Sejak
lulus dideportasi dari Departemen Pendidikan Fisika Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada 24 Februari 2017 silam dengan nilai 2,97
(Sangat Memuaskan, iya sangat memuaskan, puas bangettttt...),
saya berusaha untuk terlibat kolokium dan menulis jurnal. Langkah ini saya
pilih sebagai cara untuk terus belajar tanpa harus kuliah strata dua atau tiga.
Soalnya sampai sekarang saya belum punya motivasi intrinsik untuk melanjutkan
kuliah. Pilihan tersebut merupakan bentuk peniruan terhadap cara belajar Kiai
Abdul Jalil dan Kiai Turaichan Adjhuri ketika keduanya membahas Ilmu Mawāqit,
himpunan irisan antara konsep Astronomi dan Fiqih. Melalui keterlibatan dalam
kolokium dan menulis jurnal, saya berharap untuk dapat terus memperkaya wawasan
dan memperdalam keilmuan, khususnya terkait pendidikan. Itu kalau urusannya
dengan belajar, yang buat saya harus berlangsung dengan bimbingan guru. Kalau
urusannya dengan gelar, baru saya mau kuliah (yang kebetulan belum perlu).
Debut
kolokium saya yang terjadi dalam ajang Seminar Nasional Fisika (SiNaFi) II pada
17 Desember 2016 di UPI dilatari oleh saran dari Pak Gin Gin (Muhamad Gina
Nugraha). Saran tersebut saya tanggapi dengan menulis paper mendadak
dengan bahan yang diambil dari proses penyusunan instrumen penelitian skripsi.
Buk Ut (Setiya Utari), yang menjadi Pembimbing I, menyetujui keikutsertaan
tersebut sembari menyumbang metode penelitian yang dapat ditulis berdasarkan
tujuan dan data yang dipunyai. Paper mendadak itu sendiri akhirnya gagal
lolos ke Prosiding SiNaFi 2016, tapi diterbitkan melalui Jurnal Wahana
Pendidikan Fisika (WaPFi) pada 22 September 2017. Saya menduga Pak Gin Gin
memaksa agar paper tersebut diterbitkan. Dugaan ini muncul karena beberapa
saat sebelum terbit, saya menyampaikan kepadanya bahwa ada 2 orang yang
meminati uraian paper itu.
Nyaris
saya kembali terlibat kolokium dalam ajang Seminar Nasional Fisika (SNF) di
Universitas Nasional Jakarta (UNJ) pada 20 Mei 2017, tapi Ibuk tak memberi
ijin. Kegagalan terlibat kolokium juga terjadi untuk Simposium Nasional Inovasi
dan Pembelajaran Sains (SNIPS) 2017 pada 26-27 Juli 2017 di Institute Teknologi
Bandung (ITB) karena alasan waktu pelaksanaan serta SiNaFi III pada 16 Desember
2017 di UPI yang disebabkan masalah kesehatan tubuh. Alhasil, tepat setahun
selepas lulus dideportasi dari Departemen Pendidikan Fisika saya hanya
terlibat kolokium dan menerbitkan jurnal satu kali, yang kebetulan menghasilkan
h-index 1.
Permintaan
artikel dari Majalah SANTRI untuk edisi 10 April 2018 serta SiNaFi IV cukup
menyelamatkan statistik saya. Feature tentang Eny Rochmawati Octaviani, Opini
mengenai busana, dan Kolom terkait Rosa Amalia Iqony yang diterbitkan oleh Majalah
SANTRI pada 10 April, paper untuk SiNaFi IV pada 24 November 2018, serta
1 feature Oza Kioza yang terbit melalui blog Alobatnic, cukup
memberi hiburan walau tak memuaskan. Akhirnya, 2 tahun anniversary lulus
dideportasi dari Departemen Pendidikan Fisika diiringi dengan raihan Mickey
Mouse Quintuple. Nyaris saja saya meraih sextuple, kalau tidak menggagalkan
diri ikut Seminar Kontribusi Fisika (SKF) di ITB pada 5 Desember 2018. By
the way, feature Oza Kioza memang hanya tayang melalui blog pribadi,
tapi justru itulah naskah yang paling serius saya garap karena 4 naskah lainnya
hanyalah daur ulang saja. Kebetulan dalam proses penulisan feature Oza
Kioza itu, saya menemukan jurnal erotic capital, yang menjadi konsep
baru untuk saya dalam usia sekitar sewindu sejak Catherine Hakim
menyampaikannya.
Ada
bagusnya saya mendapat kesempatan mengampu Biologi selama semusim. Hal ini
karena membuat saya lebih serius untuk menelisik perkembangan dan pembelajaran
ilmu alam miskin Matematika itu. Penelisikan sekilas berakhir dengan rasa puas.
Biologi, untuk 2 Juli 2019 ini, memang jauh lebih berkembang ketimbang Fisika.
