PENGANTAR
Akhir
tahun kalender masehi 2018 lalu, saya menulis 2 artikel terkait pembelajaran
dan fisika. Artikel pertama GarisBesar Haluan Matematika fokus kepada 3 buah pertanyaan: (1) Mengapa
Matematika perlu dimasukkan ke dalam pembelajaran?; (2) Bagaimana arah
pembelajaran Matematika di sekolah/madrasah?; serta (3) Apa konten Matematika
yang disampaikan selama pembelajaran?. Sementara artikel kedua Mabādī‘Asyroh Fisika menyampaikan uraian seadanya fisika berdasarkan semua
indikator mabādī ‘asyroh versi naḍom buatan Abū al-'Irfān
Muḥammad ibn 'Alī al-Ṣobbān.
Biasanya
ketika membahas pembelajaran, saya punya kecenderungan mengarahkan kegiatan
untuk membimbing siswa mencapai literasi saintifik. Kalau menggunakan istilah
dari Setiya Utari guru saya yakni melatihkan literasi saintifik. Belakangan
saya mulai sreg untuk memakai istilah pembelajaran berorientasi literasi
saintifik setelah membaca paper dari Nuryani Rustaman. Kecenderungan
seperti itu membuat saya cukup cuek dengan kabar terkait HOTS (Higher Order
Thinking Skill) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Secara
pribadi, sikap cuek terhadap HOTS saya sampaikan dalam sesi serial kolokium di
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) 23 Maret 2019, yang kemudian diperjelas
dalam sesi pararel. Kolokium itu sendiri cukup terekam kuat dalam ruang ingat
saya karena 3 faktor: debut terlibat kolokium sebagai pemain pendidikan
biologi, peringatan Herawati Susilo terkait pendekatan saintifik yang saya
sempitkan menjadi inkuiri, serta mengamati performance ‘anak ajaib’
Sriwahyuni Viyosari yang kebetulan bermain di arena literasi saintifik.
Faktor
kedua melatari penulisan artikel A Brief Explanation ofScientific Teaching, yang mengurai prinsip dasar pendekatan saintifik
guna menjadi kerangka membaca beberapa model pembelajaran yang dapat dikatakan
sebagai pengejawantahan pendekatan saintifik. Di bagian pembahasan singkat
terkait 7 (atau 9) model pembelajaran yang disampaikan, saya sempat menyentil higher-order
cognitive skills (keterampilan kognitif tingkat-tinggi) sebagai bagian dari
ranah kognitif dalam taksonomi bloom sumbangan Benjamin Bloom pada 1956.
Dari
tuturan yang disampaikan, tampak kentara bahwa sikap cuek saya bukan berarti
menolak HOTS, melainkan cuma ingin bilang bahwa tidak perlu terlalu dirumitkan.
HOTS bukan sesuatu hal yang wah, tidak istilah baru. Itu hanya, diulangi lagi,
bagian dari ranah kognitif dalam taksonomi bloom jenjang C4, C5, dan C6 yang
biasa disebut analisa, evalusia, dan sintesa. Semua pemain pembelajaran atau
pendidikan sudah mafhum bahwa taksonomi bloom terdiri atas tiga ranah:
kognitif (kecendekiaan), psikomotor (keterampilan), dan afektif (kelakuan).
Berdasarkan peta tersebut, HOTS punya kapling seluas 3/18 atau 16,67% dalam
taksonomi bloom atau boleh disebut sebagai wilayah kecil saja. Namun, dalam
praktik pembelajaran, ‘wilayah kecil’ itu kerap dilupakan atau kalau ingat
tidak dilaksanakan.
Secara
pribadi saya mengagumi gagasan taksonomi bloom walau kerangka kerja operasional
belum dikaitkan dengan kajian neurosains. Memang istilah ‘taksonomi bloom’
hampir tidak pernah muncul atau kalaupun muncul tidak sesering ‘literasi
saintifik’. Namun, urutan indikator literasi saintifik sendiri bisa dikaitkan
secara langsung dengan taksonomi bloom, dengan bentuk matriks kira-kira sejenis
demikian:
No.
|
Indikator
literasi saintifik
|
Tingkat
taksonomi bloom
|
|
|
|
Diisi
sendiri ya
|
||
|
|
|
Nah,
dari seluruh informasi yang kelewat lebar dan luber itu, berikut saya sampaikan
cara merancang pembelajaran fisika
berorientasi HOTS untuk tingkat SMP/MTs untuk topik energi potensial.