Syarofis
Si’ayah melalui pesan suara WhatsApp pada 26 Juni 2019 pukul 20:35 lalu menyampaikan
caranya belajar biologi. Melalui ucapan Ofis, saya menangkap kesan bahwa
dirinya mendukung konsep ragam kecerdasan (multiple intelligences).
“Belajar itu harus mengenali, kita itu tipe orang apa: visual, auditori, atau
audiovisual?” ucapnya dengan beberapa kata kunci yang biasa muncul dalam
pembahasan ragam kecerdasan.
Ucapan
itu langsung memberi gagasan kepada saya untuk membuat profil ragam kecerdasan
santri Pondok Pesantren Ath-Thullab untuk awal musim 2019/20 nanti. Beruntung,
Ofis menanggapi positif dalam bentuk dukungan. Lebih beruntung lagi, dirinya
mengonfirmasi bahwa kesan yang saya tanggap memang tepat. Maklum, cowok ‘kan
selalu salah ya?
Bicara
tentang Ofis dan kecerdasan, saya selalu teringat ucapan yang disampaikan pada
24 Oktober 2016 silam. “Al-Qur’ān memakai kata kerja bukan kata benda untuk
akal itu maksudnya agar akal dipekerjakan, tidak hanya dibendakan saja.” Satu
perkataan paling memuaskan yang pernah saya dengar selama beberapa kali
mengajak orang lain membahas penggunaan kata akal dalam al-Qur’ān, antara lain
seperti dalam ayat berikut:
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ
بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ
وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Artikel
Pendidikan di Indonesia?? what happen??? yang ditulis oleh Ofis sewaktu
berusia 15 tahun 344 hari pada 4 Desember 2010 silam banyak memberi gambaran
permasalahan pendidikan Indonesia. Memang artikel itu ditulis oleh ‘seorang
remaja’, tapi daya jelajah masalah yang disampaikan perlu ditindaklanjuti oleh
‘kajian dewasa’. Selain itu, dalam waktu lebih dari sewindu, Ofis menunjukkan
konsistensi pandangan terkait pendidikan yang—kalau tak salah saya
simpulkan—harus utuh dan menyeluruh.
Sebagai
pembimbing serta sahabat baik dan benar, Ofis tak banyak berucap soal
pendidikan dalam interaksi yang kami alami. Namun dari pengamatan saya,
perempuan kelahiran 26 Desember 1994 ini merupakan orang yang matang dengan
perkembangan paling mengesankan sampai sekarang—terutama sejak pertengahan 2013
silam. Makanya saya kerap meminta saran terkait cara belajarnya, syukur kalau
bisa meneladaninya.
Itu
adalah pengantar singkat—maunya, tapi berkepanjangan jadinya—terkait alasan
ucapan Ofis selalu saya dengar dengan seksama dalam tempo yang tidak
sesingkat-singkatnya. Ucapan bahwa al-Qur’ān memakai kata kerja bukan kata
benda untuk akal itu maksudnya agar akal dipekerjakan, tidak hanya dibendakan
saja mungkin menjadi proposisi Ofis yang kelak bisa diberi dasar riset terkait Tafsir
al-Qur’ān. Sementara ucapan tentang cara Ofis belajar Biologi, menjatuhkan saya
untuk menerima konsep ragam kecerdasan.
Konsep
ragam kecerdasan yang dipekernalkan oleh Howard Earl Gardner melalui buku Frame of Mind: Theory of Multiple Intelligences merupakan gagasan revolusioner pada
1983. Pada saat itu, psikolog tertarik pada kecerdasan umum, yakni kemampuan
seseorang untuk memecahkan masalah dan menerapkan penalaran logis di berbagai
disiplin ilmu. Gagasan kecerdasan umum sebagian dipopulerkan oleh tes IQ (intelligence
quotient) pada awal 1900-an untuk menilai kemampuan anak dalam memahami, bernalar, dan membuat penilaian. Hal
ini membantu menjelaskan mengapa beberapa siswa tampak unggul dalam banyak mata
pelajaran. Namun, Howard Earl Gardner menganggap konsep itu terlalu terbatas.
