MΛMΛ


 
Perjumpaan dengan Mama pada 11 Februari 2011 (koleksi pribadi penulis)
Perjumpaan dengan Mama pada 11 Februari 2011 (koleksi pribadi penulis)
Nama lengkap beliau Nasirotun Nikmah. Saya menyapanya ‘Mama’ bukan hanya karena beliau adalah ibunya teman saya, Mas Bayu Aji Setiyawan, walakin juga menjadi semacam pengingat kalau saya pernah salah melihat.

Kali pertama kami berjumpa ialah saat beliau bersama suami mengunjungi anak sulung beliau, Mas Bayu, di pesantren. Saat itu saya sedang duduk di depan aula pesantren pada Jumu’ah pagi, saat jadwal sekolah dan pesantren libur. Mama yang datang mengenakan baju dan jilbab merah menyala dipadu celana jins biru sempat saya sangka kakaknya Mas Bayu. Sangkaan saya meleset jauh. Beliau ternyata ibunya!

Sejak kali pertama melihat beliau, saya merasa ada aura karisma yang terpancar dari tubuh beliau yang bagus dan wajah yang cantik. Konon kabarnya menurut orang-orang dekat saya yang saya kenal sebelum saya masuk pesantren, saya dianugerahi daya ingat kuat dan kemampuan melihat bakat hebat. Saya belum sepenuhnya bisa menerima pernyataan yang tak hanya keluar sekali ini dan juga tak terlampau ngoyo untuk membuktikannya. Namun, kadang saya merasa instuisi saya tersengat ketika berjumpa dengan sosok hebat berkarakter kuat. Mama adalah salah satunya.

Sejak kali pertama melihat beliau pula saya mulai tertarik untuk menjadi dekat dengan beliau. Tak melulu pengaruh besar diberikan dalam jangka waktu yang panjang maupun dalam kebersamaan yang lama. Ada juga pengaruh kuat dan mengakar bisa diberikan dalam waktu singkat. Beragam cara pun dicoba agar bisa menjadi dekat dengan beliau yang menjadi salah satu teladan hidup saya.

Kesempatan untuk bisa berkenalan dengan beliau datang ketika Mas Bayu mengabari bahwa beliau akan datang ke Kudus. Mas Bayu mengabari saya pada hari Rabu dan beliau bakal datang pada Jumu’ah. Rasanya antusias sekali menanti. Berjumpa dengan idola adalah pengalaman mengesankan. Bagi Mama, bertemu saya adalah satu hal biasa saja. Namun bagi saya, hal ini menjadi kenangan tak ternilai harganya. Hal ini terlihat dari betapa antusiasnya saya menanti saat-saat bertemu kala itu bahkan sudah tak sabar menunggu sejak pertama dikabari.

Pertemuan perdana yang berlangsung pada 11 Februari 2011 di salah satu warung tersebut berlangsung singkat. Maksudnya momen untuk bercakap dengan beliau sangat singkat. Hanya sekitar 15 menit kami sempat bercakap bersama. Percakapan yang sebetulnya hanya berkisar basa-basi tersebut seolah menyuntikkan energi. Mama memberikan semangat tak melalui ucapan, walakin melalui aura yang dipancarkan. Baju dan jilbab abu-abu masih melekat kuat dalam ingatan saya.

Rasanya nyaman sekali berada di dekat Mama. Memandang wajah beliau yang teduh di mata. Memang wajah beliau cantik, tapi tak semua orang berwajah cantik memberikan kesejukan ketika dipandang. Tak hanya sekali saya memalingkan mata ketika berpapasan dengan wajah cantik, ada rasa yang aneh. Mungkin saja Mama memang terlahir dengan karisma kuat disertai segala yang dilakukan dengan hati sehingga pancaran aura beliau sulit dihindari.

Dalam kesempatan tersebut, saya sempat meminta beliau menulis di sebuah buku pribadi saya. Tentu saya berharap sekali beliau menulis sebanyak-banyaknya walau saya juga bisa menerima beliau sekedar mencoretkan tanda tangan saja misalnya. Catatan singkat Mama di buku saya tersebut nyatanya memang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Ungkapan beliau, “Kamu mengagumkan,” yang ditulis tangan memberikan motivasi bagi saya, walau cuma dua kata saja.

