Utag-utug



“It will be difficult. But the difficulty really is psychological and exists in the perpetual torment that results from your saying to yourself, ‘But how can it be like that?’ which is a reflection of uncontrolled but utterly vain desire to see it in terms of something familiar. I will not describe it in terms of an analogy with something familiar; I will simply describe it. There was a time when the newspapers said that only twelve men understood the theory of relativity. I do not believe there ever was such a time. There might have been a time when only one man did, because he was the only guy who caught on, before he wrote his paper. But after people read the paper a lot of people understood the theory of relativity in some way or other, certainly more than twelve. On the other hand, I think I can safely say that nobody understands quantum mechanics. So do not take the lecture too seriously, feeling that you really have to understand in terms of some model what I am going to describe, but just relax and enjoy it. I am going to tell you what nature behaves like. If you will simply admit that maybe she does behave like this, you will find her a delightful, entrancing thing. Do not keep saying to yourself, if you can possibly avoid it, ‘But how can it be like that?’ because you will get ‘down the drain’, into a blind alley from which nobody has yet escaped. Nobody knows how it can be like that. So then, let me describe to you the behaviour of electrons or of photons in their typical quantum mechanical way.” tutur Richard Phillips Feynman pada 18 November 1964 ketika menyampaikan ceramah bertajuk Probability and Uncertainty - the Quantum Mechanical View of Nature di Cornell University.

Terus terang, saya sendiri tidak mengerti fisika kuantum. Namun, dengan menyimak tuturan dalam keseluruhan ceramah (bahkan semua ceramah) tersebut, saya rasa penyampaian Dick Feynman lebih menarik ketimbang Paul Adrien Maurice Dirac yang sama-sama membahas tentang mekanikakuantum. Terdapat sisi empati dari Dick Feynman terhadap pemirsa yang lemah secara kognitif maupun kesulitan dalam mengerti perilaku alam secara intuitif. Di sisi lain, ceramah Paul Dirac yang lebih verbatim berdasarkan naskah yang disiapkan sebelum diucapkan, terasa lebih teknis dan akan sangat berat diikuti ketika tidak punya bekal instuisi matematis.

Dilihat dari sisi penyampaian, Dick Feynman bahkan lebih lihai ketimbang Erwin Rudolf Josef Alexander Schrödinger ketika menyampaikan ceramah bertajuk Do Electrons Think?. Padahal topik yang disampaikan oleh Erwin Schrödinger lebih mengulik sisi emosional manusia. Umur ceramah Erwin Schrödinger yang sudah mencapai 70 tahun tersebut masih dan mungkin terus tetap relevan sepanjang zaman, seiring tuturannya mengungkap banyak hal terkait ‘kehendak bebas’ (free will), sesuatu yang menjadi bahan perdebatan Abū `Alī Muḥammad al-Jubbā'i (Arabic: أبو على محمد الجبائي) dan Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī (Arab: أبو علي الحسن الأشعري) beberapa abad sebelumnya.

Sisi menarik lain dari tuturan Erwin Schrödinger ialah, kalau dilihat dari sisi kronologi linikala peradaban manusia, ceramah tersebut tampak menjadi pemantik pembahasan ilmu syaraf (neuorscience). Secara intuitif, saya merasa bahwa pembahasan elektron (atau partikel yang lebih kecil lagi) dapat membantu untuk menunjukkan missing link (sesuatu yang dicari) di pohon filogenetik (phylogenetic tree). Satu bagian yang belum lengkap dari pohon filogenetik ialah di mana letak munculnya perasaan kehendak bebas yang dimilik oleh manusia (Homo sapiens)?

Dulu, pada jaman sebelum ada BLΛƆKPIИK, Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī menyampaikan:
"الإنسان إذا فكر في خلقته، من أي شيء ابتدأ، وكيف دار في أطوار الخلقة طورا بعد طور حتى وصل إلى كمال الخلقة، وعرف يقينا أنه بذاته لم يكن ليدبر خلقته، وينقله من درجة إلى درجة."
“Jika seseorang berpikir tentang ciptaannya, dari apa pun yang dia mulai, dan bagaimana dia melewati fase penciptaan setelah periode sampai dia mencapai kesempurnaan ciptaan, dia tahu pasti bahwa dia bukan dirinya sendiri untuk memimpinnya, dan memindahkannya dari satu derajat ke yang lain.”

Aksioma atau postulat atau hipotesis (saya bingung sebutan paling tepat) yang disampaikan oleh Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī cukup bagus dalam menunjukkan bahwa manusia tidak punya kehendak bebas. Sayang, hal itu disampaikan dengan logika. Logika memang bagus dalam membangun alur berpikir teratur untuk mencapai kesimpulan. Namun, alur berpikir teratur dapat hancur ketika terdapat satu kesalahan dalam salah satu premis yang disusun. Hal inilah yang diendus dengan bagus oleh Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī, ketika Abū 'Alī Muḥammad al-Jubbā'i sedang girang cuap-cuap tentang kehendak bebas.

Pada masa terjadi perdebatan tentang kehendak bebas antara al-Asy'arī vs al-Jubbā'i (sayang tidak ada videonya di YouTube), logika memang sedang sangat digilai. Namun, tidak sedikit orang yang getol menunjukkan kelemahan logika. Ada yang berjuang menertibkan logika, seperti Abū al-Ḥasan `Alī al-Asy'arī, Abū `Alī al-Ḥasan ibn al-Ḥasan ibn al-Haytsam (Arab: أبو علي الحسن بن الحسن بن الهيثم) memulai gagasan baru dengan membangun metode ilmiah melalui peramalan (Arab: إعتبار; Inggris: experiment).

