Irma Rahma Suwarma


 
Irma Rahma Suwarma ketika tampil dalam Seminar Nasional Fisika (UNF) 2018 di Universitas Negeri Jakarta pada 14 Juli 2018
Irma Rahma Suwarma ketika tampil dalam Seminar Nasional Fisika (UNF) 2018 di Universitas Negeri Jakarta pada 14 Juli 2018
“Bagaimana kalau semester depan kamu mulai mengerjakan skripsi ikut payung penelitian saya?” ucap Buk Setiya Utari kepada saya pada 4 Februari 2015 silam. Waktu itu saya mendatanginya untuk keperluan FKKB (Formulir Kontrak Kuliah Baru)—saya lupa terdapat perubahan mata kuliah atau tidak. Ucapan Buk Utari tersebut muncul setelah tahu bahwa saya sudah mengambil mata kuliah Seminar Pendidikan Fisika (SPF) dan Metode Penelitian Pendidika Fisika (MPPF).
“Tentang apa Buk?” tanya saya.
“Literasi saintifik.” jawab Buk Buk Utari singkat.
“Literasi saintifik itu apa?” tanya saya lagi.
“Kamu bisa cari saja di internet, sudah banyak pembahasan tentang literasi saintifik.” jawab Buk Buk Utari yang menimbulkan pertanyaan berikutnya.
“Kalau sudah banyak yang membahas, buat apa penelitian ini?”
“Memang banyak, tapi payung saya mau melakukan penelitian berkelanjutan yang produknya ialah desain pembelajaran,” tanggap Buk Buk Utari.
“RPP?” potong saya.
“Iya, sekarang tahun pertama sudah jalan, kalau kamu ikut bakal masuk tahun kedua.”
“Okelah, nanti dikabari lagi.” Tanggap saya sekaligus undur diri mencari smoking area.

Percakapan singkat yang berlangsung di ruang lama yang ditempati oleh Buk Utari bersama Pak Saeful Karim tersebut merupakan debut perkenalan saya dengan ‘literasi saintifik’ yang kemudian saya telisik. Tawaran lisan dari Buk Utari untuk terlibat dalam payung penelitiannya membuat saya berusaha menanggapi agak serius, melalui coretan tentang penerapan peer instruction untuk meningkatkan literasi saintifik.

Peer instruction yang digagas oleh Eric Mazur gara-gara keluhan dari para siswanya adalah topik yang saya pilih untuk dibahas sewaktu mengikuti perkuliahan Seminar Pendidikan Fisika (SPF) di kelas Pak Unang Purwana. Namun, sampai saat ini sebenarnya saya tidak paham peer instruction lantaran kurang obrolan dan bacaan.

Perkuliahan SPF saya ikuti bersamaan dengan Metodologi Penelitian Pendidikan Fisika (MPPF) di kelas Bu Ida Kaniawati. Gampangnya luaran perkuliahan SPF ialah Bab II Skripsi (Kajian Pustaka) serta MPPF ialah Bab III (Metodologi Penelitian). Dua mata kuliah ini merupakan gerbang utama untuk mengampil Skripsi. Setelah lulus dari SPF dan MPPF, kalau topiknya diterima, pengerjaan Skripsi bisa dimulai dari mencari data—harusnya begitu.

Nasib saya di perkuliahan MPPF lebih mujur ketimbang SPF. Kali ini saya cukup ngeuh dengan alur penelitian. Malah sampai sekarang saya menganggap bagian metode lah yang paling enak untuk ditembak setelah mendapat masalah untuk diteliti. Dengan bekal mengerti alur penelitian itu, saya mulai mencari cara agar coretan tersebut bisa mewujud sebagai hasil penelitian.

Hasilnya saya mendapat paper berjudul Efektifitas Penerapan Metode Peer Instruction with Structured Inquiry (PISI) dengan Menggunakan Prototype Media Berbasis Cmaptools (PMBCT) untuk Mengurangi Miskonsepsi Siswa yang ditulis oleh Buk Utari, Novi Siti Nur Rachmah, dan Bu Irma Rahma Suwarma. Paper tersebut diterbitkan melalui Jurnal Pengajaran MIPA pada April 2012 silam.

