— dari
dorongan penasaran sampai gairah berserah
Manusia
(Home sapiens) adalah spesies yang selalu ingin tahu. Macam-macam hal
yang ingin diketahui oleh manusia, mulai dari kebahagiaan mantan pacar, kapan
terakhir kali Liverpool juara Liga Inggris, kapan Manchester City bisa juara
Liga Champions, asal usul kelahiran dirinya, awal mula kemunculan setiap
spesias hingga fenomena alam raya. Memang rasa ingin tahu itu tak selalu
direnungkan setiap waktu. Namun, nyaris semua manusia pernah merenungkannya meski
sesekali saja.
Alam
raya beserta seluruh materi, energi, dan interaksi yang terdapat di dalamnya, senantiasa
memantik rasa ingin tahu manusia. Fenomena yang disajikan alam raya kerap
memberi pesona juga sering menyuntikkan rasa penasaran. Seperti Lola Zieta
Azelien berubah profesi, Karin Novilda (Awakrin) meninggalkan Instagram, keteraturan
siang dan malam, fenomena gerhana, gunung meletus, dan angin topan.
Ketidaktahuan
terhadap cara jalannya alam raya membuat manusia menggagas dewa-dewi. Dewa-dewi
tersebut ‘bertugas’ sebagai penguasa tiap sisi alam raya. Ada dewa perang, dewi
cinta, dan sebagainya. Ketika dewa-dewi berkenan, alam raya berjalan
menentramkan buat manusia. Kosok bali kalau dewa-dewi murka, perjalanan alam
raya menjadi bencana bagi manusia. Karena itulah manusia berusaha untuk
menyenangkan dewa-dewi dengan cara memujanya.
Pemujaan
tersebut dilakukan dengan beberapa cara. Ada yang dengan cara memuja langsung,
seperti menundukkan diri kepada Matahari untuk menyenangkan dewi Matahari. Ada
pula yang dengan cara membuat patung hasil imajinasi manusia tentang wujud
dewa. Rasa rendah diri manusia begitu besar sehingga orang selalu bisa mencari
cara untuk merendahkan diri mereka sendiri.
Gagasan
dewa-dewi tampak cukup memuaskan manusia. Kegiataan pemujaan terhadap dewa-dewi
pun menjadi peristiwa yang biasa. Namun, sejak kehadiran Ibrōhīm 4000 tahun
silam, keadaan mulai berubah. Ibrōhīm mulanya merasa aneh ketika mengamati
keseharian masyarakat di lingkungannya. Banyak orang yang bekerja membuat
patung. Patung-patung buatan mereka itu lantas dijadikan alat transaksi guna
memenuhi kebutuhan konsumsi.
Tidak
ada yang aneh, bagi Ibrōhīm, menyaksikan transaksi itu. Perasaan aneh muncul
karena menyaksikan pengunaan lain dari patung-patung itu. Oleh banyak orang,
patung tersebut dijadikan sebagai tujuan pemujaan. Mereka membuat atau membeli
patung buatan orang lain, kemudian menundukkan raga dengan segenap kerendahan
jiwa mereka di depan patung tersebut. Bagi Ibrōhīm, peristiwa yang
disaksikannya itu tidaklah common sense.
Ibrōhīm
bukanlah tipikal lelaki yang gemar memendam pertanyaan dalam hati. Justru dia
merasa perlu untuk mengungkapkan pertanyaan tersebut kepada orang lain. Azar,
paman yang menjadi ayah angkatnya, kerap menjadi sasaran pertanyaan itu. Azar
pun memberikan jawaban yang menjadi mainstream masyarakat, yakni patung
itu merupakan penguasa manusia. Sayang, Ibrōhīm merasa jawaban tersebut tidak
rasional.
Percakapan
tentang hal itu yang beberapa kali dilakoni, belakangan membuat Azar merasa
terganggu. Alih-alih menanggapi secara rasional, kedua justru terlibat
percekcokan. Meski demikian, keduanya tak terlibat pertikaian.
Kegagalan
memperoleh jawaban rasional mengetuk hasrat Ibrōhīm untuk melakukan pengamatan.
Dirinya berusaha mengumpulkan data empiris dengan cara mengamati angkasa,
seperti bintang (jauh), Bulan, dan (bintang) Matahari. Dari data empiris
tersebut, dirinya merasa bahwa alam raya punya kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah
itulah yang membuat alam raya bisa teratur maupun kadang memunculkan fenomena
tak lumrah.