“Kebanyakan
tulisan populer dan ilmiah tentang kecerdasan berfokus kepada kombinasi
kecerdasan linguistik dan logis. Kekuatan intelektual tertentu, yang sering
saya pertahankan, dari seorang profesor hukum.” ungkap
Howard Earl Gardner. Dirinya yang gemar bermain piano bertanya-tanya mengapa
seni tidak dimasukkan dalam diskusi tentang kecerdasan. Sebagai pelajar
pascasarjana yang mempelajari psikologi pada 1960-an, Howard Gardner merasa
“tersentak oleh ketiadaan virtual seni dalam buku teks utama.”
Pertanyaan
dan sentakan itu menanamkan benih yang tumbuh ke dalam wawasan besar Howard
Gardner, yakni gagasan tunggal tentang kecerdasan tunggal tidak sesuai dengan
dunia yang dia amati. Wolfgang Amadeus Mozart, pianits paling
digandurngi Howard Gardner, diambil sebagai contoh untuk bahwa kejeniusan dalam
menggubah nada hanya dapat dijelaskan oleh kecerdasan musik. Dari sini Howard
Gardner mulai mempertanyakan: Bukankah masalahnya bahwa semua orang menunjukkan
berbagai kemampuan intelektual — dari bahasa hingga sosial ke logika — yang
sering kali saling menguatkan, dan yang berubah seiring waktu berdasarkan minat
dan upaya seseorang yang berubah?
Beberapa
hipotesis tersebut sebagian besar telah dikonfirmasi oleh penelitian terbaru
dari bidang ilmu saraf (neuroscience). Misalnya ulasan dari Siusana Kweldju pada 2015, yang
membahas cara kerja otak ketika membaca. Uraian yang disampaikan
mengesampingkan gagasan lawas bahwa membaca terjadi di area otak yang berbeda,
sebaliknya ditemukan bahwa pemrosesan bahasa “melibatkan semua wilayah otak,
karena melibatkan semua fungsi kognitif manusia” - tidak hanya pemrosesan
visual tetapi juga beberapa hal lain, seperti perhatian, penalaran abstrak, dan
kerja memori. Belakangan Eberhard Fuchs dan Gabriele Flügge menyampaikan pada 4 Mei 2014 beberapa bukti yang
secara dramatis mengubah pemahaman kita tentang perkembangan otak. Penyampaian
yang mengungkapkan bahwa kecerdasan manusia terus tumbuh dan berubah menjadi
matang.
Lalu,
sebagai pelaku pendidikan di lapangan, bagaimana guru sebaiknya menanggapi
konsep ragam kecerdasan? Ofis menyampaikan bahwa konsep tersebut perlu
ditanggapi positif agar efektivitas belajar bisa maksimal. Howard Gardner sendiri
berpendapat bahwa ragam kecerdasan tidak boleh menjadi
tujuan pendidikan. Lebih lanjut, dirinya menyampaikan, “Tujuan pendidikan perlu
mencerminkan nilai seseorang (individu atau masyarakat) sendiri, dan
nilai-nilai ini tidak pernah bisa datang secara sederhana atau langsung dari
teori ilmiah.”
Dengan
demikian, berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menanggapi
konsep ragam kecerdasan agar efektivitas belajar bisa maksimal:
Pertama,
siswa perlu diberi banyak cara untuk mengakses informasi. Hal ini tidak hanya
akan membuat pembelajaran lebih menarik, tapi siswa akan lebih cenderung
mengingat informasi yang disajikan dengan cara yang berbeda. Dalam praktik
pembelajaran di pesantren, hal ini dapat dilakukan dalam bentuk membahas konten
pelajaran yang sama dengan ragam cara. Misalnya: membahas Sholat,
dilakukan melalui metode bandongan, sorogan, dan diskusi masalah (bahts
al-masa’il).