“Asyik juga kayaknya dibimbing oleh Buk Utari sama Bu Irma,” batin saya ketika membacanya. Apalagi keduanya pernah menulis—sepertinya sebagai pembimbing skripsi Novi Siti Nur Rachmah—paper tentang penerapan peer instruction untuk tujuan tertentu, yang dapat diisi dengan literasi saintifik.

Sebenarnya saya baru satu kali bertemu dengan Bu Irma. Tepatnya dalam acara seminar di Auditorium FPMIPA UPI pada Desember 2014—saya lupa waktu yang tepat, jadi soal waktu boleh di-nego. Seminar yang berlangsung pada hari Jumu’ah tersebut tampak bukan acara yang terencana. Pasalnya peserta yang hadir sebagai pendengar tidak banyak, padahal diselenggarakan secara gratis dengan topik dan penyaji yang bagus.

Saya rasa seminar tersebut adalah acara syukurannya Bu Irma, yang baru saja memperoleh gelar PhD dari Shizuoka University pada 18 Desember 2014—entah kalau anniversary keenam sebagai dosen Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Topik yang disajikan saat itu ialah STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics). Selain Bu Irma yang menyajikan thesis-nya, turut hadir pula pembimbingnya selama kuliah di Shizuoka, Yoshisuke Kumano, serta satu lagi saya lupa. Pada 2014 sendiri, Bu Irma dan Yoshisuke bersama Tomoki Saito, Shingo Uchinokura, dan Tomonori Ishizaki terlibat dalam kegiatan fellowship JSPS (Japan Society for the Promotion of Science).

Tak dimungkiri bahwa wajah cantik Bu Irma menjadi satu-satunya alasan saya menghadiri seminar tersebut. Meski selama nyaris 5 semester kuliah belum pernah berjumpa, tapi saya tahu perempuan kelahiran 3 Mei 1981 melalui akun Facebook pribadinya—yang belakangan dihapus. Apalagi Bu Irma punya jasa kepada saya, berupa pengunggahan buku Conceptual Physics dari Benjamin Crowell melalui direktorinya yang kemudian saya unduh ketika mengikuti perkuliahan Fisika Umum.

Beruntung saya berkesempatan menyimak tuturan Bu Irma dalam ‘seminar syukuran kelulusan’ tersebut. Sehingga kesan dan apresiasi pribadi terhadapnya bukan hanya sekadar kecantikan dan direktori, melainkan kecerdasan dan komunikasi. Beruntung pula saya sempat mengalami perkuliahan Fisika Inti di kelasnya setahun selepas jumpa perdana.

Sayang tidak banyak konten pengetahuan yang dapat saya mengerti dari perkuliahan di kelas Bu Irma. Fisika Inti, yang membahas gaya nuklir lemah dan kuat, memang berat untuk diikuti kalau dasar fisika klasik dan matematikanya saja sudah berantakan. Namun, bukan itu faktor utamanya. Penggabungan kelas Bu Irma dengan kelas dari dosen lain, yang membuat kesempatannya memberikan ceramah (lecture) menjadi berkurang, terasa sebagai sandungan utama. Padahal sebelum digabung saya cukup menikmati alur penyampaian yang disajikan oleh perempuan lulusan strata satu Universitas Pasundan pada 10 Nopember 2003 ini.

Bu Irma mempunyai kemampuan komunikasi yang bagus. Selain itu, dirinya juga terasa memiliki empati. Tandanya terlihat dari laju penyampaian yang tidak asal disajikan sesuai rencana perkuliahan. Beberapa kali Bu Irma berusaha menurunkan tempo penyampaian. Bahkan Bu Irma bersedia mengulangi konten yang sudah disampaikan maupun mendekati peserta perkuliahan yang dilihatnya sedang kesulitan. Tampak bahwa dirinya lebih berkeinginan untuk memupuk keterampilan ketimbang menumpuk pengetahuan.

Salah satu faktor yang kemudian membuat nama Bu Irma memiliki kapling permanen dalam hati saya sebagai muridnya ialah saran menulis jurnal harian. Saran ini disampaikan pada pertemuan kedua (atau ketiga, saya lupa tepatnya). Banyak peserta perkuliahan yang menanggapi dengan dahi berkerut. Wajar saja. Pasalnya sebagian besar dari mereka sudah dan sedang ‘dimabuk’ jurnal SPF maupun Seminar Fisika. Padahal jurnal harian yang dimaksud Bu Irma ialah sejenis diary.