Ibrōhīm
memang tak dapat menunjukkan kaidah-kaidah itu. Namun, dirinya sudah menemukan
fakta alam raya, seperti Matahari selalu tampak terbit dari arah timur, waktu
siang dan malam berganti secara teratur, serta cahaya bintang (jauh) tampak
tidak lebih terang dibanding Bulan dan kecerlangan pancaran cahaya dari Bulan
kalah dengan (bintang) Matahari.
Berbekal
analisis terhadap data empiris, Ibrōhīm kian mantap berungkap beberapa premis:
1. Patung itu
dibuat sendiri oleh manusia, bahkan rancangannya dapat ditentukan sesuai selera;
2. Patung
yang dibuat itu tak dapat melindungi manusia, alih-alih menguasai; serta
3. Patung-patung
itu tak dapat mengubah arah gerak Matahari kalau diamati dari Bumi.
Premis-premis
itu disampaikan kepada masyarakat sekitar. Sayangnya hal ini justru menimbulkan
perilaku gahar. Pandangan Ibrōhīm banyak ditentang, dirinya sendiri pun menjadi
sosok yang dibenci hingga sasaran caci maki. Namun, segala caci maki tak
membuat mental Ibrōhīm mati. Justru dirinya kian berani.
Keberanian
Ibrōhīm tak hanya pada ucapan, melainkan tindakan. Keyakinan bahwa patung yang
dibuat tak dapat melindungi manusia menjadi latar belakang eksperimen
pemenggalan patung yang berada dalam kuil pusat kerajaan. Inisiatif yang bagus,
karena dengan demikian dirinya mudah mendapat panggung perhatian.
Eksperimen
pemenggalan tersebut dilakukan ketika Namrūd, pemimpin masyarakat saat tu, sedang
menghadiri festival berburu yang saat itu merupakan agenda musiman. Secara
telaten Ibrōhīm memenggal kepala setiap patung urut dari bagian terluar sampai
bagian terdalam dengan menggunakan kapak.
Ketika
sampai pada bagian terdalam tempat patung terbesar berada, Ibrōhīm menghentikan
aksinya. Sebelum meninggalkan kuil, Ibrōhīm berinisiatif meletakkan kapak yang
digunakan untuk memenggal di patung terbesar. Inisiatif ini muncul bukan
disebabkan Ibrōhīm mulai lelah sampai tak bisa membawa kapaknya pulang, tapi
karena dirinya punya rencana seandainya aksi tersebut mendapat reaksi dari Namrūd.
Namrūd
kaget tatkala mendapati kuil kerajaan menjadi berantakan, hampir semua patung
yang terdapat di dalam kuilnya mengalami kerusakan. Kekagetan yang memantik
amarah, hingga membuatnya bertanya kepada staf kerajaan tentang orang
yang dapat diduga sebagai pelaku perusakan. Seluruh staf memusatkan Ibrōhīm
yang bilang absen ikut festival. Informasi tersebut ditanggapi Namrūd untuk
mengundang Ibrōhīm agar datang ke istana untuk bertatap muka. Undangan ini
didasari keinginan Namrūd untuk meminta klarifikasi.
Ibrōhīm
menanggapi undangan Namrūd dengan datang ke istana. Dalam forum tabayyun
tersebut, Ibrōhīm bukannya gentar malah tampil gahar. Dengan percaya diri,
lelaki yang kelak menjadi suami Sarah ibunda Ishaq (Isaac) itu menyarankan agar
Namrūd bertanya kepada patung terbesar yang kebetulan masih ‘membawa’ kapak.
“Bro... yang bener aja
deh, hamosok patung itu yang merusak? Wong dia tak bisa bergerak. Pasti
pelakunya kamu, iya kamuuuuu pemuda nggace!!!!!!” bantah Namrūd
seketika.
“Nah itu.” tanggap Ibrōhīm
singkat.
“Itu apa?” tanya Namrūd.
“Hamosok perlu dijelasin
sih, itu patung bergerak saja tak bisa kenapa kalian puja? Kok malah menuduh
aku sih. Maksudteee...” bantah Ibrōhīm yang juga seketika.