Dalam buku al-Manadzir (Arab: المناظر; Inggris: Optics), ibn al-Haytsam menjelaskan beberapa pengamatan eksperimental yang dilakukannya serta caranya menggunakan hasil pengamatan eksperimental tersebut untuk menjelaskan fenomena optik. Salah satu penjelasannya kira-kira sebagai berikut: proyektil yang arah vektornya tegak lurus dengan permukaan bidang datar, memiliki force yang lebih kuat daripada ketika arah vektornya miring terhadap bidang datar.

Dari metode tersebut, Galileo Galilei akhirnya berhasil meruntuhkan ajaran sesat logika Aristoteles di mekanika, yang kelak bersama hasil dari Johannes Kepler dan Rene Descartes menjadi bahan utama penyusunan mekanika klasik dari Isaac Newton, lelaki yang akhlaknya tidak baik. Pelan-pelan malar, sejak saat itu pengertian terhadap hukum alam yang menjadi tujuan utama fisika mulai berkembang pesat. James Clerk Maxwell adalah dhalang penting dibalik perkembangan sinting yang kelak, juga lewat optik, memantik perceraian terbesar sepanjang sejarah fisika: relativitas dan kuantum. Selain menceraikan dua wilayah garapan, relativitas dan kuantum juga menceraikan ikatan persahabatan cinta yang tulus antara Albert Einsten dan Werner Karl Heisenberg. Werner Karl Heisenberg ini yang lebih sreg buat saya untuk disebut sebagai ra’is akbar fisika modern, seiring prinsip ketidaktepatan yang dicetuskannya pada 1927 menjadi garis pemisah linikala fisika.

Perkembangan fisika kuantum, yang secara umum dibangun oleh 10 orang (termasuk Einstein yang mufaroqoh gara-gara Heisenberg), akhirnya membawa kembali manusia kepada pertanyaan seputar kehendak bebas. Dhalang utama soal ini, ya itu tadi, Erwin Schrödinger. Gagasan awalnya sederhana (bukan sepele): Karena manusia hidup di alam raya dan berinteraksi dengan benda lain di dalamnya, manusia juga termasuk alam raya. Dengan demikian hukum alam juga berlaku bagi manusia juga. Namun, banyak orang ketika mengakui keberlakukan hukum alam dalam ‘mengatur’ alam raya, mengecualikan perilaku manusia sebab mereka yakin kita mempunyai kehendak bebas.

Keyakinan tentang kehendak bebas yang terdapat dalam diri manusia didasari oleh pandangan bahwa manusia terdiri dari dua bahan, ialah raga dan jiwa. Raga adalah susunan benda biasa, yang boleh saja ‘diatur’ oleh hukum alam. Sedangkan jiwa tidak demikian, di situlah ‘terletak’ kehendak bebas manusia. Masalahnya, apakah manusia memang punya kehendak bebas? Jika kita punya kehendak bebas, di mana anugerah ini berkembang pada pohon evolusi? Apakah rumput laut punya kehendak bebas atau perilaku mereka ‘diatur’ oleh hukum alam? Apakah hanya organisme multisel yang punya kehendak bebas?

Mungkin kita menganggap bahwa anjing punya kehendak bebas ketika dia menempel badan Nong Darol Mahmada, namun bagaimana dengan Eschericia coli, organisme sederhana yang tersusun dari satu sel? Mungkin E. Coli tidak pernah berpikir, “Sisa pencernaan dalam usus besar manusia lezat juga untuk dimakan,” tapi dia punya selera makanan yang jelas sehingga hanya mengonsumsi bahan yang sesuai selerasa saja untuk memperoleh nutrisi. Apakah perilaku E. coli ini merupakan bentuk kehendak bebas?

Meskipun kita merasa bahwa kita bebas memilih perilaku yang ingin diperbuat, pemahaman kita mengenai dasar molekul biologi menunjukkan bahwa proses biologi dikendalikan oleh hukum alam juga, sehingga dapat ditentukan laiknya hukum fisika menentukan orbit planet Venus mengelilingi bintang Matahari. Penelitian terkini dalam ilmu saraf mendukung bahwa otak kita mengikuti hukum alam yang menentukan perbuatan kita, bukan terdapat sesuatu perantara yang berada di luar hukum alam. Contohnya, penelitian tentang pasien yang tetap terjaga saat pembedahan otak, menemukan dengan cara rangsangan listrik, daerah-derah yang cocok pada otak, yang dapat merangsang pasien untuk menggerakkan tangan, lengan atau kaki atau untuk menggerakkan bibir atau berbicara.

Mungkin sulit diterima kalau perilaku manusia turut ‘diatur’ oleh hukum alam, namun kian ke mari perkembangan ilmu alam kian menunjukkan bahwa manusia seakan mesin saja dan kehendak bebas hanyalah Perfect Illusion seperti diucapkan oleh Lady Gaga dalam lagunya atau ditunjukkan melalui video Come Back Home oleh 2NE1. Guna menyangkal hal ini, mungkin memunculkan tantangan untuk memperkirakan perilaku manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya, misalnya antara Park Bom dan Jessica Jung. Masalahnya, informasi dasar untuk memperkirakan ini sulit ditentukan. Kita perlu mengetahui keadaan sel yang terdapat dalam tubuh Park Bom dan Jessica Jung sejak awal tahap evolusi dari arkaea hingga manusia serta proses pewarisan sel dari manusia pertama sampai pada Park Bom dan Jessica Jung. Tentu saja proses mendapatkan informasi ini sulit nan rumit, dan cukup terlambat untuk memperkirakan perbuatan yang akan dilakukan oleh Jessica Jung ketika Park Bom lewat dalam acara Gaon Chart Music Awards, 12 Februari 2014. Ciee Jessica jealous.... ehhmmm.