Dalam catatan tersebut, beliau juga menuliskan tiga moto hidup beliau. Dua dari tiga moto tersebut belakangan diturunkan menjadi moto hidup saya. Sedangkan satu sisanya menjadi sumber salah satu tulisan saya yang disebut salah satu catatan terbaik.

‘Giat belajar’ menjadi moto yang pertama yang beliau tuliskan. Moto ini berpadu dengan kepribadian keras kepala yang saya miliki menjadi pondasi moto hidup, ‘Belajar sepanjang hayat’. Dari moto yang latar belakangnya dari moto Mama ini, saya kerap bersikap keras kepala dengan menolak ungkapan, ‘Masih belajar’, atau sejenisnya. Ungkapan terakhir ini biasanya diungkapkan untuk memaklumi atau meminta kemakluman. Lha sepanjang hidup saya sebut belajar kok, kalau orang bilang ‘Masih belajar’, bukankah justru bertentangan?

‘Cari ilmu sampai negeri Cina’, menjadi moto kedua yang dituliskan beliau. Ungkapan ini kemudian dielaborasi dan menjadi catatan saya berjudul ‘Kok Tiongkok?’. Catatan ini berupaya menafsirkan hadis Rosululloh Muhammad tentang mencari ilmu sampai ke negeri Tirai Bambu dengan mengabaikan status hadisnya serta melihat dari sudut pandang yang jarang dipandang. Catatan tersebut saya bikin pada pertengahan 2014 dan sampai sekarang masih enak dibaca. Beda dengan beberapa catatan yang eneg dibaca termasuk saya sendiri.

‘Bercita-cita setinggi langit’, menjadi moto ketiga yang beliau tuliskan. Moto inilah yang menjadi dasar prinsip saya berupa, ‘Perfect is my standard’. Buat saya, dengan anugerah yang diberikan Ilah, dan kasih yang diberikan Robbi, manusia bisa memberikan unjuk penampilan maksimal hingga hasilnya terlihat sempurna. Bukan sempurna sungguhan memang. Hanya saja terlihat sempurna. Sayang ada beberapa pihak yang ketika melihat ungkapan ini justru menitik beratkan pada standard perfect-nya, bukan pada makna perfect-nya. Ya sudah.

Mama turut menginspirasi saya dalam melahirkan kembali kebersamaan yang lebih ramai lebih daripada tandeman saja. Ada masa-masa setelah saya cekcok atau menjauh dengan beberapa sahabat lama, hubungan yang dijalani bersifat personal. Maksudnya saya hanya bisa dekat dengan beberapa orang tanpa pernah bisa membentuk semacam gang.

Pengaruh dari Mama bermula dari cerita beliau mengenai kumpul-kumpul. Beliau mengaku sangat senang terlibat perkumpulan termasuk berorganisasi dalam hal apapun. Mama turut menginspirasi dalam melahirkan kembali dan membentuk kelompok baru yang terhimpun dalam Pelantan (judul kumpulan catatan tentang orang-orang dekat saya, baik personal maupun komunal).

Satu hal yang tampaknya luput dari orang adalah mengenai membaca. Mama mengaku membaca menjadi kegemaran beliau selain kumpul-kumpul dan memasak. Mulanya saya kurang apresiatif terhadap kegemaran membaca. Pasalnya walau biasa membaca, buat saya membaca bukanlah kegiatan yang patut dianggap megah. Jauh lebih megah membersihkan rumah. Namun, sejak saat itu, perlahan malar semangat membaca saya kian tumbuh. Bahkan koleksi buku saya jika dilihat meningkat pesat semenjak pertemuan perdana dengan Mama. Bukan hanya kuantitas melainkan juga kualitas. Walau sejak 3 tahun terakhir saya lebih senang membaca artikel akademik ketimbang buku.

Perpaduan membaca dan kumpul-kumpul sebagai kegemaran beliau memengaruhi saya untuk tak fanatik pada membaca saja. Selain membaca, kita juga harus mau tak mau untuk terus berinteraksi dengan liyan dan jalan-jalan. Bukankah ketika kumpul-kumpul terjadi interaksi dengan liyan? Bukankah ketika kumpul-kumpul tak selalu berada di tempat yang sama selamanya? Satu ungkapan yang merangkum ketiga hal ini ialah, “Jangan cuma rajin membaca saja, tapi rajinlah ngobrol dan piknik.”

