Nama lengkap beliau Nasirotun Nikmah.
Saya menyapanya ‘Mama’ bukan hanya karena beliau adalah ibunya teman saya, Mas
Bayu Aji Setiyawan, walakin juga menjadi semacam pengingat kalau saya pernah
salah melihat.
Kali pertama kami berjumpa ialah saat
beliau bersama suami mengunjungi anak sulung beliau, Mas Bayu, di pesantren.
Saat itu saya sedang duduk di depan aula pesantren pada Jumu’ah pagi, saat
jadwal sekolah dan pesantren libur. Mama yang datang mengenakan baju dan jilbab
merah menyala dipadu celana jins biru sempat saya sangka kakaknya Mas Bayu.
Sangkaan saya meleset jauh. Beliau ternyata ibunya!
Sejak kali pertama melihat beliau,
saya merasa ada aura karisma yang terpancar dari tubuh beliau yang bagus dan
wajah yang cantik. Konon kabarnya menurut orang-orang dekat saya yang saya
kenal sebelum saya masuk pesantren, saya dianugerahi daya ingat kuat dan
kemampuan melihat bakat hebat. Saya belum sepenuhnya bisa menerima pernyataan
yang tak hanya keluar sekali ini dan juga tak terlampau ngoyo untuk
membuktikannya. Namun, kadang saya merasa instuisi saya tersengat ketika
berjumpa dengan sosok hebat berkarakter kuat. Mama adalah salah satunya.
Sejak kali pertama melihat beliau
pula saya mulai tertarik untuk menjadi dekat dengan beliau. Tak melulu pengaruh
besar diberikan dalam jangka waktu yang panjang maupun dalam kebersamaan yang
lama. Ada juga pengaruh kuat dan mengakar bisa diberikan dalam waktu singkat.
Beragam cara pun dicoba agar bisa menjadi dekat dengan beliau yang menjadi
salah satu teladan hidup saya.
Kesempatan untuk bisa berkenalan
dengan beliau datang ketika Mas Bayu mengabari bahwa beliau akan datang ke
Kudus. Mas Bayu mengabari saya pada hari Rabu dan beliau bakal datang pada
Jumu’ah. Rasanya antusias sekali menanti. Berjumpa dengan idola adalah
pengalaman mengesankan. Bagi Mama, bertemu saya adalah satu hal biasa saja.
Namun bagi saya, hal ini menjadi kenangan tak ternilai harganya. Hal ini
terlihat dari betapa antusiasnya saya menanti saat-saat bertemu kala itu bahkan
sudah tak sabar menunggu sejak pertama dikabari.
Pertemuan perdana yang berlangsung
pada 11 Februari 2011 di salah satu warung tersebut berlangsung singkat.
Maksudnya momen untuk bercakap dengan beliau sangat singkat. Hanya sekitar 15
menit kami sempat bercakap bersama. Percakapan yang sebetulnya hanya berkisar
basa-basi tersebut seolah menyuntikkan energi. Mama memberikan semangat tak
melalui ucapan, walakin melalui aura yang dipancarkan. Baju dan jilbab abu-abu
masih melekat kuat dalam ingatan saya.
Rasanya nyaman sekali berada di dekat
Mama. Memandang wajah beliau yang teduh di mata. Memang wajah beliau cantik,
tapi tak semua orang berwajah cantik memberikan kesejukan ketika dipandang. Tak
hanya sekali saya memalingkan mata ketika berpapasan dengan wajah cantik, ada
rasa yang aneh. Mungkin saja Mama memang terlahir dengan karisma kuat disertai
segala yang dilakukan dengan hati sehingga pancaran aura beliau sulit
dihindari.
Dalam kesempatan tersebut, saya
sempat meminta beliau menulis di sebuah buku pribadi saya. Tentu saya berharap
sekali beliau menulis sebanyak-banyaknya walau saya juga bisa menerima beliau
sekedar mencoretkan tanda tangan saja misalnya. Catatan singkat Mama di buku
saya tersebut nyatanya memang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Ungkapan
beliau, “Kamu mengagumkan,” yang ditulis tangan memberikan motivasi bagi saya,
walau cuma dua kata saja.