Dalam
percakapan tersebut Ibrōhīm memang menyampaikan perkataan bohong. Namun,
kebohongan tersebut dilakukan guna memancing Namrūd agar mau menggunakan
otaknya, bukan nafsu amarahnya saja. Ibrōhīm sadar bahwa dirinya salah telah
merusak keharmonisan masyarakat. Namun, ketika wujud keharmonisan tersebut harus
melukai hati, layakkah kalau terus tetap lestari?
“Kamu ngaku
menjadi pelaku atau enggak? Datanya valid lho ini kalau kamu
kemarin absen ikut festival berburu.” tanya Namrūd kepada Ibrōhīm.
“Kalau cuma data valid,
akupun punya.” jawab Ibrōhīm berusaha mengarahkan alur percakapan pada
kemauannya.
“Apa?” tanya Namrūd
penasaran.
“Aku punya data gini,
Matahari selalu tampak terbit di Timur, bisa enggak patungmu itu muter gerakan
Matahari? Data valid lho ini.” tanggap Ibrōhīm dengan woles.
Namrūd terdiam tak
sanggup menjawab. Tapi dirinya juga merasa gengsi, karena status raja diperoleh
lantaran dianggap masyarakat sebagai wakil dewa-dewi di planet Bumi, untuk
memimpin pemujaan terhadap dewa-dewi itu melalui sarana sebuah patung.
“Dataku valid kan?
Patungmu enggak bisa kan? Wekkkk...” ucap Ibrōhīm memecah diam, “jadi ngapain aku
ngaku? Jelas-jelas patung itu yang ‘membawa’ kapak, kok malah menyalahkan aku sih.
Aku tuh nggak mau diginiinnnnnnn, hih! Kzl.” tanggap Ibrōhīm.
“Mataneee... udah, cukup
sampai di sini saja hubungan kita.” tanggap Namrūd penuh amarah, “Bakarrrrrrrr!!!!!”
lanjutnya meminta petugas kerajaan membakar Ibrōhīm.
Suasana
panas benar-benar tambah panas. Ibrōhīm dieksekusi dengan cara dibakar. Namun,
di sinilah Ibrōhīm mendapatkan momentum terbesarnya karena dirinya tak
bisa terbakar oleh api. Momentum yang berdampak membuat namanya kian popular,
pandangannya kian didengar. Namun, dampak terbesarnya ialah nama Ibrōhīm tetap
terus lestari sampai saat ini.
Cerita
tentang Ibrōhīm tersebut boleh dianggap faktual atau khayal. Namun, tiga
tradisi yakni Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa peristiwa itu
benar-benar terjadi. Faktual atau khayal, yang jelas cerita tersebut
menunjukkan bahwa sejak masa lampau, ketika kapak masih menjadi teknologi
tercanggih sebelum diungguli ketapelnya Dawūd (David), manusia sudah menunjukkan rasa penasaran
terhadap alam raya. Tak hanya penasaran dengan ekosistem tempat tinggalnya,
melainkan sampai ke angkasa.
Kita
tak pernah tahu apakah pengamatan terhadap angkasa yang dilakukan oleh Ibrōhīm
itu menunjukkan proses pemikiran Ibrōhīm sampai ‘menemukan’ Sang Pencipta atau
sebagai cara membuktikan kesalahan pandangan masyarakat sekitarnya. Namun yang
jelas, setelah berulangkali mengamati angkasa dengan penuh pertanyaan dalam
sukma, Ibrōhīm mengungkapkan perkataan:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Perkataan
yang dapat dimaknai:
“(Pada
titik ini) aku benar-benar menghadapkan wajahku (yakni seluruh jiwa dan raga
sepenuhnya), kepada Yang menciptakan langit dan bumi (dengan seluruh kandungan
materi, energi, dan interaksi yang terdapat di dalamnya), dalam keadaan
cenderung kepada (Yang menciptakan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (kepada Yang menciptakan).”
Perkataan
yang dilestarikan dalam al-Qur’ān tersebut biasa dianjurkan untuk dibaca pada
waktu Sholāt. Memang sebatas anjuran, bukan sebagai keharusan. Diperhatikan
atau diabaikan ketika membaca al-Qur’ān, disertakan atau ditinggalkan dalam
Sholāt, bukanlah hal penting. Hal yang penting ialah bahwa imajinasi tidak lebih
penting dibanding kenyataan, bahkan imajinasi perlu disingkirkan tatkala
bertentangan dengan kenyataan.
K.Km.Lg.090240.181018.11:56.