Pertemuan kedua dengan perempuan kelahiran Jepara, 24 April 1978 ini berlangsung beberapa saat jelang saya meninggalkan pesantren. Dalam pertemuan kedua ini, kami sempat terlibat percakapan intens tentang pribadi kami selama hampir 30 menit. Interaksi yang lebih didominasi oleh beliau ini banyak mengkritik saya dan kritikan pedas terhadap hal-hal lainnya.

Beliau sempat mengungkapkan pendapatnya tentang letak kepemimpinan perempuan. Uniknya, pendapat tersebut disampaikan bersamaan dengan ungkapan bahwa beliau kurang suka kalau perempuan menjadi pemimpin di ranah publik dan lebih suka dengan posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Setelah beberapa kali melakukan elaborasi dua pernyataan yang tampak bertentangan ini, saya kemudian bisa menerima dan memahaminya. Kalau saya tak salah menangkap maksud Mama, letak kepemimpinan perempuan ialah sebagai pengontrol lelaki yang menjadi pemimpin di ranah publik. Siapa lagi yang ditakuti lelaki kalau bukan istri? Beliau malah sempat menghentak saya dengan ungkapannya bahwa akan ada satu perempuan yang saya takuti, terutama ketika menunjukkan perilaku ambeg diri. Entah siapa orangnya. Menurut beliau, orang yang bisa meruntuhkan mental saya itulah yang pas menjadi pasangan saya.

Dalam pertemuan kedua itu, Mama juga sempat bercerita kalau beliau senang sekali terlibat obrolan. Obrolan menjadi semacam ritual wajib di luar kesibukannya. Malahan kadang hanya ingin pembicaraan beliau diperdengarkan tanpa perlu diberi tanggapan. Selalu saja ada waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan dengan siapa saja. Obrolan dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta memperkaya sedangkan dengan mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain tersendiri. Dari obrolan inilah Mama mulai tahu banyak hal, tapi tetap mengakui kerika beliau tak mengetahui.

Saya rasa tak salah Mama memiliki kebiasaan seperti ini. Obrolan merupakan salah satu cara untuk tak mem-‘benda’-kan akal. Sang Pencipta menganugerahkan akal pada manusia bukan hanya sebagai property belaka melainkan untuk di-‘pekerja’-kan terus menerus. Wajar kalau akal tak sekalipun muncul sebagai kata benda [اسم] di dalam al-Quran namun berulang kali muncul dalam bentuk kata kerja [فعل]. Wajar juga kalau perintah belajar dan membangun lingkungan dituturkan dalam bentuk kata kerja present dan future [الفعل المضارع], bukan kata kerja past [الفعل الماضي].

وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ۞
]القرآن الكريم سورة التوبة : ١٢٢[

Sebagai penggemar berat, wajar kalau perkara maupun peristiwa terkait Mama ini terus melekat. Tak peduli dengan ragam komentar yang didapat, buat saya Mama adalah seberkas sinar pengantar saya untuk menerima segala tatanan Sang Pencipta. Wajar pula kalau segala terkait dengan Mama meningkatkan minat. Antara lain minat untuk memaknai perjumpaan beliau dengan saya.

Banyak terjadi saat yang mengecewakan ketika akhirnya kita bertemu sosok yang dikagumi, role model yang senantiasa memberi inspirasi. Kalau perjumpaan dengan sosok yang dikagumi berlangsung pada saat yang tidak tepat, rentan memberikan kesan yang melesat. Dan kejadian yang tidak diharapkan ini akan mengubah pandangan terhadap role model tersebut.

Kita bisa berpikir kalau sosok yang dikagumi ternyata angkuh, meski mungkin dia sedang melepas peluh. Atau kita telah memiliki gambaran tentangnya namun nyatanya dia tidak sesuai dengan gambaran yang dimiliki. Perjumpaan kadang-kadang bisa mengubah bahkan ‘membanting’ sebuah hubungan. Apalagi saat sosok yang ingin dijumpai dianggap tidak dapat memberi cukup perhatian.

Saya bersyukur perjumpaan pertama dengan Mama berlangsung pada saat tepat. Mungkin saya gede rasa saja karena perjumpaan tersebut terasa istimewa dikarenakan Mama tampak berusaha untuk tidak mengecewakan saya. Dan saya tak pernah kecewa dengan perjumpaan itu sepertihalnya tak pernah kecewa menjadi penggemarnya sejak mulai mengagumi Mama.