Dalam catatan tersebut, beliau juga
menuliskan tiga moto hidup beliau. Dua dari tiga moto tersebut belakangan
diturunkan menjadi moto hidup saya. Sedangkan satu sisanya menjadi sumber salah
satu tulisan saya yang disebut salah satu catatan terbaik.
‘Giat belajar’ menjadi moto yang
pertama yang beliau tuliskan. Moto ini berpadu dengan kepribadian keras kepala
yang saya miliki menjadi pondasi moto hidup, ‘Belajar sepanjang hayat’. Dari
moto yang latar belakangnya dari moto Mama ini, saya kerap bersikap keras
kepala dengan menolak ungkapan, ‘Masih belajar’, atau sejenisnya. Ungkapan
terakhir ini biasanya diungkapkan untuk memaklumi atau meminta kemakluman. Lha
sepanjang hidup saya sebut belajar kok, kalau orang bilang ‘Masih belajar’,
bukankah justru bertentangan?
‘Cari ilmu sampai negeri Cina’,
menjadi moto kedua yang dituliskan beliau. Ungkapan ini kemudian dielaborasi
dan menjadi catatan saya berjudul ‘Kok Tiongkok?’. Catatan ini berupaya
menafsirkan hadis Rosululloh Muhammad tentang mencari ilmu sampai ke
negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan status hadisnya serta melihat dari sudut
pandang yang jarang dipandang. Catatan tersebut saya bikin pada pertengahan
2014 dan sampai sekarang masih enak dibaca. Beda dengan beberapa catatan yang
eneg dibaca termasuk saya sendiri.
‘Bercita-cita setinggi langit’,
menjadi moto ketiga yang beliau tuliskan. Moto inilah yang menjadi dasar
prinsip saya berupa, ‘Perfect is my standard’. Buat saya, dengan
anugerah yang diberikan Ilah, dan kasih yang diberikan Robbi,
manusia bisa memberikan unjuk penampilan maksimal hingga hasilnya terlihat
sempurna. Bukan sempurna sungguhan memang. Hanya saja terlihat sempurna. Sayang
ada beberapa pihak yang ketika melihat ungkapan ini justru menitik beratkan
pada standard perfect-nya, bukan pada makna perfect-nya. Ya
sudah.
Mama turut menginspirasi saya dalam
melahirkan kembali kebersamaan yang lebih ramai lebih daripada tandeman saja.
Ada masa-masa setelah saya cekcok atau menjauh dengan beberapa sahabat lama,
hubungan yang dijalani bersifat personal. Maksudnya saya hanya bisa dekat
dengan beberapa orang tanpa pernah bisa membentuk semacam gang.
Pengaruh dari Mama bermula dari
cerita beliau mengenai kumpul-kumpul. Beliau mengaku sangat senang terlibat
perkumpulan termasuk berorganisasi dalam hal apapun. Mama turut menginspirasi
dalam melahirkan kembali dan membentuk kelompok baru yang terhimpun dalam Pelantan
(judul kumpulan catatan tentang orang-orang dekat saya, baik personal maupun
komunal).
Satu hal yang tampaknya luput dari orang
adalah mengenai membaca. Mama mengaku membaca menjadi kegemaran beliau selain
kumpul-kumpul dan memasak. Mulanya saya kurang apresiatif terhadap kegemaran
membaca. Pasalnya walau biasa membaca, buat saya membaca bukanlah kegiatan yang
patut dianggap megah. Jauh lebih megah membersihkan rumah. Namun, sejak saat
itu, perlahan malar semangat membaca saya kian tumbuh. Bahkan koleksi buku saya
jika dilihat meningkat pesat semenjak pertemuan perdana dengan Mama. Bukan
hanya kuantitas melainkan juga kualitas. Walau sejak 3 tahun terakhir saya
lebih senang membaca artikel akademik ketimbang buku.
Perpaduan membaca dan kumpul-kumpul
sebagai kegemaran beliau memengaruhi saya untuk tak fanatik pada membaca saja.