Sebagai outsider, tentu saya kesulitan untuk mengimbangi derap
perkembangan yang kelewat cepat, ditinjau dari perkembangan Fisika sebagai
acuan. Apalagi di Fisika yang notabene berjalan lebih lambat berdasarkan
kerangka acuan Biologi, saya tak pernah sekalipun ikut bermain, baik di sisi
teoretis maupun eksperimental. Sisi teoretis sangat membutuhkan penguasaan
matang Matematika, sesuatu yang saya miliki dengan dasar amat goyah. Sedangkan
sisi eksperimental, butuh dana yang sangat besar serta mustahil dilakukan di
Indonesia untuk masa sekarang. Walau begitu, ketika fokus dialihkan kepada
pembelajaran, Biologi justru masih membuka ruang jauh lebih longgar ketimbang
Fisika yang sudah sumpek.
Dengan
ruang longgar itu, saya mulai menjamah surgamu Biologi dengan terlibat kolokium
dalam ajang Inovasi Penelitian dan Pembelajaran Biologi III (IP2B III) di Universitas
Negeri Surabaya (Unesa) pada 23 Maret 2019. Harusnya sekalian terlibat kolokium
di Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek III (SNPBS III) pada 5 Mei
2018 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Namun, UMS saya batalkan
karena alasan waktu yang memasuki masa bad mood. Di Unesa, saya bermain
dengan 3 papers yang seolah-olah naskah baru. Diksi ‘seolah-olah’ ini
perlu, karena paper utama saya terkait literasi saintifik sepenuhnya
digarap di atas track topik sama yang saya buat di Fisika. Sementara 2 papers
lain pun seakan menjadi bentuk tertulis dari uraian lisan yang kerap saya
sampaikan dalam obrolan bersama beberapa rekan (peers). Sayang sampai 2
Juli 2019 ini, Prosiding IP2B III belum diterbitkan, sehingga saya tak dapat
menunjukkan letak kesamaan dan ketidaksamaan (sekaligus kekacauan) dalam papers
yang saya tulis. Beruntung Journal of Biology Education (JOBE) dari program
studi Tadris Biologi Jurusan Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
menerbitkan jurnal saya beberapa hari lalu. Sehingga mainan saya di Fisika dan
Biologi dapat dibandingkan dengan kerangka acuan literasi saintifik.
Anyway, kebahagiaan yang saya rasakan
selepas terlibat dalam kolokium di Unesa pada 23 Maret 2019 itu dapat
menghasilkan gagasan teknis seputar riset. Pertama, tentu saja ‘penemuan’ tak
sengaja preprint (pracetak) selain ArXiv, yakni Open Science Framework
(OSF) pada 9 Maret 2019 dalam proses penulisan papers untuk IP2B III Unesa.
‘Penemuan’ sangat telat yang kemudian saya tulis untuk diterbitkan melalui Library
and Information Science Scholarship Archive (LISSA), salah satu server
preprint anakan OSF yang fokus untuk Ilmu Perpustakaan (Library Science).
Kedua, kesadaran terhadap kecenderungan pandangan orang Indonesia terhadap artikel
dalam bentuk prosiding dan jurnal yang saya sentil dalam salah satu artikel di Qureta.com.
Ketiga, terkait dengan beberapa faktor di balik profil literasi saintifik.
Beberapa
faktor di balik profil literasi saintifik mungkin akan menjadi fokus utama saya
dalam beberapa waktu berikutnya. Kebetulan saya sudah memilih literasi
saintifik sebagai tujuan pembelajaran sekaligus topik utama riset yang terus
dikerjakan. Apalagi saya punya banyak sekutu sekaligus seteru untuk satu hal
ini, seperti Buk Ut dan Pak Gin Gin. Walau sudah lama kami tak berkolaborasi,
tapi dalam percakapan WhatsApp, keduanya kerap terlibat dalam penulisan papers
saya. Entah akan ada saatnya kembali berkolaborasi atau malah mulai
berkonfrontasi, tak jadi soal. Yang menjadi persoalan ialah kemalasan saya
menyusun indikator sendiri terkait literasi saintifik. Pasalnya selama ini saya
selalu mengacu terhadap indikator dari kerangka kerja PISA (Programme for
International Student Assessment). Acuan yang seakan mengabaikan works
lain, seperti dari Paul deHart Hurd, Cara Gormally, maupun Helenrose Fives.
Padahal dengan rekam jejak yang selama ini tak pernah mengacu seluruh indikator
PISA (awalnya 6, sekatang mentok hanya 11 dari 15 indikator) serta koleksi kajian
pustaka, mestinya saya dapat menyusun indikator sendiri. Entah kapan hal ini bisa
saya lakukan, mungkin dalam waktu dekat ini bisa dikerjakan bersama Fahrida
Inayati.