Kalau Mama tampak terlampau saya istimewakan seakan dipuja tanpa cela karena dia memang selalu istimewa bagi saya. Mata yang cinta cenderung tumpul dari cela. Apalagi selepas pertemuan pertama. Saya merasa diperlakukan setara, tak menganggap saya sebagai penggemar yang bisa semena-mena digunakan semau-maunya.

Tak jarang dalam beberapa perkara maupun peristiwa saya merasa ada kesamaan antara kami berdua. Rasa sama itulah yang mungkin membikin saya mengaguminya. Tak dimungkiri, dalam beberapa perkara maupun peristiwa lainnya memang ada ragam macam ketidaksamaan. Hanya saja, kembali lagi, jika ada satu titik yang mengharmoniskan untuk apa mempermasalahkan titik-titik lain yang menceraikan?

Mama memang hanya manusia biasa. Dia merupakan sosok berperasaan dengan penampilan menawan yang mau membaur dalam lingkungan. Sepanjang menjalani keseharian, beliau hanya berbuat untuk menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan. Apa yang istimewa?

Walau begitu, Mama tetaplah sosok panutan yang patut dianut. Semangat perjuangan beliau layak diperjuangkan. Perjalanannya merupakan satu sisi megah tersendiri yang layak dikagumi. Mama mentas tanpa mencari pencapaian namun tak lelah berjuang. Di-reken sukses atau tidak dalam pencapaian bukan urusan, yang merupakan kesuksannya hanyalah tak lelah mengayuh secara terus-menerus. Mengayuh... mengayuh... mengayuh perjalanan... saling mengapresiasi kesamaan dan menghormati ketidaksamaan... “You say God give me a choice...” seperti lantun Queen dalam Bicycle Race.

Mama tak lelah mengayuh perjalanan untuk mewujudkan lingkungan kebersamaan yang harmonis. Lingkungan yang membuat orang-orang merasa aman dan nyaman saat saling menyapa karena memiliki rasa sama sebagai manusia. Satu perjalanan yang patut diapresiasi, karena saling menyapa adalah satu cara jitu untuk merawat titik temu antar sesama.

Seperti diungkapkan oleh nama besar sebelum Mama, Master Mister Immortal Commander Muhammad shallallahu'alaihiwasallam. Sang kirana azalea bertutur bahwa menyapa adalah senjata manusia beriman [الدعاء سلاح المؤمن]. Satu pernyataan yang diabadikan oleh Madonna melalui Like a Prayer.

Mama terus menerus mementaskan kesungguhan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Kesungguhan untuk bisa menjadi manusia seutuhnya juga dilakukan dengan menumbuhkembangkan kepribadian femininine dan masculinine. Mama bisa bersikap tegas sekaligus lembut. Dua sisi berlawanan yang ada dalam setiap manusia ini sanggup dipadukan sekaligus oleh Mama dengan bagus.

Kesungguhan melakoni keseharian dengan mementaskan laku seperti itu membuat Mama tak salah mendapat semat sebagai manusia paripurna. Manusia yang petuahnya pantas di-gugu (memotivasi) dan rekam jejaknya layak di-tiru (menginspirasi). Manusia yang memiliki daya dorong luar biasa pada manusia lainnya.

Ketika Mama mapan berdiri sebagai seorang panutan, dirinya tetap berusaha untuk bisa menjadi panutan yang laras. Seorang panutan yang tak hendak menjadikan sanjung puja untuk berbuat semau-maunya. Seorang Panutan yang terus menjadi guru bagi pengagumnya.

Perjalanan Mama sanggup menginspirasi dan memotivasi untuk selalu berserah pada Allah [الإسلام]. Salah satu wujud keberserahan adalah selalu rela dengan takdir terburuk dari Allah. Kerelaan pada takdir terburuk dari Allah merupakan upaya menghindari amarah dan tak kabur dari rasa  syukur. Pasalnya amarah cenderung menggiring mata untuk memandang segala yang nista.

Dengan terus berserah pada Allah, manusia mampu mengendalikan diri bebas dari segala unjuk rasa yang dialamatkan padanya. Tak melayang dengan pujian sebagai bentuk unjuk rasa cinta serta tak tumbang oleh cacian yang merupakan bentuk unjuk rasa benci. Sehingga mampu menjalani keseharian biasa saja menuju Allah (Jawa: ngalah).