Selain membaca, kita juga harus mau tak mau untuk terus berinteraksi dengan liyan
dan jalan-jalan. Bukankah ketika kumpul-kumpul terjadi interaksi dengan liyan?
Bukankah ketika kumpul-kumpul tak selalu berada di tempat yang sama selamanya?
Satu ungkapan yang merangkum ketiga hal ini ialah, “Jangan cuma rajin membaca
saja, tapi rajinlah ngobrol dan piknik.”
Pertemuan kedua dengan perempuan
kelahiran Jepara, 24 April 1978 ini berlangsung beberapa saat jelang saya
meninggalkan pesantren. Dalam pertemuan kedua ini, kami sempat terlibat
percakapan intens tentang pribadi kami selama hampir 30 menit. Interaksi yang
lebih didominasi oleh beliau ini banyak mengkritik saya dan kritikan pedas
terhadap hal-hal lainnya.
Beliau sempat mengungkapkan
pendapatnya tentang letak kepemimpinan perempuan. Uniknya, pendapat tersebut
disampaikan bersamaan dengan ungkapan bahwa beliau kurang suka kalau perempuan
menjadi pemimpin di ranah publik dan lebih suka dengan posisi perempuan sebagai
ibu rumah tangga.
Setelah beberapa kali melakukan
elaborasi dua pernyataan yang tampak bertentangan ini, saya kemudian bisa
menerima dan memahaminya. Kalau saya tak salah menangkap maksud Mama, letak
kepemimpinan perempuan ialah sebagai pengontrol lelaki yang menjadi pemimpin di
ranah publik. Siapa lagi yang ditakuti lelaki kalau bukan istri? Beliau malah
sempat menghentak saya dengan ungkapannya bahwa akan ada satu perempuan yang
saya takuti, terutama ketika menunjukkan perilaku ambeg diri. Entah siapa
orangnya. Menurut beliau, orang yang bisa meruntuhkan mental saya itulah yang
pas menjadi pasangan saya.
Dalam pertemuan kedua itu, Mama juga
sempat bercerita kalau beliau senang sekali terlibat obrolan. Obrolan menjadi
semacam ritual wajib di luar kesibukannya. Malahan kadang hanya ingin
pembicaraan beliau diperdengarkan tanpa perlu diberi tanggapan. Selalu saja ada
waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan dengan siapa saja. Obrolan
dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta memperkaya sedangkan dengan
mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain tersendiri. Dari obrolan inilah
Mama mulai tahu banyak hal, tapi tetap mengakui kerika beliau tak mengetahui.
Saya rasa tak salah Mama memiliki
kebiasaan seperti ini. Obrolan merupakan salah satu cara untuk tak
mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan
hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus
menerus. Wajar kalau akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda [اسم] di dalam
al-Quran namun berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja [فعل]. Wajar juga
kalau perintah belajar dan membangun lingkungan dituturkan dalam bentuk kata
kerja present dan future [الفعل المضارع], bukan kata
kerja past [الفعل
الماضي].
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟
كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞
]القرآن
الكريم سورة التوبة : ١٢٢[
Sebagai penggemar berat, wajar kalau
perkara maupun peristiwa terkait Mama ini terus melekat. Tak peduli dengan
ragam komentar yang didapat, buat saya Mama adalah seberkas sinar pengantar
saya untuk menerima segala tatanan Sang Pencipta. Wajar pula kalau segala
terkait dengan Mama meningkatkan minat. Antara lain minat untuk memaknai
perjumpaan beliau dengan saya.
Banyak terjadi saat yang mengecewakan
ketika akhirnya kita bertemu sosok yang dikagumi, role model yang senantiasa memberi inspirasi. Kalau perjumpaan
dengan sosok yang dikagumi berlangsung pada saat yang tidak tepat, rentan
memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian yang tidak diharapkan ini akan
mengubah pandangan terhadap role model
tersebut.
Kita bisa berpikir kalau sosok yang
dikagumi ternyata angkuh, meski mungkin dia sedang melepas peluh. Atau kita
telah memiliki gambaran tentangnya namun nyatanya dia tidak sesuai dengan
gambaran yang dimiliki. Perjumpaan kadang-kadang bisa mengubah bahkan
‘membanting’ sebuah hubungan. Apalagi saat sosok yang ingin dijumpai dianggap
tidak dapat memberi cukup perhatian.