Jurnal harian tersebut mencakup tiga pertanyaan yang harus dijawab setiap hari. Tiga pertanyaan itu meliputi: (1) Apa yang telah dipelajari?; (2) Masalah apa yang dihadapi dalam mempelajari hal tersebut?; serta (3) Bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut?. Bu Irma menyarankan agar ketiga pertanyaan tersebut dijawab lengkap, meskipun jawaban untuk poin ketiga berisi ‘tidak dapat menyelesaikan’. Lebih lanjut, dirinya menyarankan untuk menulis jurnal harian pada malam hari sebelum tidur (atau dini hari untuk kasus saya).

Saran menulis jurnal harian tersebut terasa sangat bermanfaat ketika saya mengerjakan skripsi. Skripsi yang agak berbeda dengan rencana awal seperti pernah saya buat dalam bentuk coretan. Juga bukan skripsi yang proposalnya dikerjakan melalui workshop selama 6 jam pada Sabtu, 6 Juni 2015 di ruang Seminar Pendidikan Fisika bersama Buk Utari dan Yesi Martianingsih. Depresi yang nyaris mengakhiri nyawa saya berdampak kepada pemuluran masa studi. Bahkan saya baru bisa mulai kembali mengerjakan skripsi pada 22 Juli 2016, dengan topik yang diganti. Padahal depresi tersebut bukan disebabkan oleh kuliah, melainkan peristiwa yang sangat pribadi.

Manfaat saran menulis jurnal harian dari Bu Irma mulai terasa selepas saya menyajikan proposal penelitian pada Selasa, 6 September 2016 di ruang S-306 gedung A FPMIPA UPI. Penyajian yang berlangsung sekitar 90 menit mulai pukul 16:30 tersebut berlangsung mengesankan. Setiap tahap diselingi dengan kritik dan sesekali saran yang disampaikan oleh Buk Utari dan Pak Muhamad Gina Nugraha selaku duet pembimbing skripsi saya. Dengan perasaan lega, saya kemudian dapat menulis moment tersebut dalam bentuk jurnal harian sesuai saran Bu Irma.

Saya bahagia bisa mendapatkan saran yang diucapkan oleh Bu Irma sekitar setahun sebelumnya. Jurnal harian tersebut disusun dengan cara yang ringkas untuk mengurai kegiatan yang telah dilakukan secara jelas. Selama proses pengerjaan skripsi sendiri saya kemudian selalu menuruti saran menulis jurnal harian dari lulusan strata dua Universitas Pendidikan Indonesia pada 16 Februari 2007 ini. Kegiatan lain yang dijalani setiap hari pun sering tak lepas dari sasaran pengamalan menulis jurnal harian.

Saran menulis jurnal harian yang disampaikan oleh Bu Irma memiliki peran penting buat saya, tidak hanya pada masa ‘menata diri’ seusai depresi. Pertanyaan ‘apa yang telah dipelajari?’ misalnya, turut memberi semangat agar tak membiarkan waktu dilewati tanpa ‘mengisi’ diri. Salah satu cara ‘mengisi’ diri ialah dengan mengenali masalah yang dihadapi. Dari pengenalan terhadap masalah inilah, cara mengatasi bisa dicari. Dari sini kita bisa terbiasa untuk tidak membuat kerja otak berhenti.

Bu Irma mungkin tidak pernah menyadari bahwa ucapan yang disampaikan olehnya berperan penting dalam menyuntikkan ketekunan. Ketekunan yang membuat perjalanan yang dialami, pergaulan yang dihadapi, maupun pembelajaran yang disadari senantiasa menjadi bahan untuk refleksi. Namun, saya bangga menjadi murid dari sosok yang dapat menjadi teladan. Seorang perempuan yang tak hanya puas dengan menjadi istri, walakin memiliki keuletan untuk terus mengembangkan diri.

Gelar PhD yang dimiliki tak membuat Bu Irma berhenti. Bahkan dari situ seolah langkah baru dimulai. Mengamati perjalanan sejak come back home dari Shizuoka, thesis Bu Irma tak tampak sebagai tugas akhir kuliah PhD, melainkan tugas awal untuk turut memperbaiki kualitas pendidikan di negeri sendiri.

to be continued...

K.Km.Pa.050440.131218.02:30