan
agar pelajar dapat mengomunikasikan pengertian terhadap topik tersebut, serta musyāwaroh
(baḥts al-masā’il atau problem-based learning) guna melatih pelajar
terampil dalam mengambil keputusan ketika menghadapi masalah tertentu.
Buat
saya, baiknya ketiga model pembelajaran tersebut dilaksanakan secara urut: bandongan,
sorogan, lalu musyāwaroh. Ketika ketiga model tersebut sudah
dilaksanakan, baru pelajar diberi instrumen penilaian pembelajaran (soal) untuk
dinilai individual.
Contoh
bentuk konret penilaian seperti berikut:
Andrea
membeli smartphone kepada Azalia dengan harga Rp.2.000.000. Andrea
memilih pembayaran secara kredit. Karena itu, Azalia memberi tawaran ragam
bentuk kredit yang dapat dipilih Andrea melalui skema berikut:
Jangka
Pembayaran
|
Nominal
Setiap Bulan
|
1
tahun
|
Rp.180.000
|
2
tahun
|
Rp.100.000
|
3
tahun
|
Rp.70.000
|
Pertanyaan
transaksi perdagangan smartphone antara Andrea dan Azalia tersebut meminta
pelajar untuk menentukan dampak jangka pelunasan terhadap pembayaran setiap
bulan dan total biaya yang harus dikeluarkan.
Kita
tidak bisa menghindari bentuk transaksi pembayaran bertahap semacam ini.
Penjual juga ingin memperoleh keuntungan finansial. Pembeli pun mendapat
keuntungan dalam bentuk pengeluaran pada saat memperoleh barang lebih sedikit
ketimbang dibayar tunai.
Dalam
penilaian literasi finansial sesuai kerangka kerja PISA, soal transaksi Andrea
dan Azalia itu termasuk dalam planning and managing finances untuk
konten, analyse information in a financial context untuk proses, serta individual
untuk konteks.
Sebagai
tambahan, pertanyaan tersebut juga memerlukan aspek pengetahuan yang matang
terkait konsep ribā sebagai salah konten fiqh mu’āmalāt. Letak
kematangannya ialah terhadap penentuan apakah bunga tersebut termasuk ribā
atau bukan? Lalu bagaimana keputusan yang sebaiknya diambil oleh Andrea?
Sampai
di sini tampak bahwa literasi finansial dan fiqh mu’āmalāt merupakan dua
hal berbeda yang dapat berpadu, alih-alih beradu. Sekian dulu.
Adib
Rifqi Setiawan, murid Nong Darol Mahmada.
Sb.Kl.200241.191019.02:16
Perjumpaan dengan
Nong Darol Mahmada
pada 10 April 2017 pukul
14:58 di Century Park Hotel Jakarta Indonesia
|