Kedua,
pembelajaran sebaiknya dilakukan secara individual. Cara ini lebih sesuai
dengan kebutuhan dan minat siswa, bahkan walau sekelompok siswa punya gaya
belajar yang nyaris seragam. Kalau di pesantren, bentuk konkret cara ini ialah
pembelajaran sorogan, sementara kalau di perguruan tinggi, pasti terjadi
dalam proses bimbingan tugas akhir (skripsi, tesis, atau disertasi). Tentu hal
ini sulit diterapkan dalam pendidikan kontemporer, mengingat butuh banyak
tenaga dan biaya. Namun, dapat diakali dengan membentuk sistem perwalian
seperti pembimbing akademik kalau di perguruan tinggi atau guru ngaji
setoran kalau di pesantren hafalan al-Qur’an.
Ketiga,
seni dimasukkan sebagai mata pelajaran tersendiri. Memang pelajaran seni sudah
memiliki tempat di sekolah/madrasah, tapi kerap laiknya ‘kekasih tak dianggap’
seiring fokus lebih banyak diberikan kepada kecerdasan linguistik dan logis.
Apakah kita sudah menganggap setara antara orang yang gemar me-mashup
lagu K-Pop dengan orang yang biasa menyelesaikan persamaan matematis?
Tentunya
walau terdapat ragam kecerdasan, siswa tidak boleh diberi label dengan jenis
kecerdasan tertentu. Pelabelan, seperti menyebut ‘cerdas secara verbal’ atau
‘cerdas secara visual’ memiliki bahaya laten ketika membuat siswa enggan mengeksplorasi
variasi cara belajar maupun mengembangkan kecerdasan ‘yang lebih lemah’. Dengan
demikian, keberadaan instrumen survei untuk mencari tahu ragam kecerdasan siswa
sebaiknya hanya menjadi bahan yang disimpan oleh guru. Kalaupun siswa meminta,
mereka harus diperingatkan bahwa instrumen tersebut diambil pada saat tertentu
yang memungkinkan untuk berubah.
Sebagai
bentuk dukungan terhadap Ofis—selain menerima konsep ragam kecerdasan—saya
mulai memasukkan hal ini sebagai bagian dari riset pendidikan yang berfokus
kepada literasi saintifik. Kebetulan kecerdasan (Arab: ذُكَاء)
merupakan faktor pertama yang disebutkan dalam naḍom favorit saya
terkait enam faktor penunjang (atau penentu) keberhasilan belajar:
ذُكَاءٍ
وَ حِرْصٍ وَ اصْطِبَارٍ وَ بُلْغَةٍ ✡
وَ اِرْشَادِ اُسْتِاذٍ وَ طُوْلِ زَمَانٍ
Sebelumnya,
saya lebih interest terhadap motivasi belajar (Arab: حِرْص).
Interest ini memang hampir sepenuhnya didasari oleh pengalaman pribadi,
karena dengan modal kecerdasan (awal) saya yang tak seberapa, motivasi kerap
membantu keberhasilan yang dialami. Contoh paling bagus tentu saja ketika
dibimbing menulis secara populer oleh Surotul Ilmiah dan akademik oleh Setiya
Utari.
Dari
penyampaian informasi tersebut, secara teknis riset literasi saintifik saya
berikutnya akan berupaya untuk memperoleh profil kompetensi siswa berdasarkan
ragam kecerdasan dan motivasi belajar. Hasil yang diperoleh juga diperkaya
dengan catatan pelaksanaan pembelajaran, baik dari sisi siswa maupun guru.
Tentu hal ini akan berjalan rumit, tapi bukankah Lisa Randall pada 1 Februari
2019 menuturkan, “Research is worthwhile only when the outcome is uncertain.
Once you know the answer, no matter how interesting, it’s no longer research.”
K.Km.Kl.011140.040719.15:20