Fahrida
Inayati, yang berlatar manajemen, mulai saya ajak terlibat dalam riset
berikutnya. Perbedaan latar keilmuan bukan menjadi penghalang seiring faktor
lain di balik profil literasi saintifik yang mengganjal ialah terkait teknik
analisis statistik berupa perbandingan gain yang dinormalisasi <g>
dan ukuran efek cohen d. Saya yakin walau Fahrida bilang beberapa hal
sudah lupa, tapi kecerdasan dan kematangannya lebih penting. Dalam skripsi
maupun 2 papers yang sudah diterbitkan, saya selalu menggunakan teknik gain
yang dinormalisasi <g>. Namun belakangan ketika membandingkan data
penerapan pendekatan saintifik antara saya dan Eva Fauziah Nurohmah, mulai
muncul keinginan untuk beralih menggunakan teknik ukuran efek cohen d
seperti yang dipakai oleh teteh berwajah timeless itu. Peralihan
itu menjadi pembeda antara paper yang dipakai untuk kolokium di IP2B III
Unesa dengan forthcoming paper di Assimilation: Indonesian Journal of
Biology Education (AIJBE) dalam status in review oleh Eni Nuraeni
yang biasa bermain di beban kognitif (cognitive load).
Belakangan
saya malah ingin meniru pekerjaan Jayson M. Nissen, Robert M. Talbot, Amreen
Nasim Thompson, dan Ben Van Dusen yang diterbitkan di Physical Review
Physics Education Research pada 27 Maret 2018 silam. Paper perbandingan
antara gain yang dinormalisasi <g> dan ukuran efek cohen
d menggunakan data yang sama itu membuat saya tertarik untuk meniru track
pekerjaan yang dilakukan. Memang track yang dilakukan sama, bahkan
simpulan yang dihasilkan kemungkinan juga sama, tapi tak ada garansi bahwa
pembahasan maupun simpulan akan sama seutuhnya. Lisa Randall pada 1 Februari
2019 menuturkan, “Research is worthwhile only when the outcome is uncertain.
Once you know the answer, no matter how interesting, it’s no longer research.”
Meski satu jawaban bahwa ukuran efek cohen d lebih unggul dibanding gain
yang dinormalisasi <g>, kita tidak harus percaya begitu saja
terhadap ungkapan tersebut—sepertihalnya saya tidak harus manut dengan
PISA dalam menyusun indikator literasi saintifik. Bukankah sikap ini yang
diajarkan oleh Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghozālī (أبو
حامد محمد الغزالي)
melalui autobiografi al-Munqiḍ min al-Ḍolāl wa al-Mauṣūl ilā dzi al-‘Izzati
wa al-Jalāl (المنقذ من الضلال والموصل
إلى ذي العزة والجلال),
yang ditegaskan kembali oleh René Descartes melalui La Géométrie?
Ganjalan
terkait faktor di balik profil literasi saintifik berkaitan dengan penelitian
literasi saintifik. Hampir semua papers yang saya baca maupun yang saya
buat, menunjukkan bahwa literasi saintifik selalu meningkat setelah
pembelajaran. Seolah pembelajaran yang disampaikan melalui papers, dapat
memberi tawaran solusi untuk mengatasi rendahnya literasi saintifik siswa
Indonesia. Padahal dengan mengambil rentang waktu yang sama, kita tidak sulit
menyimpulkan bahwa literasi saintifik siswa Indonesia konsisten berada dalam
kategori rendah sekaligus mendapatkan papers yang bilang bahwa pembelajaran
tertentu dapat meningkatkan literasi saintifik. Mengapa keadaan bisa demikian ringsek?
Dalam hal ini, saya mengabaikan besar peningkatan, entah kategori rendah,
sedang, maupun tinggi. Perhatian saya lebih tertuju kepada pelaksanaan lesson
plan, instrumen pengukuran, keadaan sampel penelitian, serta metode
penelitian yang dipakai termasuk analisis statistik yang disampaikan sebelumnya.
Bisa dibayangkan tingkat kerumitan yang dihadapi dalam mengulas hasil
penelitian ini. Ambil contoh terkait keadaan sampel penelitian. Satu aspek ini
saja bisa membuat kita perlu menyusun instrumen sebagai bahan membahas kaitan
antara profil literasi saintifik dengan kecerdasan, motivasi, keterlibatan
dalam pembelajaran, maupun pelaksanaan pembelajaran. Melalui cara ini,
setidaknya kita harus 4 kali berurusan dengan korelasi, yang perlu alasan
tersendiri menggunakan satu bentuk korelasi seperti pearson r.
Tuturan
yang disampaikan tersebut merupakan gambaran sekilas keacakan dalam fokus
penelitian saya. Fokus yang karena kelemahan saya dalam banyak hal, memerlukan partners
serta sejenis workshop khusus dalam mengerjakan. Alhasil, hanya dengan
terpaku terhadap literasi saintifik, sebenarnya saya dipacu untuk berkelana ke
beragam hal lainnya termasuk urusan statistik. Statistik, dengan segala
kelebihan dan kekurangan, merupakan pasangan paling intim jenis kuantitatif,
metode riset paling saya suka. Orang lain boleh saja menghardik anak yatim
jenis kuantitatif untuk riset pendidikan dengan menyampaikan bahwa pembahasan
tak kudu terpaku kepada angka melulu. Namun, sudah sadarkah para penghardik jenis
kuantitatif itu bahwa sampai saat ini, riset pendidikan belum banyak memanfaatkan
temuan neurosains?
K.Rb.Wg.291040.020719.23:08