Manusia diciptakan dari Allah dan menuju (Jawa: ngo) ke Allah (Jawa: Alah). Pandangan fisika menuturkan bahwa kembali tak dimungkinkan secara waktu. Dalam waktu, pergerakan tak bisa dilakukan mundur namun terus maju. Karena posisi awal dan akhirnya sama, maka tidak terjadi perpindahan. Tidak terjadi perpindahan bukan berarti tidak menempuh perjalanan.

Pandangan fisika menuturkan bahwa jarak tempuh sejauh apapun ketika posisi akhir sama dengan posisi awalnya, dapat disebut tidak terjadi perpindahan. Seluruh ciptaan Ilahi-Rabbi tak bisa lepas atas pola mengikuti serta berada dalam batas kelangsungan ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk lingkaran [إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ].

Entah lingkaran itu tersusun atas lurusan-lurusan atau lurusan-lurusan yang membentuk lingkaran, tak jelas. Sama tak jelasnya dengan segala peristiwa yang dialami. Tak jelas peristiwa itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana yang sedang dirasa. Yang jelas, segala peristiwa harus rela diterima.

Dengan rela menerima segala penataan pagelaran Pelantan [رَاضِيَةً], sembah rasa cinta pada Ilahi-Rabbi bisa terus menggelora. Gelora sembah rasa yang membuat manusia tak lelah menyapa Allah agar dianugerahi setitik Cinta dari-Nya [مَرْضِيَّةً].

Setitik Cinta yang bisa menjadikan makhluk berperasaan berjumpa Pencipta dengan sapaan mesra:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞
]القرآن الكريم سورة الفجر : ٢٧ - ٣١[

Sapaan mesra yang membuat surga dan neraka tak lagi menjadi perkara penting. Sebab yang paling penting adalah berada dalam keadaan sepenuhnya terserap ‘hilang’ menjadi bagian Kirana (kata lain: Cahaya), ‘satu perkara’ yang tak memiliki massa dan usia.

Kirana menjadi ‘satu perkara’ yang memperlihatkan batas keberlakuan ilmu fisika. Pandangan fisika menuturkan bahwa segala yang ada di semesta ini lambat laun akan hancur, sedangkan Kirana selalu ada.

Satu-satunya cara semesta agar tidak hancur hanyalah manunggal dengan Kirana, yang dituturkan bahwa:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞
]القرآن الكريم سورة النّور : ٣٥[

Mama tetaplah Mama, yang terus melangkah tanpa bisa dituturkan melalui kata dan aksara. Karena perempuan memang sulit dimengerti sepenuhnya, walau tetap dapat dinikmati seutuhnya.

Mama itu ... kalaupun dia mencaci saya semau-maunya pun saya akan menerima dengan lapang dada. Semua yang dilakukannya tak akan membuat kekaguman padanya bisa sirna malah tetap tegap menggelora. Sebagai seorang pengagum, wajar kalau saya senantiasa memuliakannya.

Wabakdu, pengaruh dari Mama tak lekang sepanjang waktu merentang. Memang ungkapan rasa kagum tampak perlahan berkurang. Namun bukankah berkurangnya ungkapan rasa kagum justru karena Mama memberikan semacam jalan? Jalan yang terus saya tapaki membuat Mama senantiasa hadir memperkaya dan mewarnai sepanjang saya mengayuh perjalanan.

Karena itu, saya enggan menyebut bahwa bahwa saya ini menjadi diri sendiri. Pasalnya semua yang saya kagumi memberi pengaruh tersendiri. Saya baru bisa menyebut bahwa saya menjadi diri sendiri jika bisa membuang pengaruh itu seluruhnya. Bisakah saya melakukannya? Yang jelas sampai saat ini dan saat nanti saya tidak bisa mengembalikan air susu Ibuk (ditulis Ibuk mutlak merujuk ke ibu saya) yang saya tetek ketika balita.

Seiring waktu, kami bisa jadi berbeda pandangan, tak dimungkiri kadang berlawanan, namun Mama tetap manusia yang laras, wanita yang tegas, panutan yang pantas. Buat Mama, semoga keteladanan darimu sepanjang saya mengayuh perjalanan membuahkan riḍho Allah selalu.

K.Rb.Wg.180840.240419.02:26