Saya bersyukur perjumpaan pertama
dengan Mama berlangsung pada saat tepat. Mungkin saya gede rasa saja karena
perjumpaan tersebut terasa istimewa dikarenakan Mama tampak berusaha untuk
tidak mengecewakan saya. Dan saya tak pernah kecewa dengan perjumpaan itu
sepertihalnya tak pernah kecewa menjadi penggemarnya sejak mulai mengagumi
Mama.
Kalau Mama tampak terlampau saya
istimewakan seakan dipuja tanpa cela karena dia memang selalu istimewa bagi
saya. Mata yang cinta cenderung tumpul dari cela. Apalagi selepas pertemuan
pertama. Saya merasa diperlakukan setara, tak menganggap saya sebagai penggemar
yang bisa semena-mena digunakan semau-maunya.
Tak jarang dalam beberapa perkara
maupun peristiwa saya merasa ada kesamaan antara kami berdua. Rasa sama itulah
yang mungkin membikin saya mengaguminya. Tak dimungkiri, dalam beberapa perkara
maupun peristiwa lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Hanya saja,
kembali lagi, jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa
mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?
Mama memang hanya manusia biasa. Dia
merupakan sosok berperasaan dengan penampilan menawan yang mau membaur dalam
lingkungan. Sepanjang menjalani keseharian, beliau hanya berbuat untuk
menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. Apa yang istimewa?
Walau begitu, Mama tetaplah sosok
panutan yang patut dianut. Semangat perjuangan beliau layak diperjuangkan.
Perjalanannya merupakan satu sisi megah tersendiri yang layak dikagumi. Mama
mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian
bukan urusan, yang merupakan kesuksannya hanyalah tak lelah mengayuh secara
terus-menerus. Mengayuh... mengayuh... mengayuh perjalanan... saling
mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan... “You say God give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.
Mama tak lelah mengayuh perjalanan
untuk mewujudkan lingkungan kebersamaan yang harmonis. Lingkungan yang membuat
orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena memiliki rasa
sama sebagai manusia. Satu perjalanan yang patut diapresiasi, karena saling
menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama.
Seperti diungkapkan oleh nama besar
sebelum Mama, Master Mister Immortal
Commander Muhammad shallallahu'alaihiwasallam.
Sang kirana azalea bertutur bahwa
menyapa adalah senjata manusia beriman [الدعاء سلاح المؤمن]. Satu
pernyataan yang diabadikan oleh Madonna melalui Like a Prayer.
Mama terus menerus mementaskan
kesungguhan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Kesungguhan untuk bisa
menjadi manusia seutuhnya juga dilakukan dengan menumbuhkembangkan kepribadian femininine dan masculinine. Mama bisa
bersikap tegas sekaligus lembut. Dua sisi berlawanan yang ada dalam setiap
manusia ini sanggup dipadukan sekaligus oleh Mama dengan bagus.
Kesungguhan melakoni keseharian dengan
mementaskan laku seperti itu membuat Mama tak salah mendapat semat sebagai
manusia paripurna. Manusia yang petuahnya pantas di-gugu (memotivasi) dan rekam jejaknya layak di-tiru (menginspirasi). Manusia yang memiliki daya dorong luar biasa
pada manusia lainnya.
Ketika Mama mapan berdiri sebagai
seorang panutan, dirinya tetap berusaha untuk bisa menjadi panutan yang laras.
Seorang panutan yang tak hendak menjadikan sanjung puja untuk berbuat
semau-maunya. Seorang Panutan yang terus menjadi guru bagi pengagumnya.
Perjalanan Mama sanggup menginspirasi
dan memotivasi untuk selalu berserah pada Allah [الإسلام]. Salah satu wujud keberserahan adalah
selalu rela dengan takdir terburuk dari Allah. Kerelaan pada takdir terburuk
dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak kabur dari rasa syukur. Pasalnya amarah cenderung menggiring
mata untuk memandang segala yang nista.
Dengan terus berserah pada Allah,
manusia mampu mengendalikan diri bebas dari segala unjuk rasa yang dialamatkan
padanya. Tak melayang dengan pujian sebagai bentuk unjuk rasa cinta serta tak
tumbang oleh cacian yang merupakan bentuk unjuk rasa benci. Sehingga mampu
menjalani keseharian biasa saja menuju Allah (Jawa: ngalah).
Manusia diciptakan dari Allah dan
menuju (Jawa: ngo) ke Allah (Jawa: Alah). Pandangan fisika menuturkan bahwa
kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa
dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka
tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak
menempuh perjalanan.
Pandangan fisika menuturkan bahwa
jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama dengan posisi awalnya,
dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola mengikuti serta berada dalam
batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].
Entah lingkaran itu tersusun atas
lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk lingkaran, tak jelas. Sama
tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami. Tak jelas peristiwa itu
memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana yang
sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus rela diterima.
Dengan rela menerima segala penataan
pagelaran Pelantan [رَاضِيَةً],
sembah rasa cinta pada Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora. Gelora sembah rasa
yang membuat manusia tak lelah menyapa Allah agar dianugerahi setitik Cinta
dari-Nya [مَرْضِيَّةً].
Setitik Cinta yang bisa menjadikan
makhluk berperasaan berjumpa Pencipta dengan sapaan mesra:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي
جَنَّتِي ۞
]القرآن
الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١[
Sapaan mesra yang membuat surga dan
neraka tak lagi menjadi perkara penting. Sebab yang paling penting adalah
berada dalam keadaan sepenuhnya terserap ‘hilang’ menjadi bagian Kirana (kata
lain: Cahaya), ‘satu perkara’ yang tak memiliki massa dan usia.
Kirana menjadi ‘satu perkara’ yang
memperlihatkan batas keberlakuan ilmu fisika. Pandangan fisika menuturkan bahwa
segala yang ada di semesta ini lambat laun akan hancur, sedangkan Kirana selalu
ada.
Satu-satunya cara semesta agar tidak
hancur hanyalah manunggal dengan
Kirana, yang dituturkan bahwa:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ
مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ
الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ
لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ
يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ ۞
]القرآن
الكريم سورة النّور : ٣٥[
Mama tetaplah Mama, yang terus melangkah
tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara. Karena perempuan memang sulit
dimengerti sepenuhnya, walau tetap dapat dinikmati seutuhnya.
Mama itu ... kalaupun dia mencaci
saya semau-maunya pun saya akan menerima dengan lapang dada. Semua yang dilakukannya
tak akan membuat kekaguman padanya bisa sirna malah tetap tegap menggelora.
Sebagai seorang pengagum, wajar kalau saya senantiasa memuliakannya.
Wabakdu, pengaruh dari Mama tak
lekang sepanjang waktu merentang. Memang ungkapan rasa kagum tampak perlahan
berkurang. Namun bukankah berkurangnya ungkapan rasa kagum justru karena Mama
memberikan semacam jalan? Jalan yang terus saya tapaki membuat Mama senantiasa
hadir memperkaya dan mewarnai sepanjang saya mengayuh perjalanan.
Karena itu, saya enggan menyebut
bahwa bahwa saya ini menjadi diri sendiri. Pasalnya semua yang saya kagumi
memberi pengaruh tersendiri. Saya baru bisa menyebut bahwa saya menjadi diri
sendiri jika bisa membuang pengaruh itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya?
Yang jelas sampai saat ini dan saat nanti saya tidak bisa mengembalikan air
susu Ibuk (ditulis Ibuk mutlak merujuk ke ibu saya) yang saya tetek ketika
balita.
Seiring waktu, kami bisa jadi berbeda
pandangan, tak dimungkiri kadang berlawanan, namun Mama tetap manusia yang
laras, wanita yang tegas, panutan yang pantas. Buat Mama, semoga keteladanan
darimu sepanjang saya mengayuh perjalanan membuahkan riḍho Allah selalu.
K.Rb.Wg.180840.240419.02:26